Komponen Kunci
Komponen Turunan Kondisi Internal
kegiatan transplantasi 2. Ada dari anggaran belanja tanpa
terencana 3. Ada dari anggaran belanja yang
terencana dalam jangka pendek 4. Ada dari anggaran belanja yang
terencana dalam jangka panjang Alokasi dana untuk
kegiatan penentuan dan pengaturan
volume pengambilan 1. Belum ada
2. Ada dari anggaran belanja tanpa terencana
3. Ada dari anggaran belanja yang terencana dalam jangka pendek
4. Ada dari anggaran belanja yang terencana dalam jangka panjang
I. Sumberdana Sumberdana untuk
kegiatan konservasi 1. Seluruhnya berasal dari pemerintah
pusat 2. Dana bersumber dari pusat dan sumber
lain 3. Dana dari pusat lebih kecil
dibandingkan sumber lain 4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar
dibandingkan dana dari pusat Sumberdana untuk
kegiatan pengaturan pengambilan karang
hias 1. Seluruhnya berasal dari pemerintah
pusat 2. Dana bersumber dari pusat dan sumber
lain 3. Dana dari pusat lebih kecil
dibandingkan sumber lain 4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar
dibandingkan dana dari pusat Sumberdana untuk
kegiatan penelitian perikanan dan
ekosistem 1. Seluruhnya berasal dari pemerintah
pusat 2. Dana bersumber dari pusat dan sumber
lain 3. Dana dari pusat lebih kecil
dibandingkan sumber lain 4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar
dibandingkan dana dari pusat Sumberdana untuk
kegiatan transplantasi 1. Seluruhnya berasal dari pemerintah
pusat 2. Dana bersumber dari pusat dan sumber
Komponen Kunci
Komponen Turunan Kondisi Internal
lain 3. Dana dari pusat lebih kecil
dibandingkan sumber lain 4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar
dibandingkan dana dari pusat Sumberdana untuk
kegiatan penetapan dan pengaturan
volume pengambilan 1. Seluruhnya berasal dari pemerintah
pusat 2. Dana bersumber dari pusat dan sumber
lain 3. Dana dari pusat lebih kecil
dibandingkan sumber lain 4. Dana dari sumber lain jauh lebih besar
dibandingkan dana dari pusat J. Kecukupan
dana Kecukupan dana
untuk kegiatan konservasi
1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran
2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek
3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah
4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang
Kecukupan dana untuk pengaturan
pengambilan karang hias
1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran
2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek
3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah
4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang
Kecukupan dana untuk kegiatan
penelitian perikanan dan ekosistem
1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan sasaran
2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka pendek
3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka menengah
4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin dan proyek jangka panjang
Kecukupan dana untuk kegiatan
transplantasi 1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan
sasaran 2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
Komponen Kunci
Komponen Turunan Kondisi Internal
dan proyek jangka pendek 3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
dan proyek jangka menengah 4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
dan proyek jangka panjang Kecukupan dana
untuk penentapan pengaturan volume
pengambilan 1. Anggaran tidak cukup untuk tujuan dan
sasaran 2. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
dan proyek jangka pendek 3. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
dan proyek jangka menengah 4. Anggaran cukup untuk kegiatan rutin
dan proyek jangka panjang
II. Kebutuhan data dan informasi terkait eksternal
1. Komunikasi dan koordinasi 2. Kebijakan yang terkait dari pusat
3. Pengetahuan masyarakat, penerimaan dan konflik pemanfaatan
Komponen Kunci
Komponen Turunan Kondisi Internal
A. Komunikasi dan Koordinasi
BKSDA 1. Tanpa komunikasi
2. Ada komunikasi 3. Ada koordinasi
4. Ada kolaborasi program DKP
1. Tanpa komunikasi 2. Ada komunikasi
3. Ada koordinasi 4. Ada kolaborasi program
B. Kebijakan yang terkait dari
pusat Kebijakan dari pusat
1. Tidak tahu adanya kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat
2. Mengetahui sebagian kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat
3. Menerima kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat
4. Memahami kebijakan dan diadobsi sebagai bagian kebijakan daerah
C. Pengetahuan Pengetahuan
1. Tidak tahu adanya pemanfaatan karang
Komponen Kunci
Komponen Turunan Kondisi Internal
masyarakat, penerimaan dan
konflik pemanfaatan
masyarakat hias
2. Mengetahui tapi tidak peduli 3. Mengetahui dan tidak setuju
pengambilan karang hias 4. Mengetahui dan menerima adanya
pemanfaatan karang hias
Lampiran 2. Dokumentasi Beberapa Jenis-Jenis Karang Hias Bernilai Ekonomis
No Jenis
Karakteristik Veron, 2000
1 Blastomussa sp
Umumnya bentuk
pertumbuhannya submasif hingga masif.
Terdapat banyak polip individu dalam satu koloni dengan koloni
bertipe phaceloid. Jarang ada tipe koralit yang subplocoid.
