Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Pdrb, Dan Upah Rill Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Sumatera Barat

(1)

1.1Latar Belakang

Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting mengingat erat kaitannya dengan pengangguran baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masalah ketenagakerjaan menunjukkan bahwa semakin tinggi angka pengangguran maka akan meningkatkan probabilitas kemiskinan, kriminalitas, dan fenomena-fenomena sosial-ekonomi di masyarakat.

Pembangunan merupakan upaya perubahan struktural yang dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan penduduk. Tujuan pembangunan Indonesia itu sendiri adalah untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan adalah dengan pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan serta penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun demikian tidak semua penduduk memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses dan kegiatan pembangunan, sehingga masih ada yang tertinggal dan tidak terangkat dari kemiskinan.

Ketenagakerjaan masih menjadi salah satu prioritas perhatian pemerintah, hal ini dapat tercermin pada:


(2)

1. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sasaran pembangunan pada Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, sesuai triple

track strategy (pro poor, pro growth, pro job).

2. Begitu pula pada RPJMN 2010-2014, sasaran pemerintah pada bidang ketenagakerjaan yaitu:

a. Menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka menjadi 5-6 persen.

b. Menyelesaikan masalah ketenagakerjaan antara lain:

 Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh Pekerjaan yang layak

 Kualitas angkatan kerja yang rendah

 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia muda yang tinggi.

 TPT terdidik (di atas SLTA) masih tinggi.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia merupakan salah satu masalah makroekonomi. Dilihat dari dimensi regional beberapa permasalahan pengangguran adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Sari, 2011).

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Pengangguran Terbuka Indonesia Dirinci Menurut Jenjang Pendidikan (juta orang)

JENJANG PENDIDIKAN

Februari 2010 Agustus 2010 Februari 2011 Penganggur

Terbuka % TPT

Penganggur

Terbuka % TPT

Penganggur

Terbuka % TPT

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

< SD 2,13 24,80 2,16 25,96 1,92 23,65

SMP 1,65 19,21 1,66 19,95 1,80 22,17

SMA 2,11 24,56 2,15 25,84 2,27 27,96

SMK 1,34 15,60 1,20 14,42 1,08 13,30

DIPLOMA I/II/III 0,54 6,29 0,44 5,29 0,44 5,42

UNIVERSITAS 0,82 9,55 0,71 8,53 0,61 7,51

TOTAL 8,59 7,41 8,32 7,14 8,12 6,80


(3)

Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat bahwa secara total persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia sampai dengan bulan Februari 2011 sebesar 6,80 persen. Apabila kita bandingkan dengan target RPJMN 2010-2014 yang ingin dicapai maka dapat dikatakan bahwa TPT Indonesia masih jauh dari angka yang diharapkan dimana TPT terdidik (di atas SMA) masih tinggi.

Pembangunan di Provinsi Sumatera Barat yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang tidak terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Namun di sisi lain berbagai kendala dalam memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber modal masih dihadapi oleh penentu kebijakan di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Salah satu masalah yang perlu disikapi secara tegas dan bijak adalah masalah ketenagakerjaan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Provinsi Sumatera Barat dari tahun ke tahun selalu menunjukkan adanya peningkatan. Terjadi sekali penurunan yaitu pada tahun 2009 dimana pertumbuhan ekonominya tidak sepesat tahun 2008, hal ini dikarenakan terjadi krisis global yang melanda negara-negara di dunia yang juga berimbas pada Indonesia. Kemudian di tahun 2010 pertumbuhan ekonomi kembali menunjukkan adanya peningkatan. Seperti terlihat pada Gambar 1.1 bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia Tahun 2010 sebesar 6,10 persen sedangkan Sumatera Barat sebesar 5,93 persen.


(4)

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Sumber: BPS, diolah.

Gambar 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia dan Sumatera Barat Periode Agustus 2008 s/d Februari 2011

Sumber: BPS, diolah. 5,69 5,50 6,35 6,01 4,58 6,10 5,73 6,14 6,34 6,88 4,28 5,93 4,00 5,00 6,00 7,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Indonesia Sumatera Barat 8,39 8,14 7,87 7,41 7,14 6,80 8,04 7,90 7,97 7,57 6,95 7,14 6,50 7,00 7,50 8,00 8,50

08 2008 02 2009 08 2009 02 2010 08 2010 02 2011

Indonesia Sumatera Barat


(5)

Menurut Wallis (2002), pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan meningkatkan upah pekerja dan penyerapan tenaga kerja, karena meningkatnya permintaan tenaga kerja. Besarnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan Sumatera Barat dapat dilihat dari tingginya angka Tingkat Pengangguran Terbuka.

Berdasarkan Gambar 1.2 terlihat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Barat sangat berfluktuasi dibandingkan dengan TPT Indonesia. Pada periode Februari Tahun 2011 Tingkat Pengangguran Terbuka Sumatera Barat sebesar 7,14 persen di atas angka Indonesia yang sebesar 6,80 persen. Baik TPT Indonesia maupun Sumatera Barat keduanya menunjukkan angka yang sangat tinggi jika dibandingkan target yang telah ditetapkan dalam RPJM 2010-2014 yang sebesar 5 s/d 6 persen.

1.2Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, akan tetapi di sisi lain peningkatan ini justru tidak dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu jumlah penduduk juga terus bertambah yang menumpuk pada usia produktif, peningkatan jumlah angkatan kerja tanpa diikuti dengan penyediaan lapangan kerja akan mengakibatkan jumlah pengangguran semakin bertambah.

Tenaga kerja sebagai salah satu dari faktor produksi merupakan unsur yang penting dan paling berpengaruh dalam mengelola dan mengendalikan sistem

ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi maupun investasi.


(6)

pendapatan yang memadai, tingkat keamanan dan kenyamanan kerja, serta keuntungan lain yang dapat diperoleh.

Untuk mencari solusi yang tepat dari permasalahan tersebut dibutuhkan kajian mengenai ketenagakerjaan yaitu penyerapan tenaga kerja beserta faktor-faktor yang memengaruhi. Kajian tersebut juga berguna untuk merumuskan strategi kebijakan dalam ketenagakerjaan pada masa yang akan datang. Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat, dan seberapa besar pengaruh dari masing-masing faktor tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat.

2. Menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat serta besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan


(7)

bahan sekaligus rekomendasi mengenai strategi kebijakan yang optimal untuk mengurangi tingginya pengangguran di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan bagi pembaca diharapkan bisa menjadi informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian sejenis atupun lebih lanjut. Bagi penulis sendiri penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dalam penerapan ilmu yang telah dipelajari di bidang ekonomi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya akan membahas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja mencakup seluruh sektor baik formal maupun informal. Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dibatasi pada pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil. Objek penelitian ini adalah Provinsi Sumatera Barat dengan periode waktu Tahun 2005-2010. Adapun data diperoleh dari publikasi-publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS RI) maupun BPS Provinsi Sumatera Barat.


(8)

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan

Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas), sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Dikatakan angkatan kerja adalah penduduk yang termasuk usia kerja yang mempunyai pekerjaan, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja atau sedang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan karena sekolah, mengurus rumah tangga serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya misal pensiunan.

Tenaga kerja adalah salah satu dari faktor produksi yang penting, karena produktivitas dari faktor produksi lain bergantung pada produktivitas tenaga kerja dalam menghasilkan produksi. Selain itu, tenaga kerja adalah penggerak pembangunan. Tenaga kerja diartikan sebagai penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang berusia dari 15-64 tahun. Sebelum tahun 1997, definisi tenaga kerja adalah mereka yang berusia 10 tahun ke atas (BPS, 2010).


(9)

Konsep bekerja menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh dan membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.

