Tujuan penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Edible coating

Dimana senyawa yang paling banyak terkandung adalah ar-Turmerone, turmerone, dan curlone. Kombinasi antara kitosan dan esensial oil ini diharapkan dapat bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan mikroba dan sekaligus memberikan karakteristik fisik yang tetap baik pada produk tahu. Pembentukan karakteristik fisik tahu terutama berhubungan dengan sifat dari kitosan yang dapat membentuk gel. Ini juga didasarkan pada penelitian Chang et al. 2002 yang membuktikan bahwa kitosan memberikan pengaruh terhadap pembentukan gel pada tahu dimana kekuatan gel meningkat dan memperpanjang masa simpannya pada tingkat derajat deasetilasi tertentu. Kemampuan kitosan dalam membentuk film juga telah banyak diteliti. Kitosan sebagai film biodegradable yang digunakan untuk mengemas mangga yang disimpan dengan teknik modifikasi atmosfer dapat memperpanjang masa simpan hingga 9 hari dibanding tanpa menggunakan kitosan Srinivasa et al. 2002. Dalam penelitian Dong et al. 2003 melaporkan bahwa penggunaan kitosan sebagai peng-coating pada buah leci kupas dapat meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa simpan dengan menekan kehilangan berat dan penurunan kualitas rasa. Penggunaan kitosan untuk mengemas bahan pangan tersebut merupakan suatu inovasi dengan menggunakan konsep kemasan aktif biodegradabel. Dimana kemasan yang dikembangkan ini memiliki kemampuan untuk mengurangi ataupun menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan makanan. Durango et al. 2005 mengatakan bahwa edible film dengan berbahan dasar kitosan yang dicampurkan bahan lain Dioscorea alata mampu menghambat pertumbuhan mikroba Salmonella enteridis. Oleh karena itu, selain penggunaan kitosan sebagai bahan campuran koagulan produk tahu maka akan dilakukan pula pengujian penggunaan kitosan yang diperkaya dengan esensial oil sebagai bahan edible coating.

1.2 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daya pengawet kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit dan memperoleh metode aplikasi terbaik untuk penggunaan kitosan yang ditambahkan Curcuma longa oil sebagai bahan pengawet pada produk tahu dari dua metode yaitu sebagai koagulan dan edible coating.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai hal berikut : 1. Cara meningkatkan daya antimikroba dari kitosan komersil. 2. Salah satu jenis pengawet alami serta metode aplikasinya terbaik pada produk tahu.

1.4 Hipotesis

Kitosan yang ditambahkan esensial oil kunyit dapat meningkatkan umur simpan dan memperbaiki sifat gel tahu, dan diperoleh salah satu metode terbaik untuk aplikasinya. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

Kitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat di alam. Kitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Kitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul- molekul glukosa sederhana yang identik. Ornum 1992 menjelaskan bahwa kitin berupa polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D- glukosamin dalam ikatan β1-4 atau 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul C 8 H 13 NO 5 n . Kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam- asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida Kurita 1998. Proses produksi kitosan dari sebelum terbentuknya kitin meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku. Janesh 2003 mengelompokkan kitosan berdasarkan BM dan kelarutannya sebagai berikut : - kitosan larut asam dengan BM 800.000 sampai 1.000.000 Dalton - kitosan mikrokristalin larut air dengan BM sekitar 150.000 Dalton - kitosan nanopartikel dengan BM 23.000 Dalton sampai 70.000 Dalton, dimana dapat berfungsi sebagai imunomodulator. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber Hirano et al. 1999; Ghanem dan Skonberg, 2002 karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah luas penggunaannya di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta perlakuan pada air limbah. Di industri makanan kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Aplikasi kitosan dan turunannya dalam bidang pangan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan Aplikasi Contoh Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian. Edible film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah. Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna. Sifat nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grastitis radang lambung, dan sebagai bahan makanan bayi. Pengolah limbah makanan padat Flokulan dan pemecah agar. Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernihan. Sumber: Shahidi et al. 1999.

