13 Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan
adalah bawang merah, bawang putih, garam dan merica. Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan. Park 1995 menjelaskan bahwa
garam dapat memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara: 1 mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, 2
berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur
produk. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar antara 5 – 10 dari berat daging.
Penambahan es berfungsi untuk mempertahankan suhu adonan selama penggilingan tetap rendah, sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat
gesekan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Jumlah penambahan es biasanya berkisar antara 15–30 dari berat daging yang
digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan Wibowo 2005.
2.6.2. Pembuatan Bakso Ikan
Proses pembuatan bakso pada umumnya terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan pembuatan adonan, pencetakan dan
pemasakan. Proses persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging ikan dipilih yang segar, bersih dari jaringan ikat
dan lemaknya. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso pada penelitian ini adalah daging ikan tenggiri dalam bentuk filet.
Filet daging ikan dilumatkan dengan mincer pelumat. Proses ini bertujuan untuk memecah serabut daging srehingga protein yang larut dalam
garam akan mudah terekstrak keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah mincing, menggiling grinding atau
mencincang sampai halus atau lumat chopping. Menurut Kok dan Park 2007, dalam produksi skala besar, pada proses ini perlu ditambahkan es sebanyak 15-
30 dari berat daging. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan suhu rendah akibat gesekan mesin giling chopper, serta untuk menghasilkan emulsi yang
baik. Suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di
14 bawah 20
C. Penggunaan suhu di atas 20 C akan mengakibatkan terdenaturasinya
protein sehingga emulsi akan pecah. Proses selanjutnya adalah pengirisan cutting yang bertujuan untuk
memutus serat yang tidak terlumatkan pada proses sebelumnya. Setelah diperoleh daging lumat yang bersih, halus, dan bebas serat, lalu daging lumat tersebut
dibentuk menjadi adonan. Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga
membentuk adonan atau dengan menghancurkan daging bersama-sama garam dan es terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lain. Setelah itu,
adonan bakso dicetak membentuk bulatan dengan ukuran yang dikehendaki. Pembulatan bakso dapat dilakukan dengan menggunakan mesin atau dengan cara
menggunakan tangan yang dibentuk dengan sendok. Menurut Kok dan Park 2007, pembentukan adonan umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan
menjadi bola-bola kecil berdiameter 2–7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air mendidih bersuhu 60–80
C selama 15 menit. Pemasakan adonan akan membentuk struktur yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat
dari koagulasi protein dan gelatinisasi pati. Menurut Tazwir 1992 tahap cutting merupakan tahap penting untuk
menghasilkan konsistensi fisik bakso. Daging yang berada pada kondisi pre-rigor akan memberikan hasil terbaik, karena ATP masuk hingga struktur protein
mengembang, kapasitas pengikatan air tinggi sehingga protein yang terekstrak lebih banyak daripada daging pada kondisi rigor mortis atau post-rigor.
Kandungan protein terekstrak yang tinggi akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Selama pemasakan, protein daging akan membentuk struktur tiga dimensi
pada pengikatan daging lumat sehingga membentuk struktur bakso yang kompak. 2.6.3. Teknologi Pengawetan Bakso
Teknologi pengawetan bakso telah banyak dilakukan baik dengan cara penambahan pengawet ke dalam adonan bakso maupun dengan pencelupan atau
perendaman bakso dalam larutan pengawet, namun belum diperoleh bahan pengawet yang memenuhi target umur simpan minimal selama 4 hari pada suhu
kamar yang dapat diaplikasikan di industri dan aman bagi konsumen. Salah satu
15 parameter mutu bakso menurut SNI 01-3819-1995 adalah jumlah total mikroba
maksimal 1,0x10
5
kolonigram. Beberapa peneliti telah melaporkan penggunaan sejumlah bahan pengawet
untuk memperpanjang umur simpan bakso. Tandiyono 1996 melaporkan bahwa bakso daging yang dibuat dengan penambahan 0.2 natrium propionat pada jam
ke-24 pada suhu kamar telah mengandung bakteri sebanyak 5,8x10
6
CFUg. Hasil penelitian Aulia 1998 menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan
natrium benzoat sebanyak 0.1 yang disimpan pada suhu kamar pada hari ke-1 telah mengandung bakteri sebanyak 1,3x10
7
CFUg. Hasil penelitian Yovita 2000 menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan 100 ppm nitrit,
0.1 natrium benzoat+100 ppm nitrit, 0.1 metil paraben+100 ppm nitrit pada penyimpanan hari ke-1 telah mengandung bakteri 10
6
-10
7
CFUg, sedangkan dengan penambahan 0.1 metil paraben+450 ppm natrium metabisulfit ke dalam
adonan pada penyimpanan hari ke-2 telah mengandung bakteri 6,9x10
7
CFUg. Surjana 2001 melaporkan penggunaan bahan pengawet berupa natrium benzoat
0.1, natrium bisulfit 450 ppm, asam sorbat 0.1, dan natrium propionat 0.3, dapat mengawetkan bakso daging hingga 2 hari pada suhu kamar. Sari 2004
melaporkan bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma sebesar 5 kGy dapat mengawetkan bakso ikan patin selama 60 hari pada suhu 10
C.
3. METODOLOGI