Harian Mimbar Umum Di Medan (1945-1998)

(1)

LAMPIRAN

1. Pengurus PWI cabang Medan periode 1951-1952 :

Ketua : Amarullah O. Lubis

Wakil Ketua : Djafar

Sekretaris : Syamsuddin Manan

Sekretaris II : Ani Idrus

Bendahar : A. Manan Karim

2. Pengurus PWI cabang Medan periode 1952-1953 :

Ketua : Djafar

Sekretaris : Syamsuddin Manan

Sekretaris II : Ani Idrus

Bendahara : A. Manan Karim

3. Pengurus PWI cabang Medan periode 1953-1963 :

Ketua : Ani Idrus

Wakil Ketua : Tengku Yafizham Wakil Ketua : A. Dahlan

Sekretaris : Syamsuddin Manan

Wakil Sekretaris : Narmin Suti

Bendahara : A. Manan Karim

4. Pengurus PWI cabang Medan periode 1963-1965 :

Ketua : Imran Zouny

Wakil Ketua : Taridah Bangun Wakil Ketua : Burhanuddin Achmad


(2)

Sekretaris : Tan Fu Kiong

Bendahara : Sunaryo

5. Pengurus PWI cabang Medan periode 1965-1967 :

Ketua : Mayor. A. R. Surbakti

Wakil Ketua : Taridah Bangun Wakil Ketua : M. Arsyad Nuh Wakil Ketua : Narmin Suti

Sekretaris : Ridwan Siddik

Wakil Sekretaris : Zoel Libra

Bendahara : P. J. Massie

6. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1967-1971 :

Ketua : Anwar Efendi

Wakil Ketua : A. Manan Karim Wakil Ketua : Soffyan

Wakil Ketua : Narmin Suti

Sekretaris : M. Syarifuddin

Wakil Bendahara : Masri Habra

Bendahara : Hasanuddin

Wakil Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti

7. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1971-1976 :

Ketua : Anwar Efendi

Wakil Ketua : Soffyan Wakil Ketua : Ibrahim Sinik


(3)

Wakil Ketua : Faudin Daulay Wakil Ketua : Sahata Hutagalung

Sekretaris : M. Syarifuddin

Wakil Sekretaris : Ali Soekardi

Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti Wakil Bendahara : Djomardi

8. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1976-1981 :

Ketua : Anwar Efendi

Wakil Ketua : Soffyan Wakil Ketua : Ibrahim Sinik Wakil Ketua : A. Farid Nasution Wakil Ketua : Faudin Daulay

Sekretaris : M. Syarifuddin

Wakil Sekretaris : Zakaria Nasution Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti Wakil Bendahara : Rifyan Gani

9. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1981-1985 :

Ketua : Anwar Efendi

Wakil Ketua : Ibrahim Sinik Wakil Ketua : Zaidan BS Wakil Ketua : M. Yazid

Sekretaris : M. Syarifuddin


(4)

Wakil Sekretaris : Syahrial

Bendahara : Prabudi Said

Wakil Bendahara : Ali Soekardi Wakil Bendahara : O. S. L. Tobing Wakil Bendahara : Muhammad T. W. H.

10.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1985-1989 :

Ketua : M. Yazid

Wakil Ketua : Soffyan

Wakil Ketua : M. Syarifuddin Wakil Ketua : A. Raauf Syaaf

Sekretaris : Zaki Abdullah

Wakil Sekretaris : Syahrial Wakil Sekretaris : Zakaria Piliang

Bendahara : Ali Sukardi

Wakil Bendahara : M. Lud Lubis

11.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1989-1993 :

Ketua : M. Yazid

Wakil Ketua : Syahrial

Wakil Ketua : Teruna Jasa Said Wakil Ketua : Soffyan

Sekretaris : Zaki Abdullah

Wakil Sekretaris : A. Kaidir Zailani Wakil Sekretaris : Drs. Chairuddin Wahid


(5)

Bendahara : Ali Soekardi Wakil Bendahara : Zakaria Piliang

12.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1993-1997 :

Ketua : Zaki Abdullah

Wakil Ketua : A. Kadir Zailani Yahya Wakil Ketua : R. M. Hutagalung

Sekretaris : Syamsuar Djamil

Wakil Sekretaris : Drs. Chairuddin Wahid

Bendahara : Ronny Simon


(6)

DAFTAR INFORMAN

1) Nama : Muhammad T. W. H.

Umur : 80 Tahun

Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum Alamat : Jalan Sei Alas No. 6 Medan

2) Nama : Muhammad Lud Lubis

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Staf Ahli Harian Mimbar Umum Alamat : Jalan Pahlawan No. 9 Medan. 3) Nama : Ali Soekardi

Umur : 79 Tahun

Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum

Alamat : Jalan Letterpress No. 9 Komplek Wartawan Medan 4) Nama : Ibrahim Sinik

Umur : 77 Tahun

Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum

Alamat : Jalan Mayjend. Sutoyo Siswomihardjo No. 107-109 Medan

5) Nama : M. Yazid

Umur : 72 Tahun

Pekerjaan : Mantan Ketua PWI Sumatera Utara Alamat : Jalan Bambu III No. 19 Medan


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Wishnu, Pers dan Penguasa, Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1995.

C. Smith, Eduard, Pembredelan Pers Indonesia, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1983.

Deppen RI, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2002. Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Djunaedi, Purwadi, dkk., Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta Otobiografi

30 Tahun Seorang Wartawan, Jakarta: Q Communication, 2009.

Djuroto, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Gandhi, L. M., UU Pokok Pers, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Harian Mimbar Umum edisi Rabu 24 Juni 1970.

Idrus, Ani, Sekilas Pengalaman Dalam Pers dan Organisasi PWI Sumut, Medan: Waspada, 1996.

Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992.

Kencana, Inu Safiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Koesworo, F. X., Di Balik Tugas Kuli Tinta, Surakarta: Sebelas Maret University, 1994. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Munandar, Haris dan Dudy Priatna (Eds.), Mass Media and Modern Society, Jakarta: Kencana, 2003.

Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Oetama, Jakob, Perspektif Pers Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

Reid, Anthony, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

R., Sjahnan, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah Kodam II-/BB, 1982.

Said, Mohammad, Sejarah Pers di Sumut, Medan: Waspada, 1976.

Said, Tribuana, Sejarah Pers Nasional dan Perkembangan Pers Pancasila, Jakarta: Saksama, 1988.

Samsudin, Mengapa G30S/PKI gagal, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Soekardi, Ali, Catatan Kenangan, Medan: Wal Ashri Publishing, 2010.


(8)

Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta: Tarawang Press, 2001. Syah, Sirikit, Media Massa di Bawah Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Tanah Air Bangsa, Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Iboekoe, 2007.

Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksanaan Tatengger di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Tatengger (Batu Bertulis Sebagai Tanda Lokasi/Tempat Perjuangan Masa

1945-1949) di Kotamadya Medan dan Sekitarnya, Medan, 1995.

Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Naskah Redaksi UUD 1945 (Amandemen Lengkap), Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.

T. W. H., Muhammad, Parada Harahap, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2010.

___________, Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004.

___________, Perlawanan Pers Sumut Terhadap Gerakan PKI, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996.

___________, Sebelum dan Sesudah Proklamasi di Medan, Medan: Bali Scan, 2005.

___________, Sejarah Perjuangan Pers di Sumatera Utara, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2001.


(9)

BAB III

PERANAN HARIAN MIMBAR UMUM DALAM MENGISI

KEMERDEKAAN RI HINGGA PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER

TAHUN 1965

3.1.Perkembangan Organisasi Kewartawanan di Medan

Dinamika perkembangan zaman mempengaruhi pergerakan dan pola pikir di dalam dunia kewartawanan di Indonesia. Awalnya pejuang pers lebih cenderung atau lebih fokus untuk menerbitkan surat kabar yang membawa suara republiken dan mengisinya dengan berita-berita yang mengajak masyarakat untuk bersatu menentang segala bentukpenjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Seiring perkembangan zaman, pemikiran wartawan menjadi semakin luas, maju dan jauh ke depan. Kemudian muncul gagasan untuk membentuk sebuah organisasi sebagai wadah penyaluran aspirasi dan juga meningkatkan rasa solidaritas antar wartawan surat kabar republiken.

Pada masa pendudukan Belanda, sebenarnya telah ada dibentuk semacam organisasi kewartawanan.Organisasi kewartawanan pertama yang berdiri di Medan adalah

Inlandsche Journalisten Bond yang disingkat menajadi IJB pada tahun 1918. IJB merupakan

organisasi kewartawanan yang berpusat di Surakarta. Selanjutnya, pada tahun 1919 berdiri perkumpulan wartawan Indonesia – Tinghoa yang memakai nama Inlandsche & Chinese

Journalisten Bond.43 Namun, kedua organisasi ini tidak terlihat jelas segala bentuk aktivitasnya dan hilang begitu saja. Pada 1925, berdiri perkumpulan wartawan Journalisten Bond Medan


(10)

dengan salah satu wartawan yang bergabung di dalamnya bernama Abdul Hamid Lubis. Awalnya Journalisten Bond Medan dinilai mempunyai visi dan misi yang jelas sebagai perkumpulan wartawan yaitu lewat usahanya dalam meredam polemik yang terjadi antar surat republiken pada saat itu. Namun, seiiring berjalannya waktu, misi Journalisten Bond Medan telah melenceng jauh dari tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut. Organisasi ini menjadi lebih fokus untuk menyikapi perjudian yang pada saat itu dilegalkan oleh pemerintah Belanda. Hingga pada akhirnya segala bentuk aktivitas dari Journalisten Bond Medan berhenti akibat banyaknya anggota yang memilih untuk keluar. Sebahagian besar dari mereka memberikan penilaian bahwa organisasi ini tidak memperhatikan kesejahteraan anggotanya serta tidak serius untuk meningkatkan bobot dan kualitasnya sebagai organisasi kewartawanan.

Selanjutnya, terdapat dua perkumpulan wartawan yang pernah menghiasi perjalanan sejarah pers Sumatera Utara yaitu Persatuan Jurnalis Timur dan Wartawan Muslimin Indonesia. Persatuan Jurnalis Indonesia berdiri pada tahun 1930 dibawah kepemimpinan M. Kanoen dari surat kabar Pewarta Deli dan Lho Koei Fa dari surat kabar Sumatera Bin Poh. Sedangkan Wartawan Muslimin Indonesia ketua pengurusnya adalah Zainal Abidin Ahmad. Seluruh anggota perkumpulan ini adalah wartawan yang beragama Islam.

3.2. Berdirinya PWI Cabang Medan

Para wartawan yang ikut terlibat dalam kongres yang diadakan di Solo 9-10 Februari berhasil mencetuskan dan mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Secara umum, PWI sebagai organisasi kewartawanan diharapkan mampu merangkul seluruh surat kabar republiken untuk menyatukan visi dan misinya dalam melakukan perlawanan terhadap pengaruh asing yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PWI juga diharapkan


(11)

mampu menyelesaikan konflik internal yang terjadi antar sesama surat kabar republiken serta memperbaiki kesejahteraan dari wartawan itu sendiri. Terbentuknya PWI di Solo mendapat sambutan positif dari pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat dari kalangan wartawan.

Setelah itu, PWI mulai didirikan di tingkat daerah agar perannya sebagai wadah yang menaungi para wartawan semakin nyata terlihat. Gagasan untuk mendirikan PWI di kota Medan muncul ketika utusan PWI pusat yang berkunjung ke Medan yaitu Djawoto dan Djamal Ali menyarankan agar di Medan juga didirikan PWI. Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Gedung Taman Persahabatan pada Maret 1951 maka dalam pertemuan tersebut berhasil dibentuk pengurus PWI cabang Medan untuk pertama kalinya. Susunan kepengurusan PWI yang pertama kalinya adalah Amarullah O. Lubis sebagai ketua, Djafarsebagai wakil ketua, Syamsuddin Manan dan Ani Idrus sebagai sekretaris, serta A. Manan Karim sebagai bendahara. Syamsuddin Manan dan A. Manan Karim adalah wartawan yang berasal dari surat kabar Mimbar Umum.