2.1.1 Ekstraksi Kitosan

Deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH Kolodziesjska et al. 1998; No et al. 2000; Chang et al. 1997. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan Ornum 1992. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya misalnya sebagai bahan pengawet, penstabil warna, sebagai flokulan, dan membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air, sebagai bahan aditif untuk proses agrokimia dan pengawet benih Shahidi et al. 1999. Gambar 1 Struktur kitin [Poly 1, 4-2-acetamido-2-deoxy-ß-D-glucosamine] Gambar 2 struktur kitosan [Poly 1, 4-2-amino-2-deoxy-ß-D-glucosamine] Pada umumnya derajat deasetilasi yang diharapkan dalam standar mutu kitosan adalah 70-100. Standar mutu kitosan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Standar mutu kitosan Karakteristik Standar Penampakan Ukuran Kadar air Kadar protein Kadar abu Derajat deasetilasi Viskositas Ketidaklarutan Kadar logam berat: As Kadar logam berat: Pb pH Bau Bubuk putih atau kuning 25-200 mesh 10 0.3 0.5 70-100 50-500 cps 1 10 ppm 10 ppm 7-9 tidak berbau Sumber : Dalwoo 2002 Gambar 3 Proses ekstraksi kitosan Suptijah et al. 1992

2.1.2 Sifat fisik kimia kitosan

Dua faktor utama yang mencirikan kitosan adalah viskositas atau berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengontrolan kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan yang sangat bervariasi dalam aplikasinya diberbagai bidang. Misalnya kemampuan kitosan membentuk gel dalam N-methyl morpholine-N-oxide, akhir-akhir ini telah dimanfaatkan untuk formulasi obat. Derajat deasetilasi dapat didefinisikan sebagai rasio 2-amino-2-deoxy-D-glucopiranosa dan 2-acetamido-2-deoxy-D- glukopyranose, dan menunjukkan sejauh mana proses deasetilasi berjalan. Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan, sedangkan derajat deasetilasi sendiri juga berkaitan dengan kemampuan kitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik dengan molekul lain Wibowo 2006. Kitosan dapat dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid. Kitosan larut asam dan larut air mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH Kumar 2000. Menurut Wibowo 2006 kelarutan kitosan dipengaruhi oleh tingkat ionisasinya, dan dalam bentuk terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat karena adanya jumlah gugus yang bermuatan. Pada pH asam, kitosan memiliki gugus amin bebas -NH 2 menjadi bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik NH 3 + . Dari sini dapat diketahui bahwa sifat larutan kitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di atas yaitu apakah dalam bentuk amin bebas –NH 2 atau amina bermuatan positif – NH 3 + . Sifat kitosan larut asam dapat dilihat pada tabel 3. Dalam penelitian Hawab 2006 menjelaskan bahwa jika kitosan dilarutkan dalam asam maka secara proporsi atom hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka akan terbentuklah polikationat, dan kitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginat molekul pembawa bermuatan negatif, larutan-larutan bervalensi dua sulfat, fosfat atau polianion dari ion mineral atau protein dapat membentuk senyawa kompleks dengan kitosan. Tabel 3 Sifat larutan kitosan larut asam Kondisi No. Amin bebas -NH 2 Amin bermuatan positif NH 3 + 1. 2. 3. 4. 5. Larut dalam larutan asam Tidak larut pada pH 6.5 Tidak larut dalam H 2 SO 4 Larut dalam jumlah terbatas dalam H 3 PO 4 Tidak larut pada hampir seluruh pelarut organik Larut pada pH 6.5 Menjadi larutan yang kental viscous Larutan shear thinning Membentuk gel dengan polianion Tetap menjadi larut dalam campuran alkohol dan air Sumber: Sandford di dalam Skjak-Braek et al. 1989, Rinaudo et al. di dalam Skjak-Braek et al. 1989. Menurut Sandford 1989 bahwa suasana asam, gugus amin bebas NH 2 dari kitosan akan terprotonasi membentuk gugus amino kationik NH 3 . Kation dalam kitosan akan bereaksi dengan polimer anion membentuk kompleks elektrolit. Disamping sebagai bahan pengkoagulan, kitosan juga dapat berfungsi sebagai pengkelat logam-logam berat yang beracun seperti Fe, Hg, Cd, Pb, Ni, Mn dan lainnya. Sebagai antibakteri, kitosan memiliki mekanisme penghambatan dimana kitosan berikatan dengan protein membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan berikatan pula dengan pospholipid membraner, terutama fosfatidil kolin PC sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran IM menjadi meningkat. Dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel. Pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim β galaktosidase dapat terlepas, hal ini berarti sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya atau dengan kata lain mengalami lisis. Sehubungan dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel regenerasi, hal ini bahkan dapat menyebabkan kematian bagi sel Simpson 1997.

