Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan

32

BAB II HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN

2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan

Medan yang dahulu dikenal dengan sebutan Tanah Deli merupakan kota yang mempunyai potensi alam dan berkembang di bidang perkebunan. Seorang Belanda yang bernama Jacob Nienhuys adalah orang pertama yang membuka perkebunan di Medan yaitu perkebunan tembakau. Pada masa itu tembakau merupakan komoditi utama perkebunan yang terkenal sampai ke Eropa. Selain tembakau, hasil perkebunan lainnya adalah karet, teh, cengkeh dan lain sebagainya. Setelah Nienhuys membuka perkebunan di Medan, kemudian menyusul bangsa asing lainnya untuk menginvestasikan modal mereka di bidang perkebunan. Beberapa di antaranya seperti Inggris, Belgia dan Amerika Serikat. Kegiatan perkebunan dan perdagangan ini tentunya menyebabkan orang menjadi semakin butuh akan informasi. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang diterbitkannya surat kabar yang pertama di Medan. Pemerintahan Belanda menerbitkan surat kabar pada dasarnya bertujuan sebagai media informasi harga-harga hasil perkebunan, perdagangan dan sebagai media untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan Belanda. Pada 18 Maret 1885 terbit surat kabar pertama milik Belanda dan berbahasa Belanda yang didirikan oleh Jacques Deen di Medan bernama Deli Courant. 16 Deli Courant terbit dua kali dalam seminggu yaitu Rabu dan Sabtu dengan oplah 150 lembar. 17 Ukurannya hampir sama dengan ukuran kertas folio dan diisi timbal balik. Isi dari berita Deli Courant pada masa itu hanya seputar kebijakan-kebijakan Belanda, hasil perkebunan, berita perdagangan dan berita tentang kapal bangsa asing yang merapat di pelabuhan sekitar pantai barat Pulau Sumatera. Tidak ada berita yang bersifat politik dan bersifat kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang 16 Mohammad Said, op.cit., hal. 33. 17 Ibid. Universitas Sumatera Utara 33 diterapkan oleh Pemerintahan Belanda. Untuk menjaminnya,sebelum dicetak Deli Courant terlebih dahulu diperiksa oleh pegawai sensor yang dipegang oleh orang Belanda. Hal ini memang sengaja dilakukan agar surat kabar Deli Courant benar-benar menjadi alat legitimasi kekuasaan Pemerintahan Belanda di Medan. Walaupun demikian, Deli Courant bukan merupakan satu-satunya surat kabar yang beredar di Medan. Pada masa itu terdapat juga surat kabar yang berasal dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Biasanya surat kabar ini dibawa oleh para pedagang yang sekedar singgah atau berdagang di Sumatera Utara, khususnya di Medan. Gambar 1. Jacques Deen, seorang Belanda yang menerbitkan surat kabar pertama di Medan yaitu Deli Courant tahun 1885 Sumber: “Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan” Selama kurang lebih 10 tahun Deli Courant berkuasa sebagai satu-satunya surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian pada 30 November 1895, terbit sebuah surat kabar milik Belanda dan juga berbahasa Belanda di Medan bernama De Ooskust Pantai Timur, terbit dua kali dalam seminggu setiap Selasa dan Jumat. 18 Walaupun Deli Courant dan De Oostkust sama- sama surat kabar milik Belanda namun keduanya berbeda sikap dan kepentingan. Secara keseluruhan, De Oostkust memuat berita yang bertolak belakang dengan berita yang dimuat oleh 18 Ibid., hal. 39. Universitas Sumatera Utara 34 Deli Courant. Namun, De Oostkust tetap tidak dapat menandingi Deli Courant dan memasuki abad ke 20, surat kabar ini gulung tikar. Setelah surat kabar De Oostkust tutup, kemudian terbit surat kabar ketiga milik Belanda bernama De Sumatra Post pada tahun 1899. 19 Pendiri De Sumatra Post adalah J. Hallerman. Berita De Sumatra Post dominan diisi oleh berita-berita seputar perkembangan di Eropa. Dari sini dapat dilihat bahwa De Sumatra Post lebih memilih bersikap netral, yaitu tidak memihak terhadap kaum Belanda dan juga kaum pribumi. Belanda sengaja menerbitkan surat kabar dalam bahasa Belanda agar masyarakat pribumi tidak dapat membacanya. Khususnya bagi masyarakat pribumi yang tidak mendapatkan pendidikan. Belanda tidak hanya menjajah secara fisik, namun Belanda juga membatasi informasi. Hanya mereka yang mendapat pendidikan formal yang mampu membaca surat kabar saat itu. Keadaan ini semakin membuat kondisi bangsa Indonesia kian terpuruk. Pada tahun 1902, perusahaan percetakan milik J. Hallerman menerbitkan surat kabar yang bernama Perca Timur. Walaupun surat kabar ini milik Belanda, namun Perca Timur diterbitkan dalam bahasa Melayu. Ini menjadikan Perca Timur sebagai surat kabar pertama yang berbahasa Melayu di Sumatera Utara. Artinya, secara keseluruhan Perca Timur dapat dibaca oleh masyarakat pribumi. Tidak dapat diketahui secara pasti alasan J. Hallerman menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Perca Timur dipimpin oleh Mangaradja Salemboewe. Mangaradja Salemboewe dikenal