Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi

(1)

COATING BAKSO SAPI

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang ditertibkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Hana Nugraha Saptarini Sri Hadi NRP. F251050211


(3)

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI. The Application of Chitosan Enriched with Garlic Extract as Natural Preservative Agent and Edible Coating of Beef Meatball. Supervised by RIZAL SYARIEF, NUGRAHA EDHI SUYATMA

Chitosan is biopolymer derived by deacetylation of chitin, a major component of the shell of crustacean such crab, shrimp and crawfish. Chitosan is suitable as natural preservative and antimicrobial of edible coating. The applications of chitosan in food industries for food formulation for binding, gelling and thickening and stabilizing agent. Chitosan has the antimicrobial activity that can inhibit the growth of bacteria and fungi.

The objectives of the research were to enchance the antimicrobial capacity of chitosan by adding garlic extract and to apply it for extending the shelf life of beef meatball. Antimicrobial activities of chitosan and chitosan enriched with garlic extract were assessed by agar diffusion methods. It showed that chitosan solutions of 1% (w/v) enriched with garlic extract 2% (v/v) could inhabited Pseudomonas aureginosa and Bacillus cereus. The application chitosan enriched with garlic extract as preservative shelf life agent could extend the shelf life of meatball only for 12 hours while its application of chitosan as edible coating could extended the shelf life of meatball until 24 hours for the same condition (stored at room temperature).

This result revealed that the application of chitosan with or without garlic extract as edible coating were more effective in controlling microbiological growth in meatball than as preservative agent. The physical analysis of the final product showed that the application of chitosan as preservative agent could increase the gel strength of meatball due to its gelling properties. The microstructure of meatball surface ware observed with SEM. The micrographs showed that the surface of meatball coated with chitosan were more smooth and compact that those of meatball without coatings.


(4)

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI. Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi. Dibimbing oleh Rizal Syarief dan Nugraha Edhi Suyatma

Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Penambahan ekstrak bawang putih dalam larutan kitosan membantu meningkatkan penghambat pertumbuhan mikroba tanpa mempengaruhi komponen-komponen yang terdapat pada kitosan. Kemampuan ekstrak bawang putih dalam menghambatan pertumbuhan mikroba didukung oleh kandungan senyawa allisin yang bersifat antimikroba.

Penelitian ini bertujuan pengujian kitosan terhadap aktifitas antimikroba dengan penambahan ekstrak bawang putih, pengaruh keduanya (kitosan dengan ekstrak) yang diaplikasikan dalam adonan dan sebagai edible coating terhadap kualitas bakso, serta mengetahui mikrostruktur bakso yang terlapisi (edible coating) kitosan.

Pada penelitian ini, kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih diuji daya antimikroba pada bakteri bakteri uji (Bacillus cereus dan Pseudomonas fluorescens) dengan metode uji difusi agar. Perlakuan yang diukur adalah kitosan dengan konsentrasi kitosan 1% dan kitosan 1% dengan penambahan ekstrak bawang putih sebesar 2%, kemudian kombinasi kitosan tersebut diaplikasikan pada adonan bakso dan sebagai edible coating dengan lama penyimpanan pada rentang waktu 0, 12, 24, 36 jam. Parameter yang diukur adalah pengukuran secara kimiawi, fisik dan organoleptik.

Penambahan ekstrak bawang putih sebesar 2% pada larutan kitosan 1% mampu meningkatkan penghambatan bakteri uji (Pseudomonas aureginosa dan Bacillus cereus) dengan zona penghambatan yang lebih besar dibandingkan hanya menggunakan larutan kitosan 1% tanpa penambahan ekstrak.

Penambahan kitosan dengan ekstrak bawang putih pada adonan mempertahankan umur simpan selama 12 jam. Sedangkan bakso dengan perlakuan edible coating mencapai umur simpan selama 24 jam. Penurunan mutu selama penyimpanan pada kedua perlakuan (adonan dan edible coating) disertai dengan penurunan nilai pH, tekstur sebaliknya akan meningkatkan aw, warna, nilai

total mikroba. Berdasarkan lamanya penyimpanan dapat dilihat bahwa edible coating mampu mempertahankan umur simpan lebih lama dibandingkan dengan penambahan kitosan dalam adonan bakso.

Pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) memperlihatkan adanya dua bagian yang berbeda yaitu bagian lapisan (edible coating) kitosan dan bagian struktur bakso. Edible coating kitosan dapat digunakan sebagai alternatif untuk mempertahankan mutu produk pada suhu ruang karena sifatnya sebagai barrier pada produk khususnya pada permukaan produk yang rentan terhadap kerusakan.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

BAWANG PUTIH SEBAGAI PENGAWET DAN EDIBLE

COATING BAKSO SAPI

HANA NUGRAHA SAPTARINI SRI HADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

NRP : F 251050211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Tanggal Lulus : Tanggal Ujian : 14 Agustus 2008

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana


(8)

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan sebaik- baiknya. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini terselenggara atas bantuan berbagai pihak sehingga ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis selama penelitian, Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu membimbing dan membantu penulis dalam mengevaluasi penelitian hingga selesai. Terimakasih diucapkan kepada Ketua Program studi Ilmu Pangan (IPN) Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc atas segala bantuan, perhatian dan dukungan kepada penulis menempuh studi di Program Studi Ilmu Pangan

Papa dan Mama, Dik Dian, Adek Ira yang telah membatu memberikan doa dan semangat kepada penulis selama penelitian sampai penulisan tesis ini.

Teman seperjuangan Erni Danggi yang selalu bersama-sama dengan penulis dari penelitian sampai penyusunan tesis ini. Teman-teman di program studi Ilmu pangan angkatan 2005 (Akhyar, Feni, Chintya, Ema, Heni, Jonathan, Dian, Erismar, Fitri, Mba Anti, Mba Indah, Mba Rini, , Mba Friska, Lita dan Pak Welli), teman- teman angkatan 2006 (Yoga dan Mba Ita).

Seluruh staf dan pengajar di program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Kepada Mbak Mar, terima kasih atas bantuan dan kerjasama selama penulis menempuh studi di IPN. Seluruh staf Laboratorium ITP, khususnya Bu Rubiah, Staf Laboratorium Mikrobiologi, Mba Ari yang telah membantu penulis selama penelitian. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung telah membantu panelis dalam penelitian penulisan tesis ini.


(9)

disempurnakan menjadi lebih baik.

Bogor, Agustus 2008


(10)

pasangan Bapak Sri Hadi dan Ibu Mariyana sebagai anak pertama dari 3 bersaudara.

Lulus SMA Negeri 7 Bogor, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Indonesia pada tahun 1999 dan penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada bulan April 2004. Penulis berkesempatan bekerja pada industri pangan pada tahun 2004 sampai 2005. Penulis memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan pada tahun 2005 dan di tahun yang sama penulis memutuskan untuk melanjutkan studi Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Pangan.


(11)

(12)

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 3

1.3 Manfaat Penelitian... 3

1.4 Hipotesis... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Kitosan... 4

2.2 Karakteristik Kitosan... 5

2.3 Sifat Antimikroba Kitosan... 9

2.4 Ekstrak Bawang Putih... 10

2.5 Edible Coating... 11

2.6 Aplikasi Edible Coating pada Produk Pangan... 12

2.7 Aplikasi pada Bakso... 14

2.7.1 Daging... 16

2.7.2 Bahan Pengisi dan Pengikat... 17

2.7.3 Garam dan MSG... 17

2.7.4 Es... 18

2.7.5 Sodium Tripolipospat... 18

III. BAHAN DAN METODE... 19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 19

3.2 Bahan dan Alat... 19

3.3 Metode Penelitian... 19

3.3.1 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih dengan Pelarut Etil Asetat... 19

3.3.2 Pembuatan Larutan Kitosan dengan Penambahan Ekstrak... 20

3.3.3 Karakterisasi Kitosan (Derajat Deasetilasi)... 20

3.3.4 Pengujian Antimikroba Kitosan dengan Ekstrak Bawang Putih... 20

3.3.4.1 Persiapan Isolat Bakteri Uji... 20

3.3.4.2 Uji Antibakteri Metode Difusi Sumur... 21

3.3.5 Pengamatan Mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)... 21

3.3.6 Aplikasi Kitosan pada Bakso... 21

3.3.6.1 Pembuatan Bakso... 21

3.3.6.2 Edible Coating Kitosan dan Ekstrak pada Bakso... 21

3.3.6.3 Penyimpanan Produk... 22

3.3.7 Pengujian pada Bakso... 26

3.3.7.1 Pengukuran pH... 26


(13)

3.3.7.6 Pengukuran Aktivitas Air... 28

3.3.7.7 Uji Warna... 29

3.3.7.8 Analisa Total Mikroba... 29

3.3.7.9 Uji Organoleptik... 29

3.4 Rancangan Percobaan... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1 Karakteristik Kitosan... 32

4.2 Pengukuran Derajat Deasetilasi dengan FTIR... 33

4.3 Penelitian Utama... 34

4.3.1 Uji Antimikroba Asam Laktat dan Ekstrak Bawang Putih.. 34

4.3.2 Uji Antimikroba Kitosan dan Kombinasi dengan Ekstrak... 36

4.4 Aplikasi Kitosan dengan Ekstrak pada Bakso... 40

4.4.1 Aplikasi Kitosan pada Adonan Bakso... 40

4.4.1.1 Aktivitas Air... 41

4.4.1.2 Derajat Keasaman... 43

4.4.1.3 Nilai Kecerahan (L)... 44

4.4.1.4 Nilai Kekerasan... 46

4.4.1.5 Nilai Kekenyalan... 47

4.4.1.6 Nilai Daya Iris... 48

4.4.1.7 Nilai Total Plate Count... 49

4.4.1.8 Organoleptik Atribut Warna... 51

4.4.1.9 Organoleptik Atribut Kekenyalan... 52

4.4.1.10 Organoleptik Penerimaan Umum... 54

4.4.2 Aplikasi Edible Coating Bakso... 54

4.4.2.1 Aktivitas Air... 57

4.4.2.2 Derajat Keasaman... 59

4.4.2.3 Nilai Kecerahan (L)... 60

4.4.2.4 Nilai Kekerasan... 61

4.4.2.5 Nilai Kekenyalan... 62

4.4.2.6 Nilai Daya Iris... 63

4.4.2.7 Nilai Total Plate Count... 65

4.4.2.8 Organoleptik Atribut Warna... 67

4.4.2.9 Organoleptik Atribut Kekenyalan... 68

4.4.2.10 Organoleptik Penerimaan Umum... 69

4.5 Mikrostruktur Edible Coating Bakso... 69

V. SIMPULAN DAN SARAN... 72

5.1 Simpulan... 72

5.2 Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA... 74


(14)