Jaringan yang keluar berwarna merah atau hijau merupakan
mantel bukan tentakel Umumnya hidup di perairan yang
terlindung dari ombak besar, sehingga sering ditemukan pada
tipe terumbu karang “patch reef” 2
Porites sp Umumnya bentuk pertumbuhan
bercabang, submasif
hingga masif. Jenis yang dimanfaatkan
untuk perdagangan
dominan bercabang.
Terdapat banyak polip dalam satu koloni. Permukaan koloni halus
dan tidak terlihat tentakel secara kasat mata. Koloni umumnya
berwarna krem, kuning, biru atau hijau
Dominan di jumpai di area laguna lagoons pada perairan yang
sedikit berombak 3
Euphyllia sp Umumnya bentuk pertumbuhan
submasif, dan terlihat seperti masif saat tentakelnya keluar dan
menutupi skeleton rangka kapur
Satu koloni terdiri dari beberapa polip
yang memiliki
tipe phaceloid dan tubular.
Tentakel selalu keluar dan terlihat dengan warna yang bervariasi
dari kuning, hijau, orange, dan bitu keabu-abuan.
Dominan di jumpai pada lokasi yang datar “reef flat” yang dalam.
No Jenis
Karakteristik Veron, 2000
4 Caulastrea sp
Bentuk pertumbuhan submasif dengan koloni yang berukuran
kecil hingga medium Satu koloni terdiri dari beberapa
polip yang memiliki koralit yang kompak tipe phaceloid dan
tentakel tidak terlihat
Warna koloni bervariasi warna coklat, kuning kecoklatan dan
hijau kecoklatan Dominan hidup pada substrat
yang datar flat. 5
Cynarina sp Tipe karang soliter 1 koloni
terdiri dari 1 polipsingle polyp sehingga septa pada koralit
sangat jelas terlihat.
Ukuran koloni dominan bervariasi dari small hingga
medium. Tentakel hanya keluar pada
malam hari, pada siang hari jaringan lunak yang menuutupi
koloni adalah mantel
Dominan hidup pada perairan dalam dan datar di atas subtrat
pasir 6
Goniopora sp Bentuk pertumbuhan dominan
submasif dan masif. Dalam satu koloni terdapat
banyak polip individu. Tentakel berukuran panjang dan
selalu keluar sehingga di alam terkadang seperti hamparan alga
jika tidak dilakukan pemeriksaan lebih rinci.
Dominan dijumpai pada perairan dengan kecerahan yang bagus.
No Jenis
Karakteristik Veron, 2000
7 Heliofungia sp
Tipe karang soliter 1 koloni terdiri dari 1 polipsingle polyp
sehingga septa pada koralit sangat jelas terlihat.
Bentuk koloni bulat cenderung simetris dengan tentakel
berukuran panjang dan keluar pada siang dan malam hari
Tentakel umumnya berwarna biru gelap atau hijau gelap atau grey
dengan warna putih atau pink pada ujung tentakel
Selalu ditemukan pada perairan daerah di atas substrat pecahan
karang rubble substrates 8
Trachyphyllia sp Tipe koloni adalah flabello
– meandroid dan merupakan soliter
free living. Tentakel hanya keluar pada
malam hari sehingga yang terlihat pada siang hari adalah mantel
yang berlendir menutupi skeleton.
Warna mantel yang terlihat pada siang bervariasi warna kuning,
coklat, biru atrau hijau Sangat jarang dijumpai di area
terumbu, dominan hidup pada patch reef atau area antar terumbu
inter – reef areas.
9 Plerogyra sp
Satu koloni terdiri dari beberapa polip. Koloni memiliki tipe
flabello – meandroid.
Tentakel selalu nampak, berbentuk menyerupai bubble
warna putih dan kekuning- kuninhgan sehingga jenis ini
disebut bubble coral
Dominan hidup pada lingkungan yang terlindung dan perairan
dengan kecerahan yang baik.
ABSTRACT
MUHAMMAD SYAHRIR. The Study on Sustainable Utilization of Marine Ornamental Coral in Lampung Bay Waters, Pesawaran Regency, Lampung
Province. Supervised by BUDY WIRYAWAN and BUDHI HASCARYO ISKANDAR.
