luka, warna luka, dan penyempitan luka Anggraeni, 2008. Selain itu dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap laju penyembuhan luka melalui metode
Morton, yang didasarkan pada perbedaan diameter dan luas luka pada hari pertama dan hari pengamatan Kusmiati, Rachmawati, Siregar, Nuswantara, Malik, 2006
G. Proses Penyembuhan Luka
Wound healing atau penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks
dan dinamis, dengan perubahan lingkungan luka dan dengan perubahan status kesehatan dari suatu individu. Penelitian terkait dengan luka akut yang dilakukan
pada hewan selaku subjek penelitian terdiri dari 4 fase penyembuhan. Fase yang terjadi pada penyembuhan luka yang pertama adalah hemostasis, pada fase ini
trombosit akan bekerja untuk melindungi pembuluh darah yang rusak, sebagai respon untuk luka yang ada. Trombosit mengeluarkaan subtansi vasokontriksi untuk
mengawali proses ini, namun peran utama mereka adalah untuk membentuk clot yang menutup pembuluh darah yang rusak Martin, 1997.
Fase selanjutnya dari penyembuhan luka adalah inflamasi, dimana fase inflamasi ini muncul saat fase yang hampir bersamaan dengan homeostasis. Fase ini
muncul pada beberapa menit setelah terluka hingga 24 jam dan bertahan selama 3 hari. Fase ini melibatkan respon seluler dan vaskuler. Pelepasan dari eksudat yang
kaya protein membuat vasodilatasi dan melepaskan serotonin dan histamin, sehingga membiarkan fagosit masuk pada luka dan memakan sel yang telah mati. Jaringan
nekrosis yang susah ditembus oleh aksi enzimatis akan mengeluarkan pus atau nanah Aoyagi, Onishi, Machida, 2007.
Fase proliferasi dimulai kurang lebih 4 hari setelah luka, dan bertahan selama 21 hari pada luka akut, bergantung pada ukuran dari luka dan kesehatan dari
pasien. Proliferasi dikarakterisasi dengan angiogenesis, deposisi kolagen, granulasi dari pembentukan jaringan, kontraksi luka, dan epitelisasi. Secara klinis, proliferasi
ditinjau dari adanya pembentukan jaringan merah atau kolagen di luka yang termasuk pergantian jaringan dari jaringan dermal dan jaringan subdermal untuk jaringan yang
lebih dalam. Sel yang bertugas untuk membentuk jaringan baru bernama sel fibroblast, dimana sel tersebut mengekskresikan kolagen yang akan memicu
regenerasi sel. Fibroblast bertanggung jawab untuk kontraksi luka. Pada penyembuhan luka, sel yang berada dibawah hormon pertumbuhan dibagi untuk
memproduksi sel baru yang akan bermigrasi ke tempat dimana mereka dibutuhkan dibawah pengaruh dari sitokin. Setelah itu terjadi proses kesetimbangan antara MMPs
dan TIMPs sehingga terbentuk produksi net dari jaringan baru. Pada luka kronis, sebaliknya, pembagian sel dan migrasi sel menurun, terjadi inflamasi sitokin yang
tinggi dan MMPs dan TIMPs serta hormone pertumbuhan menjadi sedikit. Sel menjadi tidak responsif terhadap hormon pertumbuhan Eccleston, 2007.
Fase selanjutnya setelah fase proliferasi adalah fase maturasi fase remodeling
. Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari
jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut
akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali
pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda gelatinous collagen yang terbentuk pada fase proliferasi akan
berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik proses re-modelling. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan
kulit dan kekuatan ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap
penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka Cutting, White, 2002.
Menurut penelitian Gitarja dan Hardian 2008, sejumlah kondisi fisik memang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Misalnya adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah. Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit
menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri dan mengirimkan
nutrisi dan elemen-elemen seluler untuk penyembuhan. Apabila jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan maka proses
penyembuhan luka juga akan terlambat. Hal ini dikarenakan IMT Indeks Masa Tubuh pasien bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses
penyembuhan luka post operasi SC tetapi hanya salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka Puspitasari, Ummah, Sumarsih, 2011.
H. Landasan Teori