2.2 Kunyit Curcuma longa

Curcuma longa Auct. dikenal dengan nama daerah Kunyit Melayu, Kunyet Aceh, Kuning Gayo, Hunik Batak, Undre Nias, Kakunye Enggano, Kunyir Lampung, Kunyir, Koneng Sunda, Kunir, Kunir bentis, Temu kuning Jawa. Nama lain sinonim adalah Curcuma domestica Rumph. Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan perenial yang tersebar di seluruh daerah tropis. Diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m dpl, ada juga yang mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab Kurkum dan Yunani Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia Jawa, dan Filipina Anonim 1994. Tingginya dapat mencapai 0,75 sampai 1 meter, tumbuh membentuk rumpun. Batang semu, tegak, silindris, warnanya hijau kekuningan. Kelopak bunga silindris, bercangap tiga, tipis, berwarna ungu. Pangkal daun pelindung berwarna putih keunguan. Akar serabut,. berwarna coklat muda. Rimpang bercabang banyak, dari luar tampak berwarna jingga kecoklatan, di bagian dalamnya berwarna jingga terang atau kuning, rasanya agak getir dengan bau yang khas. Tumbuhan ini tumbuh di banyak tempat, di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di ladang dan di hutan-hutan terutama di hutan jati dan sering juga ditanam di pekarangan-pekarangan sebagai tanaman untuk bumbu dan untuk keperluan obat-obatan. Sekarang sudah banyak ditanam secara monokultur, sebab kebutuhan akan kunyit semakin meningkat, bahkan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga untuk keperluan ekspor. Di daerah Jawa, kunyit banyak digunakan sebagai ramuan jamu karena berkhasiat menyejukkan, membersihkan, mengeringkan, menghilangkan gatal, dan menyembuhkan kesemutan. Manfaat utama tanaman kunyit, yaitu sebagai bahan obat tradisional, bahan baku industri jamu dan kosmetik, bahan bumbu masak, peternakan. Disamping itu rimpang tanaman kunyit itu juga bermanfaat sebagai anti inflamasi, antioksidan, antimikroba, pencegah kanker, anti tumor, dan menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah Anonim 1994. Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Kandungan Zat, kurkumin : R1 = R2 = OCH3 10 , Demetoksikurkumin : R1 = OCH3, R2 = H 1-5 Bisdemetoksikurkumin: R1 = R2 = H, sisanya minyak atsiri atau volatil oil Keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60, Zingiberen 25, felandren, sabinen, borneol dan sineil, lemak 1-3, karbohidrat 3, protein 30, pati 8, vitamin C 45-55, dan garam-garam Mineral Zat besi, fosfor, dan kalsium. Aktivitas antibakteri dari kunyit oil dari fraksinya yang dilarutkan ethyl asetat 5 dan hexane dengan metode pour plate dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, Bacillus coagulans, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, and Pseudomonas aeruginosa. gunakan ethyl asetat 5. Dimana senyawa yang paling banyak terkandung adalah ar-Turmerone, turmerone, dan curlone Negi et al. 1999. Tabel 4 Komposisi gizi kunyit dalam 100 gram Komposisi Jumlah air g energi makanan Kcal protein g lemak karbohidrat g abu g kalsium g pospor mg sodium mg potasium mg besi g thiamin mg riboflavin mg niacin mg asam askorbat mg 6.0 390 8.5 8.9 69.9 6.8 0.2 260 30 2000 47.5 0.09 0.19 4.8 50 Sumber : Peter 1999