1 Penentuan Derajat Deasetilasi dengan FTIR... 6

2 Standar Bakso Daging Berdasarkan SNI 01-3818-1995... 15

3 Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i... 28

4 Karakteristik Kitosan Komersil... 33

5 Diameter Zona Penghambat Asam Laktat dan Ekstrak... 34

6 Diameter Zona Penghambatan Bakteri... 36

7 Data Proksimat Produk Bakso... 40

8 Hasil Pengamatan Visual Bakso dengan Penambahan Kitosan 9 dan Ekstrak... 41

10 Data Proksimat Edible Coating Bakso... 56

11 Hasil Pengamatan Visual Bakso dengan Penambahan Kitosan dan Ekstraksebagai Edible Coating... 57


(15)

1 Limbah Kulit Udang... 4

2 Struktur Kimia Kitin dan Kitosan... 4

3 Konversi Senyawa Kitin menjadi Kitosan... 5

4 Tahapan Pembuatan Kitosan... 8

5 Tahapan Penelitian... 23

6 Tahapan Pembuatan Bakso Tanpa Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 24

7 Tahapan Pembuatan Bakso dengan Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 25

8 Tahapan Pembuatan Bakso sebagai edible Coating dengan Penambahan Kitosan dan Ekstrak Bawang Putih... 26

9 Kitosan Komersil... 32

10 Zona Penghambatan Antibakteri Kitosan 1% dan Kitosan 1% dengan Penambahan Ekstrak 2% pada Bakteri B. Cereus dan P.Aureginosa... 39

11 Grafik aw Bakso... 42

12 Grafik pH Bakso... 44

13 Grafik Kecerahan Bakso... 45

14 Grafik Kekerasan Bakso... 46

15 Grafik Kekenyalan Bakso... 48

16 Grafik Daya Iris Bakso... 49

17 Grafik TPC Bakso... 50

18 Histogram Nilai Warna Bakso... 52

19 Histogram Nilai Kekenyalan Bakso... 53

20 Histogram Penerimaan Umum Bakso... 54

21 Aplikasi Kitosan sebagai Edible Coating... 55

22 Grafik aw Bakso... 58

23 Grafik pH Bakso... 59

24 Grafik Kecerahan Bakso... 60

25 Grafik Kekerasan Bakso... 62


(16)

29 Histogram Nilai Warna Bakso... 67 30 Histogram Nilai Kekenyalan Bakso... 68 31 Histogram Penerimaan Umum Bakso... 69 32 Mikrostruktur Edible coating baksodengan kitosan


(17)

1 Sifat dan Karakteristik Kitosan... 81 2 Larutan Kitosan... 82 3 Zona Penghambatan Antimikroba Kitosan dan Ekstrak pada B. cereus... 83 4 Zona Penghambatan Antimikroba Kitosan dan Ekstrak pada

P.aureginosa...... 84 5 Aplikasi Edible Coating pada Bakso... 85 6 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Diameter Penghambatan

P.aureginosa...... 86 7 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Diameter Penghambatan

B. cereus...... 87 8 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan aw Bakso... 88

9 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan pH Bakso... 89 10 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kecerahan (L)

Bakso... 90

11 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekerasan

Bakso... 91

12 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekenyalan

Bakso... 92

13 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Daya Iris

Bakso... 93

14 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Warna Pada Bakso ... 94 15 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Kekenyalan pada Bakso

... 95

16 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Penerimaan Umum pada Bakso

... 96

17 Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan awEdible Coating Bakso... 97

18 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan pH Edible Coating

Bakso... 98

19 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kecerahan (L)


(18)

21 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Kekenyalan Edible Coating Bakso... 101 22 Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Nilai Daya Iris

pada Edible Coating Bakso... 102 23 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Warna

pada Edible Coating Bakso ... 103 24 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Atribut Kekenyalan pada Edible

Coating Bakso ... 104 25 Hasil Analisis Statistik Organoleptik Penerimaan Umum pada

Edible Coating Bakso ... 105 26 Format Uji Organoleptik Metode Hedonik... 106


(19)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara bahari yang memiliki potensi produksi hasil laut yang cukup tinggi. Produksi hasil laut yang cukup tinggi ini, menjadikan Indonesia memiliki potensi sumber bahan baku produksi kitin yang cukup besar. Kitin dihasilkan dari limbah industri pengolahan crustacea seperti udang, kerang dan kepiting yang memanfaatkan cangkang dan kulitnya. Angka dan Suhartono (2000) menyebutkan bahwa cangkang dari crustacea mengandung 40-60% kitin. Menurut Muzzarelli (1994) kandungan kitin pada cangkang kepiting sebesar 70%, sedangkan cangkang udang mengandung kitin sebesar 35% (No dan Mayer, 1997).

Kitosan memiliki sifat yang mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, merupakan kation kuat, flokulan, koagulan yang baik dan mudah membentuk membran atau film. Kitosan banyak digunakan sebagai bahan pengental, pengikat, penstabil, pembentuk tekstur dan pembentukan gel. Kitosan juga memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti E. coli. Konsentrasi larutan kitosan sebesar 150 ppm sampai 200 ppm memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) sedangkan untuk konsentrasi larutan kitosan lebih dari 200 ppm mempunyai sifat membunuh pertumbuhan bakteri (bakteriosidal). Kemampuan kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir dapat diaplikasikan sebagai pengawet dan pelapis (edible coating) pada produk pangan. Kitosan yang ditambahkan dengan garlic oil pada pembuatan edible film dapat meningkatkan kemampuan antimikroba sehingga tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film kitosan (Pranoto et al. 2005). Kombinasi kitosan dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat meningkatkan mutu produk pangan, karena bawang putih memiliki kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan.

Kemampuan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai pengawet kemudian akan diaplikasikan pada bakso, hal ini dikarenakan bakso mempunyai masa simpan yang relatif singkat pada suhu kamar. Keawetan dari bakso ditentukan dari proses penyimpanan dan penambahan bahan pengawet.


(20)

Penyimpanan dan pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya ditempatkan pada suhu ruang dengan kondisi lingkungan yang kurang hegienis, sehingga keawetan produk kurang dari dua hari, sedangkan penyimpanan bakso di pasar swalayan mengandalkan fasilitas pendingin atau pembekuan sehingga umur simpan bakso dapat lebih dari satu bulan. Kandungan nutrisi yang tinggi pada daging sebagai bahan utama bakso dan aW bakso sebesar 0.99 menyebabkan

produk bakso memiliki daya simpan yang sangat singkat. Salah satu usaha untuk memperpanjang masa simpan bakso adalah dengan penambahan bahan pengawet.

Pengawet yang digunakan dalam produk pangan adalah pengawet kimia berbahaya yang berakibat sangat berbahaya untuk kesehatan dalam jangka panjang. Bahan pengawet yang banyak dipakai yaitu boraks dan formalin. Dinas perindustrian perdagangan dan koperasi (Disperindagkop) serta Dinas Agribisnis kota Bogor melakukan survei pada bulan Oktober 2007 ke sejumlah pasar tradisional dan swalayan, menemukan adanya pemakaian formalin dan boraks pada beberapa bahan pangan diantaranya seperti bakso (Anonim 2007). Harjanto (2000) melakukan survei salah satu industri bakso dengan kapasitas 200.000 butir bakso per hari menggunakan pengawet formalin sebagai pengawet yang ditambahkan pada saat perebusan akhir. Peraturan menteri kesehatan RI no.22/Menkes/Per/IX/1988 menyatakan bahwa bahan tersebut sangat membahayakan kesehatan dan tidak layak digunakan untuk campuran produk pangan, sehingga perlu upaya menggunakan bahan pengawet lain yang mampu memperpanjang umur simpan. Bahan pengawet yang juga sering ditambahkan ke dalam bakso adalah benzoat. Benzoat sebenarnya hanya efektif pada pH rendah sekitar 2.5 – 4.0 sedangkan bakso memiliki pH sekitar 6.0. Bahan pengawet ini ditambahkan untuk memperpanjang masa simpan bakso (Winarno, 1997)

Penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai alternatif pengawet alami pengganti borak dan formalin dan diharapkan bakso yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan mampu memperpanjang umur simpan.


(21)

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengkarakterisasi kitosan komersil dan pengujian kitosan terhadap aktifitas antimikroba dengan penambahan ekstrak bawang putih.

2. Mengetahui pengaruh kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih dan tanpa penambahan ekstrak bawang putih dalam adonan serta sebagai edible coating pada suhu ruang terhadap kualitas bakso.

3. Mengetahui mikrostruktur bakso yang terlapisi (edible coating) kitosan.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih memiliki kemampuan meningkatkan aktifitas antimikroba sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami khususnya pada produk bakso.

1.4 Hipotesis

Kitosan dengan penambahanekstrak bawang putih dapat mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang karena daya antimikroba yang meningkat.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KITOSAN

Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin, senyawa kitin banyak terdapat pada eksoskeleton dari crustacea seperti udang (Gambar 1). Eksoskeleton dari crustacea mengandung senyawa kitin sebesar 10-55% (berat basis kering) (Muzzarelli et al. 1994).

Gambar 1 Limbah kulit udang

Kitin merupakan biopolimer dari β-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin (GlcNAc) (Gambar 2). Polimer kitin berbentuk miofibril berdiameter sekitar 3 nm yang distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus amina dan karboksil (Gooday1990).

(a) (b)

Gambar 2 Struktur kimia kitin (a) struktur kimia kitosan (b)

Proses deasetilasi yaitu proses penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi kitosan dengan proses kimiawi dan enzimatis. Proses deasetilasi secara kimiawi dilakukan dengan penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase ( Chang et al. 1997).