Gambar 2.1 Diagram Ketenagakerjaan

Sumber : Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010

2.1.2 Pengeluaran Pemerintah

Kegiatan pemerintah berfungsi untuk menyediakan jasa pelayanan umum bagi masyarakat yang secara ekonomis sulit dinilai, seperti melaksanakan administrasi pemerintah, menjaga kestabilan dan keamanan negara, meningkatkan


(10)

pendidikan dan kesehatan masyarakat, mengatur kebijaksanaan perekonomian dengan negara lainnya.

Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak (Mankiw, 2007).

2.1.3 PDRB

Indikator yang sering dipakai untuk menilai kinerja perekonomian suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan indikator untuk melihat kinerja ekonomi suatu wilayah dalam suatu negara tertentu digunakan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), yang merupakan keseluruhan nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam


(11)

suatu wilayah terutama yang dikaitkan dengan kemampuan wilayah tersebut dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Disebut domestik karena menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan komponen penyusutan dalam perhitungannya. PDRB secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga konstan.

Penelitian Okun (1980) dalam Dornbusch (1991) di Amerika Serikat yang dilatarbelakangi anggapan bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami pertumbuhan sehingga pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun kesempatan kerja mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam bentuk pertumbuhan, Okun membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun sebesar 0,4 persen setiap laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun. Hukum Okun ini merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum tersebut bukan merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi atas hubungan antara trend laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan berubah dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat memerlukan tenaga kerja tambahan sebagai faktor produksi untuk memenuhi permintaan agregat yang meningkat. Kondisi seperti ini terutama akan terjadi pada struktur perekonomian


(12)

yang memiliki corak padat karya (labour intensive). Apabila struktur perekonomian suatu wilayah adalah capital intensive (padat modal), maka pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan kebutuhan modal dan tidak akan menyerap banyak tenaga kerja.

2.1.4 Upah Riil

Kaum ekonom klasik menyatakan, bahwa tenaga kerja/karyawan mendasarkan penawaran tenaga kerja atas upah riil (W/P). Oleh karena itu, kenaikan upah nominal tidak akan mengubah penawaran tenaga kerja apabila kenaikan upah tersebut disertai dengan kenaikan tingkat harga yang sepadan. Orang yang merasa lebih kaya karena kenaikan upah nominal dan kenaikan tingkat harga yang sama dikatakan terkena money illusion. Orang yang rasional tidak akan mengalami ilusi uang, karena mereka hanya mau mengubah penawaran tenaga kerja apabila terjadi perubahan dalam upah riil.

Burtt (1963) dalam bukunya berjudul “Labor Market, Unions and Government Policies” menyatakan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan proses penentuan upah dan faktor-faktor yang mempengaruhi upah pekerja, diantaranya yaitu:

1. Teori Kebutuhan Hidup (Subsistence Theory)

Salah satu teori upah yang paling tua adalah teori kebutuhan hidup (Subsistence Theory) yang dikemukakan David Ricardo. Teori ini secara sederhana mengemukakan bahwa tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled worker) hanya dipengaruhi oleh


(13)

kepentingan untuk menutup biaya hidup kebutuhan pekerja dan keluarganya. Keadaan upah di pasar tenaga kerja akan berfluktuasi di sekitar subsistence level. Penawaran tenaga kerja tidak akan meningkat atau menurun dalam hubungan jangka panjang (long run). Jika tingkat upah naik diatas biaya hidup minimum pekerja, maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja dan akan menurunkan tingkat upah. Apabila tingkat upah berada di bawah biaya hidup minimum maka hal ini akan menurunkan kekuatan penawaran tenaga kerja (labor force) dan kemudian tingkat upah akan naik menuju subsistence level kembali.

2. Teori Upah Besi (Iron Wage Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle, yang menyatakan bahwa dengan adanya subsistence theory kepentingan pekerja tidak terlindungi. Oleh karena itu peran serikat pekerja dalam melindungi kepentingan pekerja menjadi hal yang sangat penting. Dengan adanya serikat pekerja tersebut, pekerja akan berusaha menuntut upah yang melebihi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Teori iron wage ini cenderung merugikan kepentingan pengusaha dan pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Kenaikan upah akibat desakan serikat pekerja akan menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga para penganggur akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan para pengusaha akan disulitkan dengan kenaikan biaya produksi.

3. Wage Fund Theory

Teori upah ini dikemukakan oleh John Stuart Mill. Menurut teori ini tingkat upah tergantung pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja tergantung pada jumlah dana upah yaitu jumlah modal yang


(14)

disediakan perusahaan untuk pembayaran upah. Peningkatan tabungan akan meningkatkan nilai investasi pada sektor-sektor ekonomi sehingga sektor-sektor ekonomi tersebut berupaya meningkatkan kapasitas produksinya, yaitu dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Peningkatan modal (capital) ini berakibat meningkatnya upah pekerja karena permintaan tenaga kerja semakin meningkat.

Teori ini juga menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong tingkat upah cenderung turun, karena tidak sebanding antara jumlah tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja. Sehingga menurut teori ini tingkat upah dapat ditingkatkan hanya dengan mengurangi penawaran tenaga kerja dan dengan meningkatkan tabungan.

4. Marginal Productivity Theory

Teori ini menyatakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan, tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seorang pekerja sama dengan upah yang diterima pekerja tersebut. Teori ini menyatakan bahwa karyawan memperoleh upah sesuai dengan produktivitas marginalnya terhadap pengusaha.

Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran. Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural,


(15)

maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.2, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2007).

Gambar 2.2 Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Sumber: Mankiw (2007).

Menurut Mankiw (2007) kekakuan upah riil menyebabkan penjahatan pekerjaan. Jika upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium (pada W1) maka


(16)

Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2007). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sari (2011), melakukan penelitian mengenai “Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya” dengan menggunakan uji panel unit root test. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian antara lain: angkatan kerja, pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, tingkat kepemilikan rumah, upah minimum propinsi, dependency ratio, pangsa sektor pertanian terhadap PDRB, dan PDRB perkapita. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut adalah angkatan kerja dan upah minimum provinsi berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran regional. Faktor-faktor tersebut secara simultan mengarah pada kondisi kekakuan upah yang berkepanjangan dan proses pencarian kerja yang lebih panjang sehingga berdampak pada persistensi pengangguran.


(17)

Kuntoro (2007) dalam penelitiannya mengenai “Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya” menggunakan uji regresi data panel dengan model fixed effect. Penelitian dilakukan di 26 provinsi di Indonesia pada periode tahun 1997-2004. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu pertumbuhan ekonomi dan tingkat perubahan harga signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, adapun investasi fisik tidak signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.

Pada tahun yang sama Nilasari (2007) melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi, dan Upah Minimum Regional Terhadap Kesempatan Kerja di Jawa Barat studi kasus tahun 1986-2005”. Uji dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda model double-log. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut yaitu pengeluaran pemerintah dan upah minimum regional memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja, sedangkan investasi memberikan pengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di Jawa Barat.

Sitanggang dan Nachrowi (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Struktur Ekonomi pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral”. Penelitian dilakukan di 30 provinsi di Indonesia pada kurun waktu 1980-2000. Metode anaisis yang digunakan adalah regresi data panel Generalized Least Squared

(GLS) dengan penimbang Cross Section Weights. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu adanya peningkatan dan penurunan dalan jumlah penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh perubahan populasi, net migration, output dan juga upah.


(18)

Lembaga Penelitian Smeru (2004) dalam penelitian “Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja”. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis regresi linier berganda. Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi dan upah riil berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka.

Smeru (2001) juga melakukan penelitian dengan judul “Dampak

Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia”. Uji dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Temuan yang lebih penting lagi dari studi ini adalah bahwa dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja berpendidikan rendah.

Downes (1998) melakukan penelitian yang berjudul “An Economic Analysis of Unemployment in Trinidad and Tobago”. Penelitian dilakukan pada

periode 1963-1996 dengan menggunakan metode Ordinary least Squares (OLS) dan Error Correction Model. Analisis ekonomi mengenai pengangguran di Trinidad dan Tobago mengindikasikan masalah yang serius. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel-variabel yang dominan mempengaruhi penurunan tingkat pengangguran di Trinidad dan Tobago adalah GDP. Peningkatan upah riil juga berdampak pada tingkat pengangguran terutama pada jangka panjang.