Amarullah O. Lubis memimpin PWI cabang Medan kurang lebih hanya satu tahun. Posisinya kemudian diisi oleh Djafar yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua. Masa kepemimpinan Djafar juga hanya satu tahun dan dalam pemilihan kepengurusan selanjutnya pada tahun 1953, Ani Idrus terpilih sebagai ketua PWI cabang Medan selama beberapa periode hingga tahun 1963. Dalam beberapa periode tersebut, wartawan dari surat kabar Mimbar Umum tidak pernah absen dan selalu aktif dalam kepengurusan seperti Syamsuddin Manan dan Abdul Manan Karim. Artinya, harian Mimbar Umum selalu konsisten untuk menempatkan wartawannya agar turut ambil peran di dalam kepengurusan PWI cabang Medan. Perlu diketahui, pada masa itu jangka waktu dalam satu periode tidak mempunyai ketentuan yang tetap. Artinya, selama seseorang masih disenangi, maka ia akan tetap menjabat. Kemudian ketua yang telah


(12)

terpilih menentukan sendiri orang-orang yang akan mengisi kepengurusan. Dalam pemilihan pengurus secara keseluruhan, biasanya masih ada pengaruh atau intervensi dari pihak penguasa, baik itu pejabat negara atau pejabat militer. Saat itu lebih dikenal dengan istilah “titipan”.44

Dalam daftar kepengurusan PWI Sumatera Utara di atas, sejak awal tidak terdapat nama Arif Lubis. Itu dikarenakan Arif Lubis memang dikenal sebagai sosok yang lebih mengutamakan para anggotanya agar dapat tampil di depan publik. Arif Lubis kemudian dipercaya untuk memimpin Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) Sumatera Utara periode 1954-1965 dan periode 1968-1970. SPS merupakan sebuah organisasi yang dibentuk dengan tujuan dapat bertanggung jawab menanggulangi permasalahan yang bersangkutan dengan penerbitan dan perusahaan. Salah satu tugas SPS adalah membagi dan menjatah kertas sebagai bahan mentah surat kabar kepada percetakan surat kabar republik. Kertas yang dibagikan berbentuk gulungan dan dihitung dalam satuan kilogram. Namun, tidak diketahui secara pasti harga kertas per kilogram pasa masa itu. Yang menjadi anggota SPS adalah semua pemilik surat kabar dan percetakannya. Anggota SPS merupakan anggota dari PWI tetapi tidak dengan sebaliknya. Dalam masa-masa perlawanan terhadap pengaruh PKI, SPS juga memiliki peran yang tidak dapat dikesampingkan.

3.3. PKI Berhasil Menguasai PWI

Kekuatan PKI dalam bidang penerbitan surat kabar sebenarnya sudah lama melemah. Surat kabar yang berhaluan komunis seperti Harian Rakyat yang terbit pada tahun 1945 dan harian Pendorong yang terbit pada tahun 1952 terhenti penerbitannya dikarenakan kekurangan dana untuk biaya produksi sehari-hari. Orang-orang PKI yang ada di Medan tidak mempunyai modal yang cukup untuk melanjutkan umur dari surat kabar tersebut. Sebenarnya masih ada surat

44 Hasil wawancara dengan Ali Soekardi, wakil pemimpin redaksi Harian Analisa pada tanggal 2 Oktober


(13)

kabar lainnya yang pro terhadap PKI yaitu Gotong Royong. Akan tetapi, pengaruhnya sangat kecil atau hampir tidak ada saat itu. Kemudian, kedatangan Tan Fu Kiong dari Jakarta ke Medan membawa angin segar bagi para wartawan komunis di Medan. Hal ini menjadi titik balik kebangkitan surat kabar komunis dan menghiasai sejarah panjang tentang perjalanan pers di Sumatera Utara.

Tan Fu Kiong adalah seorang wartawan dari surat kabar Harapan, surat kabar milik PKI yang terbit di Jakarta.45 Ia dikenal sebagai sosok yang cerdik dan pintar memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada. Ia juga dikenal sebagai orang yang mampu memperalat orang lain sebagai politik adu domba atau sebagai tameng untuk melindungi dirinyademi mencapai tujuannya. Mereka yang dimanfaatkan adalah orang-orang yang cukup berpengaruh di lingkungannya masing-masing. Beberapa di antaranya adalah Amir Hasan Lubis alias Buyung Gandrung dari mingguan Mimbar Teruna, Kepala Penerangan Daerah Militer (Kapendam) I BB Mayor. A. R. Surbakti dan Gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu.

Sebelum Tan Fu Kiong menjalankan aksinya, ia terlebih dahulu melancarkan strategi untuk mendapatkan dukungan dan rasa simpati dari masyarakat khususnya masyarakat dari etnis Tionghoa. Saat itu terjadi gejolak dan dinamika besar-besaran di lingkungan masyarakat Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah No. 10 pada akhir tahun 1950-an. Peraturan ini berisi tentang larangan terhadap masyarakat Tionghoa untuk mendirikan usaha di wilayah pedesaan hingga ke tingkat kecamatan. Artinya, masyarakat Tionghoa hanya boleh mendirikan usaha di wilayah perkotaan. Akibatnya, banyak warga etnis Tionghoa di Medan menjual toko dan usahanya. Mereka lebih memilih untuk kembali ke negara

45 Hasil wawancara dengan Ali Soekardi, wakil pemimpin redaksi Harian Analisa pada tanggal 2 Oktober


(14)

asal mereka. Peraturan ini dikeluarkan pemerintah agar masyarakat pribumi diberi kesempatan untuk bersaing dalam membuka usaha.

Situasi ini dimanfaatkan oleh Tan Fu Kiong dengan cara mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut melalui tulisan yang dimuatnya dalam surat kabar PKI. Hal ini dilakukan Tan Fu Kiong secara konsisten dan terus-menerus. Dapat diketahui hasilnya, masyarakat Tionghoa menjadi simpati kepada Tan Fu Kiong karena mereka menganggap ada yang membela kepentingan mereka. Sejalan dengan itu, secara otomatis dukungan dana mengalir kepada Tan Fu Kiong. Dana tersebut kemudian ia pergunakan sebagai modal untuk menerbitkan kembali surat kabar komunis di Medan dan membantu organisasi-organisasi yang mendukung komunis. Masyarakat Tionghoa semakin merasa aman karena mereka telah memiliki wadah yang memperjuangkan kepentingan mereka.

Di sisi lain, sedang berlangsung perbedaan prinsip di dalam internal kepengurusan PWI yaitu isu tentanggender. Saat itu yang menduduki jabatan ketua adalah Ani Idrus. Ia memimpin PWI cabang Medan sejak tahun 1953. Isu ini semakin hangat ketika Ani Idrus dikritik oleh anggotanya sendiri yaitu Amir Hasan Lubis dari mingguan Mimbar Teruna. Secara terang-terangan Amir Hasan Lubis menyatakan rasa ketidaksenangannya karena dipimpin oleh seorang perempuan. Sedangkan anggota kepengurusan PWI di dominasi oleh kaum laki-laki. Ia menggambarkan para pengurus seperti kawanan lebah yang melayani ratunya. Perlu diketahui, Mimbar Teruna merupakan pecahan dari harian Mimbar Umum. Pemimpin redaksinya adalah Amir Hasan Lubis. Sebelumnya ia merupakan bagian dari staf redaksi Mimbar Umum namun karena terjadi perbedaan prinsip dengan Arif Lubis maka Amir Hasan Lubis memilih untuk keluar dan menerbitkan sebuah mingguan yaitu Mimbar Teruna. Sedangkan Ani Idrus dari surat kabar Waspada. Situasi ini tidak dapat dipungkiri membawa pengaruh yang tidak baik terhadap


(15)

hubungan kedua surat kabar yang dikenal sebagai barisan terdepan pers perjuangan tersebut. Akan tetapi, visi dan misi keduanya tidak berubah yaitu bersama-sama berjuang menentang segala bentuk kegiatan PKI di Medan.

Tan Fu Kiong melihat kondisi ini sebagai peluang agar orang-orang komunis bisa menguasai PWI sesegera mungkin. Sebelumnya orang-orang PKI sudah ada yang terlebih dahulu mengisi kursi di dalam struktur pemerintahan. Hal ini merupakan dampak dari konsep politik Presiden Soekarno yang mencoba menggabungkan tiga aliran sekaligus yaitu nasionalisme, agama dan komunis. Ketiganya lebih dikenal dengan istilah Nasakom. PKI menggunakan dalih Nasakomisasi untuk menuntut kursi dalam pemerintahan dan Nasakominasi angkatan bersenjata.46 PKI sering menentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada kepentingan mereka. PKI juga tidak segan-segan untuk menyerang para menteri atau pejabat lainnya yang bersikap anti terhadap PKI.

Pada tanggal 1 Juni 1959, Tan Fu Kiong menerbitkan Harian Harapan di Medan dengan ia sendiri sebagai pemimpin redaksinya. Selain itu, ada beberapa surat kabar lainnya yang juga berhaluan komunis yaitu surat kabar Gotong Royong yang terbit pada tanggal 4 Oktober 1961. Pemimpin redaksinya adalah Umar Baki alias Suhaimi. Kemudian ada lagi surat kabar Bendera Revolusi yang dipimpin oleh Imran Zouny. Sebelumnya surat kabar ini bernama harian Patriot. Namun, sejak 31 Mei 1959 namanya berganti menjadi Bendera Revolusi. Gerwani yang merupakan organisasi wanita pro PKI juga mempunyai surat kabarnya sendiri yaitu Obor Revolusi yang dipimpin oleh Rumiati. Khusus untuk Imran Zouny, ia dikenal sebagai orang yang memiliki ambisi agar dikenal oleh masyarakat dan ingin menjadi ketua PWI Sumatera Utara. Namun, hal itu sulit terwujud karena ia merupakan seorang pengikut PKI. Imron Zouny dan tan


(16)

Fu Kiong kemudian memanfaatkan Amir Hasan Lubis yang diawal tadi disebutkan mempunyai rasa sentimen pribadi terhadap Ani Idrus sebagai ketua PWI.

Gambar 7. Harian Harapan edisi Kamis 14 Januari 1965 (Sumber: Koleksi Pribadi).

Tan Fu Kiong dan Imran Zouny secara sengaja menimbulkan isu agar kondisi internal di dalam kepengurusan PWI menjadi semakin panas. Tujuan utamanya untuk menyerang dan melengserkan Ani Idrus dari kursi ketua PWI cabang Medan. Saat itu diketahui bahwa PWI telah menerima kucuran dana dari Panglima A. Manap Lubis sebesar Rp. 400.000. Dana tersebut ditujukan kepada Yayasan Balai Wartawan agar bisa digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana serta meningkatkan kualitas wartawan. Penyerahan dana ini langsung diterima oleh Ani Idrus selaku ketua PWI pada saat itu. Namun, Tan Fu Kiong dan Imran Zouny menyebarkan isu yang menyebutkan bahwa dana tersebut sebenarnya bukan untuk diserahkan kepada Yayasan Balai Wartawan melainkan untuk dibagi-bagikan secara merata kepada semua pengurus. Isu ini mampu menimbulkan perpecahan di dalam kepengurusan PWI. Sebahagian pengurus menjadi bersikap oposisi dan kriris kepercayaan terhadap Ani Idrus. Dampaknya posisi Ani Idrus sebagai


(17)

ketua mulai goyah hingga puncaknya pada rapat pemilihan pengurus pada tahun 1963 Ani Idrus tidak memperoleh dukungan.