Deasetilasi kitin akan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif dan menghilangkan gugus asetil sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan


(23)

menyebabkab kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet, penstabil warna, flokulan, dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999). Konversi senyawa kitin menjadi kitosan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses dan bahan utama yang digunakan untuk menghasilkan kitosan akan berpengaruh pada sifat kimia, fisik dan fungsional yang berbeda (Rhazi et al. 2004). Proses pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3 Konversi senyawa kitin menjadi kitosan (Nadarajah et al. 2002)

2.2 KARAKTERISTIK KITOSAN

Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat. Kitosan larut dalam 1% asam hidroklorit tetapi sukar larut dalam asam sulfur dan asam fospat. Kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan pada kualitasnya, sifat instrinsik seperti kejernihan atau kemurnian, berat molekul, viskositas, dan derajat deasetilasi (Sanford 1989). Sifat dan kateristik kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1 Sifat dan karakteristik kitosan

Sifat Nilai Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (% berat kering) ≤ 10% Kadar abu (% berat kering) ≤ 2%

Warna Larutan Jernih

Derajat deasetilasi ≥ 70% Viskositas:

- Rendah - Medium - Tinggi - Ekstra tinggi

< 200 cP 200 – 790 cP 800 – 2000 cP > 2000 cP

Sumber : Suptijah et al. (1992)

Mutu kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter mutu kitosan yang menunjukan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin. Pelepasan gugus asetil kitosan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, anion dari polisakarida yang kemudian membentuk ion netral (Suhartono, 1989).

Parameter mutu kitosan khususnya derajat deasetilasi dapat digunakan untuk menentukan pemakaiannya di industri, untuk industri pengolahan kitosan menggunakan kitosan dengan DD ≥ 70%, sedangkan untuk industri kosmetik kitosan yang digunakan memiliki DD ≥ 80% dan bidang biomedis dibutuhkan kitosan yang memiliki DD ≥ 90% (Tsugita 1997).

Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik dari kitosan yang akan mempengaruhi untuk aplikasi produk. Waktu dan suhu selama proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir. Waktu deasetilasi yang lama dengan suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan rendemen kitosan, berat molekul kitosan, viskositas dan kemampuan mekanik film kitosan (Bastaman 1989).

Derajat deasetilisasi kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu proses (Benjakul dan Sophanodora 1993). Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan mengubah konfirmasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou et al. 1995). Menurut Suptijah et al. (1992) untuk menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi


(25)

sebesar 84% dibutuhkan pemanasan pada suhu 130°C selama 4 jam atau suhu 120°C selama 6 – 7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat. Chang et al. (1997) menemukan bahwa laju deasetilasi yang optimum diperoleh dengan konsentrasi NaOH sebesar 60% sedangkan Rochima (2005) menjelaskan perendaman kitosan dengan larutan NaOH 50% menghasilkan derajat deasetilasi mencapai 99%.

Beberapa metode digunakan untuk menentukan derajat deasetilisasi diantaranya adalah linear potentiometric titration (Ke dan Chen, 1990), infrared spectroscopy (Baxter et al. 1992), nuclear magnetic resonance spectroscopy (Hirai et al.1991), pyrolysis-mass spectrometry (Nieto et al.1991), first derivative UV-spectrophotometry (Muzzarelli dan Rocchetti, 1985) dan titrimetry (Raymond et al. 1993).

Berat molekul dan viskositas kitosan dipengaruhi oleh bahan baku utama pembuatan kitosan. Berat molekul kitosan ditentukan dengan metode kromatografi (Bough and others 1978), light scattering (Muzzarelli, 1977) dan visikometri, (Maghami and Roberts, 1988). Kitosan memiliki berat molekul antara 100.000 Da dan 12.000.000 kDa (Li et al. 1992).

Viskositas kitosan tergantung dari berat molekul kitosan, konsentrasi larutan, tingkat deasetilasi, pH dan suhu. Tinggi rendahnya viskositas dari kitosan dapat terjadi selama proses ekstraksi kitosan. Viskositas kitosan akan meningkat dengan meningkatnya waktu demineralisasi. No et al. (1999) menyebutkan viskositas kitosan dipengaruhi oleh perlakuan fisik seperti (penggilingan, pemanasan, autoklaf, ultrasonik) dan perlakuan kimia (ozon) yang diiringi dengan peningkatan waktu perlakuan dan suhu.


(26)

Gambar 4 Tahapan pembuatan kitosan ( No dan Meyers, 1995)

Cangkang crustacea

Pencucian dan pengeringan

Penggilingan dan penyaringan

Deproteinasi

Pencucian

Demineralisasi

Pencucian

Decolorasi

Pencucian dan Pengeringan

Deasetilasi

Pencucian dan Pengeringan

KITOSAN

3.5% NaOH 1:10 (w/v) Selama 2 jam 65°C,

1 N HCl 1:15 (w/v) selama 30 menit pada suhu ruang

Bleanching dengan 0.315%

NaOCl 1:10 (w/v) selama 5 menit pada suhu ruang,

50% NaOH 1:10 (w/v) suhu 121°C selama 30 menit,


(27)

2.3 SIFAT ANTIMIKROBA KITOSAN

Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biokompetibel, tidak mengandung racun dan banyak digunakan dalam industri. Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Secara umum mekanisme penghambatan senyawa antimikroba diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) Interaksi dengan menghambat membran sel, (2) inaktifasi enzim- enzim (3) perusakan bahan-bahan genetik mikroba (Coma, 2002)

Menurut Thatte (2004) sifat kitosan sebagai antimikroba dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya yaitu sumber kitosan, derajat deasetilasi (DD) kitosan, unit monomer kitosan, mikroba uji, pH media tumbuh mikroba dan kondisi lingkungan ( kadar air, nutrisi yang dibutuhkan mikroba). Sifat antibakteri kitosan dengan berat molekul 479 kDa efektif untuk bakteri gram positif kecuali pada Lactobacillus sp, sedangkan kitosan dengan berat molekul 1106 kDa lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Kitosan dengan berat molekul yang lebih besar dari 500 kDa memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah, hal ini dikarenakan kitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas yang lebih besar menyebabkan kitosan sulit untuk berdifusi dalam bahan.

Umumnya kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat untuk bakteri gram positif seperti (Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, B. cereus, Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, L. brevis, and L. bulgaris) dibandingkan bakteri gram negatif seperti (E.coli, Pseudomonas fluorescens, Salmonella typhymurium, dan Vibrio parahaemolyticus) dengan konsentrasi kitosan yang dibutuhkan sebesar 0,1% (No et al. 2002).

Mekanisme penghambatan pertumbuhan Gram negatif oleh kitosan diperlihatkan menggunakan Transmission Electron Micrography (TEM), dimana permukaan sel bakteri yang memiliki muatan negatif lebih banyak akan menghasilkan interaksi dengan kitosan, semakin banyak muatan negatif pada permukaan sel, maka semakin banyak kitosan yang diserap sehingga akan menyebabkan kebocoran sel karena meningkatnya permeabilitas sel.


(28)

Menurut Helander et al. (2001) yang mengamati mekanisme kitosan pada bakteri menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kitosan merusak pelindung membran luar bakteri gram negatif, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan sel dan menutupi membran luar bakteri dan struktur vesikular. Kitosan yang berikatan dengan membran luar yang menyebabkan kehilangan fungsi barrier dan membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan diaplikasikan sebagai pelindung atau pengawet makanan.

2.4 EKSTRAK BAWANG PUTIH

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita rasa produk. Bawang putih menghasilkan minyak yang mengandung dialliiyl sulfide. Kata allyl berasal dari allium bawang putih. Identifikasi basis utama minyak bawang putih yaitu mengandung diallyl sulfide sebanyak 60% dan 20% diallyil trisulfida serta bagian sulfur lain. Bawang putih memiliki minyak volatil tidak lebih dari 0,2% dari berat bawang putih segar (Farrell, 1990). Minyak bawang putih dihasilkan dihasilkan dengan cara destilasi uap. Minyak bawang putih berwarna bening sampai kuning muda. Komponen utama minyak bawang putih adalah diallil disulfide (15%) dan diallil trisulfida (30%).

Bawang putih mengandung senyawa kimia yang disebut dengan allisin. Kandungan allisin pada umumnya ditemukan sekitar 50% lebih besar dari pada kandungan minyak. Alisin memiliki sifat bakterisidal dan cenderung tidak stabil. Hanya beberapa hari saja dapat berubah menjadi senyawa sulfur yang berminyak dan berbau tajam, seperti diallyl disulfida. Diallyl disulfidamerupakan kandungan utama pada bawang putih. Senyawa ini menghambat pertumbuhan bakteri Stapyllococcus aureus pada konsentrasi ekstrak bawang putih sebesar 2% dan diinaktifkan pada konsentrasi 5% (Wilson dan Droby, 2001). Ekstrak bawang putih dapat juga menghambat pertumbuhan E. coli (Elsom et al. 2003).


(29)

2.5 EDIBLE COATING

Edible film dan edible coating terdiri dari tiga komponen penyusun yaitu hidrokoloid, lemak dan komposit (gabungan antara hidrokoloid dan lemak). Hidrokoloid banyak diperoleh dari polimer polisakarida seperti pati, alginat, pektin, gum arabik, sedangkan hidrokoloid yang berbasis protein atau turunannya diantaranya gelatin, casein, protein kedelai, whey, gluten gandum dan zein jagung (Krochta et al. 1994). Komponen lemak yang sering digunakan diantaranya lilin asilgliserol dan asam lemak lain seperti asam palmitat, asam laurat, asam oleat, asam stearet dan asam oktanoat.

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying) pada permukaan produk makanan yang bertujuan melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk. Selain itu tujuan pengggunaan edible film atau edible coating adalah untuk mencegah migrasi uap air, gas, aroma dan lipid yang membawa ingredient makanan seperti antioksidan, antimikroba dan flavor (Krochta, 1997). Gannadios (2002) mendefenisikan edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara pengukusan, pencelupan atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap pemindahan gas, uap air dan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk seperti buah- buahan dan sayuran untuk meningkatkan mutu produk hal yang sama juga disampaikan oleh McHugh dan Senesi (2000) yang menyebutkan bahwa Edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan panas, uap air, O2 dan CO2 atau dengan adanya penambahan bahan tambahan

seperti bahan pengawet dan zat antioksidan maka dapat dikatakan kemasan tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan.