(19)

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan identifikasi dan tujuan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian ditetapkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja yaitu pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil akan dilakukan analisis deskriptif dan inferensia. Gambaran tentang alur pemikiran penulis untuk memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti, dapat digambarkan dalam diagram kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.3. Kerangka Pikir

REKOMENDASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROV. SUMBAR

PDRB PENGELUARAN PEMERINTAH

PENYERAPAN TENAGA KERJA

ANALISIS REGRESI DATA PANEL

BERGANDA

UPAH RIIL (UPAH NOMINAL/IHK) RPJMN 2010-2014

MASALAH KETENAGAKERJAAN

PERTUMBUHAN EKONOMI TINGGI TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TINGGI


(20)

2.4 Definisi Operasional

Adapun variabel-variabel yang digunakan antara lain: 1. Penyerapan tenaga kerja

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap dalam kegiatan ekonomi (produksi). Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang bekerja.

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan

dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Kegiatan bekerja ini mencakup orang yang sedang bekerja dan juga punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja seperti: cuti, sakit, menunggu panen dan sejenisnya.

2. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan jumlah seluruh pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatannya, yang terdiri dari pembelian barang dan jasa (belanja barang), pembayaran balas jasa pegawai (belanja pegawai), dan penyusutan barang modal, tidak termasuk atau dikurangi dengan hasil penjualan (penerimaan) dari produksi barang dan jasa (output pasar) yang dihasilkan sendiri oleh pemerintah (yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pemerintah) tetapi dikonsumsi oleh masyarakat (bukan oleh pemerintah). Pengeluaran konsumsi pemerintah didasarkan pada realisasi pengeluaran baik yang berupa pengeluaran rutin maupun pembangunan.


(21)

3. PDRB

PDRB atas dasar harga konstan (PDRB riil) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar.

4. Upah riil

Upah riil adalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima. Upah Riil dihitung dengan membagi nilai dari upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dikali 100. Upah nominal adalah upah yang diterima pekerja secara nominal. Sedangkan Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi untuk megukur tingkat perubahan harga barang-barang secara umum.

2.5 Hipotesis Statistik

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh yang positif antara pengeluaran pemerintah terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.

2. Terdapat pengaruh yang positif antara PDRB terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.

3. Terdapat pengaruh yang negatif antara upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.


(22)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa sumber sebagai berikut:

1. Data Penyerapan Tenaga Kerja yang didekati dengan Penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja diperoleh dari publikasi Sumatera Barat Dalam Angka Tahun 2005 s/d 2010 dan Keadaan Angkatan Kerja di Sumatera Barat Tahun 2008-2010 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

2. Data Pengeluaran Pemerintah diperoleh dari publikasi Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh BPS RI.

3. Data PDRB diperoleh dari publikasi Produk Domestik Regional Bruto Sumatera Barat menurut Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

4. Data Upah Riil diperoleh dari hasil pembagian antara rata-rata

pendapatan/gaji/upah nominal dengan indeks harga konsumen dikalikan 100, dimana:

 rata-rata pendapatan/gaji/upah nominal diperoleh dari publikasi Statistik Upah Buruh dan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional,


(23)

 data Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh dari publikasi Indeks Harga Konsumen Kota Padang Tahun 2005-2010 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

3.2 Metode Analisis

Pengolahan atas data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber dilakukan menggunakan beberapa paket program statistik, seperti:

Microsoft Excel 2010, dan EViews 6.0. Kegiatan pengolahan data menggunakan

Microsoft Excel 2010 menyangkut pembuatan tabel dan analisis. Sementara itu pada pengolahan regresi data panel, penulis menggunakan paket program EViews 6.0.

3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Analisis deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan situasi ketenagakerjaan secara umum meliputi jumlah angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja dan pengangguran. Selain itu, juga untuk menggambarkan deskripsi variabel-variabel yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja yaitu pengeluaran pemerintah, PDRB, dah upah riil.


(24)

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB dan Upah Riil terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Sumatera Barat melalui persamaan strukturalnya.

Data panel diperoleh dengan menggabungkan data cross section dan time series. Penggunaan model regresi data panel memungkinkan peneliti untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbeda-beda.

Regresi dengan menggunakan panel data / data panel / pooled data, memberikan beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series (Gujarati, 2004:637), diantaranya sebagai berikut:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni.

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi.


(25)

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu, karena data yang diobservasi lebih banyak.

Model regresi linear pada data panel dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.1)

Dimana: i = 1,……, N;

N adalah jumlah individu/cross-sectional units (kabupaten/kota) t = 1,…….,T;

T adalah jumlah periode waktu (6 yaitu dari tahun 2005-2010)

Pada ada sebanyak k slope (tidak termasuk intersep) yang menunjukkan jumlah variabel bebas yang digunakan dalam model. Sedangkan merupakan efek individu yang dapat bernilai konstan sepanjang periode t atau bahkan berbeda-beda untuk setiap individu ke-i. Apabila diasumsikan sama untuk setiap unit, maka model itu dapat disebut juga sebagai model regresi klasik (classical regression model), dimana metode Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan penduga yang konsisten dan efisien untuk dan . Apabila diasumsikan berbeda-beda antar cross-section unit, dan slope konstan, maka terdapat dua model regresi data panel yang mungkin yaitu model fixed effects atau model random effects. Apabila perbedaan intersep antar cross-sectional units

tersebut merupakan variabel random

atau stochastic maka model random effects-lah yang sesuai.

Sementara itu error dalam model regresi data panel dapat dituliskan sebagai berikut:


(26)

(3.2) dimana

= time specific effects (residual yang terjadi karena pengaruh perbedaan waktu)

= individual specific effects (residual yang terjadi karena perbedaan karakteristik setiap individu)

= efek hanya pada observasi it.

Untuk menyederhanakan analisis biasanya sering diasumsikan = 0 (tidak ada pengaruh spesifik waktu/no time specific effects/time invariant). Terdapat tiga jenis estimasi standar untuk regresi data panel yaitu common effects Model (pooled regression), fixed effects model (Least Square Dummy Variables estimation, LSDV estimation) dan random effects model.

3.2.2.1 Model Common Effects (Pooled Regression)

Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana, yakni dengan hanya mengkombinasikan data cross-section dalam bentuk pool.

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.3)

Dari persamaan (3.2), apabila = 0 dan = 0, maka model tersebut adalah model pooled regression (common effects), yang dapat diestimasi dengan metode Least Square, namun asumsi jarang sekali terpenuhi pada model regresi data panel. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku individu sama dalam


(27)

berbagai kurun waktu. Kelemahan model ini adalah ketidakseuaian model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Pada model ini asumsi regresi linear klasik dengan metode OLS berlaku sepenuhnya.

3.2.2.2 Model Fixed Effects

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Namun intersep masing-masing cross-section bersifat fixed, tidak random. Untuk mengestimasi model fixed effects

dengan intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variabel dummy. Model estimasi ini sering disebut dengan teknik Least Square Dummy Variable

(LSDV). Model persamaan panel fixed effects dengan asumsi tidak ada pengaruh periode waktu (no time specific effects) dapat dituliskan sebagai berikut:

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.4) Model pada persamaan (3.3) juga dapat dituliskan dalam bentuk stack model berdasarkan individu cross-section yaitu:

[ ] [ ] [ ] [ ] [ ] [ ] (3.5)

Dimana:

= vektor berukuran T x 1

= matriks berukuran T x k , dengan k adalah jumlah variabel bebas


(28)

= vektor berukuran T x 1

= vektor berukuran T x 1

Metode fixed effects, digunakan apabila error term terdiri dari:

(3.6)

3.2.2.3 Model Random Effects

Estimasi data panel dengan fixed effects melalui teknik variabel dummy

sering menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah ini kita bisa menggunakan metode random effects yang mengasumsikan bahwa individual effects ( ) bersifat random dan tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya. Dengan asumsi tidak ada pengaruh waktu (no time specific effects) maka dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yaitu residual yang tidak terukur oleh pengaruh individu dan waktu ( ) dan residual

secara individu ( ).