Indonesia is the main supplier of ornamental coral reef in the world. The second biggest ornamental coral supplier in Indonesia is Lampung Bay, after
South Sulawesi. According to the Convention on International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES, ornamental corals are classified in
Appendix 2, which means they are species that are not necessarily threatened with extinction, but may become so unless trade in specimens of such species is subject
to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with the survival of the species in the wild. Therefore, in order to ensure that management of the coral
ornamental is sustainable, its abundance based on group size, its biological nature, environmental factors and its utilization should be considered. Data and
information were collected and analyzed based on those above aspects. Approximately 90 of ornamental coral species usually characterized as slow
growing corals. The commercial types have very high quota in the market. However, during three years of observation, the fishers were only able to deliver
approximately 50 of exporter’s orders. The result of the survey taken from 16 stations showed that only 4 species of 24 species that had abundance of ≥2000
indha, the rests had a very low abundance. The evidence of over-exploitation was also found. The ideal management should be based on the potential of ornamental
coral in each location, in order to set the Total Allowable Collect TAC. Based on the calculation of TAC, five species were not recommended for use because
they had not only low abundance but also they did not have mature colony for reproduction. Hence the utilization of the other nineteen species should be limited
in the range of 2-15 of the existing population in the area. According to value of TAC expected in the future, these species still have the opportunity to increase
their population. Keyword : Coral ornamental, Sustainability, Utilization, Total Allowable
CollectTAC
RINGKASAN
MUHAMMAD SYAHRIR. Pemanfaatan Karang Hias Berkelanjutan di Perairan
Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran. Dibawah bimbingan oleh BUDY WIRYAWAN dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR
Indonesia menjadi pemasok utama karang hias ornamental coral dunia, dengan suplai terbesar berasal dari Provinsi Lampung, khususnta Perairan Teluk
Lampung setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Wabnitz et al. 2003 mencatat 140 spesies karang hias yang diperdagangkan dengan volume mencapai 11
– 12 juta tiap tahun, yang dikirim ke 70 negara tujuan. Tujuan utama ekspor adalah ke
negara-negara di Amerika The United State sebanyak 56 dan sisanya negara- negara di Uni Eropa The European Union serta ke beberapa negara di Asia
seperti Jepang dan Hongkong. Kurang lebih 90 jenis yang diperdagangkan adalah kelompok jenis dengan pertumbuhan lambat slow growing seperti
Euphyllia sp, Cynarina sp, Trachyphyllia sp, Lobophyllia sp., Plerogyra sp., Goniopora sp., Tubastrea sp., Scolymia sp., Physogyra sp, dan Catalaphyllia sp.
Menurut The Convention on International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES, karang hias dikelompokkan kedalam apendiks II yaitu biota
yang akan mengalami kepunahan jika pemanfaatannya tidak diatur. Pertumbuhan dan rekruitmen karang yang lambat mendapatkan tekanan dari pemanfaatan
eksploitasi disamping tekanan karena kematian alami. Mengelola pemanfaatan secara berkelanjutan sustainable sangat ditentukan oleh kelimpahan berdasarkan
kelompok ukuran, sifat biologi, faktor lingkungan dan tingkat pemanfaatan eksploitasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah merekomendasikan upaya pengelolaan pemanfaatan karang hias berbasis sumberdaya di alam sebagai pendekatan
pemanfaatan berbasis ekosistem. Tujuan tersebut dicapai melalui analisis : 1 Kondisi perikanan karang hias di perairan Teluk Lampung;
2 Simulasi proyeksi kecenderungan populasi dan penentuan kuota pemanfaatan yang diizinkanTotal Allowable Collect TAC;
3 Kelembagaan terkait pengelolaan pemanfaatan perikanan karang hias berkelanjutan.
Informasi yang dikumpulkan adalah terkait potensi karang hias yaitu jenis karang hias, ukuran dan jumlah koloni serta informasi yang terkait dengan tingkat
pemanfaatannya yaitu kuota yang dikeluarkan, jenis dan jumlah yang dipesan order, jenis dan jumlah yang dikirim. Informasi kelembagaan yang dikumpulkan
terkait kesiapan lembaga pengelola pengambil kebijakan yaitu kondisi internal lembaga visi dan misi terkait pengelolaan, perangkat hukum dan kebijakan
pengelolaan, kesiapan sumberdaya manusia dan kesiapan pendanaan dan kondisi eksternal lembaga sinkronisasi dengan kebijakanperaturan dari pusat dan
koordinasi serta kerjasama antar instansi terkait. Metode pengumpulan data adalah Belt Transect menggunakan underwater scuba diving, survei pendataan
jenis yang diambil dan wawancara purposive sampling. Data selanjutnya dianalisis dengan penghitungan kelimpahan abundance, analisis proyeksi
kecenderungan tingkah laku populasi matrix population models, perhitungan kuota pemanfaatan yang diizinkan Total Allowable Collect dan analisis
deskriptif kelembagaan tabulasi dan grafik. Tingkat pemanfaatan yang tidak berimbang ditandai dengan tingginya
kuota yang ditetapkan dari tahun ke tahun. Sementara realisasi pengiriman selama tiga tahun pengamatan, hanya mampu memenuhi kurang lebih 50 untuk jenis-
jenis berharga tinggi, sehingga pemanfaatan bergeser pada jenis harga rendah pemenuhan order ≥50. Informasi dari nelayan bahwa jenis harga tinggi, sulit
dikumpulkan sesuai pesanan tersebut karena keberadaannya di alam yang sudah jarang. Hasil survei menunjukkan bahwa dari total 16 stasiun pengamatan, hanya
4 jenis Goniopora, Euphyllia, Fungia dan Caulastrea dari 24 jenis yang memiliki kelimpahan di atas 0,5 indm
2
, sisanya memiliki kelimpahan yang nihil. Fakta tersebut menunjukkan tanda - tanda terjadinya pemanfaatan lebih over
exploitation untuk jenis-jenis tertentu, terutama jenis primadona harga tinggi di pasar.