Beberapa teknik aplikasi dalam edible coating diantaranya adalah: 1. Pencelupan (dipping)

Proses ini biasanya digunakan dalam produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan setelah coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible


(30)

coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak buah dan sayuran.

2. Penyemprotan (sprying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan tipis dan biasa digunakan untuk produk yang mempunyai dua sisi, seperti pada produk pizza.

3. Pembungkusan

Teknik ini digunakan untuk pembentukan film yang berdiri sendiri atau terpisah dari produk. Teknik ini diabsobsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan

4. Pemolesan (brushing).

Teknik ini digunakan untuk memoleskan edible coating pada produk Wong et al. (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan edible coating harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembaban produk (2) Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu (3) Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi (4) berfungsi sebagai pengawet, mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk

Kemasan dengan sifat antimikroba diharapkan dapat mencegah kontaminasi patogen dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang terdapat dalam permukaan bahan pangan. Substansi antimikroba yang diformulasikan dalam bahan pangan atau pada permukaan bahan pangan tidak cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam bahan pangan (Ouattara et al. 2000).

2.6 APLIKASI EDIBLE COATING PADA PRODUK PANGAN

Aplikasi edible film dalam bentuk coating sebagai pengemas telah banyak dilakukan. Hilangnya uap air bahan dapat diminimalkan dengan menggunakan pengemas yang bersifat sebagai penahan. Tingkat hilangnya uap air tergantung pada permeabilitas uap air pengemas yang digunakan. Edible film/coating merupakan kemasan yang cocok digunakan karena dapat mengatur transfer kelembaban, O2 dan CO2, uap air dan aroma serta senyawa-senyawa campuran


(31)

edible film dan coating untuk menghambat kerusakan produk-produk terolah minimal dipengaruhi oleh jenis dan varietas komoditi, jenis dan ketebalan film serta suhu penyimpanan. Film dari kitosan mempunyai sifat barrier terhadap gas yang baik, maka dapat digunakan sebagai bahan pengemas, terlebih lagi kitosan mempunyai kapasitas sebagai antimikroba sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Beberapa penelitian yang menggunakan kitosan sebagai edible film atau coating banyak dilakukan sebagai kemasan bahan pangan.

Kitosan film dapat digunakan untuk menjaga umur simpan dari precooked pizza. Rodriguez et al. (2003) melaporkan kitosan yang dilarutkan dalam larutan asam asetat untuk pembuatan edible coating (0.079 g/100 g pizza) dapat menghambat pertumbuhan Alternaria sp, Penicillium sp, dan Cladosporium sp (Deuteromycetes) pada precooked pizza. Perlakuan ini memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan pengawet lain seperti kalsium propionat dan potassium sorbat.

Kitosan film banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran seperti apel, pir, strawberry, tomat, kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun, wortel dan alpukat (El Ghouth et al. 1991, Zhang dan Quantick, 1998). Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya penurunan respirasi pada produk dan mengahambat pematangan. Durango (2006) menyebutkan penggunaan kitosan 1.5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total koliform, kamir dan kapang selama penyimpanan. Edible coating kitosan dengan konsentrasi 1% (b/v) dan 2% (b/v) pada buah tomat dapat menurunkan tingkat produksi CO2 sebesar 20% dan

25% dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu kitosan dengan konsentrasi 2% (b/v) dan 1% (b/v) tidak memberikan pengaruh terhadap respirasi tetapi dapat menunda klimakterik. Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) dapat mempertahankan kekerasan buah tomat (El- Ghaouth et al. 1992). Menurut Zhang dan Quantrick (1997). Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) untuk melapisi buah leci mengakibatkan suplai oksigen menurun dan menghambat degradasi pektin.


(32)

Coma et al. (2002), menyebutkan bahwa edible film kitosan kemampuan penghambatan pada film berbahan dasar kitosan menghambat pertumbuhan dua bakteri pathogen pada makanan diantaranya Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes dan Pseudomonas aeruginosa pada medium agar.

Pranoto et al. (2005)a menyebutkan bahwa kitosan yang diinkoporasi

dengan garlic oil pada pembuatan film dapat meningkatkan kemampuan antimikroba dan tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film kitosan. Penggunaan garlic oil tergantung pada jenis bahan pangan dan tidak mempengaruhi flavor, Pranoto et al. (2005)b menyebutkan penambahan garlic oil

0.2% pada pembuatan edible film dengan alginate memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan B. cereus, dan tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik dari edible film alginat.

2.7 APLIKASI PADA BAKSO

Bakso merupakan makanan yang sangat pupuler di Indonesia dan menjadi bisnis dalam industri makanan. Beberapa industri makanan di Indonesia sangat tertarik untuk memproduksi bakso dalam skala industri dengan memperhatikan keamananya untuk dikomsumsi. Bakso yang dihasilkan dalam skala industri juga memperhatikan kondisi penyimpanan seperti kemasan vakum dan penyimpanan pada suhu beku.

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dihaluskan, kemudian dicampur dengan tepung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, dengan bentuk bulat kemudian dimasak dalam air panas (Tarwotjo et al. 1992). Berdasarkan SNI 01-3818-1995, bakso didefenisikan sebagai produk makanan dengan bentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak (dengan kadar daging 50%), pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan (BTM) yang diizinkan. Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.

Prinsip pengolahan bakso terdiri dari 4 tahapan diantarannya (1) penghancuran daging dengan mencincang (chopping) atau menggiling (grinding), (2) pembuatan adonan dengan penambahan bahan seperti daging, tepung, bumbu,


(33)

dan es sehingga membentuk adonan (3) pencetakan adonan dalam bentuk bulat dan (4) pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).

Menurut Pandisurya (1983) pemasakan bakso umumnya dilakukan dalam dua fase yang bertujuan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput atau kasar akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50 – 60°C selama 10 menit bertujuan untuk pembentukan bakso kemudian bakso kembali direbus dalam air dengan suhu 100°C untuk mematangkan. Pada suhu 40- 50°C, miosin kehilangan kelarutannya yang diindikasi terjadinya denaturasi protein. Sedangkan pada suhu 65 - 75°C serabut otot mengalami penyusutan sebanyak 25-30% dan juga terbentuk gel yang optimum terutama pada pH 6.

Tabel 2 Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995

NO Kreteria uji Satuan Persyaratan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keadaan 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 1.4 Tekstur Air Abu Protein Lemak Boraks

Bahan Tambahan Makanan

Cemaran logam 8.1 Timbal (Pb) 8.2 Tembaga (Cu) 8.3 Seng (Zn) 8.4 Timah (Sn) 8.5 Raksa (Hg) Cemaran Arsen

Cemaran mikroba

10.1 Angka lempeng total 10.2 Bakteri pembentuk koli 10.3 Escherichia coli

10.4 Enterococci

10.5 Clostridium perfringens 10.6 Salmonella

10.7 Stapylococcus aureus

- - - - % b/b % b/b % b/b % b/b - - mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g AMP/g AMP/g koloni/g koloni/g - koloni/g

Normal khas daging Gurih Normal Kenyal Maks 70.0 Maks 3.0 Min 9.0 Maks 2.0 Tidak boleh ada Sesuai SNI

01-0222-1995 Maks 2.0 Maks 20.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03 Maks 1.0

Maks 1 x 103 Maks 10

< 3 Maks 1 x 103

Maks 1 x102 Negatif Maks 1 x102


(34)

Bahan- bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso terdiri dari bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan makanan. Bahan baku bakso diantaranya sebagai berikut :

2.7.1 Daging

Daging didefenisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot, (Muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue).

Mutu dari bakso ditentukan oleh kualitas daging yang digunakan. Bakso dengan mutu yang baik dihasilkan dari daging segar (pre- rigor) yaitu daging yang diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan (Sunarlim, 1992). Fase pre-rigor pada suhu ruang berlangsung 5 sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (post mortem), tergantung dari besar kecilnya hewan yang dipotong. Pada mamalia besar seperti sapi fase pre- rigor berlangsung kurang lebih 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975).

Menurut (Forrest et al. 1975), pada fase pre- rigor jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan fase rigor mortis. Wilson et al. (1981) menyebutkan bahwa daging pre-rigor memiliki daya ikat air yang lebih tinggi, sehingga permukaan produk yang dihasilkan tidak basah dan pada kondisi ini pH daging relatif tinggi yaitu 6.5 –6.8 menyebabkan protein sarkoplasma tidak mudah rusak dan tidak mudah kehilangan daya ikat air. Protein sarkoplasma mulai mengalami kerusakan pada pH kurang dari 6,2. Daging sapi memiliki daya ikat air minimum pada pH 5,4 – 5,5 dimana pH tersebut merupakan titik isoelektrik protein sarkoplasma. Daging yang telah melewati fase pre-rigor menyebabkan mutu bakso menurun terutama pada sifat kekenyalan dan kekompakannya.

2.7.2 Bahan pengisi dan pengikat

Bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan dalam bakso berfungsi untuk stabilitas emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan citarasa dan mengurangi biaya produksi (Kramlich, 1971).

Perbedaan antara bahan pengisi dan bahan pengikat terletak adalah kemampuannya dalam mengemulsi lemak. Bahan pengikat memiliki kandungan


(35)

proteinnya yang tinggi, sedangkan pada bahan pengisi kandungan tertinggi yaitu karbohidrat, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengikat memiliki kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan bahan pengisi memiliki kemampuan dalam mengikat air tetapi tidak mengemulsikan lemak. Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung berprotein tinggi seperti tepung kedelai, konsentrat kedelai dan susu skim. Di Indonesia penggunaan bahan pengikat dalam bakso tidaklah umum, bahan pengikat ini biasa digunakan pada pembuatan sosis.