Selanjutnya, jabatan ketua PWI cabang Medan di pegang oleh Imran Zouny dan Tan Fu Kiong sebagai sekretaris. Sedangkan Suhaimi menjabat sebagai komisaris. Ketiganya kemudian dikenal sebagai motor penggerak surat kabar komunis di Medan. Mereka berhasil menguasai PWI cabang Medan dan itu membuat mereka semakin leluasa untuk melanjutkan rencana demi mencapai tujuan PKI. Di luar dari bidang pers, salah satu tokoh yang dikenal sebagai pengikut PKI di Medan adalah Andjarasmara. Ia merupakan seorang seniman dan pekerja budaya. Ia merupakan pentolan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan dan seni yang dibawah pengaruh PKI.

3.4. Surat Izin Terbit Harian Mimbar Umum Dicabut Pemerintah Atas Desakan PKI

Imran Zouny yang telah berhasil menjabat sebagai ketua PWI cabang Medan beserta dengan para pengikutnya semakin berani untuk melebarkan pengaruh ideologi komunis secara luas. Bagi mereka setiap pihak yang tidak sejalan dengan PKI maka akan disingkirkan. Contohnya, PWI yang saat itu telah ditunggangi oleh PKI menutup sejumlah surat kabar yang anti PKI dan justru memperbanyak surat kabar yang pro terhadap mereka. Tujuannya untuk semakin memperkuat kedudukan mereka, misalnya seperti mingguan Turang. Surat kabar komunis biasanya dicetak di percetakaan milik masyarakat Tionghoa yang rata-rata terletak di kawasan Kesawan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya terjadi di Medan melainkan di beberapa kota besar di Indonesia. Keadaan ini kemudian yang menjadi latar belakang dibentuknya Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) pada tanggal 28 September 1964


(18)

di Cipayung.47 BPS dibentuk sebagai wujud perlawanan terhadap PKI khususnya pers komunis

tidak lagi dilakukan secara sendiri-sendiri melainkan secara kolektif. Tampil sebagai pimpinan tertinggi di BPS pusat adalah Adam Malik, B. M. Diah dan Soemantoro.

Keberadaan BPS ini disambut dengan positif oleh tokoh pers yang ada di Sumatera Utara, khususnya di Medan. Mereka merasa BPS perlu dibentuk hingga ke tingkat daerah agar perlawanan terhadap PKI semakin terlihat nyata. Untuk wilayah Sumatera Utara, pengurus BPS pusat menunjuk Arif Lubis dari harian Mimbar Umum sebagai formatur guna membentuk kepengurusan BPS Sumatera Utara. Arif Lubis diberikan mandat sebagai formatur karena pada pertemuan di Cipayung karena Arif Lubis merupakan satu-satunya wartawan perwakilan dari Medan yang hadir. Setibanya di Medan, Arif Lubis kemudian mengadakan rapat terbatas dengan beberapa rekannya sesama wartawan yaitu Arsyad Yahya, Ismali A. U., Tribuana Said serta puluhan wartawan dari beberapa surat kabar anti PKI yang terbit di Medan. Pertemuan dilakukan pada tanggal 18 Oktober 1964 di kantor redaksi Mimbar Umum.48 Saat itu kantor redaksinya beralamat di Jalan Riau No. 79 Medan. Walaupun Arif Lubis yang dimandatkan oleh pengurus pusat untuk membentuk BPS Sumatera Utara namun hasil rapat memutuskan bahwa yang terpilih sebagai ketua adalah Tribuana Said dari surat kabar Waspada, Ismail A. U. dari surat kabar Pembangunan sebagai wakil ketua, Arsyad Yahya dari mingguan Waspada Teruna sebagai sekretaris dan Arif Lubis dari surat kabar Mimbar Umum sendiri sebagai bendahara. Belakangan Ismail A. U. menarik diri dari kepengurusan tanpa diketahui alasannya secara pasti dan memilih bergabung dengan pihak Imron Zouny.

47 Muhammad T. W. H., Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap Gerakan PKI, Medan: Yayasan

Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996, hal. 195.


(19)

Dibentuknya BPS ini bertujuan untuk mengembangkan, menyebarluaskan dan mempopulerkan ajaran-ajaran Soekarnoisme melalui media seperti surat kabar, radio dan televisi. Biaya untuk menjalankan BPS diperoleh dari iuran yang dikutip dari surat kabar yang menjadi anggota BPS. Jumlah iuran setiap anggota berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan jumlah oplah penjualan. Semakin besar oplah penjualan surat kabar tersebut maka semakin besar juga iuran yang harus disetor kepada pengurus BPS. Harian Mimbar Umum merupakan surat kabar dengan jumlah oplah yang tertinggi di Sumatera Utara dan mengikuti di bawahnya surat kabar Waspada. Harian Mimbar Umum membayar iuran sebesar Rp. 20.000 setiap bulannya. Selisih yang cukup jauh dibandingkan surat kabar lainnya yang membayar iuran sebesar Rp. 6.000 hingga iuran paling kecil adalah Rp. 2.500. Keberadaan BPS secara keseluruhan mendapat sambutan hangat dari kalangan individu maupun kelompok yang anti terhadap PKI.

Dengan berhasil dibentuknya BPS untuk wilayah Sumatera Utara, surat kabar BPS secara ramai-ramai memberitakan segala bentuk kegiatan dan perbuatan PKI. BPS menilai PKI telah bertindak di luar etika seperti aksi demontrasi di perkotaan dan penyerobotan lahan tanah yang sering terjadi di pedesaan. Mulai dari berita utama, tajuk rencana hingga pojok sentilan, seluruhnya ditujukan untuk menyerang para pengikut PKI di Medan. Harian Mimbar Umum merupakan salah satu surat kabar dengan jumlah oplah terbesar di Sumatera Utara pada saat itu mengisi halaman pojok sentilannya dengan cara memplesetkan nama salah satu tokoh PKI di Medan Yusuf Ajitorop menjadi “Yusuf Ajikurap”. Hal ini tentunya membuat orang-orang PKI menjadi berang dan marah terhadap isi sentilan tersebut. PKI kemudian menuntut Arif Lubis ke pengadilan. PKI yakin bahwa Arif Lubis yang memuat sentilan tersebut sekalipun identitas penulis disamarkan. Atas pengaduan ini, Arif Lubis sempat menjalani persidangan terkait sentilan yang ia terbitkan. Arif Lubis membantah bahwa sentilan tersebut sengaja ia buat untuk


(20)

menyindir Yusuf Ajitorop. Ia mengatakan bahwa banyak orang yang bernama Yusuf di Medan yang mempunyai penyakit kurap. Akhirnya Arif Lubis hanya dijatuhi hukuman percobaan oleh pengadilan. Secara keseluruhan, keberadaan surat kabar yang bernaungdi bawah BPS telah menjadi ancaman serius terhadap surat kabar PKI.

Di tengah upaya BPS berjuang melawan PKI, pada 17 Desember 1964 Presiden Soekarno justru mengeluarkan keputusan yang isinya menyatakan pembubaran BPS baik di pusat hingga ke tingkat daerah. Menurut BPS, keputusan ini merupakan rekayasa dan permainan politik dari PKI. PKI memang dikenal sebagai partai yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Soekarno. Melalui permainan politiknya, PKI berhasil melancarkan fitnah kepada BPS. PKI menuduh BPS sebagai organisasi yang dibiayai oleh badan intelijen Amerika, Central Inteligent of America (CIA). Ditemukan surat yang dijadikan sebagai bukti oleh PKI tentang adanya hubungan antara BPS dengan CIA. Surat tersebut berada di tangan Dr. Soebandrio, saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tuduhan ini sangat ampuh untuk menyerang BPS mengingat Presiden Soekarno adalah sosok yang dikenal sebagai anti kolinialisme dan anti neo-imperialisme. PWI yang di telah didominasi oleh orang-orang PKI juga menuding BPS melakukan pembelokan terhadap ajaran-ajaran Soekarnoisme sehingga kepanjangan dari BPS diplesetkan menjadi Badan “Pembunuh” Soekarnoisme.

Keputusan ini tentunya disambut gembira oleh orang-orang PKI. Kegembiraan ini diwujudkan dengan cara memecat seluruh wartawan surat kabar anggota BPS dari kepengurusan PWI tanpa ada pengecualian, baik kepengurusan di pusat maupun di daerah. Dari harian Mimbar Umum, beberapa nama tercatat yang menjadi korban pemecatan adalah Arif Lubis, Syamsuddin Manan, Muhammad T. W. H., Anwar Efendi, Bustamam Amir Hasan Lubis, Muhammad Lud Lubis, Abdul Azis Harahap, Adirsyah, Kamaluddin Lubis dan Poniman Syahri. Meskipun BPS


(21)

telah dibubarkan, namun harian Mimbar Umum tidak berhenti untuk tetap menyerukan agar masyarakat tidak terhasut oleh segala bentuk propaganda yang dilancarkan oleh PKI. Untuk halaman pojok sentilan pasca dibubarkannya BPS oleh pemerintah, harian Mimbar Umum meyindir PKI sebagai berikut:

Dengan pembubaran BPS, pasti ada selamatan. Tan Fu Kiong, Umar Baki (samaran Suhaimi, Imran Zouny masing-masing dari Harian Harapan. Gotong Royong dan Bendera Revolusi akam pesta meriah. Hidangannya tentu ……… cap-cai

Kita dari MU ucapkan selamat kepada Pesta talkin BPS

Moga-moga tambah uang masuk.49

Para wartawan harian Mimbar Umum juga melakukan sikap protes terhadap keputusan PWI yang memecat seluruh wartawannya dari kepengurusan.

PKI melihat surat kabar BPS seperti harian Mimbar Umum tetap konsisten melakukan perlawanan melalui berita yang diterbitkannya meskipun BPS sebagai wadah mereka telah dibubarkan. Oleh karena itu, PKI mendesak pemerintah untuk mencabut Surat Izin Terbit seluruh surat kabar yang pernah menjadi anggota BPS. Desakan PKI ini pun terwujud dengan dikeluarkannya keputusan oleh Menteri Penerangan pada tanggal 24 Februari 1965. Saat itu posisi Menteri Penerangan dijabat oleh Mayjend. Achmadi.50 Keputusan ini berisi tentang

pencabutan Surat Izin Terbit seluruh surat kabar yang pernah menjadi anggota BPS termasuk

49 Ibid., hal. 212.

50 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Naskah Resmi UUD 1945 (Amandemen Lengkap), Yogyakarta: Pustaka


(22)

harian Mimbar Umum di Medan. PKI menuduh harian Mimbar Umum sebagai anggota BPS secara terang-terangan menentang Nasakom, itu artinya harian Mimbar Umum dianggap sebagai surat kabar yang menentang kebijakan Presiden Soekarno. Dengan kata lain, PKI memanfaatkan konsep Nasakom sebagai alat untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan dan menyingkirkan seluruh pihak yang tidak sejalan dengan mereka. Tidak hanya di lingkungan pers tetapi juga di lingkungan pemerintahan dan badan legislatif. Hal ini semakin jelas terlihat dalam berita pojok harian Bendera Revolusi sebagai berikut:

- Koran-koran BPS telah digulung habis

Tapi kok Syamsuddin Manan dan Haji Dahlan masih anggota DPRD ya?

- Maunya sisa-sisa itu segera dihabisi

Kayak sisa nasi di celah gigi aja, mengganggu.51

Syamsuddin Manan merupakan wartawan harian Mimbar Umum yang juga menjadi anggota DPRD saat itu.

