Indonesia mengatur ekspor karang hidup sebagai karang hias dalam bentuk pembatasan kuota yang dikeluarkan oleh Management Authority MA setiap
tahun berdasarkan rekomendasi SA. Otoritas Pengelolaan Management Authority CITES di Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Alam dan
Perlindungan Hutan Dirjen PHKA - Departemen Kehutanan, sedangkan Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia LIPI ditunjuk sebagai Otoritas Ilmiah
Indonesia Scientific AuthoritySA berdasarkan Peraturan pemerintah PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan
pemerintah tersebut juga mengatur pemanfaatan dan peredaranperdagangan karang hias yang tidak dilindungi di dalam negeri. Sementara itu, tata cara
pengambilan dan peredaran diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan KepMenHut Nomor 447 Tahun 2003.
Pada tahun 1999, perhatian pengelolaan pemanfaatan karang hias Indonesia lebih diutamakan dengan di sahkannya LIPI sebagai SA yang bertangggung jawab
merumuskan rekomendasi kuota ke MA berdasarkan 3 hal, yaitu ; potensi stok karang hias disuatu lokasi, laju pertumbuhan dan sebaran karang di Indonesia.
Komitmen Pemerintah Indonesia tersebut seiring dengan kebijakan Komite Perikanan Internasional di bawah Food and Agricultural Organization FAO
yang pada tahun 1995 menerbitkan konsep baru tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab untuk kelestarian sumberdaya perikanan. Meskipun
demikian, hingga saat ini penetapan kuota masih menyisakan permasalahan yang mendasar, dikarenakan penilaian sumberdaya potensi karang hias belum
berdasarkan potensi area pengambilan tertentu. Hal tersebut belum terakomodir dalam kebijakan penetapan kuota yang berdasarkan potensi karang hias suatu area
dengan pendekatan provinsi.
2.5. Perikanan Karang Hias yang Bertanggung Jawab
Perikanan biota ornamental, jika pengelolaannya berkelanjutan dan terintegrasi dengan sumber daya penggunaan lain, maka berpotensi untuk
menyediakan bagi banyak orang dari negara-negara, sumber pendapatan yang stabil dari suatu mata pencarian. Negara-Negara seperti Kepulauan Solomon dan
Vanuatu tidak memiliki rencana pengelolaan spesifik tentang industri perikanan biota ornamental, berbeda dengan negara-negara seperti Fiji, Palau dan Australia
mempunyai kebijakan yang mengatur pengambilan biota terumbu karang. Namun ironisnya adalah tidak jarang rencana pengelolaan tersebut hanya di atas kertas,
tidak ditegaskan dalam suatu kekuatan hukum dan jarang diterapkan berdasarkan pertimbangan ilmiah atau suatu monitoring. Dengan demikian dalam banyak
kasus, tidak efektif dalam melestarikan populasi. Yusuf, et al. 2003 menyebutkan bahwa beberapa pertimbangan ilmiah
yang utama dalam mendukung pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan adalah informasi mengenai sebaran karang tiap jenis, informasi pertumbuhan dan
kematian karang, serta informasi mengenai tingkat pemanfaatan eksploitasi. Hodgson 2003 menambahkan bahwa selain pertimbangan tersebut di atas,
ukuran koloni karang merupakan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan dalam menentukan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan. Selain
pertimbangan ekologi seperti yang disebutkan di atas, pertimbangan pendekatan stakeholders juga diperlukan dalam menentukan pengelolaan yang berkelanjutan.
Stakeholders seperti nelayan, pengepul, pengusaha, pemerintah, hobbyist dan peneliti diharapkan memberikan kontribusi terkait pengelolaan. The Indonesian
Coral Reef Working GroupICRWG 2004 menyebutkan bahwa nelayan dan pengepul merupakan tulang punggung dalam pengumpulan data dan informasi
pemanfaatan karang hias . Pada tahun 2004, ICRWG bekerja sama dengan AKKII menerapkan sistem pendataan mandiri ditingkat nelayan dan pengepul,
pendataan ditekankan pada jenis, ukuran dan volume yang diambil dari alam dan yang dikirim ke pengusaha. Harapannya data dan informasi tersebut dapat
digunakan dalam menyusun rencana pengelolaan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan. Penerapan sistem tersebut sangat membantu pengambil kebijakan
pemerintah dan para peneliti, mengingat kurangnya data pemanfaatan adalah salah satu permasalahan utama dalam menentukan pemanfaatan yang
berkelanjutan. Deskrispsi di atas merupakan bagian dari pendekatan pengelolaan perikanan yang berbasiskan pada potensi ekosistem. Lebih lanjut Suharsono,
1998 menyebutkan bahwa prinsip-prinsip utama pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan karang hias adalah:
1 Corals are harvested outside the protected areas and tourism areas
2 Corals are harvested below the rejenistion rate of each species