Bahan pengisi yang digunakan untuk bakso diantaranya tapioka dan pati sagu. Bahan ini dapat mengabsobsi air sampai tiga kali lipat dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar. Berdasarkan SII 01-3818-1995 penggunaan bahan pengisi untuk bakso maksimum 50% dari berat daging. Fadlan (2001) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengisi untuk bakso yang optimum sebaiknya ditambahkan sebanyak 25% dari berat daging. Sedangkan menurut Winarno (1997) menyatakan bahwa bakso yang bermutu baik mempunyai kadar pati rendah yaitu sekitar 15%, semakin tinggi kandungan pati maka mutu bakso akan rendah.

2.7.3 Garam dan MSG

Garam yang ditambahkan pada pembuatan bakso selain bertujuan pemberi rasa, juga digunakan sebagai pelarut protein dan pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Garam dapat memperbaiki sifat- sifat fungsional produk daging dengan cara (1) mengekstrak protein miofibril dari sel- sel otot selama perlakuan mekanik, misalnya penghancuran daging, (2) Garam berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat, dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan MSG pada bakso hanyalah sebagai pembentukan cita rasa gurih. Sunarlim (1992) menyatakan penambahan garam dengan konsentrasi 3-5% akan menghasilkan mutu yang tinggi dibandingkan dengan penambahan konsentrasi garam diatas 5%.


(36)

2.7.4 Es atau air es

Penambahan air es pada pembentukan emulsi daging bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) es memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) es membantu pembentukan emulsi, (4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanik. Jumlah es yang ditambahkan (30 %) ke dalam adonan memberikan pengaruh terhadap kadar air, WHC (Water Holding Capacity), kekenyalan dan kekompakan bakso. Makin banyak es yang ditambahkan menyebabkan kenaikan kadar air dan penurunan WHC, kekenyalan dan kekompakan bakso yang dihasilkan. Air es yang ditambahkan pada adonan untuk menghasilkan sifat fisik dan organoleptik yang baik sebesar 20% dari berat daging (Indrarmono, 1987)

2.7.5 Sodium Tripolifosfat (STPP)

STPP yang disebut juga sebagai natrium tripolipospat memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, stabilitas emulsi dan kemampuan emulsi. STPP dapat juga berfungsi menurunkan susut masak karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan. STPP dan garam dapur mempunyai sifat sinergisme sehingga meningkatkan WHC (Water Holding Capacity), memudahkan pengirisan, menstabilkan warna, menghambat ketengikan karena fosfat sebagai antioksidan dan meningkatkan mutu produk daging. Penambahan STTP dan natrium propionat, dapat mengawetkan bakso selama 4 hari. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso yang dibuat dengan penambahan 0.3% STPP dan 0.2% natrium propionat pada jam ke- 24 dalam suhu kamar telah mengandung sekitar 5.8 x106 koloni mikroba/gram.

Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) yang disebabkan karena STPP memiliki rasa yang agak pahit, karena kandungan basa yang tinggi. Penggunaan STPP dalam dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan ion–ion terutama Ca2+, Mg2+dan K+. Pada umumnya penggunaannya STPP berkisar 0.3 – 0.5% (Ranken 1976). Pengaturan mengenai penggunaan STPP yang diizinkan penggunaannya adalah 3 gram untuk setiap satu kilo daging (0.3%) atau 300 ppm.


(37)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di laboratorium Rekayasa Proses Pangan, dan Laboratorium mikrobiologi Departement Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta-IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2007 –Maret 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain kitosan komersil, ekstrak bawang putih, bakteri uji (Bacillus cereus dan Pseudomonas fluorescens), daging sapi segar. Media agar LB dan Media agar NA. Bahan tambahan lain diantaranya adalah pati sagu, garam, lada, MSG, Bahan kimia yang digunakan antar lain NaCl jenuh K2SO4 , HgO, H2SO4 pekat, NaOH pekat, H3PO3, HCl 0,02 N. Alat yang

digunakan antara lain food processor, timbangan, termometer, pH meter, labu kjedaral 100 ml, Erlenmeyer 125 m, cawan logam, cawan petri, oven, Texture Analyzer TA-XT2i, FTIR micro-cal Messmer, Scanning Electron Microscopy 5310LV (JEOL), Chromometer CR200.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian utama yang dilakukan adalah menguji aktifitas antimikroba kitosan dengan konsentrasi (1%, 2%) dan pengujian aktifitas antimikroba larutan kitosan (1%, 2%) dengan dengan penambahan ekstrak bawang putih pada konsentrasi (2%, 4% dan 6%). Aktifitas antimikroba terbaik direkomendasikan untuk diaplikasikan pada edible coating dan adonan dalam produk bakso. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

3.3.1 Pembuatan ekstrak bawang putih dengan pelarut etil asetat

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan bubuk bawang putih dengan perbandingan 1:4 (v/v) dengan pelarut etil asetat. Kemudian di shaker pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm selama 24 jam. Setelah 24 jam, ekstrak disaring menggunakan kertas saring sehingga menghasilkan cairan berwarna


(38)

kuning kemudian diuapkan untuk menghilakan pelarut menggunakan rotavapor pada suhu 50°C.

3.3.2 Pembuatan larutan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih

Pembuatan kitosan pada penelitian ini dilakukan dengan cara menimbang kitosan dengan konsentrasi terbaik dan ekstrak bawang putih 2%, kemudian dilarutkan dengan asam laktat 2% sedikit demi sedikit sampai larut dan ditambahkan aquades mencapai konsentrasi kitosan yang sesuai.

3.3.3 Karakterisasi Kitosan (derajat deasetilasi kitosan)

Perhitungan derajat deasetilasi digunakan spektrum Fourier Transform Infrared (FT-IR) dengan membandingkan absorbansi panjang gelombang 1655 cm-1 (absorbansi untuk gugus kabonil) dan absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1 (absorbansi untuk gugus amina) (Baxter et al 1992). Lapisan tipis kitosan dihasilkan dengan melarutkan 2 g kitosan dalam larutan asam asetat 2%. Larutan dikeringkan dengan pada suhu kamar di atas ‘glass plate’ (keping kaca berbentuk bulat seperti koin berwarna merah).

Puncak tertinggi diukur dari garis dasar yang dipilih untuk menentukan absorbansi yang dihitung dengan menggunakan rumus:

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 x x A A i deasetilas N ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = − Dimana :

A1655 = Nilai absorbansi pada 1655 cm-1

A3450 = Nilai absorbansi pada 3450 cm-1

3.3.4 Pengujian antimikroba kitosan dan ekstrak bawang putih 3.3.4.1 Persiapan Isolat bakteri uji

Satu ose isolat bakteri E.coli dan Pseudomonas fluorescens masing-masing diinokulasi kedalam 5 ml media LB, lalu diinkubasi 37°C selama 24 jam.


(39)

Sebanyak 10μL kultur 24 jam tersebut diambil dan inokulasikan kedalam 10 ml media LB dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 12 jam.

3.3.4.2 Uji Antibakteri metode difusi sumur agar

Metode yang digunakan mengacu pada Carson dan Riley (1995). Kultur dengan jumlah bakteri 105 CFU/ml sebanyak 1 ml dimasukan kedalam cawan petri dan dituangkan media agar sebanyak 20 ml, dibiarkan membeku lalu dibuat sumur dengan diameter 8 mm. Sampel antibakteri dimasukan kedalam sumur, diinkubasi pada 37°C dan diamati zona bening yang terbentuk setelah 20 jam. 3.3.5 Pengamatan mikrostruktur Edible Coating dengan Scanning Electron

Microscopy (SEM) (Lin et al 2002)

Pengukuran Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan untuk melihat mikrostruktur edible coating. Analisis SEM menggunakan alat SEM 5310 LV (JEOL). Edible coating sebelumnya dikeringkan dengan freeze drying selama 19 jam sampai kadar air 2% atau kurang. Edible coating dipotong dengan ukuran 0.5 x 0.5 cm, Setelah preparasi selesai di lakukan pelapis menggunakan emas (Au) atau logam didalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum, dimana pompa vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel, sehingga melapisi sampel. Selanjutnya sempel yang telah dilapisi diletakan pada tempat sampel dalam mikroskop elektron dan dilakukan tembakan elektron kearah sampel, maka akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.

3.3.6 Aplikasi kitosan pada bakso 3.3.6.1 Pembuatan Bakso

Daging sapi segar yang telah dipisahkan lemak dan jaringan ikatnya kemudian dicuci bersih ditimbang 250 gram. Tahap pertama yaitu daging dimasukan ke dalam food processor dengan menambahkan 20% w/w es batu atau air es, garam 3 % w/w, kemudian dihancurkan selama 3 menit. Tahap kedua adalah percampuran dan penggilingan daging dengan penambahan larutan kitosan dan larutan kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih pada proses yang terpisah kemudian masing- masing proses ditambahkan bahan pengisi (tepung sagu 20%, merica 0,3 %) proses ini dilakukan selama 2 menit. Setelah terbentuk


(40)

adonan, adonan dibentuk bulat, kemudian dimasukan kedalam air panas pada suhu 70°C selama 10 menit kemudian direbus kembali pada suhu 100°C sampai mengapung dan matang selama 15 menit. Pembuatan adonan bakso dapat dilihat pada Gambar 6, sedangkan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih dapat dilihat pada Gambar 7.

3.3.6.2 Edible coating kitosan dan ekstrak pada bakso

Bakso yang telah matang kemudian dicelupkan kedalam larutan kitosan selama 60 detik dengan konsentrasi terbaik. Hal yang sama juga dilakukan dengan penambahan ekstrak bawang putih pada larutan kitosan. Kemudian ditiriskan dan diangin- anginkan. Aplikasi edible coating dapat dilihat pada Gambar 8 .

3.3.6.3 Penyimpanan Produk

Bakso yang telah matang dengan perlakuan penambahan kitosan di dalam adonan (A) dan bakso yang telah ditambahkan edible coating (B) masing – masing perlakuan dibagi berdasarkan konsentrasi kitosan yang dikemas dalam kemasan plastik polipropilen, kemudian ditempatkan pada suhu ruang (25-30°C). Penyimpanan dilakukan selama 2 hari. Pengamatan yang dilakukan setiap hari.