Setelah PKI berhasil membubarkan BPS dan menutup surat kabar BPS maka secara otomatis surat kabar yang terbit hanya surat kabar PKI. Pemberitaan dan informasi yang tersebar di masyarakat berat sebelah dan lebih memihak kepada kegiatan PKI. Sementara berita terhadap BPS dan surat kabarnya bersifat negatif. Surat kabar PKI seperti harian Harapan, Bendera Revolusi, Gotong Royong dan mingguan Turang berhasil membentuk dan menggiring opini publik bahwa BPS adalah sebuah lembaga yang kontra revolusi. Kontra revolusi kemudian digenerelalisasikan menjadi kontra terhadap segala bentuk kebijakan Presiden Soekarno. Dampaknya juga berimbas kepada wartawan-wartawan surat kabar BPS. Selain mengakibatkan


(23)

mereka menjadi penggangguran, mereka juga seolah-olah diperlakukan seperti “penyakit” di lingkungan masyarakat. Diluar surat kabar PKI, memang tercatat ada satu atau dua surat kabar yang tetap diiizinkan untuk terbit, namun surat kabar tersebut lebih memilih untuk bersikap netral terhadap situasi dan kondisi politik di Medan saat itu.

Gambar 8.Mingguan Turang edisi Selasa 22 Desember 1964 (Sumber: Koleksi Pribadi).

3.5. Staf Redaksi Harian Mimbar Umum Sebagai Pihak Di Balik Layar Surat Kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I

Ditutupnya harian Mimbar Umum menyebabkan staf redaksi dan para karyawannya menjadi pengangguran. Namun, para karyawan dan wartawan harian Mimbar Umum tetap datang ke kantor redaksi seperti biasanya sekalipun tidak ada kegiatan peliputan berita dan percetakan. Mereka mengisi waktu luang dengan berbagai kegiatan seperti membaca surat kabar yang terbit, bermain catur, membersihkan kantor dan lain sebagainya. Walaupun harian Mimbar Umum dihentikan penerbitannya namun Arif Lubis selaku pemimpin redaksi dan perusahaan tetap peduli akan kesejahteraan anggotanya. Ia mengupayakan tetap membayar gaji para


(24)

karyawan. Pada masa itu para karyawan mendapatkan enam kali gajian dalam setiap bulannya. Perinciannya sebagai berikut:

- Gajian Besar diterima oleh para karyawan setiap tanggal 1 atau 30 setiap bulannya. - Gajian Kecil diterima oleh para karyawan pada pertengahan bulan, biasanya pada tanggal

14 atau 15 setiap bulannya.

- Syarahan Mingguan diterima oleh para karyawan setiap hari Sabtu. Setiap bulannya mereka mendapatkan empat kali gaji syarahan mingguan setiap bulannya dan dibagikan secara merata.

Untuk bulan-bulan pertama, Arif Lubis mampu membayar gaji karyawannya secara penuh. Ia menjual satu unit mobil pribadinya agar dapat meringankan beban para karyawannya yang sekarang ini sedang menganggur. Namun, belakangan Arif Lubis hanya mampu membayar sekitar 50% gaji karyawan.

Arif Lubis terus berupaya mencari cara agar harian Mimbar Umum dapat diterbitkan kembali. Upaya ini kemudian membuahkan hasil bertepatan dengan rencana TNI Angkatan Darat yang hendak menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata. Sebelumnya telah ada surat kabar Berita Yudha yang juga diterbitkan oleh Angkatan Darat. Tujuan TNI menerbitkan surat kabar adalah agar dapat mengimbangi pemberitaan sepihak yang dilakukan oleh surat kabar PKI. Menteri/PANGAD Letjend. Ahmad Yani mengetahui betapa besarnya bahaya yang mengancam apabila massa non komunis sampai kehilangan pedoman.52 Di Jakarta, surat kabar Angkatan

Bersenjata terbit pada tanggal 15 Maret 1965 dan di Medan surat kabar ini baru mulai terbit untuk edisi pertamanya pada tanggal 1 April 1965. Kantor redaksinya adalah markas Koanda


(25)

(Komando Antar Daerah) yang terletak di Jalan Letjend. Suprapto, sekarang menjadi Komando Daerah Militer I Bukit Barisan ZENI. Saat itu yang menjabat sebagai Kepala Penerangan di Koanda adalah Letkol. B. H. T Siagian. Ia juga merangkap sekaligus sebagai pemimpin redaksinya.

Letkol. B. H. T. Siagian kemudian berkonsultasi dengan Kolonel Harsono, seorang perwira di Koanda tentang susunan redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Kemudian Kolonel Harsono menganjurkan agar Letkol. B. H. T. Siagian memakai para wartawan harian Mimbar Umum yang saat itu menganggur akibat surat kabar mereka diberangus oleh PKI. Lalu Letkol. B. H. T Siagian segera bertemu dengan Arif Lubis untuk mendiskusikan hal ini dan Arif Lubis pun menyetujuinya. Namun, dalam daftar susunan redaksi yang diterbitkan di kolom surat kabar, disepakati tidak satu pun dicantumkan nama wartawan dari harian Mimbar Umum. Awalnya surat kabar ini hendak diberi nama Mimbar Kartika tetapi dibatalkan dengan alasan untuk menghindari protes dari orang-orang PKI khususnya yang ada di dalam kepengurusan PWI. Strategi untuk mengelabui PKI adalah dengan cara menempatkan wartawan harian Mimbar Umum bekerja di balik layar dan untuk mencari berita ke luar adalah wartawan yang sama sekali tidak pernah berkaitan dengan BPS. Mereka bekerja mulai dari sore menjelang maghrib hingga malam hari. Bahkan tidak jarang mereka bekerja larut malam hingga menjelang dini hari.

Surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I dicetak di percetakan Mimbar Medan, milik harian Mimbar Umum. Percetakan Mimbar Medan merupakan salah satu percetakan yang modern pada masanya. Redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I tetap memberikan uang sebagai biaya percetakan kepada harian Mimbar Umum. Saat itu yang menjabat sebagai kepala


(26)

tata usaha harian Mimbar Umum adalah M. Hasim Lubis.53 Orang-orang PKI tidak berani untuk

sekedar mengganggu kegiatan pencetakan dikarenakan percetakan tersebut telah dijaga ketat oleh tentara. Dalam kolom susunan redaksi, tidak satu pun terdapat nama-nama wartawan harian Mimbar Umum. Hal ini sengaja dilakukan untuk mengelabui PKI.

Oleh karena yang bekerja di balik layar adalah para wartawan harian Mimbar Umum maka bentuk penyajian berita dari surat Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I hampir tidak ada ubahnya seperti harian Mimbar Umum sebelumnya. Isi beritanya bersifat kritis dan menyindir tajam terhadap segala bentuk kegiatan PKI khususnya di Medan. Masyarakat belakangan mengetahui bahwa yang bekerja sebagai staf redaksinya adalah orang-orang dari harian Mimbar Umum. Setelah selama lebih dari sebulan, masyarakat mulai jenuh terhadap pemberitaan sepihak dari surat kabar PKI. Maka dengan terbitnya surat Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I menjadi sesuatu hal yang baru di tengah-tengah kalangan pembaca surat kabar. Hasilnya dapat diketahui yaitu Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I laris terjual di pasaran. Oplahnya terus meningkat hingga mencapai kurang lebih 30.000 eksemplar pada saat itu.54

Imron Zouny yang mengetahui akan hal ini selanjutnya sengaja memuat berita untuk menyerang orang-orang harian Mimbar Umum yang bekerja di kantor redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Dikatakan tentara khususnya Koanda secara sengaja melindungi orang-orang eks BPS. Imron Zouny kemudian menyampaikan mosi kepada pemimpin redaksi Letkol. B. H. T. Siagian agar segera “membersihkan” orang-orang harian Mimbar Umum yang bekerja di balik layar surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Ia juga menggerakan

53 Wawancara dengan Bapak Muhammad Lud Lubis, stah ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 19

Desember 2012.

54 Wawancara dengan Bapak Muhammad Lud Lubis, staf ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 19


(27)

massa untuk melakukan demonstrasi di depan markas Koanda. Hasilnya dapat diketahui yaitu Arif Lubis beserta staf redaksi segera angkat kaki dari Koanda.

Setelah mengetahui bahwa mereka tidak dibolehkan lagi bekerja sebagai staf redaksi di Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I, Arif Lubis kemudian memberikan gaji dan pesangon kepada sejumlah karyawannya. Yang menarik adalah Ali Soekardi, wakil pemimpin redaksi harian Analisa sekarang, saat itu sudah bergabung sebagai wartawan harian Mimbar Umum. Masa kerjanya memang tergolong singkat namun Arif Lubis memberikan gaji dan pesangon yang sama rata dengan wartawan yang lainnya. Ini menujukkan bahwa Arif Lubis sangat peduli akan kesejahteraan anggotanya. Pasca dipecatnya orang-orang Mimbar Umum dari Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I, Letkol. B. H. T Siagian mencari orang baru untuk mengisi staf redaksi dan tentunya bukan lagi diambil dari wartawan eks BPS.

Setetelah tidak lagi bekerja di surat kabar, Arif Lubis kemudian membuka toko buku Pustaka Mimbar yang terletak di Jalan Suprapto 3 Q-R.55 Arif Lubis menampung anak buahnya untuk bekerja sebagai pelayan toko buku. Mereka yang bekerja sebagai pelayan di toko buku tetap aktif menulis artikel dan cerita pendek. Nantinya tulisan ini akan dikirim ke surat kabar yang terbit. Tulisan yang dibuat tidak ada yang membahas tentang politik, melainkan tentang budaya, sosial dan perfilman. Mereka juga memakai nama samaran jika hendak mengirimkan tulisan mereka ke surat kabar. Karena apabila hal tersebut diketahui oleh PWI, maka PWI akan melarang surat kabar yang dimaksud untuk menerbitkan tulisan tersebut. Dan selanjutnya, biasanya diikuti oleh berita di surat kabar PKI yang sifatnya menyindir. Selain mereka yang bekerja di toko buku, sebahagian ada yang memilih untuk bekerja sebagai penjual minuman, penjual rokok dan supir angkutan umum agar dapat memenuhi biaya kehidupan sehari-hari.


(28)

Gambar 9. Dulunya bangunan di atas merupakan lokasi toko buku Pustaka Mimbar milik Arif

Lubis (Sumber: Koleksi Pribadi).

3.4. Pemberangusan surat kabar pro PKI di Medan

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenal dengan Supersemar menjadi titik balik bagi kedudukan PKI di Indonesia. Sebelumnya PKI selalu merasa di atas angin pada masa rezim pemerintahan Presiden Soekarno sekalipun pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, PKI dianggap sebagai dalang utama di balik peristiwa pembunuhan terhadap tujuh orang tentara yang terdiri dari perwira tinggi, perwira menengah dan bintara di tubuh Angkatan Darat. Terlepas dari latar belakangnya yang kontroversi, Supersemar menjadi sebuah legitimasi yang digunakan oleh Menteri/PANGAD Letjend. Soeharto untuk membubarkan PKI, organisasi-organisasi serta surat kabar yang berhaluan komunis di Indonesia. Tidak sampai hitungan 24 jam sejak dikeluarkannya Supersemar secara resmi, PKI berhasil dibubarkan oleh Soeharto. Kabar ini pada hari itu juga tersebar sampai ke Medan dan beberapa daerah-daerah di Indonesia melalui siaran radio.