Kurang lebih 90 jenis yang dimanfaatkan adalah kelompok karang pertumbuhan lambat slow growing sehingga proses pemulihan recovery
populasi berjalan sangat lambat. Hasil analisis proyeksi kecenderungan tingkah laku populasi setiap jenis, menunjukkan bahwa dari 24 jenis yang dimodelkan, 8
diantaranya memiliki kecenderungan tingkah laku populasi yang menurun pada
kondisi alami, sementara 16 jenis lainnya mengalami peningkatan yang bervariasi. Hal ini terjadi karena jumlah kelompok ukuran koloni karang yang dewasa jauh
lebih kecil dibanding kelompok ukuran koloni karang yang sedang optimal dalam proses pertumbuhan. Berdasarkan hasil proyeksi kecenderungan tingkah laku
populasi maka kuota pemanfaatan yang diizinkanTotal Allowable Collect TAC masing-masing jenis dapat diketahui dan direkomendasikan. Delapan jenis
direkomendasikan untuk tidak manfaatkan karena memiliki TAC 0 dan 16 jenis lainnya hanya boleh dimanfaatkan pada kisaran TAC yang bervariasi, yaitu 2
– 15 dari sumberdaya karang hias yang ada. Nilai Total Allowable Collect TAC
sudah mempertimbangkan bahwa pada tahun-tahun yang akan datang jenis-jenis tersebut tetap memiliki kesempatan pertambahan populasi.
Berdasarkan aspek internal kelembangaan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Provinsi Bandar Lampung dinilai lebih siap dalam melakukan
pengelolaan pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan, terutama jika dilihat dari aspek visi dan misi lembaga, kesiapan instrumen pengelolaan dan
sumberdaya manusia. Namun jika dilihat dari aspek pendanaan, maka Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pesawaran dinilai lebih siap. Berdasarkan aspek eksternal kelembagaan, Kabupaten Pesawaran tergolong kabupaten yang baru terbentuk sehingga belum
mengetahui adanya kebijakan pemanfaatan karang hias dari pusat. Demikian juga dengan aspek komunikasi, koordinasi dan kolaborasi program, umumnya mereka
belum membangun komunikasi terkait pemanfaatan karang hias baik dengan BKSDA maupun dengan KKP Provinsi. Teridentifikasi permasalaan utama dalam
pengelolaan yaitu kurangnya komunikasi, koordinasi dan kerjasama serta permasalahan minimnya kapasitas sumberdaya manusia dalam mendukung
implementasi pengelolaan yang berkelanjutan.
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Perkembangan perikanan tangkap sangat identik dengan perikanan konsumsi, sehingga yang berkembang adalah model-model pendekatan ekosistem
untuk pengelolaan perikanan konsumsi. Sejak tahun 80‟an negara - negara Asia terutama Indonesia menjadi pemasok utama karang hias ornamental coral,
bahkan mencapai 20 dari total ekspor dunia. Wilayah provinsi di Indonesia yang memasok karang hias dideskripsikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Wilayah Provinsi Di Indonesia Yang Memasok Karang Hias sumber : ICRWG 2004
Wabnitz et al. 2003 lebih lanjut menyebutkan bahwa tercatat 140 spesies karang hias yang diperdagangkan dengan volume yang mencapai 11
– 12 juta tiap tahun yang dikirim ke 70 negara tujuan. Negara-negara tujuan utama ekspor
adalah Amerika The United State sebanyak 56 dan sisanya negara-negara di Uni Eropa The European Union serta ke beberapa negara di Asia seperti Jepang
dan Hongkong. Australia yang sempat ditutup sebagai tujuan ekspor, kembali dibuka sejak tahun 2008. Pemanfaatan tersebut bukannya tanpa masalah, pada
2 tahun 1999 Scientific Review Group SRG CITES The Convention on
International in Endangered Species of Wild Fauna and Flora melakukan suspensi pada beberapa jenis karang hias yang dianggap memiliki sebaran terbatas
dan populasi yang kecil, namun tetap diekspor dalam kuota yang besar. Kemudian pada tahun 2007, untuk pertama kalinya dalam sejarah, the IUCN Red List of
Threatened Species memasukkan karang kedalam laporan tahunannya sebagai satwa liar yang akan punah. 10 jenis karang yang masuk dalam daftar merah red
list, dimana dua jenis termasuk critically endangered Tubastrea floreana dan Rhizopsammia wellingtoni dan satu termasuk kategori vulberable Polycyanthus
isabela. Meskipun jenis – jenis tersebut tidak ditemukan di perairan Indonesia
namun konsennya adalah jenis - jenis karang, khususnya karang hias menempati posisi yang sama dengan kelompok hewan penting lainnya untuk di konservasi
menurut IUCN The International Union for Conservation of Nature. Berdasarkan hal tersebut, maka suatu kajian yang mempertimbangkan
kemampuan sumberdaya karang hias dalam pemanfaatannya sangat diperlukan sebagai jawaban terhadap kebutuhan pendekatan yang formal dalam pengelolaan
perikanan biota ornamental secara terpadu. Pada dasarnya prinsip pelaksanaan pengelolaan perikanan karang hias
tidak berbeda dengan prinsip pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pada umumnya. Terdapat 12 prinsip pendekatan model
pengelolaan pemanfaatan karang hias ICRWG, 2004 yaitu : 1 Lokasi pengambilan biota ornamental terletak diluar kawasan yang termasuk
negative list. Negative list yang dimaksud adalah kawasan perlindungan atau konservasi yang tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan perikanan dalam