(41)

Gambar 5 Tahapan penelitian Adonan bakso

Kitosan komersil

Kitosan dan ekstrak dengan aktifitas antimikroba terbaik

Aplikasi pada bakso

Edible coating bakso

Analisis produk. Kitosan (1%,2%) + ekstrak

bawang putih(2, 4, 6%)

Pengujian:

- Derajat deasetilisasi (DD) -Aktifitas antimikroba


(42)

Gambar 6 Pembuatan bakso tanpa penambahan kitosandan ekstrak bawang putih dalam adonan

Daging ( 250 gram)

Penghancuran (3 menit) Es (20% )b/b

Garam (3%)

Pencampuran dan penggilingan (2 menit)

Sagu (20%)

Adonan bakso

Pencetakan bakso

Dimasukan kedalam air panas (70°C)

10 menit

Perebusan bakso (100°C) 15 menit

BAKSO


(43)

Gambar 7 Pembuatan bakso dengan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih

Penghancuran (3 menit) Es (20% )b/b

Garam (3%)

Pencampuran dan penggilingan (2 menit)

Adonan bakso

Pencetakan bakso

Dimasukan kedalam air panas (70°C)

10 menit

Perebusan bakso (100°C) 15 menit

BAKSO Daging ( 250 gram)

- Sagu (10%) - Kitosan(1%) - Kitosan (1%) dan Ekstrak (2%) - Kontrol


(44)

Gambar 8 Diagram pembuatan bakso dengan edible coating kitosan dan ekstrak bawang putih

3.3.7 Pengujian pada Bakso

3.3.7.1 Pengukuran pH (AOAC, 1984)

pH meter terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 5 gram contoh dihaluskan dan ditambahkan sedikit aquadest dan diaduk hingga merata. Kemudian elektroda ditempatkan ke dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur.

Kitosan (1%)

Asam laktat(2%)

Pengenceran dengan aquadest

Pencelupan bakso sesuai dengan konsentrasi (60 detik)

Bakso ditiriskan dan dianginkan Larutan kitosan coating

Bakso berlapis edible

-ekstrak bawang putih (2%)

- Kontrol


(45)

3.3.7.2 Kadar Protein (AOAC, 1984)

Sampel ditimbang sebanyak 0,2 gram dimasukan kedalam labu kjedahl 100 ml dan ditambahkan 2 gram K2SO4 , HgO (1:1) dan H2SO4 pekat 2 ml.

Dilakukan distruksi selama 30 menit sampai diperoleh cairan hijau jernih, setelah dingin ditambahkan air suling 35 ml dan NaOH pekat 10 ml sampai bewarna coklat kehitaman lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3PO3. Hasil destilasi kemudian yang tertampung kemudian

dititrasi dengan HCl 0,02 N dengan menggunakan indikator. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Persentase kadar Nitrogen dan Kadar protein kasar dapat dihitung dengan rumus.

% N = (HCl – blako) – N HCl x 14.007 x 100% Sampel kering (mg)

% N = % N x 6.25 (Faktor koreksi)

3.3.7.3Kadar Air (AOAC 1999)

Sampel bakso seberat 3 gram dimasukan ke dalam cawan logam yang telah diketahui beratnya. Cawan diisi sampel selanjutnya dimasukan ke dalam oven suhu 105°C selama 4- 6 jam hingga berat cawan dan sampel konstan, kemudian ditimbang beratnya:

Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = bobot sampel awal – bobot sampel akhir x 100%

Bobot sampel awal

3.3.7.4Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung sebanyak 5 gram dimasukan kedalam selubung ekstraksi. Kemudian selubung yang sudah berisisampel dimasukan kedalam soxhlet. Kemudian soxhlet dan kondensor dipasang pada labu ekstraksi yang tealh ditimbang terlebih dahulu. Kemudian di tambahkan 50 ml dietil eter, lalu dipasangkan pada pemanas. Lakukan refluks selama 5 jam sempai pelarut yang turun kembali kedalam labu ekstraksi bewarna jernih. Kemudian solven dalam labu ekstraksi diuapkan dan labu ekstraksi tersebut beserta ekstrak lemak


(46)

selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 60 menit atau sampai beratnya tetap, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Kadar lemak dihitung dengan rumus:

% 100 % x sampel gram ekstraksi labu dalam lemak gram Lemak =

3.3.7.5 Penentuan tekstur secara objektif

Kekerasan dan kekenyalan bakso diukur dengan Texture Analyzer TA-XT2i menggunakan probe compress dengan cara memberikan tekanan sebanyak dua kali. Pada pemotongan pertama akan terbentuk kurva dengan puncak tertinggi menyatakan sebagai kekerasan sampel kemudian pada penekanan (press) berikutnya diperoleh kurva kedua. Nilai kekenyalan adalah perbandingan Time different dari kurva kedua dan kurva pertama.

Sedangkan untuk daya iris menggunakan probe Warner- Bratzler Blande. Cara kerja alat ini adalah sebagai berikut pisau akan memotongsampel Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i sebagai berikut:

Tabel 3 Pengaturan Texture Analyzer TA-XT2i

Parameter Setting Mode

Option Pre test speed Test speed Post test speed Distance Time

Trigger type Force

Measure force in compression TPA

2,0 mm / s 5,0 mm / s 5,0 mm / s 30,0 mm 5,0 second Auto – 20.0 gram Gram

3.3.7.6 Pengukuran Aktifitas Air

Pengukuran dilakukan dengan aw meter yang sebelumnya dikalibrasi

dengan larutan NaCl jenuh pada kertas saring dan diletakan diatas cawan. Nilai Aw diset sampai dengan 0,7509. Sampel dipotong dengan ketebalan sekitar 0.2 cm

dan diletakan dalam cawan pengukur, lalu ditutup dan dikunci. Alat dijalankan hingga tanda completed dan nilai aw terbaca.


(47)

3.3.7.7 Uji Warna

Pengukuran warna secara objektif menggunakan alat chromometer CR200 dengan notasi hunter (L*a*b). Chromameter dikalibrasi dengan mengukur plate kalibrasi yang berwarna putih sebanyak tiga kali. Kemudian sampel diletakkan pada tempat pengukuran sampel, lalu ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel. L menyatakan kecerahan sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut.

3.3.7.8 Analisis Total Mikroba (Fardiaz, 1989)

Analisis total mikroba dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count). Sebanyak 5 gram sampel dimasukan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 45 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher selama 120 detik sehingga dihasilkan sampel bakso dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukan dalam tabung reaksi 9 ml larutan pengencer steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran 10-3,10-4 dan seterusnya.

Setiap pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukan kedalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15 – 20 ml medium PCA (Plate Count Agar) steril bersuhu 45- 50 °C (duplo). Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37°C selama 2 hari.

Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan metode Harrigan, dengan rumus :

N = C/ [(1 x n1) + (0.1 x n2)] x d N = jumlah koloni per gram

C = Jumlah total koloni yang tumbuh dalam cawan yang dihitung n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = tingkat pengenceran pertama


(48)

3.3.7.9 Uji Organoleptik (Rahayu, 1998)

Batas umur simpan ditentukan berdasarkan hasil uji deskriptif sensori terhadap parameter mutu kritis. Penentuan mutu kritis didasarkan pada hasil uji organoleptik terhadap parameter, tekstur/kekerasan, kekenyalan dan tingkat penerimaan umum (keseluruhan) .

Bakso yang diuji adalah bakso dengan formulakitosan (X), bakso dengan formula edible coating kitosan (Y). Uji organoleptik menggunakan panelis sebanyak 25 orang Uji yang dilakukan adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah jenis uji penerimaan. Skala hedonik dapat direntangkan menurut skala yang dikehendaki. Pada uji ini panelis diminta untuk mengemukakan tingkat kesukaan pada bakso, dengan 5 skala hedonik berurutan mulai dari 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (netral), 4 (suka) dan 5 (sangat suka).

Pengujian terhadap uji hedonik harus dilakukan secara spontan. Untuk itu panelis dapat mengisi formulir isian (Lampiran 26). Hasil uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik, yaitu Kruskal Wallis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata (Steel dan Torrie 1993). Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis. Model matematika uji tersebut adalah sebagai berikut :

H = ) 1 ( 12 + n

n

ni

Rj

- 3(n+1)

T = (t-1) t (t+1)

Pembagi = 1-

) 1 ( ) 1 (nn n+

T

, H’ =

pembagi H

Keterangan : n = total pengamatan

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i


(49)

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan perlakuan perbandingan penambahan kitosan dan lama penyimpanan. Perlakuan dalam percobaan yaitu pada adonan dan edible coating

Rancangan percobaan pada adonan bakso terdiri dari faktor penambahan (kitosan (1%), kitosan (1%) dengan ekstrak bawang putih (2%), serta kontrol) dan lama penyimpanan (0, 12 dan 24 jam). Sedangkan rancangan percobaan edible coating kitosan bakso terdiri dari faktor penambahan (kitosan (1%), kitosan (1%) dengan ekstrak bawang putih (2%), serta kontrol) dan lama penyimpanan (0, 12, 24 dan 36 jam). Masing- masing perlakuan (adonan dan edible coating) dilakukan dengan 3 kali ulangan

Model statistika rancangan penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + εij ,

dimana :

i = 1,2,3,4,5,6 dan ulangan ke-j = 1,2,3

Yijk = Nilai pengamatan pada saat percobaan ke-i yang memperoleh

perlakuan ke- j

μ = Nilai tengah umum

τi = Pengaruh perlakuan ke- i

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke i ulangan ke j

Untuk melihat pengaruh faktor perlakuan digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada taraf 0.05. Perlakuan yang memberikan respon nyata dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Duncan. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS version 13.


(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil (Gambar 9). Kitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam organik yaitu asam laktat dengan konsentrasi 2% (v/v). Pemilihan pelarut kitosan yang digunakan untuk melarutkan kitosan yaitu asam laktat 2%, hal ini sesuai dengan pernyataan Kim (2006) yang menyebutkan konsentrasi asam laktat yang terbaik untuk melarutkan kitosan adalah 2%. Pemakaian pelarut asam laktat juga telah dilakukan pada pembuatan edible film kitosan dimana hasil pengujian dengan pelarut asam laktat 2% memperlihatkan penghambatan yang lebih besar dibandingkan pelarut asam asetat 1% (Astuti, 2007). Tahap pertama pada penelitian ini adalah melarutkan kitosan dengan konsentrasi 1 % dan 2% (b/v) dalam larutan asam laktat 2%.