(29)

Begitu informasi tersebut tersiar dari stasiun radio, situasi di Medan saat itu menjadi kacau dan tidak terkendali. Kekacauan tidak hanya terjadi di lingkungan politik, tetapi di lingkungan masyarakat sipil juga secara spontanitas terjadi komando liar yang berujung kepada penyerangan dan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI di Kampung Kolam. Perlu diketahui, Kampung Kolam merupakan basis PKI di Medan. Pergerakan ini didominasi oleh organisasi dari golongan kepemudaan misalnya seperti Pemuda Pancasila. Situasi yang tidak terkendali ini kemudian sering disalahgunakan oleh kelompok atau individu yang tidak bertanggung jawab dengan cara menuduh orang yang tidak ia senangi sebagai pengikut PKI sehingga orang tersebut pun tidak luput dari sasaran amuk massa yang anti terhadap PKI. Masyarakat sipil kebanyakan menjadi tidak berani untuk bertegur sapa dengan orang-orang PKI karena takut diduga sebagai pengikut PKI juga. Selain itu, banyak terjadi penculikan pada malam hari terhadap pengkikut PKI namun tidak diketahui kabar selanjutnya secara pasti. Diduga orang-orang PKI tersebut dibuang ke Sungai Ular. Sebahagian dari mereka ditangkap oleh polisi atau tentara. Kemudian mereka ditahan di asrama polisi di Tanjung Kaso, menuju arah Kisaran.56

Saat itu orang-orang pengikut PKI diklasifikasikan menjadi tiga golongan. Golongan A ditahan kemudian diadili di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Kebanyakan mereka yang dari golongan A mendapatkan vonis mati dari pengadilan. Golongan B ditahan kemudian dibuang ke Pulau Buruh untuk dipekerjakan secara paksa. Tetapi pada akhirnya mereka dibebaskan. Golongan C hanya ditahan dalam kurun waktu yang tidak pasti kemudian dibebaskan. Tan Fu Kiong dan Imron Zouny yang berhasil ditangkap oleh polisi masuk dalam golongan A. Sementara Suhaimi tidak berhasil ditangkap karena saat itu ia sedang berada di Peking dalam rangka menghadiri perayaan hari ulang tahun Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

56 Wawancara dengan Bapak Mumammad Lud Lubis, staf ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 6


(30)

Kabar selanjutnya diketahui Suhaimi tidak berani kembali ke Medan dan memilih menetap di Peking karena mendengar kabar bahwa PKI telah dibubarkan dan para pengikutnya telah ditahan. Sejalan dengan itu, pada tanggal 8 Oktober 1965 dikeluarkan keputusan yang isinya terhitung tanggal 7 Oktober 1965 seluruh surat kabar PKI tidak dibenarkan untuk terbit. Maka surat kabar PKI yang ada di Medan seluruhnya dihentikan penerbitannya, seperti harian Harapan, Bendera Revolusi, Obor Revolusi, Gotong Royong dan mingguan Turang.


(31)

BAB IV

MEROSOTNYA HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN

4.1. Harian Mimbar Umum Terbit Kembali Pada Masa Awal Orde Baru

Pada masa menjelang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, beberapa pengurus BPS sedang menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Pemeriksaan ini dilakukan terkait tuduhan PKI yang menyatakan bahwa BPS merupakan lembaga yang dibiayai oleh CIA. BPS juga dituduh telah menerima dana operasional sebesar $ 500.000.000 dari CIA. Sebuah nilai yang sangat besar pada saat itu. Pemeriksaan terhadap pengurus BPS mulai berjalan sejak awal bulan September. Orang pertama yang diperiksa adalah H. Soffyan selaku Kepala Biro Luar Negeri dalam kepengurusan BPS di Sumatera, sekarang pemimpin redaksi harian Analisa. Ia dianggap sebagai orang yang paling mengetahui tentang segala hal yang berkaitan dengan pihak luar negeri. Di dalam persidangan, H. Soffyan membantah tuduhan yang mengatakan bahwa BPS telah menerima dana operasional dari CIA. Ia juga menambahkan bahwa segala biaya operasional yang dibutuhkan BPS berasal dari iuran anggota yang rutin dibayar setiap bulannya.

Selain H. Soffyan, pengurus lainnya yang dianggap mengetahui akan hal ini adalah Arif Lubis selaku Biro Keuangan dan Amir Hasan Lubis alias Buyung Gandrung. Saat itu Amir Hasan Lubis menjabat sebagai Kepala Biro Penelitian, Bimbingan dan Pendidikan BPS Suamtera Utara. Hasil persidangan menyatakan bahwa PKI tidak punya cukup bukti mengenai tuduhannya terhadap BPS Sumatera Utara yang dikatakan menerima dana operasional dari CIA. Belakangan diketahui bahwa surat yang ada di tangan Wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio merupakan


(32)

hasil rekayasa dari orang-orang PKI. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara agar BPS dapat segera dibubarkan. Dari awal terbentuknya BPS, PKI memang tidak senang akan keberadaan BPS. PKI menganggap BPS merupakan ancaman serius bagi eksistensi mereka di Indonesia. Dengan demikian, Kejaksaan Tinggi memutuskan bahwa seluruh surat kabar BPS yang sebelumnya telah dibredel sejak saat itu diiizinkan untuk terbit kembali seperti biasanya.Menyambut keputusan tersebut, Arif Lubis langsung berbenah diri menyiapkan segala kebutuhan teknis untuk memulai penerbitan kembali. Mulai dari susunan redaksi yang bertugas hingga kondisi mesin percetakan seluruhnya dipersiapkan sebaik mungkin. Seluruh wartawan harian Mimbar Umum yang bekerja di toko buku Pustaka Mimbar difungsikan oleh Arif Lubis untuk bergabung dalam staf redaksi harian Mimbar Umum. Di kolom susunan redaksi tertera Arif Lubis sebagai pemimpin redaksi sekaligus pemimpin umum, E. Nasution sebagai wakil pemimpin umum, Bustamam dan Syamsuddin Manan sebagai wakil pemimpin redaksi dan anggota redaksi diisi oleh Anwar Effendi, Muhammad T. W. H., Poniman Syahri serta Kamaluddin Lubis.57Kantor redaksi harian Mimbar Umum saat itu masih sama yaitu di Jalan

Riau No. 79 Medan, sekaligus kantor tata usaha dan percetakannya Percetakan Mimbar Medan. Sedangkan kantor redaksi sore atau malam di Jalan Sutomo No. P 305 Medan. Kantor ini merupakan kediaman Arif Lubis. Secara keseluruhan, hampir tidak ada perubahan di dalam internal harian Mimbar Umum.Sekitar akhir bulan Mei 1966, harian Mimbar Umum sudah mulai terbit seperti biasanya. Nomor penerbitan atau edisinya dilanjutkan dari edisi terakhir sebelum harian Mimbar Umum dibredel. Slogan harian Mimbar Umum saat itu adalah Harian Pagi Membawa Suara Independen.58

57 Harian Mimbar Umum edisi Rabu, 24 Juni 1970. 58 Harian Mimbar Umum edisi Rabu, 24 Juni 1970.


(33)

Terbitnya harian Mimbar Umum disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini disebabkan selama surat kabar BPS ditutup, masyarakat merasa jenuh dan bosan karena selalu disajikan berita propaganda yang bersifat sepihak oleh surat kabar PKI di Medan. Awal penerbitannya pada masa orde baru, oplah harian Mimbar Umum mencapai kurang lebih 8.000 eksemplar. Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan oplah harian Mimbar Umum pada tahun 1964 yang mencapai 13.000 sampai dengan 14.000 eksemplar.59Dan harga per

eksemplarnya adalahRp. 10.60 Jika berlangganan, per bulannya dikenakan biaya Rp. 250. SPS adalah pihak yang berwenang menentukan harga surat kabar tertinggi dan terendah. Namun, pada kenyataan yang terjadi di lapangan, harga jual surat kabar per eksemplarnya bisa melewati dari harga tertinggi yang telah ditetapkan oleh SPS. Hal ini disebabkan pada masa itu informasi merupakan kebutuhan yang sangat penting. Masyarakat pembaca memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar tentang perkembangan situasi pasca dibubarkannya PKI di Indonesia. Mereka berlomba-lomba membeli harian Mimbar Umum dari agen atau pengecer sepagi mungkin. Oleh karena itu, para agen atau pengecer bersedia membayar sedikit lebih mahal kepada bagian percetakan harian Mimbar Umum asalkan oplah mereka diberikan terlebih dahulu. Sehingga para agen dan pengecer pun harus menjual per eksemplarnya di atas dari harga yang telah ditentukan. Menariknya, secara umum masyarakat tidak keberatan akan hal ini karena saat itu harian Mimbar Umummasih menjadi primadona di antara seluruh surat kabar yang terbit di Medan. Harian Mimbar Umum dijadikan sebagai referensi terpercaya yang menyajikan berita akurat dan terkini.Sedangkan untuk harga iklan dibagi menjadi dua kategori yaitu harga iklan umum dan harga iklan keluarga. Harga iklan umum Rp. 25 per mm sedangkan harga iklan keluarga Rp. 10

59 Wawancara dengan Bapak Muhammad Lud Lubis, staf ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 19

Desember 2012.


(34)

per mm.61Namun, dua tahun pertama pasca harian Mimbar Umum terbit lagi, kolom iklan

dibatasi kuotanya. Artinya, lebih diutamakan kuantitas dan kualitas berita.

Persebaran harian Mimbar Umum telah mencapai beberapa daerah di Sumatera Utara. Wilayah persebaran ini kemudian dibagi menjadi empat jalur, yaitu:

- Jalur I : Mencakup daerah Tapanuli, Padang Sidempuan dan Panyabungan. - Jalur II : Mencakup daerah Langkat dan Aceh Tamiang.

- Jalur III : Mencakup daerah Asahan dan Rantau Parapat. - Jalur IV : Mencakup daerah Sidikalang dan Dairi.

Di sisi lain, sejalan dengan mulai terbitnya harian Mimbar Umum turut mempengaruhi jumlah oplah surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Sebelumnya, oplah surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I mencapai kurang lebih 30.000 eksemplar lalu mengalami penurunan menjadi sekitar 18.000 eksemplar pada tahun tersebut.

Menurunnya jumlah oplah harian Mimbar Umum saat itu masih dapat dianggap wajar mengingat harian Mimbar Umum baru saja mulai terbit kembali. Sedangkan pada tahun 1964 adalah masa dimana harian Mimbar Umum tampil sebagai surat kabar perjuangan serta menjadi surat kabar terdepan yang secara tegas menyatakan sikap perlawanan terhadap PKI sehingga berbanding lurus dengan jumlah oplahnya. Walaupun demikian, harian Mimbar Umum tetap menjadi surat kabar dengan jumlah oplah tertinggi di Sumatera Utara di antara surat kabar eks BPS lainnya yang juga baru terbit kembali. Bahkan tidak semua surat kabar eks BPS yang mampu melanjutkan penerbitan sekalipun sudah diizinkan untuk terbit kembali. Pada dasarnya masyarakat telah bersikap simpati terhadap harian Mimbar Umum dan orang-orang di dalamnya.


(35)

Masyarakat menilai harian Mimbar Umum bersikap konsisten sebagai pers perjuangan baik pada masa kemerdekaan, agresi militer Belanda hingga pada masa perjuangan melawan PKI di Medan.