2.2.1 Ekstraksi Curcuma longa oil

Pelarut minyak yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline karbon disulfide, karbon tetra klorida, benzene, dan n-heksana Winarni 1973. Suatu zat dapat larut dalam pelarut jika mempunyai nilai polaritas yang sama, yaitu zat polar larut dalam pelarut bersifat polar dan tidak larut dalam pelarut nonpolar Ketaren 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan ekstraksi adalah perlakuan pendahuluan seperti penghancuran, pengeringan dan penyerpihan, lama ekstraksi, jumlah pelarut, suhu pelarut, dan jenis pelarut yang digunakan Benardini 1983. Jumlah minyak yang dapat diekstraksi tergantung pada suhu, kandungan air, teknik pengecilan ukuran dan sebagainya. Swern 1982 menjelaskan bahwa untuk mencapai efisiensi ekstraksi, bahan perlu dirajang lebih dahulu agar luas permukaan bahan semakin besar dan minyak mudah terekstraksi. Menurut Sasikumar 2001 bahwa kunyit mengandung 3-5 minyak volatil jika diekstrak dengan cara distilasi uap dari bubuk kunyit selama 8 -10 jam. Minyak kunyit berwarna kuning pucat. Minyak tersebut mengandung 60 turmeron, 25 zingiberene dan sejumlah kecil d- α-phellandrene, d-sabinene, cineole dan forneol. Ekstraksi curcuma longa oil dapat dilakukan dengan distilasi uap. Seperti isolasi esensial oil pada curcuma zedoaria yang dilakukan Mau et al. 2003 dengan menggunakan distilasi uap. Sehingga diperoleh 36 senyawa 17 terpen, 13 alkohol, dan 6 keton yang juga diketahui memiliki aktivitas antioksidan.