Gambar 9 Kitosan komersil

4.1 Karakteristik Kitosan

Persiapan sampel ini merupakan tahap pertama penelitian yang bertujuan untuk menggetahui karateristik kitosan khususnya daya antimikroba kitosan. Hasil pengujian karakteristik kitosan komersil yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.


(51)

Tabel 4 Karakteristik kitosan komersil

Karakteristik Hasil penelitian Standar mutu kitosan (Protan Laboratories)*

Bentuk Partikel Serbuk Serpihan atau bubuk

Kadar Air 12% ≤ 10%

Kadar Abu 0.4% ≤ 2%

Kadar Nitrogen 5.88% ≤ 5%

Derajat Deasetilasi 79.70% ≥ 70%

Warna Larutan Jernih Jernih

* Sumber: Suptijah et al. (1992)

Bentuk kitosan sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. Bahan baku yang berasal dari kulit udang memiliki bentuk yang lebih halus dan mudah hancur selama proses pembuatan kitosan. Karakteristik dari kitosan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan diantaranya warna larutan, kadar abu dan bentuk pertikel. Bentuk partikel akan mempengaruhi kelarutan kitosan, semakin kecil bentuk partikel maka semakin mudah kitosan untuk larut dalam pelarut. Kadar abu kitosan merupakan parameter yang penting untuk menentukan keefektifan proses demineralisasi, karena secara umum kulit udang mengandung 30-50% mineral dengan kandungan mineral yang terbesar adalah garam CaCO3 dan

CaSO4.

4.2 Pengukuran derajat deasetilasi (DD) dengan analisis FTIR (Fourier Transform Infrared )

Sepektrum kitosan diperoleh dengan absorbansi pada gelombang bilangan 1655 cm-1 yang merupakan serapan pita amida I dan absorbansi pada gelombang 3450 cm-1 merupakan serapan gugus hidroksil. Pengukuran kitosan dengan FTIR disamping untuk melihat pola spektrum pada sampel juga menentukan derajat deasetilasi kitosan. Hasil pengukuran kitosan komersil berdasarkan pengujian FTIR menunjukan bahwa kitosan komersil memiliki derajat deasetilasi sebesar 79.70 %, nilai ini telah memenuhi standar Protan Laboratories. Derajat deasetilasi menunjukkan kemurnian kitosan, dimana derajat deasetilasi kitosan menentukan banyaknya gugus asetil yang hilang selama proses deasetilasi kitin. Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif. Keaktifan kitosan dikarenakan banyaknya gugus amina menggantikan gugus asetil, gugus amina


(52)

lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan. Grafik analisis FTIR dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.3 Penelitian Utama

4.3.1 Uji antimikroba asam laktat dan ekstrak bawang putih

Pengujian awal dari difusi sumur adalah pengujian ekstrak bawang putih, dan asam laktat. Pengujian terlebih dahulu adalah pengujian terhadap pelarut etil asetat, dimana pelarut ini digunakan untuk menghasilkan ekstrak bawang putih. Hasil difusi sumur menunjukan bahwa pelarut etil asetat tidak bersifat menghambat pertumbuhan bakteri uji, dengan demikian tidak mempengaruhi aktifitas senyawa ekstrak bawang putih. Pengujian ekstrak bawang putih dan asam laktat (pelarut kitosan) menunjukan sifat yang menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan terlihat adanya zona bening. Pengujian larutan asam laktat 2% pada penelitian ini juga menunjukan penghambatan yang besar pada kedua mikroba. Pemanfaatan asam laktat dengan konsentrasi 2% secara nyata dapat menurunkan tingkat pertumbuhan bakteri pathogen Listeria monocytogenes dari 5.59 log CFU/g menjadi 4.92 log CFU/g yang ditambahkan pada daging sapi kemasan vakum. Pemanfaatan asam laktat yang dikombinsaikan dengan air panas juga mampu menurunkan total bakteri secara nyata dari 2.37 log CFU/g menjadi 0.26 log CFU/g (Kang et al. 2001). Diameter zona penghambatan ekstrak bawang putih dan asam laktat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Diameter zona penghambatan asam laktat dan ekstrak

Sampel Diameter zona penghambatan (mm)

Pseudomonas aureginosa Bacillus cereus

Asam laktat 8.57 7.65

Ekstrak bawang putih 6.30 5.22

Kontrol 0 0

Diameter zona bening ekstrak bawang putih pada bakeri Pseudomonas dan Bacillus 6.30 mm dan 5.22 mm. Ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih adalah pelarut etil asetat, beberapa literatur menunjukan bahwa bahan baku yang memiliki senyawa antimikroba, kemudian diekstrak


(53)

menggunakan pelarut etil asetat, akan memberikan aktifitas antibakteri yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Naufalin (2005) menyebutkan bahwa penghambatan ekstrak etil asetat bunga kecombrang terhadap 7 bakteri uji berkisar 12.3 – 27.2 mm dan ekstrak etanol sebesar 11.0 – 15.4 mm pada konsentrasi 30 mg/ml, hal ini menunjukan bahwa ekstrak etil asetat memberikan aktifitas antibakteri yang lebih tinggi daripada ekstrak etanol. Ekstrak etanol memiliki aktifitas yang lebih rendah daripada ekstrak etil asetat, sesuai dengan penelitian Moshi dan Mwambo (2005) bahwa ekstrak semipolar (etil asetat) mampu menghambat bakteri E.coli dan B. anthracis dengan diameter hambatan lebih besar daripada ekstrak polar (etanol). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Springfield et al. (2003) ekstrak etil asetat dari tanaman Carpobrotus muirii dan C. quadrifidus lebih berpotensi dalam menghambat S. aureus dan Mycobacterium smegmatis daripada ekstrak air.

Secara umum mekanisme aktifitas antibakteri ekstrak bawang putih dalam menghambat bakteri perusak makanan adalah melewati dinding sel bakteri kemudian merusak dinding sel, selanjutnya merusak bagian membran sitoplasma. Kerusakan pada membran sitoplasma dapat menyebabkan terganggunya permeabilitas sel sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam nukleat. Mehrabian dan Larry (1992) melaporkan bahwa ekstrak bawang putih yang diuji dengan menggunakan tes difusi agar, mampu menghambat 7 macam bakteri pathogen yaitu E.Coli, S. typhimurium, S. Havana, S. para, A. Shigella flexneri dan Shigella dysentriae.

Feldberg et al. (1998) telah menguji bahan aktif dari ekstrak bawang putih dialil tiosulfat (alisin) sebagai antibakteri terhadap bakteri S.typhimurium dan antijamur. Aktifitas antibakteri bawang putih diduga adanya kandungan diallyl thiosulfinat yang biasa disebut allisin, senyawa allisin tidak ditemukan pada tanaman utuh tetapi terbentuk oleh aktifitas enzim allin alkyl-sulfenate-lyase pada komponen asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide (alliin).


(54)

4.3.2 Uji antimikroba kitosan dan kombinasi dengan ekstrak

Pengujian antimikroba kitosan merupakan tahap awal pada penelitian utama. Pengujian ini mengguji kitosan dengan variasi konsentrasi yaitu 1 % dan 2% dalam larutan asam laktat 2%, sedangkan untuk penambahan ekstrak divariasikan dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% (b/v). Pengujian aktifitas antimikroba bertujuan untuk membuktikan apakah kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih mampu meningkatkan sifat antimikroba. Bakteri yang digunakan adalah Bacillus cereus (Gram positif) dan Pseudomonas aeruginosa (Gram negatif).

Hasil penelitian menunjukan bahwa aktifitas pertumbuhan bakteri pada 8 kombinasi larutan kitosan dan ekstrak terhadap bakteri uji memperlihatkan zona penghambat yang bervariasi. Hasil pengujian aktifitas bakteri kitosan dan penambahan ekstrak disajikan pada Gambar 10, sedangkan nilai diameter zona hambat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Diameter zona penghambatan bakteri

Sampel Diameter zona penghambatan (mm)

Pseudomonas aureginosa Bacillus cereus

Kitosan 1 % 7,42dc 7,63b

Kitosan 1% + ekstrak 2% 8,93a 8,70a

Kitosan 1% + ekstrak 4% 7,95bc 8,17ab

Kitosan 1% + ekstrak 6% 8,17b 7,80ab

Kitosan 2 % 6,63dc 6,27c

Kitosan 2% + ekstrak 2% 6,78dc 6,15c

Kitosan 2% + ekstrak 4% 5,48e 5,97c

Kitosan 2% + ekstrak 6% 8,33ab 5,93c

Nilai diameter penghambatan dengan notasi huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan pada kedua bakteri tersebut terlihat bahwa pengaruh penghambatan bakteri dari kitosan 1% dan kitosan 2% berbeda nyata pada taraf 0.05%. Hasil tersebut menunjukan bahwa kitosan 1% memiliki diameter penghambatan lebih besar dibandingkan kitosan 2% sebesar 7.42 mm dan 7.63 mm, hal ini membuktikan bahwa larutan kitosan 1% mampu menghambat pertumbuhan kedua jenis mikroba (Lampiran 6 dan 7). Hasil uji Duncan untuk kitosan 1% dengan penambahan ekstrak bawang putih dan kitosan 1% tanpa ekstrak menunjukan bahwa kedua perlakuan memiliki perbedaan yang nyata (p<0.05). Hasil pengukuran diameter penghambatan kitosan 1% sebesar 8.93 mm (P. aureginosa) dan 8.70 mm (B.cereus) nilai penghambatan ini lebih


(55)

besar dibandingkan dengan kitosan 2% berdiameter sebesar 6.78 mm (P. aureginosa) dan 6.15 mm (B.cereus)

Hasil pengukuran penghambatan pada kedua bakteri uji menunjukan bahwa larutan kitosan 1% mampu menghambat pertumbuhan kedua mikroba pembusuk lebih baik dibandingkan dengan kitosan 2%. Hasil yang sama terlihat pada kitosan 1% dengan penambahan ekstrak bawang putih 2%, dimana memiliki diameter penghambatan bakteri P. aureginosa dan B. cereus masing-masing sebesar 8.93 mm dan 8.70 mm.