4.2. Kehidupan Pers Secara Umum dan Harian Mimbar Umum Pada Masa Orde Baru

Masa orde baru adalah masa dimana pemerintah memfokuskan diri untuk meningkatkan pembangunan di sektor ekonomi. Salah satunya adalah dengan cara menarik sejumlah investor asing agar mau menanamkan modal perusahaan mereka di Indonesia. Kebijakan ini tentu sangat bertolak belakang dengan corak pemerintahan sebelumnya yang anti terhadap imperialisme. Pers yang pada awalnya mendukung dan simpati terhadap pemerintahan orde baru karena telah berhasil membubarkan PKI di Indonesia mulai melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kritik yang dilakukan secara berkesinambungan yang dilakukan oleh pers mampu menggiring dan membentuk opini negatif yang berkembang di dalam masyarakat tentang kebijakan pemerintah sehingga memicu aksi protes dan unjuk rasa di beberapa tempat di Indonesia. Sebahagian besar aksi protes dan unjuk rasa ini digerakkan oleh kalangan mahasiswa hingga pada klimaksnya adalah peristiwa Malari pada tahun 1974 di Jakarta. Banyak isu yang dianggap sebagai pemicu pecahnya peristiwa Malari. Mulai dari masalah perekonomian awal orde baru, gerakan mahasiswa, arus penentangan modal Jepang, krisis pangan, sampai pertikaian antara kelompok Soemitro dan Ali Moertopo.62Sejak peristiwa tersebut, hubungan pers dengan pemerintah menjadi tertutup. Padahal sebelumnya para pejabat pemerintah terbuka untuk memberikan informasi kepada pers. Pemerintah orde baru selalu mengawasi berita surat kabar yang dinilai provokatif serta melakukan kritik berlebihan terhadap segala bentuk kebijakan

62 Purwadi Djunaedi, dkk., Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta Otobiografi 30 Tahun


(36)

pemerintah. Banyak terjadi pembredelan surat kabar khususnya surat kabar di pulau Jawa pasca peristiwa Malari tersebut. Sejak saat itu, pers difokuskan sebagai salah satu alat pembangunan. Lebih tepatnya pers diarahkan untuk rutin menerbitkan berita tentang pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Tujuannya sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah orde baru.

Pada masa orde baru, pers dikenal sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab. Artinya, pers bebas memberitakan apa saja asalkan masih sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun, dalam pelaksanaannya pers diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Sedangkan Undang-Undang Pokok Tentang Persdan Dewan Pers tidak dapat berbuat banyak terhadap kondisi tersebut. Dalam hal ini departemen yang mengurusi bidang pers adalah Departemen Penerangan, sekarang Menkominfo. Secara berurutan, pasca peristiwa Malari pada tahun 1974 hingga tahun 1998, kursi Menteri Penerangan pernah dijabat oleh Mashuri, Ali Murtopo, Harmokodan Alwi Dahlan. Harmoko adalah orang yang paling lama menjabat sebagai Menteri Penerangan yaitu selama 3 periode dan masa tersebut banyak terjadi pembredelan terhadap pers, khususnya media cetak. Padahal latar belakang Harmoko adalah seorang wartawan dan pemilik surat kabar Pos Kota yang terbit di Jakarta.

Pelanggaran pers khususnya surat kabar terhadap kebijakan pemerintah dibagi menjadi dua, yaitu pelanggaran ringan dan pelanggaran berat. Apabila sebuah surat kabar melakukan pelanggaran ringan, pemerintah akan menegur yang bersangkutan dan biasanya disampaikan melalui pemimpin redaksi. Teguran ini disampaikan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Kopkamtib tidak hanya berada di pusat melainkan juga ada di tingkat daerah.


(37)

Harian Mimbar Umum pernah dianggap melakukan pelanggaran ringan dikarenakan Muhammad Lud Lubis menuliskan tentang Selat Malaka dan batas wilayah dengan Malaysia. Saat itu beliau murni tujuannya adalah untuk menulis tanpa ada kepentingan lain. Tidak diketahui secara pasti alasan pemerintah menganggap tulisan tersebut sebagai sebuah pelanggaran. Kejadian ini mengakibatkan Muhammad Lud Lubis harus menghadap Kopkamtib untuk memberi penjelasan dan pertanggungjawaban terhadap tulisan yang ia terbitkan. Namun, pada akhirnya Kopkamtib hanya memberikan teguran ringan kepada harian Mimbar Umum. Sejak saat itu harian Mimbar Umum lebih berhati-hati dalam memuat berita agar tidak tersandung dengan peraturan pers pada masa orde baru.

Sedangkan bagi surat kabar yang dianggap melakukan pelanggaran berat, pemerintah akan membredel surat kabar yang bersangkutan. Sangsi bredel ini juga dibagi menjadi dua, yaitu pembredelan bersyarat dan pembredelan permanen. Pembredelan bersyarat maksudnya adalah pemerintah akan mengizikan sebuah surat kabar atau penerbitan untuk terbit kembali dengan syarat mengikuti kebijakan dari pemerintah. Pembredelan permanen maksudnya adalah surat kabar atau penerbitan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk terbit selanjutnya. Dalam hal ini, pihak yang berwenang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) adalah Departemen Penerangan. Dalam hal ini yang merekomendasikan kepada Departemen Penerangan tentang sebuah surat kabar dibredel atau tidak salah satunya adalah Pelaksana Khusus (Laksus). Laksus merupakan salah satu bagian dari staf ahli kepresidenan pada masa orde baru.Kopkamtib dan Laksus diisi oleh orang-orang dari kalangan ABRI, khususnya Angkatan Darat. Dengan diaturnya pemberitaan pers sedemikian rupa oleh pemerintah maka pembangunan pada masa orde baru dapat terus berjalan.


(38)

4.3. Peralihan Manajemen Harian Mimbar Umum

Manajemen merupakan unsur yang penting dalam menjalankan sebuah perusahaan. Usia dan kualitas sebuah perusahaan ditentukan oleh manajemen yang dijalankan perusahaan, khususnya oleh pemimpin perusahaan. Fungsi manajemen yaitu Planning (Perencanaan),

Organizing (Pembagian Tugas), Acting (Pelaksaan Tugas) dan Controlling (Pengawasan).63

Harian Mimbar Umum pernah mengalami peralihan atau perpindahan manajamen. Perindahan manajemen ini dapat disederhanakan sebagai pergantian pucuk pimpinan dalam struktur harian Mimbar Umum. Pertama kalinya pergantian pimpinan harian Mimbar Umum dilakukan pada tahun 1975. Sejak tahun 1972, Arif Lubis selaku pemimpin umum, pemimpin redaksi sekaligus pendiri harian Mimbar Umum mengundurkan diri dari perusahaan disebabkan oleh faktor usia. Ia tidak lagi menjabat dalam susunan redaksi dan kembali menekuni usaha toko buku Pustaka Mimbar.

Saat itu kondisinya harian Mimbar Umum sedang membutuhkan dana untuk membeli mesin cetak yang lebih modern dan canggih agar mampu mengimbangi pencetakan surat kabar sejumlah oplah. Dikarenakan mesin cetak yang lama sudah mengalami penurunan dari segi kualitas dan kecepatannya. Atas pertimbangan ini, Arif Lubis berupaya agar harian Mimbar Umum diserahkan kepada orang yang nantinya dapat mengatasi permasalahan tersebut. Tanpa disengaja, Arif Lubis teringat dengan Hasbullah Lubis. Ia merupakan teman sepengajian dari keponakannya sendiri yaitu Lud Lubis. Hasbullah Lubis mempunyai mesin percetakan yang dapat dikatakan sebagai mesin cetak yang paling modern pasa masanya. Percetakan milik Hasbullah Lubis bernama Percetakan Asmar yang terletak di Jalan M. Yakub No. 50 Medan.Arif Lubis kemudian menyerahkan saham dan seluruh karyawan harian Mimbar Umum kepada


(39)

Hasbullah Lubis secara gratis atau tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Ia hanya meminta kepada Hasbullah Lubis agar tidak memecat seorang karyawan pun kecuali karyawan tersebut dinilai menganggu kinerja perusahaan. Penyerahan saham sekaligus pergantian pucuk pimpinan ini dilakukan di rumah Hasbullah Lubis Jalan Moh. Yamin No. 352 Medan, kantor harian Mimbar Umum sekarang.

Gambar 10. Lokasi Percetakan Asmar. Sekarang telah menjadi perumahan Serdang

Residence (Sumber: Koleksi Pribadi).

Pada tahun 1979, kantor redaksi harian Mimbar Umum pindah ke Percetakan Asmar. Mesin percetakan berada di lantai satu sedangkan kantor redaksinya berada di lantai dua. Namun, dikarenakan letaknya yang kurang strategis dan jauh dari pusat kota maka toko buku Asmar juga dijadikan sebagai kantor harian Mimbar Umum. Toko buku Asmar merupakan milik Hasbullah Lubis yang terletak di Jalan M. T. Haryono, simpang Jalan Irian Barat tepat di seberang gedung Uniland Plaza. Kantor yang di toko buku Asmar dijadikan sebagai kantor untuk


(40)

urusan pemasangan iklan dan tata usaha lainnya. Kantor ini buka mulai dari pagi hingga sore hari. Sedangkan kantor yang yang ada dipercetakan lebih dikhususkan sebagai kantor redaksi yang buka mulai dari sore hingga malam hari. Sejak masa kepimpinan Hasbullah Lubis juga halaman harian Mimbar Umum bertambah menjadi 12 halaman.

Kepemimpinan Hasbullah Lubis berlangsung tidak cukup lama disebabkan pada tahun 1983 beliau meninggal dunia. Kemudian jabatan pemimpin umum diserahkan kepada anaknya yaitu Fauzih Lubis.Oleh karena Fauzih Lubis berdomisili di Jakarta maka ia menugaskan sebuah tim manajemen untuk dikirimkan ke Medan. Tujuannya untuk mengurus dan membenahi segala kekurangan di dalam harian Mimbar Umum, baik permasalahan teknis atau menyangkut tentang sumber daya manusianya.Salah satu anggota dari tim manajemen ini adalah Rita Tobing, mantan kepala Televisi Republik Indonesia (TVRI) pusat. Besar kemungkinan kebijakan ini dibuat karena faktor rasa krisis kepercayaan Fauzih Lubis yang berada di Jakarta terhadap staf redaksi yang ada di Medan. Setibanya tim manajemen yang ditugaskan oleh Fauzih Lubis di Medan, mereka langsung mengambil alih kepengurusan perusahaan. Hal ini menyebabkan seluruh staf harian Mimbar Umum sebelumnya turun posisi menjadi karyawan dan wartawan biasa. Lud Lubis sebelumnya telah menjabat sebagai pemimpin redaksi tetapi sejak diambil alih oleh tim manajemen posisi Lud Lubis turun menjadi kepala sumber daya manusia dan penanggung jawab percetakan. Namun, dalam susunan redaksi yang tertera pada kolom surat kabar tidak ada terjadi perubahan. Perubahan hanya bersifat di lingkup internal saja.

Pada tahun 1989, Fauzih Lubis mengadakan joint venture atau kerjasama dengan perusahaan milik Surya Paloh yaitu Surya Pressindo.Dengan bergabungnya kedua perusahaan ini maka terjadi perubahan susunan kepemimpinan perusahaan yaitu Fauzih Lubis sebagai komisaris utama sedangkan Surya Paloh sebagai Direktur Utama. Sejak saat itu, harian Mimbar Umum


(41)

berkantor di Jalan Letjend. Suprapto No. 6 Medan, seberang restoran cepat saji Pizza Hut, sekarang menjadi kantor Mutiara Development. Kantor tersebut dikontrak dari pemiliknya yaitu Jenderal M. Panggabean,mantan panglima ABRI. Kantor redaksi harian Mimbar Umum menjadi kantor surat kabar yang paling mewah saat itu. Namun, dikarenakan harga kontraknya yang cukup mahal maka pada tahun 1994 harian Mimbar Umum pindah kantor ke Jalan Moh. Yamin No. 41 Medan, sekarang kantor Metro TV. Ketika kerja sama perusahaan antara Fauzih Lubis dan Surya Paloh resmi berjalan maka diadakan penyeleksian ulang terhadap seluruh karyawan harian Mimbar Umum dan seluruh karyawan surat kabar milik Surya Paloh yaitu Media Indonesia.Namun, tidak dibatasi apabila wartawan atau karyawan dari penerbitan lainnya yang berminat untuk mengikuti seleksi.