2.3 Produk Tahu

Tahu adalah suatu produk berbahan dasar kedelai yang diekstrak dengan air dan dipresipitasi garam atau asam dalam bentuk gumpalan. Dalam basis basah, tahu mengandung 7.8 protein, 4.2 lemak, 2 mgg calcium. Pada basis kering, mengandung 50 protein dan 27 lemak, komponen sisanya adalah karbohidrat dan mineral Wang et al. 1983. Pengertian tahu menurut SNI 1998 adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai dengan cara pengendapan proteinnya, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan. Pengertian lainnya menurut Shurtleff dan Aoyagi 1975, tahu merupakan gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal whey dengan cara pengepresan. Sedangkan menurut Standar Industri Indonesia SII dengan nomor 0270-80 menetapkan bahwa yang dimaksud dengan tahu adalah suatu jenis makanan padat yang terbuat dari kedelai dan dicetak dengan proses pengendapan protein pada titik isolistriknya, dengan atau tanpa penambahan zat lain yang diizinkan. Tahu juga didefinisikan sebagai gumpalan protein dari susu kedelai sesudah dipisahkan dari air tahu whey dengan cara pengepresan Hadiah 1987. Tahu memiliki kalori yang lebih rendah karena rasio proteinlemak lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas lactose, dan lemak jenuh lebih rendah. Karena rasanya yang lembut dan teksturnya yang poros menyerap, tahu dapat disiapkan dengan hampir semua makanan. Tahu juga mempunyai daya cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna sekitar 95, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan Shurtleff dan Aoyagi 1975. Tabel 5 Komposisi asam amino tahu dibandingkan dengan komposisi asam amino yang dianjurkan FAOWHO Jenis asam amino Anjuran FAOWHO mgg Komposisi asam amino tahu mgg Metionin dan sistin Threonin Valin Lisin Leusin Isoleusin Fenilalanin dan Tirosin Triptofan 220 250 310 340 440 250 380 60 156 178 264 333 448 261 490 96 Total 2250 2226 Metode pembuatan tahu ditemukan oleh Liu An pada zaman dinasti Han di Cina, kira-kita 164 tahun sebelum masehi. Sekitar 900 tahun kemudian, tahu menyebar ke Jepang dan kemudian ke negara-negara timur jauh. Sejak saat itu, tahu menjadi cara populer untuk menyediakan kedelai sebagai bahan makanan di timur jauh. Komposisi kimia tahu dapat dilihat pada tabel 6. Syarat mutu tahu berdasarkan Standar Industri Indonesia SII No. 0270-1990 dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 6 Komposisi gizi tahu dalam g100 g Komposisi Jumlah Energi kcal Kadar Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Serat 72 86.8 6.6 4.2 1.6 0.8 0.4 Sumber : Anonim 2000 Tabel 7 Syarat mutu tahu, SII 0270-1990 Jenis uji Persyaratan Keadaan: - Bau - Rasa - Warna - Penampakan Abu Protein N x 6.25 Lemak Serat kasar Bahan tambahan makanan Cemaran mikroba : - Angka lempeng total - E. Coli - Salmonella Normal Normal Putih normal atau kuning normal Normal tidak berlendir dan tidak berjamur Maksimal 1.0 bb Minimal 9.0 bb Minimal 0.5 bb Maksimal 0.1 bb Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722MenkesPerIX1988 Maksimal 1.0 x 10 6 kolonig Negatif25 g APMg Negatif 25 g

2.3.1 Bahan utama pembuatan tahu - Kedelai

Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan bagian asia seperti kecap, tahu dan tempe. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau dan Glycine soja kedelai hitam, berbiji hitam. G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910. Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia Anonim 2006 Di antara jenis sereal dan legum, kedelai memiliki kandungan protein yang paling tinggi. Kandungan proteinnya sekitar 40 pada basis basah, sedangkan legum lain hanya sekitar 20-30, sedangkan sereal kandungan proteinnya sekitar 8-15. Kedelai juga mengandung 20 minyak, kedua tertinggi dari semua legum. Komponen yang terbanyak ketiga adalah karbohidrat kira-kira 35. Komponen lainnya yang terdapat dalam kedelai adalah phospolipid, vitamin, mineral dan fitokimia sebagai isoflavon-isoflavon. Asam lemak yang paling banyak terdapat pada kedelai adalah asam linoleat yaitu sekitar 53. Kemudian diikuti asam oleat 23, palmitat 11, linolenic 8 dan asam stearat 4. Protein kedelai mengandung semua asam amino esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, sistein, phenilalanin, tirosin, threonin, triptophan, valin, dan histidin. Semua asam amino ini hadir dalam jumlah yang cocok dengan yang dibutuhkan manusia. Jumlah asam amino yang terbatas sedikit jumlahnya adalah methionin dan sistein. - Asam asetat Asam asetat dikenal juga dengan nama ethanoic acid. Asam asetat adalah senyawa kimia organik yang paling dikenal memberikan rasa asam dan bau tajam. Tidak berwarna. Titik bekunya 16.7 o C 62 o F. Asam asetat bersifat korosif, dan uapnya menyebabkan iritasi pada mata, kering dan terbakar pada hidung, sakit pada tenggorokan, sesak pada paru-paru, walaupun ini termasuk asam lemah yang mempunyai kemampuan untuk terdisosiasi dalam larutan cair. Asam asetat adalah satu dari asam karboksilat yang paling sederhana paling sederhana kedua setelah asam format. Asam asetat merupakan suatu pereaksi kimia yang penting dan industri kimia menggunakannya untuk memproduksi polyethylene terephthalate yang umumnya digunakan dalam botol minuman ringan. Selain itu juga untuk memproduksi selulosa asetat yang digunakan terutama untuk film fotografi. Polivinil asetat untuk lem kayu yang sama baiknya dengan serat sintetik. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Sifat kimia dari asam asetat dalam keasaman yaitu atom Hidrogen H dalam kelompok karboksil -COOH dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat melepaskan ion H + proton, inilah yang memberikan sifat asamnya. Asam asetat termasuk asam lemah dengan nilai pK a 4.8. Dasar konjugasinya adalah asetat CH 3 COO - . Gambar 4 Equilibrium deprotonasi asam asetat dalam air Dalam pembuatan tahu, asam asetat berfungsi sebagai koagulan. Chang et al. 2002 mengatakan bahwa asam asetat yang dicampurkan dengan kitosan akan menghasilkan tahu yang memiliki umur simpan yang lebih panjang dibandingkan jika dicampurkan bahan koagulan lainnya seperti Gypsum dan GDL glucono- δ-lactone.

