Psychological Well-Being Deskripsi psychological well-being pada lesbian.

dalam berbagai bentuk seperti fitnah, cemooh sampai dengan genosidayang disengaja Wieringa Blackwood,2009:33-34. Dengan demikian, tuntutan atau tekanan nilai-nilai di masyarakat sudah menjadi budaya bahwa perempuan agar berpenampilan feminim dan menikah. Norma dan tatanan masyarakat terssebut yang akhirnya menyumbangkan stressor yang cukup tinggi untuk mencapai kenyamanan di dalam kehidupan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian.

C. Psychological Well-Being

1. Eudaimonic Happinness

Pendekatan eudaimonic dalam memandang kebahagiaan happiness dicetuskan oleh seorang filsuf Yunani, yakni Aristoteles.Menurut Aristoteles, kebahagiaan ditemukan ketika seseorang dapat mewujudkan kebenaran virtue dan melakukan apa yang berharga untuk dilakukan Ryan Deci, 2001. Ia mendefinisikan kebahagiaan sebagai hasil dari perwujudan diri, pemberian arti, dan pemenuhan potensi diri Baumgardner Crothers, 2009. Teori eudaimonia tidak memandang bahwa kebahagiaan dapat diraih dari usaha untuk selalu memperoleh kenikmatan. Kenikmatan yang diperoleh tidak selalu baik atau membuat manusia berkembang. Aristoteles menganggap bahwa kebahagiaan yang didasarkan pada prinsip hedonisme kenikmatan akan membuat manusia menjadi hamba dari hasratnafsu. Penelitian mengenai eudaimonia telah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan Eudaimonia yang dicetuskan oleh Aristoteles diwakili oleh psychological well-being dalam diri seseorang Ryan Deci, 2001. Ryan dan Deci mendeskripsikan well-being sebagai konstruk kompleks yang menitikberatkan pada pengalaman dan fungsi diri yang optimal. Menurut Waterman, eudaimonic well-being memiliki unsur utama memenuhi dan mewujudkan sifat diri yang sebenarnya Ryan Deci, 2001. Sedangkan Ryff, pakar psychological well-being, berpendapat bahwa well-being seharusnya menjadi sumber resiliensi dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental Baumgardner Crothers, 2009. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah pemenuhan dan perwujudan diri seseorang yang menjadi sumber resiliensiketahanan diri dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental. Psychological well-being PWB merupakan sebutan bagi kesejahteraan well-being psikologis manusia. Synder, Lopez, dan Pedrotti, 2011 dalam Preventi, 2015 mendefinisikan PWB sebagai tingkat kesejahteraan manusia yang dikarekteristikan oleh penerimaan diri self-acceptance, perkembangan diri personal growth, memiliki tujuan hidup purpose in life, penguasaan lingkungan environmental PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mastery, kemandirian autonomy, hubungan positif dengan orang lain positive relation with others. Menurut Hauser, 2005 dalam Preventi, 2015, Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis individu yang berfokus pada realisasi diri self-realization, pernyataan diri personal expressiveness, dan aktualisasi diri self-actualization. Psychological well-being merujuk pada bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka Diener, 1997. Menurut Ryff, 1995 penting untuk mendapatkan psychological well-being karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya yang akan membuat seseorang dapat mengidentifikasikan apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing- masing individu. Karena kebahagiaan itu bersifat subjektif, maka seorang dengan lesbian juga memiliki alasan sendiri dalam memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupannya.