bentuk apapun ; 2 Biota ornamental, khususnya karang hias yang dimanfaatkan atau yang boleh
diambil adalah sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh Scientific Authority SA berdasarkan laju pertumbuhan, ukuran maksimum dan
kemampuan reproduksi masing-masing kelompok biota tersebut ; 3 Pengambilan dilakukan dengan cara berkelanjutan yaitu tidak merusak biota
target, biota lain yang tidak menjadi target maupun habitat dimana biota tersebut hidup ;
3 4 Pengambilan karang dilakukan setelah adanya penilaian sediaan stock
assessment di lokasi pengambilan ; 5 Pengambilan biota ornamental hanya boleh dilakukan oleh nelayan yang telah
memiliki kemampuan pengambilan secara ramah lingkungan yang dibuktikan dengan sertifikat ;
6 Volume pengambilan ditentukan berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Management Authority MA. MA di Indonesia ada di bawah Direktorat
Jenderal Konservasi Alam dan Perlindungan Hutan Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan ;
7 Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan adanya verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi ;
8 Pemantauan di lapangan perlu dilakukan di lokasi pengambilan satu tahun sekali untuk mendukung informasi dalam penentuan kuota ;
9 Pemantauan secara rutin dilakukan oleh Scientific Authority SA dan Management Authority MA mulai dari tempat pengambilan, pengumpulan,
dan pengiriman ; 10 Konservasi dan rehabilitasi menjadi proses penting untuk mencegah
terjadinya kerusakan terumbu karang serta untuk memperbaiki terumbu karang yang rusak ;
11 Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia setempat untuk melakukan pemantauan dan pengawasan ;
12 Pengembangan budidaya transplantasi karang sebagai alternatif sumberdaya yang tidak hanya langsung bersumber dari alam.
Pemanfaatan karang hias tersebut telah berlangsung sejak tahun 80-an. Tercatat di tahun 2004 terdapat 12 provinsi di Indonesia yang dijadikan area
pengambilan oleh 20 eksportir TERANGI, 2004, dimana Provinsi Lampung adalah salah satu target utama kedua setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Sejak
Kabupaten Pesawaran terbentuk dan terpisah dengan Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007, maka secara administrasi wilayah pemanfaatan karang hias lebih
banyak di Kabupaten Pesawaran dan beberapa pulau yang termasuk wilayah Provinsi Lampung. Sekitar 25 lokasi pengambilan karang hias collection area
4 tersebar baik disekitar gugusan pulau, maupun di daerah-daerah gosong yang jauh
dari gugusan pulau. Saat ini terdapat tiga pengepul karang hias yang beroperasi di Teluk
Lampung, yang melibatkan sekitar 40 orang nelayan kompresor, yaitu nelayan yang melakukan pengumpulan karang hias dengan menyelam bebas hookah atau
menggunakan persediaan udara permukaan memakai kompressor. Terdata 40 spesies karang hias yang dimanfaatkan dari jenis karang polip kecil hingga jenis
karang polip besar dengan berbagai kelompok ukuran. Volume pengiriman bervariasi ±1750 piecesminggu bagi nelayan dengan armada kecil dan ±6000
piecesminggu bagi nelayan dengan armada besar. Beberapa jenis karang hias dengan permintaan yang tinggi adalah Euphyllia sp, Cynarina sp, Trachyphyllia
sp, Lobophyllia sp., Plerogyra sp, Alveopora sp., Tubastrea sp., Scolymia sp., Physogyra sp, dan Catalaphyllia sp.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah merekomendasikan upaya pengelolaan pemanfaatan karang hias berbasis sumberdaya di alam sebagai
pendekatan pemanfaatan berbasis ekosistem. Tujuan umum tersebut dicapai melalui analisis :
1 Kondisi perikanan karang hias di perairan Teluk Lampung; 2 Simulasi proyeksi kecenderungan populasi dan penentuan kuota pemanfaatan
yang diizinkanTotal Allowable Collect TAC; 3 Kelembagaan terkait pengelolaan pemanfaatan perikanan karang hias
berkelanjutan.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah tentang pengembangan pendekatan pengelolaan perikanan karang hias di perairan Teluk
Lampung. Informasi ilmiah ini dapat menjadi penelitian awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi pengelolaan perikanan, khususnya perikanan karang hias.
Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal dalam menyusun indikator pada pengelolaan perikanan, khususnya perikanan karang hias sesuai
dengan code of conduct berkelanjutan. Indikator pengelolaan diharapkan
5 membantu pemerintah untuk memahami kebutuhan mendasar dalam pengelolaan
pemanfaatan karang hias berkelanjutan dan dapat mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan pedoman internasional.
1.4. Perumusan Masalah
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting dalam ekosistem pesisir dan laut. Kemampuan karang membentuk terumbu yang
berukuran besar sehingga berperan penting sebagai habitat mencari makan, berlindung dan memijah bagi ikan serta invertebrata lainnya. Potensi terumbu
karang, selain sebagai habitat penting bagi biota laut, juga memiliki potensi ekonomi sebagai sumberdaya perdagangan aquarium laut. Permasalahan
pemanfaatan muncul karena telah mengancam keberadaan jenis-jenis karang hias, baik ancaman dari aspek pengelolaan maupun ancaman dari aspek pemanfaatan.