Persamaan regresi untuk model random effects dengan asumsi no time effects dapat ditulis sebagai berikut:

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.7) dimana

Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects, yaitu:

E( = E( = 0 ; E( , = 0 ; E( , ) = E( , ) = 0 E( ) = 0 dimana t ≠ s dan i ≠ j


(29)

3.2.2.4 Pemilihan Model Estimasi Data Panel 1. Signifikansi Fixed Effects Model

Signifikansi model fixed effects dapat dilakukan dengan statistik uji F. Statistik uji F digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel

dummy(common effects) dengan melihat residual sum of squares (RSS).

Hipotesis yang digunakan adalah: H0 :

nilai intersep sama untuk setiap individu crosssection

H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda

Adapun statistik uji F-nya dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.8)

dimana:

N = jumlah individu

k = jumlah variabel bebas/ regressor

= residual sum of squares teknik tanpa variabel dummy

= residual sum of squares teknik fixed effects dengan variabel dummy.

Nilai statistik akan mengikuti distribusi statistik F dengan derajat

bebas (df) sebanyak N-1 dan NT-N-k. Jika nilai statistik lebih besar

daripada pada tingkat signifikansi tertentu, maka hipotesis null akan


(30)

berlaku, sehingga teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variable dummy (common effects).

2. Signifikansi Random Efects Model

Untuk mengetahui apakah model random effects lebih baik dari model

common effects, dapat digunakan uji Lagrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Bruesch-Pagan. Metode ini didasarkan pada nilai residual dari metode common effects. Hipotesis null (H0) yang digunakan adalah bahwa

intersep bukan merupakan variabel random atau stochastic. Dengan kata lain varians dari residual bernilai nol.

Adapun nilai Breusch-Pagan LM statistik dapat dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

[

∑ |∑ |

]

(3.9)

[

]

(3.10)

Dimana N = jumlah individu; T = jumlah periode waktu dan adalah residual

metode common effects (OLS). Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square

dengan derajat bebas (df) sebesar 1. Jika hasil LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode random effects daripada metode


(31)

3. Signifikansi Hausman

Untuk mengetahui model yang terbaik antara fixed effects dengan random effects digunakan signifikansi Hausman. Uji signifikansi Hausman menggunakan hipotesis null residual persamaan panel tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya yang berarti model random effects lebih baik dibandingkan model fixed effects.

Adapun nilai statistik Hausman dapat dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

̂ ̂ ̂ (3.11)

dimana ̂ ⌊ ̂ ̂ ⌋ dan ̂ ⌊ ̂⌋ ⌊ ̂

Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel independen (k). Jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effects dibandingkan dengan model random effects.

3.2.2.5 Pengujian Asumsi 1. Asumsi Normalitas

Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term


(32)

menggunakan uji-t menjadi tidak sah. Pengujian dilakukan dengan uji Jarque Bera atau dengan melihat plot dari sisaan.

Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah: H0 : error term mengikuti distribusi normal

H1 : error term tidak mengikuti distribusi normal.

Keputusan diambil dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque Bera

dengan taraf nyata α = 0,05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih dariα = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.

2. Asumsi Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Metode untuk mendeteksi adanya korelasi serial dilakukan dengan dengan membandingkan nilai Durbin Watson (DW) dari penghitungan dengan nilai DW tabel.

Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0 : tidak ada Otokorelasi positif atau negatif

H1 : terdapat masalah Otokorelasi positif atau negatif.

Kriteria pengujian:

d

0 dL dU 2 4 - dU 4 - dL 4

Tolak H0 Ada masalah Otokorelasi positif

Tolak H0 Ada masalah Otokorelasi negatif Tidak Tolak H0

tidak ada masalah Otokorelasi Tidak ada

kesimpulan

Tidak ada kesimpulan


(33)

Tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model lebih besar daripada nilai Durbin Watson table batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah otokorelasi positif (dw < dL)

 Atau, nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah otokorelasi negatif

Tidak tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU)

3. Asumsi Homoskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan.

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih

kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi

heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model diestimasi dengan menggunakan white-heteroscedasticity


(34)

3.2.2.6 Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian ini meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

1. Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis dalam uji-F adalah :

Ho: β1 = β2=….. = 0

H1 : β1 ≠ β2 ≠ … ≠ 0

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai > atau

probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan

menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata

terhadap tak bebas.

2. Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah :

H0 : βi = 0 ,


(35)

Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai dengan atau dengan melihat nilai probabilitas dari . Jika nilai

> atau jika nilai probabilitas t < α = 0,05 maka tolak H0, sehingga

kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas.

3. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari tak bebas dapat diterangkan oleh peubah bebas X atau seberapa besar keragaman peubah tak bebas yang mampu dijelaskan oleh model. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R2 = 1 berarti variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.

3.2.2.7 Model Penelitian

Secara matematis pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, upah riil dapat digambarkan dalam fungsi sebagai berikut :

(3.12) Keterangan:

Emp : Employment/ penyerapan tenaga kerja (jiwa)

G : Goverment Expenditure/ Pengeluaran Pemerintah (juta Rp.) PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (milyar Rp.)


(36)

i : urutan kabupaten/kota t : series tahun 2005-2010

α : intersep

β1 - β3 : parameter pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil : error term


(37)

4.1 Keadaan Geografi

Provinsi Sumatera Barat terletak di sebelah barat pulau Sumatera dan sekaligus berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Provinsi Riau, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, Sumatera Barat terletak antara 0° 54’ LU dan 3° 30’ LS serta 98° 36’ dan 101° 53’ BT, tercatat memiliki luas daerah sekitar 42,297 ribu Km2. Luas tersebut setara dengan 2,20 persen dari luas Republik Indonesia.

Tabel 4.1 Luas Daerah dan Persentase Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

Kabupaten / Kota Luas (km2) Persentase

(1) (2) (3)

Kabupaten / Regency

01. Kep. Mentawai 6.011,35 14,21

02. Pesisir Selatan 5.794,95 13,70

03. S o l o k 3.738,00 8,84

04. Sijunjung 3.130,80 7,40

05.Tanah Datar 1.336,00 3,16

06. Padang Pariaman 1.328,79 3,14

07. A g a m 2.232,30 5,28

08. 50 K o t a 3.354,30 7,93

09. P a s a m a n 3.947,63 9,33

10. Solok Selatan 3.346,20 7,91

11. Dharmasraya 2.961,13 7,00

12. Pasaman Barat 3.887,77 9,19

Kota/Municipality

71. P a d a n g 694,96 1,64

72. S o l o k 57,64 0,14

73. Sawahlunto 273,45 0,65

74. Padang Panjang 23,00 0,05

75. Bukittinggi 25,24 0,06

76. Payakumbuh 80,43 0,19

77. Pariaman 73,36 0,17

SUMATERA BARAT 42.297,30 100,00


(38)

Sumatera Barat mempunyai 19 Kabupaten/Kota dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki wilayah terluas, yaitu 6,01 ribu Km2 atau sekitar 14,21 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Kota Padang Panjang, memiliki luas daerah terkecil, yakni 23,0 Km2 (0,05%).

4.2 Penduduk

Penduduk mempunyai peran besar dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat jika dimbangi dengan sumber daya alam yang memadai. Jumlah penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk.

Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Sumatera Barat Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 (jiwa)

Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

(1) (2) (3) (4) (5)

01 Kepulauan Mentawai 39.504 36.669 76.173 1,57

02 Pesisir Selatan 212.228 217.018 429.246 8,86

03 Solok 171.845 176.721 348.566 7,19

04 Sijunjung 100.764 101.059 201.823 4,16

05 Tanah Datar 164.852 173.642 338.494 6,98

06 Padang Pariaman 191.940 199.116 391.056 8,07

07 Agam 223.077 231.776 454.853 9,38

08 Lima Puluh Kota 172.571 175.984 348.555 7,19

09 Pasaman 125.249 128.050 253.299 5,23

10 Solok Selatan 72.568 71.713 144.281 2,98

11 Dharmas Raya 98.892 92.530 191.422 3,95

12 Pasaman Barat 184.022 181.107 365.129 7,53

71 Kota Padang 415.315 418.247 833.562 17,20

72 Kota Solok 29.359 30.037 59.396 1,23

73 Kota Sawah Lunto 28.161 28.705 56.866 1,17

74 Kota Padang Panjang 23.369 23.639 47.008 0,97

75 Kota Bukittinggi 53.845 57.467 111.312 2,30

76 Kota Payakumbuh 57.894 58.931 116.825 2,41

77 Kota Pariaman 38.922 40.121 79.043 1,63

Provinsi Sumatera Barat 2.404.377 2.442.532 4.846.909 100,00


(39)

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat sebanyak 4.846.909 jiwa yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 1.877.822 jiwa (38,74 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 2.969.087 jiwa (61,26 persen). Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 0,97 persen di Kota Padang Panjang hingga yang tertinggi sebesar 17,20 persen di Kota Padang.

Gambar 4.1 Piramida Penduduk Provinsi Sumatera Barat Dirinci Menurut Kelompok Umur Tahun 2010 (jiwa)

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – BPS Republik Indonesia.

Penduduk laki-laki Provinsi Sumatera Barat sebanyak 2.404.377 jiwa dan perempuan sebanyak 2.442.532 jiwa. Seks Rasio adalah 98, berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks Rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Bukittinggi sebesar 94 dan tertinggi adalah Kabupaten


(40)

Kepulauan Mentawai sebesar 108. Seks Rasio pada kelompok umur 0-4 sebesar 106, kelompok umur 5-9 sebesar 107, kelompok umur lima tahunan dari 10 sampai 64 berkisar antara 92 sampai dengan 106, dan kelompok umur 65-69 sebesar 78.

Median umur penduduk Provinsi Sumatera Barat tahun 2010 adalah 25,74 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Sumatera Barat termasuk kategori menengah. Penduduk suatu wilayah dikategorikan penduduk muda bila median umur < 20, penduduk menengah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur > 30 tahun (BPS, 2010).

Rasio ketergantungan penduduk Provinsi Sumatera Barat adalah 60,22. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 60 orang usia tidak produkif (0-14 dan 65+), yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 53,07 sementara di daerah perdesaan sebesar 65,10.


(41)

5.1 Analis Deskriptif

5.1.1 Penyerapan Tenaga Kerja

Tenaga kerja sebagai salah satu dari faktor produksi merupakan unsur yang penting dan paling berpengaruh dalam mengelola dan mengendalikan sistem ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi maupun investasi. Adapun kondisi tenaga kerja di Sumatera Barat adalah sebagai berikut:

Penduduk usia kerja (PUK) merupakan penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. PUK mengalami perubahan seiring dengan adanya perubahan proses demografi. Dengan kata lain, jika jumlah penduduk terus bertambah maka jumlah PUK pun akan meningkat. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 PUK Sumatera Barat terus meningkat. Pada tahun 2010 jumlah PUK sekitar 3,3 juta orang, sedikit lebih rendah jika dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 3,38 juta orang. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan kerja. Angkatan kerja akan meningkat seiring dengan adanya peningkatan PUK. Angkatan kerja yang terus bertambah tanpa adanya perluasan lapangan kerja dapat menyebabkan pengangguran. Secara umum, jumlah angkatan kerja ini terus meningkat. Tahun 2010 jumlah angkatan kerja telah mencapai 2,19 juta orang atau dua per tiga dari penduduk usia kerja.


(42)

Tabel 5.1 Keadaan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Jenis Kegiatan/Type of

Activity 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas 3.139.890 3.161.612 3.225.756 3.325.258 3.383.457 3.306.264 Population 15 Years of Age and Over

Angkatan Kerja/Economically Active 1.963.332 2.501.800 2.106.711 2.127.512 2.172.002 2.194.040 Bekerja/Working 1.737.472 1.808.275 1.889.406 1.956.378 1.998.922 2.041.454 Pengangguran Terbuka /Unemploy. 225.860 243.525 217.305 171.134 173.080 152.586

TPAK/Tk. Partisipasi Angkatan Kerja 62,53 64,90 65,31 63,98 64,19 66,36 Labor Force Participation Rate (%)

TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) 11,50 9,73 10,31 8,04 7,97 6,95

Unemployment Rate(%)

Sumber: BPS, diolah.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan hasil bagi antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah tenaga kerja. TPAK merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 orang tenaga kerja. TPAK di Sumatera Barat berkisar antara 62-66 persen. Terjadinya fluktuasi TPAK ini disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang belum stabil, yang dapat mempengaruhi faktor-faktor produksi. Karena naik turunnya faktor produksi dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya permintaan dan penawaran tenaga kerja.

Besarnya pengangguran terlihat dari nilai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat Pengangguran Terbuka merupakan hasil bagi antara jumlah pengangguran terbuka/unemployment dengan jumlah angkatan kerja. TPT


(43)

Sumatera Barat pernah mencapai angka 11,5 persen di tahun 2005, yang kemudian menurun di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2010 TPT Sumatera Barat mencapai 6,95 persen. Walaupun TPT Sumatera Barat telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun masih jauh dari keadaan/tingkat full employment (4 persen).

Gambar 5.1 Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Sumber: BPS, diolah.

Gambar 5.1 memperlihatkan trend pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010. Pada Tahun 2005-2007 terjadi peningkatan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, akan tetapi pada Tahun 2007-2010 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menunjukkan trend menurun. Penurunan ini disebabkan terjadinya bencana alam yang melanda Sumatera Barat yaitu gempa bumi pada bulan Maret tahun 2007. Gempa bumi telah merusak sarana

2,00

3,92

4,29

3,42

2,13

2,08

1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50

2005 2006 2007 2008 2009 2010


(44)

prasarana serta infrastruktur seperti jalan, bangunan, dan irigasi sehingga berdampak langsung terhadap lapangan pekerjaan. Gempa bumi Tahun 2007 hanya tercatat di 5 Kabupaten/Kota yaitu di Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kota Bukitinggi, sehingga tidak sampai melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat. Demikian halnya pada tanggal 30 September 2009 juga terjadi gempa bumi besar di sebagian besar wilayah Sumatera Barat terutama di pusat pemerintahan dan perekonomian yaitu Kota Padang. Gempa bumi pada periode ini sempat melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat yang berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja.

Gambar 5.2 Persentase Penduduk yang Berumur 15 tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan UtamaTahun 2010

Sumber: BPS, diolah.

Berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa pada Tahun 2010 persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama dominan pada sektor pertanian dengan persentase sebesar 44 persen. Lapangan pekerjaan utama kedua adalah pada sektor perdagangan dengan

Pertanian 44%

Industri 7% Perdagangan

20%

Jasa Kemasyarakatan

18%

Lainnya 11%


(45)

persentase sebesar 20 persen, sedangkan sektor industri dengan persentase sebesar 7 persen merupakan lapangan pekerjaan yang paling rendah menyerap tenaga kerja.