2. Dimensi Psychological Well Being

Psycholgical well-being terwujud dalam 6 dimensi, yakni penerimaan diri, penguasaan lingkungan, kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, perkembangan diri, dan tujuan dalam hidup. Dimensi-dimensi tersebut diuraikan sebagai berikut: a. Penerimaan diri Self Acceptance Penerimaan diri diawali dengan pengenalan akan diri. Menurut Maslow, orang yang mampu menerima diri dapat menerima kekurangan dan kelemahannya tanpa rasa malu, bersalah, maupun defensif. Ia menerima kodrat sebagaimana adanya dan menerima nafsu tanpa rasa malu. Ia memiliki perasaan positif terhadap masa lalu Ryff, 2014. Ia puas dengan dirinya. Diri merupakan sesuatu yang luas dan dalam karena semua pikiran dan perasaan mampu diungkapkan. Oleh karena itu, ia tidak memalsukan diri dan tidak menyembunyikan diri dibelakang topeng peran sosial. Ia sadar sedang memainkan peran dan tidak mencampurkan peran dengan diri. Pribadi ini mengembangkan keharmonisan antara dirinya yang sebenarnya dan kenyataan Schultz, 19772010. Oleh karena itu, penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang dalam menerima diri seutuhnya dan mampu mengungkapkannya secara leluasa. Self-criticism merupakan keadaan yang berlawanan dengan self-acceptance. Seseorang dengan self-criticism memiliki perasaan inferior yang kuat. Ia merasa malu dan bersalah atas kelemahan dan kekurangannya Blatt dalam Blatt, Quinlan, Chevron, McDonald, Zuroff, 1982 dalam Preventi 2015. Orang ini juga merasa tidak berharga dan mengembangkan sikap defensif. Orang ini banyak membuang waktu untuk mencemaskan hal-hal yang tidak dapat diubah Schultz, 19772010. Menurut Ryff 2014, orang yang tidak memiliki self-acceptance cenderung merasa kecewa terhadap masa lalu dan berharap menjadi seseorang yang berbeda dari dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, self-criticism didefinisikan sebagai ketidakmampuan seeorang untuk menerima diri secara utuh sehingga diri merasa inferior, tidak berharga, dan berharap menjadi orang lain yang berbeda dari dirinya. b. Penguasaan Lingkungan Environmental Mastery Dimensi penguasaan lingkungan pada kepribadian sehat pertama kali dicetuskan oleh Phillips. Ia memaparkan bahwa penguasaan lingkungan dapat diraih dengan 5 tahap, yakni isolation, dependency, autonomy, cooperation, independence. Namun, penguasaan lingkungan tidak memperoleh perhatian khusus sebelum diperkenalkan kambali oleh Ryff Perron, 2006 dalam Preventi 2015. Ryff mengutarakan bahwa penguasaan lingkungan dapat didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengatur hidup dan dunialingkungan sekitar dalam Preventi, 2015. Sedangkan Jahoda berpendapat bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau membuat lingkungan sesuai dengan kondisi fisik. Allport menyatakan pendapatnya mengenai penguasaan lingkungan. Menurutnya, penguasaan lingkungan adalah kemampuan berpartisipasi dalam bidang penting dimana terjadi proses untuk keluar dari diri. Penguasaan lingkungan juga sering disinggung oleh teori perkembangan. Teori-teori tersebut menyatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan kompleks melalui aktifitas mental dan fisik Ryff Singer, 2008. Ryff 2014 menyatakan bahwa mampu menggunakan kesempatan yang muncul dan kemampuan untuk memilih maupun menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi juga merupakan salah satu aspek penguasaan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol memilih, membuat, mengatur lingkungan yang kompleks serta menggunakan kesempatan yang muncul melalui aktivitas fisik dan mental agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Situasi yang berlawanan dengan penguasan lingkungan adalah ketidakberdayaan yang dipelajari learned helplessness. Learned helplessnes merupakan keyakinan bahwa semua usaha yang dilakukan seseorang akan mengantarnya pada kesalahankegagalan. Learned helplessness muncul sebagai akibat dari keyakinan seseorang bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidupnya serta hasil-hasil yang ia peroleh dalam hidup secara umum tidak bisa dikontrol dan ia mendapati kegagalan dalam semua usaha yang ia lakukan repeated failure Woolfolk, 2013. Ketika mereka merasa tidak dapat mengontol peristiwa-peristiwa dalam hidup, muncul pemikiran bahwa usaha untuk mencoba tidak diperlukan karena hasilnya akan sia-sia dan tidak akan berhasil. Mereka akhirnya menjadi seseorang yang merasa tidak memiliki harapan hopelessness. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa learned helplessness adalah perasaan tidak berdaya karena tidak mampu mengendalikan hasil-hasil yang diperoleh dalam hidup. c. Kemandirian Autonomy Maslow berpendapat bahwa pribadi yang memiliki kemandirian autonomy tidak memiliki kebutuhan yang kuat akan orang lain. Pemuasan datang dari dalam diri sehingga mereka dapat menghasilkan kepuasan-kepuasan sendiri. Mereka tidak memerlukan orang lain atau hal-hal di luar diri untuk menghasilkan kepuasan. Perasaan dan tingkah laku terarah pada diri sendiri. Mereka memiliki kemampuan untuk membentuk pikiran, mencapai keputusan, melaksanakan dorongan, maupun disiplin yang mereka miliki. Oleh karena itu, mereka mampu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan baik melawan pengaruh sosial, mampu mempertahankan otonomi batin, dan tidak serta merta terpengaruh oleh budaya Schultz, 19772010. Mereka juga mengevaluasi diri menggunakan standar pribadi Ryff dalam Preventi, 2015. Dengan demikian, kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membentuk pikiran dan melaksanakan dorongan sehingga tidak memiliki kebutuhan yang kuat akan orang lain . Situasi yang bertolak belakang dengan autonomy adalah dependencyketergantungan. Seseorang dengan dependency memiliki perasaan putus asa dan merasa lemah. Mereka berusaha memiliki relasi interpersonal yang baik untuk meningkatkan self- esteemnya yang rendah Coyne dan Whiffen, 1995 dalam Preventi, 2015. Ia tidak mampu menghasilkan kepuasan sendiri Schultz, 19772010. Orang ini merasa takut ditinggalkan orang lain. Ia berharap dirawat, dicintai, dan dilidungi oleh orang lain Blatt dalam Blatt et al., 1982. Mereka tidak memiliki perasaan akan diri yang kuat sehingga mereka bersandar pada ide, nilai, dan tingkah laku orang lain. Perasaan akan diri yang mereka miliki hanya merupakan pantulan diri orang lain yang tidak berasal dari perkembangan mereka sendiri Schultz, 19772010. Berdasarkan uraian tersebut, ketergantungan merupakan keadaan dimana seseorang merasa lemah dan tidak memiliki PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perasaan kuat akan diri sehingga mengusahakan relasi interpersonal untuk meningkatkan self-esteem. d. Hubungan Positif dengan Orang Lain Positive Relations with Others Dalam bukunya Pattern and Growth in Personality 1961, Gordon W. Allport menyebutkan 2 jenis hubungan hangat dengan orang lain, yakni keintiman intimacy dan belas kasih compassion. Allport memaparkan bahwa keintiman merupakan perasaan cintasayang yang ditujukan kepada orang tua, anak, partner, dan teman. Seseorang mampu mengembangkan dengan baik suatu keintiman ketika ia telah memiliki perasaan identitas diri Schultz, 19772010. Keintiman membuat seseorang memiliki relasi yang hangat, memuaskan, dan terpercaya. Mereka merasa bahwa kesejahteraan orang lain sama penting dengan kesejahteraan dirinya. Hal tersebut juga membuat orang ini memiliki rasa empati yang kuat Ryff, 2014. Cinta dan perhatian yang mereka berikan kepada orang lain tanpa syarat dan tidak mengikat. Seseorang yang mampu mengembangkan keintiman dengan baik akan memiliki rasa perluasan diri yang berkembang baik pula Schultz, 19772010. Bentuk relasi hangat yang kedua adalah belas kasih compassion. Perasaan ini muncul sebagai hasil dari perluasan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI imajinatif diri seseorang bahwa ia adalah bagian dari keluarga semua bangsa. Hal ini membuat individu memahami pengalaman sakit, menderita, kuat, dan gagal yang muncul dalam kehidupan manusia. Belas kasih membuat