Sementara hingga saat ini belum banyak terjemahan instrumen pengelolaan perikanan karang hias yang bisa dilakukan. Deskripsi lengkap mengenai
perumusan masalah tersaji pada Gambar 2.
Garis besar code of conduct pemanfaatan karang hias berkelanjutan telah diterjemahkan oleh ICRWG Indonesian Coral Reef Working Group. Diperlukan
banyak penelitian dan pembelajaran untuk mengimplementasikan pendekatan ini
,
sehingga instrumen teknis pengelolaan mutlak diperlukan untuk menjaga reputasi indonesia di dunia internasional
.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi kerangka awal dalam menyusun panduan teknis implementasi pengelolaan
perikanan karang hias berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam
implementasi pendekatan pengelolaan perikanan karang hias berkelanjutan di perairan Teluk Lampung yang sekaligus menjadi batasan dari tesis ini adalah:
1 Bagaimana status keberadaan jenis-jenis karang hias yang dimanfaatkan dan kondisi pemanfaatan yang ada di perairan Teluk Lampung ?
2 Bagaimana kondisi sumberdaya karang hias yang ada mendukung pemanfaatan karang hias yang berkelanjutan ?
6 3 Bagaimana kondisi lembaga pengelola yang terkait langsung dengan
pengelolaan pemanfaatan karang hias dalam kaitannya dengan implementasi pemanfaatan karang hias berkelanjutan ?
Ancaman oleh pengelolaan yang tidak tepat
Mulai
Ancaman oleh pemanfaatan
Code of Conduct Perikanan Karang Hias Berkelanjutan ICRWG, 2001
PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG HIAS
Ancaman Perikanan Karang Hias
Pengambilan berdasarkan
potensi di alam Pengambilan sesuai
dengan jumlah dan ukuran yang ditetapkan
Pengambilan di luar kawasan
negatif list SDM kelembagaan
bagian penting dalam pengelolaan
· Analisis kondisi pemanfaatan · Analisis kelimpahan
· Analisis simulasi proyeksi kecenderungan populasi dan penentuan
Total Allowable Collect TAC · Analisis kondisi lembaga
pengelola · Analisis kondisi
sumberdaya manusia · Prioritas jenis yang
dimanfaatkan · TAC jenis setiap ukuran
koloni Kondisi kemampuan untuk
mengelola
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Faktor
– Faktor Pembatas Ekosistem Terumbu Karang
Karang merupakan organisme yang utama yang membentuk terumbu karang. Karang adalah salah satu contoh peninggalan purba yang masih hidup
sampai saat ini. Cara hidup mereka yang berkoloni maupun sendiri soliter mampu membentuk ruang yang kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian
untuk ribuan jenis ikan dan biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan pesisir 1. Terumbu karang bisa disejajarkan dengan
hutan hujan tropis yang ada didaratan karena keanekaragaman hayati dan kekompleksitasan ekosistem yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia
adalah salah satu negara didunia dengan kekayaan jenis karang yang melimpah, dengan 590 spesies Wilkinson, 2004.
Suatu jenis karang dari marga yang sama dapat memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda. Tempat hidup berbeda yang mempunyai kondisi fisik yang hampir
sama dapat menyebabkan bentuk pertumbuhan karang yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda. Masing - masing jenis karang mempunyai respon yang
spesifik terhadap lingkungannya Veron, 1995 menyebutkan bahwa kekayaan spesies karang sangat berhubungan dengan habitat atau keragaman relung.
Terdapat dua faktor fisik lingkungan yang dapat mengontrol keragaman spesies karang, yaitu faktor geografi posisi lintang yang bersifat global dan faktor lokal.
Lebih lanjut Veron 1995 menjelaskan bahwa faktor geografi sangat terkait dengan suhu temperature sedangkan faktor lokal terkait dengan kedalaman,
namun faktor lokal dapat juga berbeda-beda tergantung lokasi, misalnya faktor lokal di Great Barries Reef
– Australia sangat dipergaruhi oleh faktor sedimentasi.
2.1.1. Suhu
Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh suhu perairan sekitarnya, biasanya biota karang dapat tumbuh pada suhu 18
o
C-36
o
C dan pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 26
o
C-28
o
C Birkeland, 1997, dibeberapa tempat masih bisa hidup dengan toleransi suhu
36
o
C-40
o
C Nybakken, 1992. Terlalu tinggi atau rendah suhu suatu perairan
dapat menyebabkan terjadinya kehilangan zooxanthellae dari jaringan karang. Veron 1995 menyebutkan bahwa sangat sedikit Zooxanthellae yang dapat
mentoleransi suhu di bawah 11
o
C dari suhu normal suatu lokasi perairan. Zooxanthellae selain memberi warna pada biota karang juga terjadi hubungan
mutualisme yang saling mempengaruhi kedua organisme tersebut. Kehilangan zooxanthellae dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pemutihan bleaching
dan akhirnya terjadi kematian. Bleaching bisa terjadi karena kisaran perubahan suhu yang tinggi dari suhu yang umum dan terjadi pada waktu yang lama. Hal
tersebut yang menyebabkan penurunan jumlah spesies seiring dengan menurunnya atau menaiknya suhu diluar dari batas normal yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan karang Veron, 1995. Perubahan karena kenaikan suhu 2-4
o
C dapat merusak jaringan karang dan kenaikan 4-5
o
C mengakibatkan kematian. Akibat lain dari kenaikan suhu adalah terhambatnya proses enzimatis dan proses kalsifikasi karang Suharsono dan
Kiswara, 1984. Dubinsky 1990 menambahkan bahwa efek perubahan suhu pada karang dapat menyebabkan turunnya respon makan, mengurangi rata-rata
reproduksi, banyak mengeluarkan lendir, proses fotosintesis dan respirasi berkurang.