sebagai orang yang sering mengkritisi kebijakan Belanda dan Sultan Deli. Pada tahun 1909, peran Mangaradja Salemboewe digantikan oleh Moesa. Pada masa kepimpinan Moesa, Perca Timur ditutup oleh Mayor Tionghoa Tjong A Fie yang juga seorang pengusaha kaya raya akibat mengkritisinya secara berlebihan. Namun, setelah Perca Timur ditutup, belakangan muncul anggapan bahwa J. Hallerman mendapat ganti rugi dari Tjong A Fie dan 19 Ibid., hal. 40. Universitas Sumatera Utara 35 tidak begitu lama berselang terbitlah surat kabar Tionghoa bernama Pelita Andalas pada tahun 1912. Pemimpin redaksinya adalah Th. H. Poa. Sekitar dua tahun setelah Indonesia memasuki masa kebangkitan nasional, Pewarta Deli terbit di Medan pada tahun 1910. Pewarta Deli merupakan surat kabar nasional pertama yang terbit di Sumatera Utara. Secara berturut, pemimpin redaksinya adalah Dja Endar Moeda, Soetan Parlindungan, Mangaraja Ihutan, Hasanul Arifin dan Jamaluddin Adinegoro hingga surat kabar ini ditutup bertepatan dengan kedatangan balatentara Jepang di Medan pada Maret 1942. 20 Pers di Medan memang menggambarkan bahwa Indonesia telah memasuki masa kebangkitan nasional. Setelah Pewarta Deli terbit sebagai surat kabar nasional pertama di Sumatera Utara, tokoh-tokoh pers di Sumatera Utara semakin berani untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui surat kabar yang terbit pada masa itu. Pada tahun 1916, di Medan terbit surat kabar Benih Merdeka dibawah pimpinan Mohammad Samin. Beliau merupakan salah satu tokoh pendiri organisasi Syarikat Islam di Medan. Ini menjadikan Medan sebagai kota pertama di Indonesia yang memakai kata “merdeka” sebagai nama surat kabar. Pada tahun 1921, surat kabar ini mengambil langkah yang semakin berani dengan menghilangkan kata “benih’ sehingga nama surat kabar tersebut menjadi Merdeka saja. Sebelum balatentara Jepang masuk dan menguasai wilayah Medan, ada beberapa surat kabar nasional lainnya yang diketahui pernah terbit walaupun hanya terbit beberapa nomor penerbitan saja. Beberapa di antaranya adalah surat kabar Sinar Deli yang terbit pada tahun 1930 di bawah pimpinan Mangaraja Ihutan dan Hasanul Arifin dan surat kabar Benteng Andalas di bawah pimpinan Saleh Umar alias Surapati. Salah satu wartawannya yang terkenal adalah B. M. Diah. Selain itu, beberapa surat kabar Tionghoa lainnya yang pernah terbit di Medan yaitu 20 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada tanggal 22 April 2011. Universitas Sumatera Utara 36 Sumatera Bin Poh dan Democratic Daily News yang terbit pada tahun 1913 serta New China Times yang terbit pada tahun 1928. Selain surat kabar yang berkala harian, beberapa penerbitan di Medan juga mencetak surat kabar yang berkala mingguan dan tengah bulanan, misalnya Lukisan Dunia, Aneka, Obor, Timur, Gubahan Maya, Seruan Kita dan masih ada beberapa nama lainnya. Dari uraian ini, kita dapat menggambarkan pertumbuhan surat kabar di Medan cukup pesat walapun masih dalam masa pendudukan Belanda. Pada umumnya, jika dalam sebuah kota atau wilayah terdapat beberapa perusahaan penerbitan surat kabar maka akan menimbulkan persaingan secara profit. Namun, keadaan tersebut tidak terjadi secara terang-terangan pada saat itu. Jika ada, persaingan bisnis yang terjadi masih dalam skala yang sangat kecil. Secara keseluruhan tujuan pers di Medan adalah sebagai alat perjuangan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda yang selalu merugikan masyarakat pribumi. Di samping itu, saat itu belum ada peraturan tertulis atau sejenis undang-undang yang membatasi seorang pimpinan redaksi atau redaktur hanya boleh bertanggung jawab terhadap satu surat kabar saja. Artinya, seorang pimpinan redaksi atau redaktur dapat bertanggung jawab dan mengelolah lebih dari satu surat kabar. Untuk mengatur seluruh penerbitan surat kabar di Medan, pemerintah Belanda memberlakukan peraturan yang disebut dengan Persbreidel Ordonantieyang disahkan pada tanggal 7 September 1931. Persbreidel Ordonantie terdiri dari beberapa pasal yang seluruhnya pasalnya berisi tentang peraturan yang harus diikuti seluruh penerbitan surat kabar dan rincian hukuman atau sangsi yang akan diberikan kepada surat kabar yang melanggar aturan. Sebuah surat kabar dikatakan melanggar aturan apabila berita yang dimuat berpotensi menggangu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan umum. Gubernur jenderal diberi hak untuk melarang Universitas Sumatera Utara 37 terbit penerbitan tertentu yang nilainya bisa menggangu ketertiban umum. 21 Selain pelarangan terbit, sangsi bisa berupa pembayaran denda uang sebesar 300 gulden kepada pemerintah Belanda oleh surat kabar yang bersangkutan. Sebelum Persbreidel Ordonantie disahkan, pemerintah Belanda menerapkan peraturan yang diberi nama Haatzaai Artikelen sejak tahun 1918 bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands Indie.

2.2. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Jepang di Medan