seseorang sabar terhadap perilaku orang lain, tidak menghakimi maupun menghukum. Seseorang menjadi mampu menerima kelemahan-kelemahan manusia dan sadar bahwa dirinya memiliki kelemahan yang sama Schultz, 19772010. Berdasarkan uraian tersebut dapat didefiniskian bahwa relasi positif dengan orang lain merupakan relasi yang didasari oleh keintiman dan belas kasih. Orang yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain cenderung tidak sabar dan tidak mampu memahami sifat universal dari pengalaman dasar manusia Schultz, 19772010. Hal ini membuat mereka memiliki sedikit hubungan yang dekat, hangat, dan terpercaya. Ia sulit menjadi terbuka dan peduli dengan orang lain. Terkadang, orang-orang ini merasa terisolasi dan frustasi dengan hubungan interpersonal. Hal ini membuat mereka tidak memiliki keinginan untuk berusaha menjaga relasi yang penting dengan orang lain Ryff, 2014. Dengang demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan positif dengan orang lain menjelaskan bahwa pentingnya mempunyai kemampuan untuk menyayangi orang lain. Menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain yang merupakan salah satu dimensi dalam Psychological Well Being. e. Perkembangan Diri Personal Growth Perkembangan dirimerupakan dimensi well-being yang paling dekat dengan teori eudaimonia yang dipaparkan oleh Aristoteles. Perkembangan diri bertitik berat pada perwujudan diri seseorang yang sesungguhnya self-realization Ryff Singer, 2008. Perkembangan diri dimulai sejak masa kanak-kanak. Anak- anak mulai memiliki dorongan untuk melakukan sesuatu dan mengusahakan hubungan yang memuaskan dengan dunia. Hal tersebut menyebabkan munculnya dorongan untuk mengolah selera dan ketertarikan. Seseorang terdorong untuk meningkatkan dan memenuhi dirinya secara lengkap. Seseorang dapat terus berkembang ketika mampu menerima dirinya dengan penuh rasa penghargaan dan humor Murphy, 1954. Berdasarkan keterangan proses diatas, menurut Murphy 1954, pertumbuhan pribadi adalah pergerakan individu menuju pemenuhan potensi diri sebagai seorang pribadi. Robitscheck dalam Preventi, 2015 berpendapat bahwa pertumbuhan pribadi merupakan keterlibatan seseorang dalam meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan diri sebagai pribadi. Ryff dan Singer 2008 berpendapat bahwa pertumbuhan pribadi merupakan proses berkelanjutan untuk mengembangkan potensi. Dengan demikian, pertumbuhan pribadi dapat disimpulkan sebagai pergerakan indiviu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan potensi diri sehingga diri seseorang yang sesungguhnya dapat terwujud. Seseorang dengan personal growth yang baik akan terbuka pada pengalaman baru. Mereka berperilaku secara efektif dan menunjukkan pemahaman akan diri Ryff, 2014. Mereka memiliki rasa kuat akan arah hidup, mengetahui aturan dirinya sendiri dalam hidup, dan memiliki rencana untuk memenuhi tujuan tertentu dalam hidup, Robitscheck dalam Stevic Ward, 2008 Chrisina, 2015: 24.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi psikologis yang optimal dapat terus mengembangkan potensi yang dimiliki dan terbuka pada pengalaman baru agar dapat tumbuh menjadi seseorang yang efektif dan memiliki tujuan hidup. f. Tujuan dalam hidup Purpose In Life Carr, 1997 dalam Preventi, 2015 menuturkan bahwa tujuan dalam hidup merupakan rasa keberartian dalam hidup seseorang. Frankl menekankan pentingnya menemukan arti dalam hidup dalam pendekat yang ia lakukan mengenai kesehatan psikologis. Ketika seseorang mampu memberi artitujuan pada hidupnya, ia akan semakin menjadi manusia yang utuh. Kemauan akan arti hidup didorong oleh kebutuhan untukmemberi suatu maksud bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab pribadi sangat diperlukan dalam proses memperoleh pengertian dan pemahaman akan artitujuan dari kehidupan manusia. Dalam menghadapi situas-situasi yang menantang dalam hidup, manusia secara bertanggung jawab dan bebas berusaha menemukan maksud dari kondisi yang muncul. Manusia bertanggung jawab menentukan caranya masing- masing dalam menemukan makna dan tetap bertahan didalam cara maupun makna tersebut segera setelah ditemukan. Arti maupun tujuan yang manusia peroleh mengenai hidup akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui 3 cara, yakni melalui pemberian kepada dunia dengan suatu ciptaan, pemaknaan yang diambil dari suatu pengalaman, dan sikap yang diambil terhadap penderitaan. Orang yang mampu menemukan artitujuan dalam hidup mampu menghadap suatu penderitaan dengan sabar karena ia memiliki alasan untuk bertahan hidup Schultz, 19772010. Orang yang memiliki tujuan dalam hidup merasa bahwa hidupnya memiliki arah. Ia mampu menemukan arti dalam masa lalunya. Ia juga memiliki kepercayaan yang memberi tujuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI akan hidupnya Ryff, 2014. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup menjelaskan perlu adanya kepercayaan dalam individu bahwa dalam hidup selalu mempunyai makna dan tujuan. Seseorang diharapkan mempunyai tujuan dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being, yaitu: a. Faktor demografis Penelitian Ryff menunjukkan bahwa faktor demografis seperti status ekonomi, usia, jenis kelamin dan budaya mempengaruhi psychological well-being. b. Status sosial ekonomi Faktor ini berkaitan dengan penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Seseorang dengan sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya terhadap sosial ekonomi tinggi. c. Usia Dalam penelitian Ryff terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Faktor penguasaan lingkungan meningkat seiring dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor well-being lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam usia dewasa madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Sebagai contoh, pada lesbian, usia berperan cukup penting dalam pembentukan kematangan sosio-emosi, selain itu setiap proses dan pengalaman juga merupakan bagian dari bagaimana kematangan sosio-emosi secara bertahap terbentuk. d. Jenis kelamin Menurut Ryff, satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Perbedaan pola pikir mempengaruhi strategi koping yang dilakukan, menyebabkan seseorang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki psychological well-being yang lebih baik daripada laki-laki. Perempuan umumnya lebih mampu mengekspresikan emosi dan menjalin relasi sosial dengan orang lain Nofianti, 2012. Sebagai contoh, pada lesbian, ketika seorang dengan lesbian berada di lingkungan yang memiliki orientasi seksual sama dengannya maka dapat mudah terbangun keterbukaan untuk mengekspresikan emosi, bahkan dengan hal-hal yang lebih pribadi. e. Budaya Ryff mengemukakan bahwa sistem nilai individualisme- kolektivisme memberi dampak terhadappsychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain. f. Dukungan sosial Dukungan sosial dapat dirasakan individu dari orang lain atau sebaliknya meliputi rasa aman, penghargaan, perhatian, pertolongan, dll. Beberapa jenis dukungan sosial, yaitu: 1. Dukungan emosional melibatkan empati, rasa peduli, dan perhatian. 2. Dukungan penghargaan persetujuan ataupun dorongan positif yang dapat membangun seperti harga diri, kompetensi dan perasaan dihargai. 3. Dukungan instrumental tindakan secara langsung. 4. Dukungan Informasional pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang. 5. Kompetensi pribadi. 6. Kompetensi kognitif pribadi yang umumnya digunakan pada kehidupan sehari-hari. g. Kepribadian. Individu dengan komptensi penerimaan diri maunpun kemampuan dalam menjalin hubungan yang harmonis di lingkungan akan cenderung terhindar dari konflik dan stress Ryff, 1995. Penelitian ini tidak akan mengkaji semua faktor Well-Being. Penelitian ini akan mengkaji faktor kepribadian, pengalaman kekeluargaan, dan dukungan sosial. Peneliti memilih faktor tersebut untuk dikaji karena konteks kehidupan informan yang dikaji dalam penelitian ini berkaitan dengan hal-hal tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Kerangka Berpikir Teori