2.1.2. Kedalaman
Pertumbuhan karang erat kaitannya dengan kedalaman. Kedalaman membatasi intensitas cahaya yang sampai kedasar perairan, sehingga secara tidak
langsung membatasi perkembangan terumbu karang. Keadaan tersebut yang menyebabkan koloni karang yang hidup di perairan dalam tidak mampu
membentuk terumbu yang berukuran besar seperti di perairan dangkal Veron, 1995. Cahaya diperlukan untuk proses fotosintensis zooxanthellae, kekurangan
cahaya berarti mengurangi laju fotosintensis yang juga berpengaruh pada jumlah kalsium karbonat yang dihasilkan untuk pembentukan kerangka karang.
Pertumbuhan yang baik terjadi pada kedalaman kurang dari 25 m, pada kedalaman 50-70 m terumbu karang tidak dapat berkembang dengan baik, hal
inilah yang menyebabkan terumbu karang banyak ditemukan dipinggiran pulau- pulau, khususnya didaerah slope Nybakken, 1992.
2.1.3. Pergerakan Air Arus
Perairan yang berarus atau berombak memiliki pertumbuhan karang yang baik dibanding dengan karang yang hidup di perairan yang tidak berarus. Veron
1995 menyebutkan bahwa terumbu karang yang habitatnya berhadapan dengan ombak cenderung memiliki komunitas yang kompleks yang menempati relung
yang tinggi dan spesies yang lebih beragam, berbeda dengan perairan yang lebih tenang, terumbu karang cenderung memiliki komunitas yang homogen. Perairan
yang berarus memungkinkan karang memperoleh sumber air yang mengandung oksigen yang cukup, menghalangi pengendapan sedimen pada koloni,
memberikan sumber nutrien dan memberikan plankton yang melimpah sebagai sumber makanan bagi koloni karang Nybakken, 1992 ; Birkeland, 1997.
2.1.4. Salinitas
Salinitas suatu perairan mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yang hidup didaerah tersebut. Salinitas optimum bagi pertumbuhan karang 32-
35 ‰. Perairan bersalinitas rendah seperti di muara sungai, sangat jarang ditemukan
karang dan pada daerah bercurah hujan tinggi akan menyebabkan terumbu karang mengalami gangguan, begitu juga pada perairan yang kadar garamnya sangat
tinggi hyperhalin. Terumbu karang yang tumbuh di reef flat mampu beradaptasi dalam waktu singkat dengan salinitas rendah saat terjadi hujan, namun hujan lebat
dalam waktu yang lama dengan perubahan salinitas drastis akan merusak komunitas karang didaerah tersebut Nybakken, 1992 ; Veron,1995.
2.1.5. Sedimentasi
Sedimentasi yang bersumber dari pemukiman, pesisir pantai dan run off dari sungai sangat mempengaruhi kelangsungan hidup, kelimpahan, penyebaran dan
keanekaragaman spesies karang. Hanya sebagian kecil jenis karang yang dapat bertahan pada sedimentasi yang tinggi dengan melepaskan diri dari tutupan
sedimen dengan menggunakan tentakelnya. Beberapa alasan yang menyebabkan sedimen menghambat pertumbuhan karang adalah :
· Sedimentasi mengurangi penetrasi cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis karena adanya partikel di badan perairan.
· Pengendapan sedimen di atas koloni karang membuat karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut.
Akibat pengendapan sedimen pada koloni karang akan menyebabkan kehilangan energi, sementara untuk mendapatkan makanan dan proses
metabolisme lainnya juga membutuhkan energi sehingga sisa energi yang ada tidak lagi mendukung untuk pertumbuhan karang Veron, 1995.