Gambar 5.3 Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor/Lapangan Usaha di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Sektor/lapangan Usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Sumatera Barat periode 2005-2010 adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Pada Tahun 2010, sektor ini dapat menyerap tenaga kerja sebesar 44,10 persen. Sedangkan urutan kedua adalah sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, disusul sektor jasa, lainnya, dan industri pengolahan. Sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel Tahun 2010 dapat menyerap tenaga kerja sebesar 19,90 persen.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010

47,97

45,46 47,93 47,25 45,39 44,10

7,51 6,57 7,41 6,56 6,56 6,78

18,46 19,48 20,33 20,24 20,76 19,90

13,89 14,17

11,89 13,01 14,34

16,63

12,18 14,32 12,45 12,94

12,95 12,60

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Industri Pengolahan

Perrdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan


(46)

5.1.2 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai, penyusutan maupun belanja barang (termasuk biaya perjalanan, pemeliharaan dan pengeluaran rutin lainnya). Pengeluaran pembangunan ditujukan untuk pembiayaan pembangunan sebagai kegiatan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk menambah akumulasi modal masyarakat dalam bentuk sarana fisik maupun prasarana dasar. Dengan demikian pengeluaran pemerintah ini dapat mempengaruhi kesempatan kerja. Sebelum Tahun 2000 pengeluaran pemerintah menggunakan sistem tahun anggaran. Mulai tahun 2000 berdasarkan sistem tahun fiskal. Semenjak Tahun 2005 pengeluran rutin dan pengeluaran pembangunan digabung menjadi satu.

Tabel 5.2 Realisasi Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (juta rupiah)

Tahun Realisasi Belanja Daerah % Peningkatan

(1) (2) (3)

2005 931.908,63 11,53

2006 1.206.372,40 22,75

2007 1.245.441,50 3,14

2008 1.637.700,49 23,95

2009 1.837.245,56 10,86

2010 1.923.567,38 4,49

Sumber: BPS, diolah.

Dari tahun ke tahun pengeluaran pemerintah terus mengalami peningkatan. Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa persentase peningkatan belanja daerah pemerintah provinsi Sumatera Barat sempat di atas 20 persen yaitu pada tahun 2006 dan tahun 2008. Pada tahun 2010 realisasi belanja daerah pemerintah provinsi mencapai


(47)

1,923 trilyun rupiah dengan persentase peningkatan sebesar 4,49 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan belanja pemerintah daerah diharapkan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat pengangguran di Sumatera Barat.

Gambar 5.4 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja memperlihatkan pola yang sama (lihat Gambar 5.4). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi perbedaan arah antara pengeluaran pemerintah dengan penyerapan tenaga kerja, selain dikarenakan bencana alam yang terjadi pada Tahun 2007, peran swasta lebih dominan dibanding pemerintah. 0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5

2005 2006 2007 2008 2009 2010

pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pertumbuhan pengeluaran pemerintah


(48)

5.1.3 PDRB

PDRB sebagai ukuran produktivitas mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Selama kurun waktu 2005-2010, PDRB yang dihasilkan Provinsi Sumatera Barat mempunyai tren meningkat karena adanya peningkatan produksi maupun harga. Pada tahun 2010 PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Sumatera Barat mencapai 87,22 triliun rupiah, meningkat sebanyak 10,47 triliun rupiah dibandingkan tahun 2009. Bila digolongkan menurut sektor lapangan usaha, maka sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Barat. Dan pada tahun 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 20,79 triliun rupiah.

Tabel 5.3 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (milyar rupiah)

SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pertanian 11.433,00 13.396,52 14.754,87 17.379,93 18.381,92 20.792,32 Pertambangan &

Penggalian 1.514,21 1.829,48 2.059,94 2.356,17 2.556,10 2.763,86

Industri Pengolahan 5.084,34 6.055,97 7.179,24 8.597,36 9.279,51 10.197,21

Listrik, Gas & Air Bersih 666,71 754,79 822,19 863,21 898,66 924,62

Bangunan 2.472,64 2.972,40 3.290,15 3.941,92 4.317,98 5.498,73

Perdagangan, Hotel, &

Restoran 7.799,76 8.992,23 10.368,00 12.532,37 13.694,25 15.474,82 Pengangkutan &

Komunikasi 6.167,34 8.022,49 9.009,32 10.685,33 11.670,81 13.439,31 Keuangan, Persewaan

& Jasa Perusahaan 2.249,28 2.632,09 2.963,37 3.463,31 3.784,47 4.145,20

Jasa-jasa 7.287,29 8.373,62 9.351,98 11.134,91 12.169,26 13.985,18

PDRB ADHB 44.674,57 53.029,59 59.799,05 70.954,52 76.752,94 87.221,25 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat.


(49)

Berdasarkan Tabel 5.4 sektor pertanian sebagai basis utama perekonomian Sumatera Barat menyumbangkan kontribusi terbesar dengan rata-rata 24,64 persen selama periode 2005-2010. Bila dilihat secara rentang waktu dari Tahun 2005 ke Tahun 2010 terlihat bahwa struktur perekonomian di Sumatera Barat belum terjadi pergeseran struktur ekonomi yang signifikan. Sampai dengan Tahun 2010 struktur perekonomian Sumatera Barat masih didominasi oleh tiga sektor utama yakni sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Peranan sektor-sektor tersebut secara total melebihi 50 persen dari total PRDB Sumatera Barat.

Tabel 5.4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010

SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Rata-rata

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Pertanian 25,59 25,26 24,67 24,49 23,95 23,84 24,64 Pertambangan &

Penggalian 3,39 3,45 3,44 3,32 3,33 3,17 3,35 Industri Pengolahan 11,38 11,42 12,01 12,12 12,09 11,69 11,78 Listrik, Gas & Air

Bersih 1,49 1,42 1,37 1,22 1,17 1,06 1,29 Bangunan 5,53 5,61 5,50 5,56 5,63 6,30 5,69 Perdagangan, Hotel,

& Restoran 17,46 16,96 17,34 17,66 17,84 17,74 17,50 Pengangkutan &

Komunikasi 13,81 15,13 15,07 15,06 15,21 15,41 14,95 Keuangan,

Persewaan & Jasa Perusahaan

5,03 4,96 4,96 4,88 4,93 4,75 4,92 Jasa-jasa 16,31 15,79 15,64 15,69 15,86 16,03 15,89

PDRB ADHB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00


(50)

Gambar 5.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010 memperlihatkan trend yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berkorelasi atau berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat. Pada Tahun 2007 dan 2010 terlihat perbedaan arah antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja (Gambar 5.5). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal ini lebih dikarenakan adanya musibah gempa bumi yang memporak-porandakan Sumatera Barat.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi terus meningkat karena adanya

pembangunan/rekonstruksi pasca gempa yang memberikan nilai tambah pada sektor bangunan. 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Pertumbuhan Ekonomi


(51)

5.1.4 Upah Riil

Tingkat upah sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan pekerja. Upah merupakan balas jasa yang diterima pekerja atas keikutsertaannya dalam suatu kegiatan ekonomi. Upah Riiladalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima.

Tabel 5.5 Rata-rata Upah Nominal dan Upah Riil Pekerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (rupiah)

Tahun Upah Nominal Upah Riil

(1) (2) (3)

2005 845.837 1.037.914

2006 997.956 1.111.905

2007 1.155.640 1.155.640

2008 1.213.302 1.097.614

2009 1.486.012 1.274.016

2010 1.529.383 1.197.731

Sumber: BPS, diolah.

Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa upah nominal terus meningkat, sedangkan upah riil berfluktuasi tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan upah riil telah diperhitungkan dengan adanya inflasi. Pada tahun 2010 upah nominal yang diterima pekerja di Sumatera Barat mencapai Rp. 1.529.383,00 meningkat jika dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai Rp. 1.486.012,00. Sedangkan upah riil di tahun 2010 sedikit mengalami penurunan dari Rp. 1.274.016,00 di tahun 2009 menjadi Rp. 1.197.731,00. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upah nominal lebih rendah dari peningkatan harga-harga. Akan tetapi dengan menurunnya upah riil justru diharapkan lebih mendorong


(52)

sektor-sektor industri yang padat karya untuk lebih meningkatkan produksi sehingga akan lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Gambar 5.6 Pertumbuhan Upah Riil dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Pertumbuhan upah riil dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada rentang Tahun 2005 sampai dengan 2010 memperlihatkan pola/trend yang berlawanan arah. Hal ini berarti bahwa upah riil berkorelasi negatif dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika upah riil naik maka akan menurunkan penyerapan tenaga kerja, demikian sebaliknya apabila upah riil turun maka penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Walaupun upah nominal terus mengalami peningkatan (Tabel 5.5) akan tetapi upah riil mengalami fluktuasi. Fluktuasi upah riil dikarenakan adanya pengaruh inflasi.