Gambar 11. Harian Mimbar Umum yang bekerja sama dengan Surya Pressindo mengontrak

sebuah rumah milik Jend. M. Panggabean untuk dijadikan sebagai kantor redaksi serta menjadikannya sebagai kantor redaksi surat kabar yang paling mewah saat itu. (Sumber: Koleksi


(42)

Pada saat hari dibukanya pendaftaran, jumlah pendaftar mencapai ratusan orang yang terdiri dari karyawan harian Mimbar Umum, Media Indonesia dan surat kabar lainnya seperti dari harian Waspada. Salah satu alasannya adalah tawaran gaji yang tinggi pasa saat itu. Diketahui gaji seorang wartawan mencapai Rp. 1.000.000. Kemudian dilakukan seleksi berkas terhadap formulir pendaftaran yang masuk ke panitia seleksi dan yang dinyatakan lulus berkas berjumlah 70 orang. Total 70 orang inilah yang kemudian mengikuti tahap seleksi selanjutnya.Proses penyeleksian tersebut berlangsung selama dua hari. Termasuk di dalamnya ujian tertulis, psikotest dan wawancara. Dari total 70 orang yang mengikuti ujian tertulis dan wawancara maka yang dinyatakan lulus berjumlah 50 orang.Jumlah ini yang nantinya ditetapkan sebagai karyawan tetap di perusahaan.Sebelum dilakukan penyeleksian terhadap karyawan biasa, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyeleksian kepada karyawan menengah ke atas dan pimpinan. Dalam proses penyeleksian terhadap pimpinan ini, Muhammad T. W. H. dinyatakan tidak lulus. Sedangkan Muhammad Lud Lubis dinyatakan lulus dan menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi. Pendapatan beliau saat itu mencapai Rp. 1.800.000 per bulan ditambah dengan fasilitas dan tunjangan.

Kerjasama antara harian Mimbar Umum dengan Surya Pressindo berakhir pada tahun 1998. Faktor utama penyebab berakhirnya kerjasama ini adalah perbedaan prinsip pucuk pimpinan kedua perusahaan yang sangat bertolak belakang. Surya Paloh cenderung lebih mengarah ke arah politik. Sedangkan Fauzih Lubis lebih cenderung ke arah bisnis. Oleh karena tidak ada kesamaan visi dan misi maka disepakati untuk mengakhiri kerjasama yang telah berjalan selama 9 tahun. Dengan berakhirnya kerjasama tersebut maka harian Mimbar Umum pindah kantor ke Jalan Moh. Yamin No. 352 Medan, bekas rumah Hasbullah Lubis dan menjadi kantor tetap hingga sekarang. Sejak tahun 1975 hingga tahun 1998, harian Mimbar Umum


(43)

mencetak surat kabar di Percetakan Asmar. Tahun selanjutnya hingga sekarang, harian Mimbar Umum mencetak surat kabar di Percetakan Bali Scan yang terletak di Jalan Krakatau simpang Jalan Bilal.

4.4. Faktor Kualitas Mesin Cetak Yang Semakin Menurun dan Munculnya Surat Kabar Baru di Medan

Mesin cetak merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam perusahaan penerbitan surat kabar. Sekalipun isi berita dari surat kabar tersebut menarik namun apabila tidak diimbangi oleh kualitas cetak yang baik maka dipastikan faktor tersebut akan mempengaruhi minat beli masyarakat pembaca terhadap surat kabar tersebut.Keadaan seperti ini dapat menyebabkan turunnya oplah sebuah surat kabar. Dan untuk menarik minat serta kepercayaan masyarakat pembaca untuk kembali lagi merupakan bukan pekerjaan yang mudah.Oleh karena itu, isi berita dan kualitas cetak sebuah surat kabar harus berjalan seimbang.

Sebelum masa kepemimpinan Hasbullah Lubis, harian Mimbar Umum pernah mengalami masa dimana kondisi mesin cetak mereka telah menurun kualitasnya dan beberapa kali mengalami kerusakan di tengah proses pencetakan surat kabar. Mesin cetak yang ada saat itu tidak mampu mengimbangi jumlah oplah harian Mimbar Umum. Hal ini dapat dimaklumi karena mesin cetak yang bermerk Kubau tersebut merupakan mesin cetak yang dibeli dari Bandung. Mesin cetak tersebut dibeli setengah pakai dari surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung. Arif Lubis selaku pemimpin perusahaan mengerti akan hal ini. Ia pun segera berupaya mencari solusi agar dapat membeli mesin cetak yang baru.

Arif Lubis kemudian berencana membeli mesin cetak buatan Jerman merk Webb Offset. Agen resmi perusahaan mesin cetak milik Jerman tersebut adalah PT. Kahartiawan, dulunya


(44)

terletak di Jalan Bukit Barisan Dalam, di depan Lapangan Merdeka dan di sebelah Bank BCA sekarang. Arif Lubis ingin membeli mesin cetak tersebut secara kredit melalui Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) untuk diteruskan ke pihak agen resmi. Pada awalnya segala urusan antara Arif Lubis dan pihak Bapinda berjalan dengan lancer. Namun, beberapa jam sebelum penandatanganan surat persetujuan, Arif Lubis membatalkannya. Diketahui pihak Bapindo meminta bagian atau persenan diluar biaya administrasi kepada Arif Lubis. Arif Lubis yang dikenal sebagai seorang idealis dan jujur dalam bekerja langsung membatalkan pengajuan pembelian mesin cetak tersebut. Mesin cetak tersebut akhirnya dibeli oleh harian Waspada. Dapat disimpulkan harian Waspada bersedia persyaratan yang ditawarkan oleh pihak Bapindo termasuk persenan diluar biaya administrasi. Pada akhirnya harian Mimbar Umum tetap menggunakan mesin cetak Kubau hingga tahun 1975. Pada tahun 1975, Arif Lubis telah menyerahkan seluruh saham dan karyawan harian Mimbar Umum kepada Hasbullah Lubis yang memiliki mesin cetak Percetakan Asmar.

Dengan mesin cetak Kubau yang kualitasnya mulai menurun, harian Mimbar Umum tetap melanjutkan penerbitannya secara rutin. Namun, kualitas hasil cetaknya kurang memuaskan. Dikatakan kurang memuaskan karena hasil cetakannya kurang terang atau kabur. Di samping itu, harian Mimbar Umum juga mengalami keterlembatan cetak dikarenakan mesin cetak Kubau tidak mampu mengimbangi jumlah oplah. Alhasil, ketika surat kabar lainnya telah beredar pada pagi hari, harian Mimbar Umum masih melanjutkan pencetakan surat kabar dan disebarkan saat hari mulai siang. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya oplah harian Mimbar Umum di Sumatera Utara, khususnya di Medan.

Faktor lainnya yang dinilai sebagai penyebab menurunnya jumlah oplah harian Mimbar Umum yaitu terbitnya beberapa surat kabar baru di Medan. Surat kabar tersebut terbit dengan


(45)

penyajian berita yang lebih menarik serta didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung. Hingga pada akhir tahun 1975, beberapa penerbitan surat kabar yang ada di Medan adalah harian Analisa, harian Waspada, harian Sinar Indonesia Baru, harian Sinar Pembangunan, harian Bintan Indonesia, harian Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I, harian Bukit Barisan, harian Sumatera Karya, mingguan Aneka Minggu, mingguan Bintang Sport & Film dan mingguan Taruna Baru. Dengan semakin bertambahnya jumlah penerbitan surat kabar di Medan maka persaingan bisnis pun semakin ketat. Dapat disimpulkan, harian Mimbar Umum tidak mampu bersaing dengan penerbitan yang ada saat itu karena kurang didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.


(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa harian Mimbar Umum telah menjadi salah satu komponen alat perjuangan di samping perjuangan dengan menggunakan senjata dan diplomasi. Perjuangan harian Mimbar Umum sangat nyata terlihat dalam mengisi danmempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di wilayah Sumatera Utara. Harian Mimbar Umum diterbitkan dengan latar belakang pentingnya surat kabar republiken saat itu untuk mengimbangi pemberitaan yang dilakukan oleh pers Belanda.Harian Mimbar Umum terbit pertama kali pada tanggal 6 November 1945oleh Udin Siregar dan Saleh Umar. Kantor redaksinya berada di Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis sekaligus percetakannya yaitu Percetakan Indonesia milik Udin Siregar. Ketika itu penerbitan surat kabar masih menggunakan mesin tik raksasa yang bernama Intertype. Namun, usia penerbitan surat kabar Mimbar Umum tidak sampai satu tahun. Tepatnya pada tanggal 21 Juli 1946, surat kabar Mimbar Umum dibredel melalui agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. Sebelumnya, surat kabar Mimbar Umum telah diungsikan ke Tebing Tinggi dikarenakan kondisi di Medan tidak kondusif dan telah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Belanda.

Arif Lubis kembali menerbitkan surat kabar Mimbar Umum pada 6 Desember 1945. Sebelumnya Arif Lubis adalah pemimpin redaksi surat kabar Suluh Merdeka. Dalam upaya menerbitkan kembali surat kabar Mimbar Umum, Arif Lubis terlebih dahulu harus menemui


(47)

kepala pemerintahan Belanda di Medan yaitu Dr. Van de Velde. Pemerintah Belanda mengizinkan Arif Lubis untuk menerbitkan surat kabar dengan syarat tidak boleh memakai kata “merdeka” sebagai nama surat kabar. Atas pertimbangan tersebut maka dipilih nama Mimbar Umum yang sebelumnya pernah diterbitkan oleh Saleh Umar dan Udin Siregar. Surat kabar Mimbar Umum inilah yang tetap terbit hingga sekarang.

Surat kabar Mimbar Umum berperan penting untuk membentuk opini masyarakat di Sumatera Utara khususnya di Medan agar tidak terhasut dengan segala bentuk kampanye pasukan Belanda di masa awal kemerdekaan. Arif Lubis selaku pemimpin redaksi surat kabar Mimbar Umum beberapa kali harus menghadap penguasa Belanda terkait pemberitaannya yang dikhawatirkan mampu membangkitkan nasionalisme bangsa Indonesia. Namun, sekalipun selalu berada di bawah tekanan pasukan Belanda, surat kabar Mimbar Umum tetap konsisten sebagai barisan terdepan pers perjuangan.

Tahun 1963 hingga 1965 merupakan periode penting dalam sejarah pers Sumatera Utara dimana terjadi dinamika serta gejolak di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam periode tersebut, pers terbagi menjadi dua yaitu pers kiri dan pers kanan. Pers kiri adalah surat kabar yang berhaluan komunis. Sedangkan pers kanan adalah surat kabar yang berhaluan Pancasila termasuk harian Mimbar Umum.Konsep politik Nasakom yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno dimanfaatkan oleh PKI sebagai alasan untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan dan lembaga lainnya. Tokok pers kiri seperti Tan Fu Kiong, Suhaimi dan Imran Zony berhasil menguasai PWI pada periode tersebut. Imron Zouny terpilih sebagai ketua PWI cabang Sumatera Utara dan Tan Fu Kiong terpilih segabai sekretaris. Mereka kemudian berusaha menyingkirkan wartawan atau pengurus yang berasal dari pers kanan karena tidak sejalan dengan tujuan mereka. Wartawan harian Mimbar Umum yang menjadi korban kebijakan tersebut


(48)

diantaranya seperti Muhammad T. W. H., Poniman Syahri, Bustamam, Anwar Efendi, Lud Lubis dan lain-lain. Kebijakan ini berlaku juga terhadap wartawan pers kanan lainnya di Indonesia.