2.2. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang
Konservasi terumbu karang adalah salah satu strategi pangan dunia karena dianggap sebagai komponen utama yang sangat penting menunjang berbagai
macam kebutuhan hidup manusia, seperti sumber makanan protein tinggi, sumber obat-obatan untuk kesehatan, sumber keindahan dan keunikan alam untuk
pariwisata dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Dahuri, et al. 1996 membuat klasifikasi mengenai nilai dan fungsi terumbu karang sebagai berikut:
1 Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan timbal balik antara biota laut dengan faktor abiotik
2 Nilai ekonomi, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yag mempunyai nilai ekonomi tinggi
3 Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah dikedalaman laut yang dapat dimanfaatkan untuk wisata bahari
4 Nilai biologis, terumbu karang sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan
5 Nilai edukasi, terumbu karang sebagai objek penelitian dan pendidikan Mc Allister et al. 2004 secara spesifik menyebutkan beberapa fungsi ekosistem
terumbu karang sebagai berikut : 1 Sebagai habitat bagi sumberdaya ikan dan biota terumbu karang lainnya
tempat memijah, bertelur, mengasuh anak, mencari makanan dan berlindung 2 Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budidaya perikanan
3 Sebagai sumber berbagai makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna bagi dunia farmasi dan kedokteran
Sebagai pelindung pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat terhindar dari degradasi dan abrasi
2.3. Nilai Ekonomi Karang Hias
Karang hias yang diekspor terutama diperuntukan untuk dua tujuan, yaitu 1 Pengadaan hiasan akuarium, dan 2 Pengadaan perhiasan dan ukiran. Sementara
untuk tujuan lainnya seperti sebagai bahan baku obat-obatan tradisional, operasi pencangkokan tulang manusia dan bermacam-macam tujuan pengobatan lainnya,
belum banyak dilakukan. Karang untuk perhiasan dan souvenir dikumpulkan pada waktu hidup,
terutama dari perairan dangkal dengan cara snorkling dan menyelam. Pengambilan dilakukan menggunakan palu, pahat dan batangan besi, kemudian
spesimen tersebut diputihkan, dibersihkan lalu dikeringkan dan beberapa mungkin mati sebelum diekspor. Karang ini dijual utuh sebagaimana karang hias yang
sebenarnya atau dibuat menjadi ukiran, perhiasan, tatahan untuk furnitur dan bingkai photo atau bentuk-bentuk lainnya. Kadangkala sebagian kecil taksa
disiapkan untuk pasar-pasar barang antik. Taksa-taksa tersebut termasuk scleractinians bercabang seperti Acropora sp, Pocillipora sp, dan Stylophora sp,
scleractinians yang soliter berdiri sendiri yaitu Fungia sp dan dua karang octocoralia Heliopora sp dan Tubipora sp.
Karang hias yang diperdagangkan sebagai spesimen hidup terutama untuk hiasan akuarium umumnya diambil dari perairan yang cukup dalam. Spesimen
hidup tersebut berasal dari beragam taksa yang terdiri dari berbagai bentuk pertumbuhan, seperti bercabang, masif, submasif, lempengan dan karang yang
soliter berdiri sendiri. Bruckner 2000 menyebutkan bahwa lima taksa yang paling umum diperdagangkan secara hidup adalah Euphyllia sp, Goniopora sp,
Trachyphyllia sp, Nemenzophyllia sp dan Acropora sp. Koloni yang diperdagangkan memiliki kisaran ukuran tertentu yaitu 10 cm -
≤ 25 cm, tetapi tergantung dari taksa yang dimaksud. Umur koloni yang dimanfaatkan juga
bervariasi dari umur 6 bulan hingga lima tahun. Karang hias sebagai komoditas eksport diawali dari kegiatan pengumpulan
yang dilakukan oleh nelayan karang hias. Alur pemanfaatan dari nelayan ke
importir mengikuti diagram seperti pada Gambar 3.
Nelayan Karang Hias
Pengepul Middlemen
Pengusaha eksportir
IMPORTIR Hobbyist luar
negeri
Hobbyist luar negeri
Hobbyist luar negeri
Hobbyist dalam negeri
Hobbyist dalam negeri
Gambar 3. Jalur Perdagangan Karang Hias Nelayan melakukan pengumpulan dengan menyelam bebas hookah atau
menggunakan persediaan udara permukaan memakai kompressor, sebagian kecil jenis tertentu dapat dikumpulkan di terumbu karang yang datar dengan cara
snorkling. Nelayan sering menjelajahi daerah yang luas dari kawasan terumbu karang untuk mendapatkan jenis yang diinginkan, pengambilan biasanya selektif
sesuai dengan kriteria pemesanan warna dan ukuran koloni. Koloni karang ini harus segera dipindahkan ke fasilitas penampungan farm. Nelayan umumnya
memiliki farm dilaut yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka, sedangkan pengepul umumnya memiliki farm yang dibangun didarat. Pada beberapa daerah
di Indonesia, nelayan yang mampu membangun komunikasi langsung dengan ekspotir dapat saja menjual langsung karang-karang hias yang telah dikumpulkan
ke eksportir tersebut, pada salah satu kelompok nelayan di Kabupaten Pesawaran yang menjual langsung karang-karangnya ke eksportir yang ada di Jakarta.
Nelayan umumnya konsisten menjual karang hias kepada satu pengepul atau eksportir, sedangkan pengepul kebiasaannya menjalin hubungan dagang dan
menjual karang hias kepada beberapa eksportir. Menurut Green and Shirly 1999 perusahaan pengimpor karang hias
melakukan perdagangan dengan pihak eksportir menggunakan sistem free – on –
board FOB, dimana harga yang digunakan dalam sistem FOB adalah nilai jual satuan dari spesimen karang yang dibayar menggunakan dollar.