2.3.2 Proses Pembuatan tahu

Terdapat beberapa cara yang dalam pembuatan tahu, dan semuanya berasal dari metode Cina tradisional yang telah digunakan sekitar 2000 tahun lalu. Pada dasarnya, prosedurnya dimulai dengan penyiapan susu kedelai soymilk lihat gambar 5. Setelah susu dipanaskan kira-kira 10 menit, kemudian dipindahkan pada wadah lainnya, dan dibiarkan dingin. Pada saat yang sama, suspensi koagulan disiapkan dengan mencampurkan bubuk koagulan dengan air panas. Secara tradisional, bubuk koagulan yang umum digunakan adalah gypsum dan nigari. Ketika susu kedelai dingin kira-kira 78 o C, larutan koagulan ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk. Ketika terbentuk sedikit gumpalan biasanya kurang dari 30 detik, wadah ditutup, dan koagulan didiamkan selama 30 menit. Gumpalan kedelai kemudian dipindahkan ke wadah berbentuk kotak dangkal yang dilapisi kain ditiap sudutnya. Keempat ujung kain ditarik dan dilipat ke bagian atas. Selanjutnya wadah ditutup dengan menggunakan papan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran dari wadah tersebut dan bagian atasnya ditempatkan batu pemberat. Kira-kira 30 menit, whey akan tertekan keluar dan tahu menjadi keras. Tahu yang dingin kemudian dipotong dan siap untuk disajikan atau diimmersi dalam air dingin untuk penyimpanan waktu yang lama Liu 1999. Saat ini, metode tradisional masih popular digunakan pada tingkat rumah tangga atau pedesaan. Banyak metode baru yang dikreasikan untuk membuat tahu berbagai jenis tahu tetapi masih berdasarkan prinsip yang sama. Gambar 5 Metode Cina Tradisional Pembuatan susu kedelai dan tahu Liu, 1999 Berbagai macam jenis tahu antara lain tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu cina, tahu keras, dan tahu kori Sarwono dan Saragih 2004. Dari berbagai jenis tahu tersebut dibedakan oleh rasio air:biji kedelai, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan, dan jumlah whey yang dikeluarkan. Tiga tahap paling penting dalam pembuatan tahu adalah cara penyiapan susu kedelai, cara protein digumpalkan, dan cara tahu dipres dan dikemas. Secara umum, faktor yang mempengaruhi penyiapan susu kedelai adalah varietas kedelai, tingkat panas yang diaplikasikan baik pada biji kedelai, bubur dan susu kedelai.