-10,00 -5,00 0,00 5,00 10,00 15,00

1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja


(53)

5.2 Analis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja menurut penyusunnya, baik dari pengeluaran pemerintah (G), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan upah riil (WP).

Sebelum menganalisa lebih lanjut besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi model regresi. Setelah semua asumsi model regresi terpenuhi kemudian dilanjutkan pengujian terhadap model penelitian untuk memperoleh model estimasi terbaik. Pengolahan data untuk melakukan uji asumsi dan mendapatkan model dari fungsi tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews versi 6.0.

5.2.1 Pengujian Asumsi 5.2.1.1 Asumsi Normalitas

Asumsi pertama yang diuji adalah normalitas atau kenormalan dari sisaan (residual) dari model estimasi. Metode pengujian dilakukan dengan dua cara yaitu membuat plot dari sisaan dan melakukan uji statistik. Berdasarkan hasil pengolahan data dihasilkan plot atau gambar distribusi dari sisaan. Secara kasar, distribusi sisaan yang ditunjukkan oleh gambar sudah mengikuti bentuk kurva normal.


(54)

Gambar 5.7 Hasil Uji Asumsi Normalitas

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti, asumsi kenormalan dari sisaan diuji dengan tes Bera. Hipotesis yang diajukan dalam pengujian Jarque-Bera adalah data sisaan berdistribusi normal. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah sisaan tidak berdistribusi normal. Nilai Jarque-Bera yang diperoleh dari hasil pengolahan adalah sebesar 0,918930 dengan nilai probabilitas sebesar 0,631621 atau lebih besar dari α = 0,05. Berdasarkan nilai tersebut maka keputusan yang diambil adalah tidak menolak hipotesis nol. Artinya data sisaan mengikuti distribusi normal, sehingga asumsi kenormalan dari sisaan dalam model sudah terpenuhi.

5.2.1.2 Asumsi Autokorelasi

Asumsi kedua yang diuji dalam model estimasi adalah adanya autokorelasi antara observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu

0 4 8 12 16 20 24

-0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4

Series: Standardized Residuals Sample 2005 2010

Observations 114 Mean 1.95e-18

Median -0.006919

Maximum 0.482552

Minimum -0.576583

Std. Dev. 0.210962

Skewness -0.218607

Kurtosis 2.952016

Jarque-Bera 0.918930 Probability 0.631621


(55)

dengan error masa sekarang. Metode pemeriksaan atau deteksi autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin-Watson. Hipotesis yang diajukan dalam kedua uji ini adalah model tidak mengandung autokorelasi baik positif maupun negatif. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah model mengandung autokorelasi.

Tabel 5.6 Hasil Uji Asumsi Autokorelasi Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991

Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854

S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863

F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

Gambar 5.8 Kriteria Uji Asumsi Autokorelasi

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson (dw) sebesar 1,830430. Nilai dL dan dU pada tabel (0,05; 114; 4) masing-masing sebesar 1,61636 dan 1,7664; sehingga daerah penolakan H0 adalah d <1, 61636

atau d > 2,2336. Nilai dw hasil observasi terletak diantara dU dan 4-dU sehingga d

0 1,61636 1,766 1,83043 2,233 2,38364 4

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasi positif

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasi negatif Tidak Tolak H0

tidak ada masalah Otokorelasi

Tidak ada kesimpulan

Tidak ada kesimpula


(1)

Kode Kabupaten/Kota Tahun Bekerja PDRB Pengeluaran

Pemerintah Upah Riil

1307 Agam 2005 163.760 2.325.162 255.892 1.079.730 1307 Agam 2006 175.976 2.468.762 339.567 1.011.960 1307 Agam 2007 194.544 2.626.067 483.048 986.367 1307 Agam 2008 192.364 2.792.887 575.083 973.853 1307 Agam 2009 198.408 2.929.872 657.407 1.199.923 1307 Agam 2010 198.682 3.096.175 624.577 1.160.194 1308 Lima Puluh Kota 2005 148.505 2.125.657 218.348 1.209.275 1308 Lima Puluh Kota 2006 139.713 2.255.102 338.565 1.198.534 1308 Lima Puluh Kota 2007 154.579 2.398.598 435.608 1.189.657 1308 Lima Puluh Kota 2008 158.475 2.545.802 594.295 1.168.349 1308 Lima Puluh Kota 2009 161.663 2.684.575 648.462 1.226.660 1308 Lima Puluh Kota 2010 168.563 2.846.149 606.377 1.152.244 1309 Pasaman 2005 95.658 1.022.263 171.617 1.108.357 1309 Pasaman 2006 109.710 1.081.242 278.772 1.097.913 1309 Pasaman 2007 110.344 1.145.235 357.729 1.095.435 1309 Pasaman 2008 111.267 1.214.884 409.029 1.055.360 1309 Pasaman 2009 105.165 1.289.261 466.572 1.121.897 1309 Pasaman 2010 105.560 1.368.460 440.908 1.214.583 1310 Solok Selatan 2005 49.766 486.320 78.284 1.076.904 1310 Solok Selatan 2006 48.403 514.760 219.301 1.010.003 1310 Solok Selatan 2007 51.753 546.075 262.181 968.954 1310 Solok Selatan 2008 52.818 579.479 304.679 992.576 1310 Solok Selatan 2009 54.887 614.814 389.645 978.151 1310 Solok Selatan 2010 63.111 653.447 357.792 1.028.027 1311 Dharmas Raya 2005 69.571 846.238 101.048 1.000.660 1311 Dharmas Raya 2006 73.001 899.309 193.613 975.577 1311 Dharmas Raya 2007 72.451 957.502 298.144 909.658 1311 Dharmas Raya 2008 75.551 1.020.080 388.453 889.015 1311 Dharmas Raya 2009 75.844 1.087.776 500.136 1.018.094 1311 Dharmas Raya 2010 87.419 1.158.558 518.572 1.065.961 1312 Pasaman Barat 2005 117.241 1.988.703 127.491 1.135.688 1312 Pasaman Barat 2006 133.696 2.115.152 259.446 1.090.782 1312 Pasaman Barat 2007 135.932 2.250.819 322.915 1.078.684 1312 Pasaman Barat 2008 143.122 2.394.935 399.206 1.077.355 1312 Pasaman Barat 2009 139.868 2.544.771 526.082 1.161.512 1312 Pasaman Barat 2010 158.617 2.707.343 556.642 1.113.411 1371 Kota Padang 2005 259.421 9.110.697 459.086 1.297.629 1371 Kota Padang 2006 277.716 9.577.496 614.440 1.292.119 1371 Kota Padang 2007 284.970 10.165.761 740.303 1.286.545


(2)