Nilai penghambatan ini lebih besar dibandingankan dengan kitosan 2% dengan penambahan ekstrak. Besarnya penghambatan dapat dipengaruhi oleh kekentalan dari larutan kitosan, semakin tinggi konsentrasi kitosan maka larutan kitosan akan sulit berdifusi dalam agar, sehingga akan menurunkan luas daerah penghambatan. Semakin besar diameter daerah penghambatan menunjukan keefektifan bahan antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

Penambahan antimikroba ekstrak bawang putih memperlihatkan peningkatan diameter penghambatan pada kedua bakteri uji, dibandingkan hanya menggunakan satu jenis bahan antimikroba (larutan kitosan saja). Hal ini sejalan dengan pernyataan Paster et al. (2002) bahwa efek sinergi dari suatu senyawa antimikroba adalah campuran dari dua jenis atau lebih senyawa antimikroba akan memberikan aktifitas penghambatan yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah kumulatif dari campuran kedua antimikroba tersebut. Peningkatan zona penghambatan dengan penambahan ekstrak menunjukan bahwa kitosan yang ditambahkan ekstrak tidak mempengaruhi interaksi antara gugus aktif dari ekstrak bawang putih dengan gugus fungsional dari kitosan, sehingga kitosan dapat bekerja untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan penambahan ekstrak bawang putih mampu meningkatkan penghambatan pertumbuhan mikroba.

Penambahan ekstrak bawang putih menunjukan komponen antimikroba yang terdapat pada bawang putih bekerja dengan baik, komponen utama antimikroba bawang putih adalah allisin dan turunanya seperti diallil disulfida dan diallil trisulfida. Miron et al (2000) menyatakan bahwa alisin memiliki permeabilitas yang tinggi dalam menembus membran fospolipid dinding sel bakteri. Gugus thiol pada allisin kemudian akan bereaksi dengan enzim-enzim


(56)

yang mengandung sulfurhidril yang menyusun membran sel, hal ini diduga menyebabkan struktur dinding sel bakteri mengalami lisis. Allisin bekerja menghambat metabolisme dari bakteri (Ankrie et al. 1997)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 6 telah memperlihatkan bahwa kitosan 1% dengan penambahan ekstrak 2% memiliki diameter penghambat berkisar antara 7.42 – 8.93 mm, hal menunjukan senyawa antibakteri kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih tergolong dalam antimikroba dengan kekuatan yang sedang. Menurut Todar (1997) ketentuan kekuatan diameter penghambat pada antibiotik-antibakteri, apabila zona hambat lebih dari 20 mm maka dikelompokan pada bakteri yang sangat sensitif terhadap antimikroba yang di uji dan bila zona hambat berkisar antara 10-20 mm tergolong sensitif dan bila zona hambat berkisar antara 10–5 mm tergolong sedang, apabila zona hambat berkisar kurang dari 5 mm tergolong lemah.

Diameter penghambatan bakteri dengan larutan kitosan 1% dan penambahan ekstrak bawang putih 2% menunjukan Pseudomonas aeruginosa (Gram negatif) lebih sensitif dibandingkan Bacillus cereus (Gram positif), dikarenakan kitosan memiliki gugus amino bebas dalam larutan asam akan terprotonasi membentuk polikationik. Polikationik ini menunjukan kerapatan muatan yang tinggi bersifat polielektrolit kationik yang sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif dan biomolekul permukaan seperti halnya permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif. Bakteri yang bermuatan negatif seperti bakteri gram negatif yang mempunyai sisi hidrofilik, yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil, dengan demikian kitosan efektif untuk menghambat bakteri gram negatif.

Secara umum mekanisme dari larutan kitosan sebagai antibakteri yaitu dengan mengikat protein membran sel, diantaranya adalah glutamat. Gugus NH2

pada kitosan mampu mengikat glutamat yang merupakan komponen membran sel sehingga metabolisme bakteri terhambat dan efeknya akan menghambat pertumbuhan bakteri, selain itu kitosan berikatan dengan membran pospolipid menyebabkan permeabilitas membran bagian dalam (inner membrane) akan meningkat. Meningkatnya permeabilitas inner membrane menyebabkan cairan sel keluar, khususnya untuk E. coli dimana setelah 60 menit, komponen enzim β


(57)

galaktosidase dari inti sel akan terlepas kemudian akan mengalami lisis yang mengakibatkan seluruh metabolit yang terdapat pada sitoplasma akan keluar dan terjadi pembelahan sel atau regenerasi. Mekanisme kerja antibakteri kitosan melibatkan cross-lingkage antara polikationik kitosan dan anion pada permukaan bakteri yaitu dengan mengubah permeabilitas membran (Simpson, 1997).

Chung et al. (2004) mempelajari mekanisme antibakteri dari kitosan berdasarkan sifat hidrofilik dan analisis muatan negatif pada permukaan sel bakteri serta karakteristik penyerapan kitosan pada sel bakteri menggunakan transmission electron micrography (TEM). Meskipun sifat hidrofilik diantara sesama bakteri gram negatif sama, tetapi distribusi dari muatan pada permukaan sel bakteri lainya berbeda, ternyata permukaan sel bakteri yang memiliki muatan negatif lebih banyak akan menghasilkan interakasi yang lebih baik dengan kitosan. Sedangkan Helender et al (2001) yang menunjukan dengan mikroskop elektron bahwa kitosan merusak pelindung luar dari bakteri gram negatif menyebabkan terjadinya perubahan sel dan menutupi membran luar bakteri dan struktur vesicular. Kitosan berikatan dengan membran luar menyebabkan kehilangan fungsi barier dari membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan diaplikasikan sebagai pelindung dan pengawet makanan.

(a) (b)

Gambar 10 Zona penghambatan antibakteri kitosan 1% dan kitosan 1% dengan penambahan ekstrak 2% pada bakteri B. cereus (a) dan P. aureginosa (b)


(1)

Lampiran 22 Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan daya iris edible coating bakso

Oneway

ANOVA nilai daya iris terhadap produk

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between

Groups 53989958.694 2 26994979.347

12.3

82 .000 Within Groups 150433939.958 69 2180202.028

Total 204423898.653 71

Duncan

Produk N

Subset for alpha = .05

1 2

KONTROL 24 4958.25

CKG 24 6755.38

CK 24 6832.58

Sig. 1.000 .857

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.

ANOVA nilai daya iris terhadap lama penyimpanan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between

Groups 91855308.264 3 30618436.088 18.496 .000 Within Groups 112568590.389 68 1655420.447

Total 204423898.653 71

Duncan

Subset for alpha = .05 Lama

penyimpanan N 1 2 3

36 JAM 18 4680.83

24 JAM 18 5567.39

12 JAM 18 6898.72

0 JAM 18 7581.33

Sig. 1.000 1.000 .116

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 18.000.


(2)

Lampiran 23 Hasil Analisis statistik organoleptik atribut warna pada edible coating bakso

Uji Kruskal-Wallis

Ranks

30 29.95

30 31.05

60 Produk

171 201 Total Warna

N Mean Rank

Keterangan :

171 = CK (Edible coating kitosan 1%)

201 = CKG ((Edible coating kitosan 1% + ekstrak bawang putih)

Test Statisticsa,b

.064 1 .801 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

Warna

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Produk b.

Kesimpulan :

Nilai Asymp.Sig > α (0.05) maka terima H0, artinya tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan


(3)

Lampiran 24 Hasil Analisis statistik organoleptik atribut kekenyalan pada edible coating bakso

Uji Kruskal-Wallis

Ranks

30 31.93

30 29.07

60 Produk

201 171 Total Tekstur

N Mean Rank

Keterangan :

171 = CK (Edible coating kitosan 1%)

201 = CKG ((Edible coating kitosan 1% + ekstrak bawang putih)

Test Statisticsa,b

.436 1 .509 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

Tekstur

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Produk b.

Kesimpulan :

Nilai Asymp.Sig > α (0.05) maka terima H0, artinya tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan


(4)

Lampiran 25 Hasil Analisis statistik organoleptik atribut keseluruhan (penerimaan umum) pada edible coating bakso

Uji Kruskal-Wallis

Ranks

30 34.62

30 26.38

60 Produk

171 201 Total Overall

N Mean Rank

Keterangan :

171 = CK (Edible coating kitosan 1%)

201 = CKG ((Edible coating kitosan 1% + ekstrak bawang putih)

Test Statisticsa,b

3.482 1 .062 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

Overall

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Produk b.

Kesimpulan :

Nilai Asymp.Sig > α (0.05) maka terima H0, artinya tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan


(5)

Lampiran 26 Format Uji Organoleptik Metode Hedonik

LEMBAR UJI ORGANOLEPTIK

NAMA PANELIS : Tanggal : Feb 2008

NO.HP :

INSTRUKSI : - Dihadapan anda terdapat 6 sampel bakso sapi

matang.

- Penentuan tekstur dengan cara ditekan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. - Berilah penilaian anda pada kolom kode sampel.

Jangan membandingkan antar sampel !

KET:

KOMENTAR:...

PENGUJIAN KODE SAMPEL

171 278 912 191 201 218 WARNA

AROMA TEKSTUR OVER ALL

TINGKAT KESUKAAN UNTUK WARNA, AROMA

DAN OVER ALL

NILAI TINGKAT KEKERASAN UNTUK TEKSTUR

NILAI

Sangat Suka 7 Lunak Tidak Keras 6

Suka 6 Tidak Keras 5

Agak Suka 5 Agak Keras 4

Netral / Biasa 4 Sedikit Keras 3

Agak Tidak Suka 3 Keras 2

Tidak Suka 2 Sangat Keras 1 Sangat Tidak Suka 1


(6)

TINGKAT KEKERASAN UNTUK TEKSTUR

NILAI

Lunak Tidak Keras 6 Tidak Keras 5 Agak Keras 4 Sedikit Keras 3

Keras 2 Sangat Keras 1