2.3.3 Kerusakan tahu

Tahu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga digolongkan ke dalam High Perishable Food Shurtleff dan Aoyagi 1979. Menurut Dotson et al. 1977 bahwa tahu yang disimpan pada suhu rendah 15 o C hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari. Tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air hanya bertahan sekitar 10 jam. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya Prastawa et al. 1980. Dotson et al. 1977 mengatakan bahwa kerusakan ditandai dengan rasa asam dan diasosiasi dengan pertumbuhan bakteri Kerusakan tahu mempunyai kaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff 1978 bahwa mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan yang berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Shurtleff dan Aoyagi 1979 menyatakan penyebab utama kerusakan tahu adalah bakteri. Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi tidak dapat dihindari, meskipun proses pembuatannya telah dilakukan dengan sanitasi yang baik. Jumlah koloni bakteri sering mencapai 100.000 per gram Shurtleff dan Aoyagi 1979. Sehubungan dengan aktivitas bakteri, kerusakan tahu dapat tergantung dari beberapa faktor antara lain: 1 adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan termodurik, 2 adanya kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap dikonsumsi, 3 suhu penyimpanan, dan 4 adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tertentu Shurtleff dan Aoyagi 1979. Tujuh bakteri diisolasi dari tahu rusak dan yang diidentifikasi sebagai Bacillus sp. S08, B. megaterium S10, B. cereus S17, S27, S28, S32, dan Enterobacter sakazakii S35 No et al, 2002. Sedangkan Shin et al. 1992 menemukan Acinetobacter calcoaceticus var. anitrat dan Klebsiella pneumoniae subgrup pneumoniae, yang menjadi bakteri mayoritas yang muncul. Joo et al. 1998 melaporkan bahwa Acinetobacter calcoaceticus, Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae, dan Xenorhabdus luminescens yang mayoritas menyebabkan kerusakan tahu. Dotson et al. 1977 mengembangkan kriteria untuk pengukuran seperti pembusukan dan dianggap bahwa ini disebabkan oleh bakteri asam laktat. Fouad dan Hegeman 1993 bahwa tahu dipengaruhi terutama oleh bakteri asam laktat, Serratia liquefaciens, dan spesies Pseudomonas.