Kode Kabupaten/Kota Tahun Bekerja PDRB Pengeluaran

Pemerintah Upah Riil

1371 Kota Padang 2008 294.154 10.797.259 881.728 1.237.330 1371 Kota Padang 2009 297.203 11.345.637 1.038.700 1.460.776 1371 Kota Padang 2010 304.790 12.021.599 1.322.015 1.350.945 1372 Kota Solok 2005 19.702 394.217 112.147 1.221.540 1372 Kota Solok 2006 20.992 418.554 170.079 1.191.717 1372 Kota Solok 2007 23.016 445.152 230.724 1.167.471 1372 Kota Solok 2008 24.592 473.694 288.480 1.140.259 1372 Kota Solok 2009 24.844 497.623 372.936 1.323.006 1372 Kota Solok 2010 23.312 527.271 367.819 1.344.718 1373 Kota Sawahluto 2005 20.076 444.672 129.747 1.198.223 1373 Kota Sawahluto 2006 22.318 449.255 191.842 1.130.657 1373 Kota Sawahluto 2007 19.347 458.646 227.380 1.097.538 1373 Kota Sawahluto 2008 19.190 474.379 278.259 1.026.710 1373 Kota Sawahluto 2009 19.960 494.708 317.442 1.450.640 1373 Kota Sawahluto 2010 25.414 519.599 343.423 1.378.492 1374 Kota Pd. Panjang 2005 16.708 311.166 131.275 1.199.725 1374 Kota Pd. Panjang 2006 19.999 330.173 170.960 1.121.955 1374 Kota Pd. Panjang 2007 18.069 351.228 196.536 1.087.659 1374 Kota Pd. Panjang 2008 23.274 373.249 248.443 1.071.892 1374 Kota Pd. Panjang 2009 23.091 396.829 353.602 1.342.561 1374 Kota Pd. Panjang 2010 20.970 420.843 313.988 1.265.751 1375 Kota Bukittinggi 2005 39.399 762.433 157.119 1.074.304 1375 Kota Bukittinggi 2006 43.790 809.614 224.543 1.006.427 1375 Kota Bukittinggi 2007 47.498 862.158 278.952 969.784 1375 Kota Bukittinggi 2008 48.786 918.915 290.389 1.137.121 1375 Kota Bukittinggi 2009 50.363 969.591 407.955 1.258.408 1375 Kota Bukittinggi 2010 46.800 1.028.923 403.939 1.229.001 1376 Kota Payakumbuh 2005 41.717 644.369 164.148 1.222.205 1376 Kota Payakumbuh 2006 43.249 684.222 216.425 1.187.119 1376 Kota Payakumbuh 2007 44.758 727.773 259.623 1.165.677 1376 Kota Payakumbuh 2008 47.009 774.486 305.317 1.152.669 1376 Kota Payakumbuh 2009 49.544 819.397 402.579 1.307.948 1376 Kota Payakumbuh 2010 53.192 871.654 388.136 1.273.541 1377 Kota Pariaman 2005 26.029 561.912 127.630 1.136.047 1377 Kota Pariaman 2006 23.293 589.877 212.546 1.100.450 1377 Kota Pariaman 2007 29.349 621.504 246.529 1.015.117 1377 Kota Pariaman 2008 27.605 656.250 266.139 960.041 1377 Kota Pariaman 2009 29.760 685.598 325.207 1.213.049 1377 Kota Pariaman 2010 31.932 721.657 357.836 1.147.257


(3)

Lampiran 2

Hasil Uji Regresi Berganda Data Panel Menggunakan EViews 6

Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel Least Squares Date: 10/27/11 Time: 11:35 Sample: 2005 2010

Periods included: 6

Cross-sections included: 19

Total panel (balanced) observations: 114

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 10.32258 3.447236 2.994452 0.0035

LOG(G) 0.292661 0.120049 2.437843 0.0167

LOG(PDRB) 0.780880 0.053316 14.64630 0.0000

LOG(WP) -0.987688 0.265385 -3.721722 0.0003

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.936533 Mean dependent var 11.21061

Adjusted R-squared 0.922046 S.D. dependent var 0.837396 S.E. of regression 0.233803 Akaike info criterion 0.102879 Sum squared resid 5.029071 Schwarz criterion 0.630917 Log likelihood 16.13591 Hannan-Quinn criter. 0.317180 F-statistic 64.64643 Durbin-Watson stat 1.784526 Prob(F-statistic) 0.000000

0 4 8 12 16 20 24

-0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4

Series: Standardized Residuals Sample 2005 2010

Observations 114

Mean 1.95e-18

Median -0.006919

Maximum 0.482552

Minimum -0.576583

Std. Dev. 0.210962

Skewness -0.218607

Kurtosis 2.952016

Jarque-Bera 0.918930


(4)

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3.220657 (18,92) 0.0001

Cross-section Chi-square 55.707116 18 0.0000

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 17.323482 3 0.0006

G PDRB WP

G 1.000000 0.719973 0.294831

PDRB 0.719973 1.000000 0.256192

WP 0.294831 0.256192 1.000000

Descriptive Statistics for RESID01 Categorized by values of CROSSID Date: 10/28/11 Time: 08:49 Sample: 2005 2010

Included observations: 114

CROSSID Std. Dev. Obs.

1 0.230170 6

2 0.137711 6

3 0.163229 6

4 0.356943 6

5 0.151548 6

6 0.186192 6

7 0.336995 6

8 0.163240 6

9 0.229316 6

10 0.256786 6

11 0.163162 6

12 0.312535 6

13 0.307451 6

14 0.093737 6

15 0.225435 6

16 0.219864 6

17 0.141884 6

18 0.305494 6

19 0.152370 6


(5)

Dependent Variable: LOG(EMP)

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/28/11 Time: 08:59

Sample: 2005 2010 Periods included: 6

Cross-sections included: 19

Total panel (balanced) observations: 114 Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.968477 1.311031 5.315265 0.0000

LOG(G) 0.235614 0.077469 3.041396 0.0031

LOG(PDRB) 0.761154 0.026763 28.44034 0.0000

LOG(WP) -0.675332 0.102880 -6.564269 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991

Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854 S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863 F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.934882 Mean dependent var 11.21061

Sum squared resid 5.159940 Durbin-Watson stat 1.606376

Estimation Command:

=========================

LS(CX=F,WGT=CXDIAG,COV=CXWHITE) LOG(EMP) C LOG(G) LOG(PDRB) LOG(WP) Estimation Equation:

=========================

LOG(EMP) = C(1) + C(2)*LOG(G) + C(3)*LOG(PDRB) + C(4)*LOG(WP) + [CX=F] Substituted Coefficients:

=========================

LOG(EMP) = 6.96847734847 + 0.235614149202*LOG(G) + 0.761153960115*LOG(PDRB) - 0.675331943423*LOG(WP) + [CX=F]


(6)

Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat (dibimbing oleh

FIFI

DIANA THAMRIN

).

Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting dan

urgent

mengingat erat kaitannya dengan pengangguran baik secara langsung maupun

tidak langsung. Dalam masalah ketenagakerjaan menunjukkan bahwa semakin

tinggi angka pengangguran maka akan meningkatkan probabilitas kemiskinan,

kriminalitas, dan fenomena-fenomena sosial-ekonomi di masyarakat.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi selama periode 2005-2010 di Provinsi

Sumatera Barat ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan penyerapan

tenaga kerja. Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk

menganalisis keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat dan pengaruh

pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di

Sumatera Barat serta besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

yang terkait. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan sekaligus

rekomendasi mengenai strategi kebijakan yang optimal untuk mengurangi

tingginya pengangguran di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari BPS

tahun 2005

2010 yang meliputi data Pengeluaran Pemerintah, PDRB Atas Dasar

Harga Konstan (PDRB ADHK), dan Upah Riil. Analisis yang digunakan adalah

analisis deskriptif dan analisis regresi berganda data panel dengan

fixed effects

model.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di Sumatera

Barat sangat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah rill.

Ketiga variabel tersebut berpengaruh secara signifikan. Variabel yang paling

tinggi pengaruhnya adalah PDRB dengan elastisitas 0,7612. Sementara upah riil

memiliki elastisitas sebesar -0,6753. Sedangkan pengeluaran pemerintah

menghasilkan elastisitas sebesar 0,2356.

Dengan mengetahui karakteristik penyerapan tenaga kerja di Sumatera

Barat, diharapkan pemerintah daerah Sumatera Barat lebih memperhatikan

masalah ketenagakerjaan. Selain itu, pemerintah daerah Sumatera Barat

hendaknya mendorong sektor pertanian dengan peningkatan teknologi pertanian

yang

tepat

guna,

menetapkan

upah

minimum

sewajarnya

dengan

mempertimbangkan standar biaya hidup yang diikuti dengan

skill dan

produktivitas pekerja, serta menciptakan stimulus fiskal bagi perluasan tenaga

kerja.