Melihat situasi yang semakin memprihatinkan tersebut maka dibentuk sebuah wadah agar perlawanan terhadap pengaruh PKI bisa dilakukan secara kolektif dan tidak bersifat individual. Wadah tersebut diberi nama Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS dibentuk hingga ke tingkat daerah agar koordinasi bisa berjalan dengan baik. Arif Lubis merupakan formatur berdirinya BPS Sumatera Utara. Yang menjadi anggota BPS adalah surat kabar yang menyatakan sikap anti terhadap PKI dan tidak sejalan dengan visi misi PKI. Dengan dibentuknya BPS, maka surat kabar BPS secara serentak dan konsisten memberitakan segala bentuk kegiatan pengikut PKI yang sering bertindak diluar etika dan tidak berprikemanusiaan. Kondisi ini jelas dianggap oleh PKI sebagai ancaman yang berpotensi menghalangi tujuan mereka yaitu mengganti Pancasila menjadi ideologi komunis. PKI kemudian melancarkan tuduah yang berupa fitnah terhadap BPS. Mereka menuding BPS merupakan sebuah lembaga yang dibiayai oleh badan intelijen Amerika Central Inteligent of America (CIA) sehingga muncul sebutan lain untuk BPS yaitu Badan “Pembunuh” Soekarnoisme. Orang-orang PKI memang dikenal mempunyai hubungan yang dekat dengan Presiden Soekarno. Namun, selain itu Presiden Soekarno memang dikenal sebagai sosok yang anti terhadap segala bentuk neo imperialisme. Atas tuduhan tersebut, pada tanggal 24 Februari 1965 pemerintah membuat keputusan untuk membubarkan BPS dan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) seluruh surat kabar yang pernah menjadi anggota BPS termasuk harian Mimbar Umum. Dengan ditutupnya harian Mimbar Umum maka seluruh staf redaksi menjadi menganggur. Mereka sempat dipakai untuk bekerja di belakang layar surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Akan tetapi, hal tersebut diprotes keras oleh PWI Sumatera Utara. PWI menuduh bahwa tentara secara sengaja ingin melindungi wartawan eks


(49)

BPS. Tidak lama kemudian, Arif Lubis dan anggotanya harus angkat kaki dari Kowilhan, kantor redaksi surat kabar redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Arif Lubis kemudian membuka sebuah usaha toko buku yang dinamakan Pustaka Mimbar di Jalan Suprapto No. 3 Q-R Medan. Ia menampung seluruh anggota untuk bekerja sebagai pelayan di toko buku tersebut. Sambil bekerja di toko buku, para wartawan harian Mimbar Umum tetap aktif menulis berupa artikel, cerpen dan skenario film untuk bisa dikirimkan kepada surat kabar yang terbit saat itu. Tentunya hal ini dilakukan secara diam-diam untuk menghindari PWI yang telah dikuasai oleh orang-orang PKI.Harian Mimbar Umum baru dapat terbit kembali sekitar akhir Mei 1966. Wartawan harian Mimbar Umum yang juga pengurus BPS seperti Arif Lubis dinyatakan tidak bersalah oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas tuduhan yang dilancarkan oleh PKI. Oleh sebab itu, harian Mimbar Umum diizinkan untuk terbit kembali hingga sekarang.

Usia harian Mimbar Umum telah mencapai 66 tahun. Dalam masa itu juga banyak terjadi dinamika di dalam internal harian Mimbar Umum baik itu peralihan manajemen, penurunan oplah penjualan dan kantor redaksi yang berpindah-pindah. Dalam hal manajemen, pasca kepemimpinan Arif Lubis, harian Mimbar Umum dikelola oleh Hasbullah Lubis sejak tahun 1975 hingga tahun 1983. Pada tahun 1983, Hasbullah Lubis meninggal dunia. Kemudian tanggung jawab tersebut diserahkan kepada anaknya Fauzih Lubis yang berdomisili di Jakarta. Harian Mimbar Umum sempat menjalin kerjasama dengan Surya Pressindo milik Surya Paloh pada tahun 1989. Namun, pada tahun 1998 kerjasama ini harus berakhir disebabkan perbedaan prinsip antara Fauzih Lubis dan Surya Paloh.

Harian Mimbar Umum beberapa kali pindah kantor redaksi. Pertama kali tahun 1945 dan tahun 1947 kantor redaksinya berada di Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis sekaligus percetakannya Percetakan Indonesia. Kemudian pada tahun 1959, kantor redaksi harian


(50)

Mimbar Umum pindah ke Jalan Sutomo No. P305 dan percetakannya Percetakan Mimbar Medan berada di Jalan Sutomo No. P41 Medan. Kemudian kantor redaksinya pindah ke Jalan Riau No. 79 Medan. Ketika harian Mimbar Umum diserahkan Arif Lubis kepada Hasbullah Lubis, kantornya pindah ke Jalan M. Yakub No. 50 Medan sekaligus percetakannya Percetakan Asmar milik Hasbullah Lubis. Namun dikarenakan letaknya yang kurang strategis, maka toko buku Asmar milik Hasbullah Lubis yang berada di Jalan M. T. Haryono simpang Jalan Irian Barat juga dijadikan sebagai kantor untuk memudahkan urusan yang berkaitan dengan pemasangan iklan.

Di masa kepemimpinan Fauzih Lubis ketika bekerja sama dengan Surya Pressindo pada tahun 1989, harian Mimbar Umum berkantor redaksi di Jalan Suprapto No. 6 Medan, simpang Jalan Multatuli tepatnya di depan restoran Pizza Hut. Kantor tersebut dikontrak dari Jend. M. Panggabean dan sekarang menjadi kantor Mutiara Development. Pada tahun 1994, kantor redaksi pindah ke Jalan Moh. Yamin No. 41 Medan, sekarang menjadi kantor Metro TV. Dan pada tahun 1998, kerjasama antar kedua perusahaan berakhir maka secara otomatis harian Mimbar Umum harus pindah kantor dikarenakan kantor sebelumnya merupakan milik Surya Paloh. Harian Mimbar Umum kemudian berkantor redaksi di Jalan Moh. Yamin No. 352 Medan hingga sekarang. Dulunya kantor ini adalah rumah Hasbullah Lubis.


(1)

ABSTRAK

Harian Mimbar Umum merupakan surat kabar tertua di Sumatera Utara yang terbit sejak tahun 1945 hingga sekarang. Kantor redaksinya berada di Jalan Moh.Yamin No. 352 Medan. Selama perjalanannya, harian Mimbar Umum pernah mengalami beberapa kali pindah kantor redaksi karena berbagai faktor. Periode pasca kemerdekaan hingga tahun 1960-an merupakan masa kejayaan harian Mimbar Umum. Dalam periode tersebut, harian Mimbar Umum merupakan surat kabar dengan jumlah oplah tertinggi di Sumatera Utara. Penyebarannya tidak hanya di Medan melainkan telah sampai ke beberapa daerah di luar kota seperti Tapanuli, Panyabungan, Rantau Parapat, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Binjai hingga Tamiang. Harian Mimbar Umum menjadi sumber referensi yang dipercaya oleh masyarakat pembaca. Sekalipun pesona harian Mimbar Umum mulai meredup pada masa sekarang, akan tetapi peran dan pengaruhnya sebagai pers perjuangan tidak dapat dikesampingkan. Harian Mimbar Umum turut andil serta berperan aktif dalam upaya mengisi kemerdekaan dengan menyajikan berita atau informasi yang mencerdaskan bangsa dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan, khususnya di wilayah Sumatera Utara.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang latar belakang berdirinya harian Mimbar Umum, perannya dalam mengisi kemerdekaan dan mengetahui tentang faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya harian Mimbar Umum.Dalam memperoleh data, penulis menggunakan metode studi pustaka terhadap buku-buku yang sangat dekat dengan objek penelitian.Penulis juga menggunakan metode wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup agar diperoleh data dan keterangan yang paling dekat dengan objek.


(2)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi ...………. i

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi ………. ii

Lembar Persetujuan Departemen ………. iii

Lembar Pengesahan Skripsi Sarjana oleh Dekan dan Panitia Ujian ………. iv

KATA PENGANTAR ………. v

UCAPAN TERIMA KASIH ………. vi

ABSTRAK ………. ix

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR GAMBAR ………. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 10

1.4. Tinjauan Pustaka ………. 11

1.5. Metode Penelitian ………. 14

BAB II TERBITNYA HARIAN MIMBAR UMUM TAHUN 1945 2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan ……….. 18

2.2. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Jepang di Medan ……….. 23


(3)

2.4.Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia di Medan ……… 32

2.5. Berdirinya Harian Mimbar Umum di Medan ……….... 35 2.6. Pasukan Belanda Membriedel Kantor Harian Mimbar Umum di Tebing Tinggi

………...……… 41

2.7. Arif Lubis Mendirikan Harian Mimbar Umum ……….……….. 43 BAB III PERANAN HARIAN MIMBAR UMUM DALAM MENGISI KEMERDEKAAN

RI HINGGA PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER TAHUN 1965 3.1. Perkembangan Organisasi Kewartawanan di Medan …….…………. 51 3.2. Berdirinya PWI Cabang Medan …….………. 52 3.3. PKI Berhasil Menguasai PWI ...………. 55 3.4. Surat Izin Terbit Harian Mimbar Umum Dicabut Pemerintah Atas Desakan PKI

…….………. 60

3.5. Staf Redaksi Harian Mimbar Umum Bekerja Di Balik Layar Surat Kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I …….……… 66 3.6. Pemberangusan Surat Kabar Pro PKI di Medan ………. 71 BAB IV MEROSOTNYA HARIAN MIMBAR UMUM

4.1. Harian Mimbar Umum Terbit Kembali Pada Masa Awal Orde Baru .. 74 4.2. Kehidupan Pers Secara Umum dan Harian Mimbar Umum Pada Masa Orde Baru

…….………. 78

4.3. Peralihan Manajemen Harian Mimbar Umum ……….………. 81 4.4. Faktor Kualitas Mesin Cetak Yang Semakin Menurun dan Munculnya Surat Kabar


(4)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ……… 90

5.2. Saran ……… 97

DAFTAR PUSTAKA ……… 98

LAMPIRAN ……… 100


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jacques Deen, seorang Belanda yang menerbitkan surat kabar pertama di Medan

yaitu Deli Courant tahun 1885 ……… 19

Gambar 2. Barisan Pemuda Indonesia berhasil merebut kembali mesin percetakan dari pihak Jepang salah satunya Percetakan Sjarikat Tapanuli ……… 33

Gambar 3. Mesin tik raksasa yang dikenal dengan nama Intertype ……… 38

Gambar 4. Arif Lubis yang mendirikan harian Mimbar Umum tahun 1947 ……….. 45

Gambar 5. Dulunya lokasi rumah makan ini adalah kantor redaksi harian Mimbar Umum yang pertama sekaligus Percetakan Indonesia ……… 47

Gambar 6. Harian Mimbar Umum edisi 6 Desember ………. 49

Gambar 7. Harian Harapan edisi Kamis 14 Januari 1965 ………. 63

Gambar 8. Mingguan Turang edisi Selasa 22 Desember 1964 ………. 70

Gambar 9. Dulunya bangunan di atas merupakan lokasi toko buku Pustaka Mimbar milik Arif Lubis ……… 75

Gambar 10. Lokasi Percetakan Asmar. Sekarang telah menjadi perumahan Serdang Residence ……… 86 Gambar 11. Harian Mimbar Umum yang bekerja sama dengan Surya Pressindo mengontrak


(6)

serta menjadikannya sebagai kantor redaksi surat kabar yang paling mewah saat itu

………. 89

Gambar 12. Kantor Metro TV biro Sumatera Utara sekarang pernah menjadi kantor redaksi harian Mimbar Umum tahun 1994-1998 ……… 99

Gambar 13. Kantor redaksi harian Mimbar Umum sekarang ……… 100