2.3.4 Proses pembentukan gel tahu

Tahap pertama dalam pembentukan gel adalah denaturasi protein, dan tahap kedua adalah proses agregasi. Ada dua perlakuan sebagai penyebab proses penggumpalan protein susu kedelai yaitu pemanasan yang mendenaturasi protein dan penambahan bahan penggumpal untuk membantu atau mempercepat proses penggumpalan Shurtleff dan Aoyagi 1979. Denaturasi protein adalah perubahan protein yang disebabkan oleh panas. Selain itu, denaturasi dapat disebabkan oleh pH ekstrim misalnya pada beberapa pelarut organik seperti alkohol, atau aseton, oleh zat terlarut tertentu seperti urea, deterjen, atau hanya dengan pengguncangan intensif larutan protein Lehninger 1993. Perubahan konformasi struktur protein dapat disebabkan oleh panas, garam, perubahan pH, pelarut organik, dan agen denaturasi seperti garam guanidium. Ada jenis perubahan yang dapat terjadi, 1 interaksi rantai-rantai diantara grup rantai samping dalam polipeptida hasil dalam asosiasi, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi. 2 interaksi rantai pelarut diantara molekul pelarut dan grup rantai samping hasil dari kelarutan, disosiasi, pembengkakan, dan denaturasi Wong 1989. Protein kedelai terdiri dari campuran komponen protein yang mempunyai bobot molekul antara 8.000 sampai 600.000. Melalui ultrasentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S, dan 15S atas dasar laju pengendapannya Wolf dan Cowan 1971. Protein globulin adalah komponen utama dari protein kedelai yang jumlahnya hampir 50 persen dari total protein kedelai. Protein globulin ini terdiri dari fraksi 7S dan 11S yang jumlahnya masing 18.5 dan 31 dari total protein kedelai, dengan bobot molekul masing-masing 180.000 – 210.000 dan 600.000 Wolf dan Cowan 1971. Pemanasan larutan protein kedelai dalam air menyebabkan pembentukan agregat dari fraksi 11S, 15S dan sebagian 7S Watanabe dan Nakayama 1962. Bila larutan 11S dipanaskan di atas 70 o C, larutan menjadi keruh dan protein mengendap pada pemanasan 90 o C Wolf dan Cowan 1971. Proses pengendapan ini terjadi pada saat titik isoelektrik yaitu muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Pada tahu, faktor yang mempengaruhi penggumpalan adalah suhu pada saat koagulan ditambahkan, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan dan lama penggumpalan. - Suhu Koagulasi Suhu susu kedelai pada saat penambahan koagulan mempengaruhi kecepatan koagulasi. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi aktif yang tinggi, yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Hasilnya tahu cenderung memiliki water holding capacity WHC yang rendah, tekstur yang kasar dan keras, hasil curah yang rendah. Ketika suhu koagulasi rendah, pengaruhnya berlawanan. Jika suhu terlalu rendah dibawah 60 o C koagulasi menjadi tidak sempurna dan tahu mengandung terlalu banyak air dan terlalu lembut untuk mempertahankan bentuknya. Umumnya temperatur yang digunakan adalah 70-80 o C Beddows dan Wong 1987. - Waktu Koagulasi Setelah penambahan koagulan, campuran susu kedelai-koagulan didiamkan. Jika terlalu cepat maka koagulasi tidak akan sempurna. Sedangkan jika terlalu lama, suhu akan menurun yang selanjutnya akan sulit melakukan pengepresan. Umumnya untuk tahu lembut Sutra membutuhkan 30 menit, tahu reguler 20-25 menit dan untuk tahu keras 10-15 menit. Pengukuran kekuatan gel dapat diklasifikasikan atas pengukuran kekerasan gel dan pengukuran daya tahan pecah gel. Kekerasan gel menunjukkan besarnya beban untuk melakukan deformasi gel sebelum terjadi pemecahan gel. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastisitas gel yang menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi dimana gel menjadi sobek. Kalau dikaitkan dengan nilai pH, ternyata naiknya pH akan meningkatkan kekerasan dan daya tahan pecah gel, namun kenaikan yang semakin besar akan menurunkan kekerasan dan daya tahan pecah gel Matz 1959.

2.5 Edible coating

Edible coating atau film merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Bahan ini digunakan di atas atau di antara produk dengan membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap dan memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis Gennadious dan Weller 1990. Komponen utama penyusun edible coating dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu hidrokoloid, lipid dan komposit campuran. Yang termasuk hidrokoloid adalah protein gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum dan karbohidrat pati, alginat, pektin, gum arab dan modifikasi karbohidrat lainnya. Sedangkan lipid yang biasa digunakan adalah lilin, beeswax, gliserol dan asam lemak Donhowe dan Fennema 1994. Edible coating yang berasal dari bahan kitosan mampu meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur simpan pada buah lecy Dong et al, 2004. Chien et al. 2005 melaporkan bahwa coating kitosan pada irisan buah mangga dapat meningkatkan kualitas dan mencegah keretakan permukaan. Zivanovic et al. 2003 mengatakan bahwa coating kitosan-esensial oil memiliki potensi yang baik untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan produk segar. Beberapa teknik aplikasi edible coating menurut Krochta 1992, yaitu: 1 pencelupan dipping Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang kurang nyata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. 2 penyemprotan spraying Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang memiliki dua sisi permukaan, misalnya pizza. 3 pembungkusan casting Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non edible film. 4 pengolesan brushing Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk. Edible film atau coating telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi kehilangan akan air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk. Sehingga ini menjadi salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat ditingkatkan lagi dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah Pena dan Torres 1991; Han 2000. 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat