LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Abad XXI merupakan abad globalisasi dan informasi yang ditandai dengan kompleksitas permasalahan kehidupan. Pandangan ini didukung oleh Wiramihardja 2002 yang menyatakan bahwa abad XXI adalah abad kekhawatiran mengenai kompleksnya permasalahan global yang memungkinan individu untuk mengalami stres. Lazarus dalam Carver Connor-Smith, 2010 mendefinisikan stres sebagai keadaan individu ketika menghadapi situasi yang menjadi beban atau melebihi kemampuannya. Stres dapat bersifat positif eustress ataupun negatif distress. Situasi stres dapat mengenai semua individu, termasuk remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan fisik, kognitif dan psikososial Papalia, Olds, Feldman, 2009. Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian dan cenderung berdampak pada permasalahan remaja. Hurlock 1996 menyebut masa remaja sebagai masa usia bermasalah. Masalah dan konflik yang tidak ditangani dengan baik berdampak buruk dan menjadi sumber stres pada remaja. Berbagai faktor dapat menyebabkan stres pada remaja abad XXI ini. Needlman 2004 menyatakan bahwa stres remaja disebabkan oleh faktor biologis, keluarga, sekolah atau akademik, teman sebaya dan lingkungan sosial. Terkait faktor biologis, Konstanski dan Gullone 1998 menemukan 80 remaja mengalami ketidakpuasan terhadap fisiknya. Penelitian di Baltimore US, menyebutkan faktor orangtua berkontribusi sebesar 68, saudara kandung sebesar 64, faktor sekolah berkontribusi sebesar 78, permasalahan teman sebaya sebesar 64, dan hubungan romantik sebesar 64 terhadap stres remaja Center for Adolescent Health, 2006. Survei yang dilakukan American Psycological Assosiation Survey 2009 didapatkan bahwa 45 remaja 13-17 tahun mengalami stres termasuk kecemasan. Zimmer-Gembeck dan Skinner 2008 juga melaporkan bahwa 25 remaja paling sedikit mengalami satu peristiwa yang menyebabkan stres. Fakta mencengangkan terjadi pada remaja Indonesia. Dorongan terbesar remaja merokok disebabkan oleh stres dengan prosentase 54,59 Hadi, 2008. Selain itu, penghuni di RSJ Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh remaja yang mengalami stres karena faktor pendidikan Setiabudi, 2010. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa stres dapat mengenai remaja. Terkait dengan stres, peneliti memilih untuk meneliti coping stres pada remaja karena keberhasilan remaja dari stressful life events tergantung pada bagaimana remaja memahami, merespon dan bereaksi dalam mengatasi masalahnya Zimmer-Gembeck Skinner, 2008. Apabila masalah dipandang negatif maka respon perilakunya juga negatif dan bersifat patologis. Sebaliknya, apabila masalah dipandang positif maka respon perilaku yang ditampilkan dalam bentuk pengaturan diri dan cara mengatasi masalah yang sehat. Cara individu merespon dan menghadapi stres inilah yang disebut coping. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui perilaku coping. Akan tetapi, kebanyakan penelitian coping berfokus pada individu dewasa. Konsep penelitian coping juga berlandaskan model coping individu dewasa. Dalam sejumlah penelitian coping, pengukuran coping yang dikembangkan untuk individu dewasa diaplikasikan pada remaja dengan sedikit atau tanpa adaptasi Compas et al., 2001. Untuk itu, Compas 2001 mengembangkan teori coping yang ditujukan bagi remaja. Compas dalam Compas et a.l, 2001; Miller Kaiser, 2001; Thomsen et al., 2002 mendefinisikan coping sebagai usaha kesadaran yang dikehendaki untuk mengatur emosi, pikiran, perilaku, fisiologi, dan merespon keadaan yang menyebabkan stres. Usaha-usaha tersebut adalah usaha yang mempunyai orientasi untuk menghadapi sumber stres engagement coping atau untuk menghindari sumber stres disengagement coping. Penelitian ini menggunakan teori coping yang dikembangkan oleh Compas 2001 karena model coping tersebut banyak digunakan dalam penelitian coping remaja dan respon yang mengatur sebagian besar dimensi tersebut menjadi model yang koheren dari model lain seperti problem focused coping vs emotional focused coping Miller Kaiser, 2001. Masing-masing remaja melakukan coping secara berbeda terhadap sumber stres yang dialami. Tidak semua remaja dapat melakukan coping secara sehat dan adaptif. Remaja yang tidak mempelajari cara sehat untuk mengatur stresnya akan berdampak negatif pada kesehatan American Psycological Assosiation Survey, 2009. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Connor- Smith 2000 dan Compas 2001 yang menyatakan bahwa cara merespon stres remaja penting untuk memahami perkembangan kesehatan remaja. Perkembangan kesehatan tersebut melingkupi pemahaman psikopatologi ataupun physical illness remaja. Peneliti-peneliti coping juga beranggapan bahwa cara individu menghadapi stresnya dapat mengurangi atau menambah efek yang merugikan kondisi kehidupan. Hal ini dikarenakan cara individu mengahadapi stresnya tidak hanya berpengaruh dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang pada perkembangan fisik dan kesehatan mental Skinner et al., 2003. Penelitian terbaru yang dipublikasikan British Medical Journal menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan perilaku yang mungkin akan berkembang menjadi masalah mental pada saat dewasa Manongga, 2012. Dari penjelasan di atas, penelitian coping dapat dijadikan acuan untuk berbagai rancangan intervensi psikologis yang ditujukan untuk pengobatan ataupun pencegahan psikopatologi. Pencegahan psikopatologi dilakukan dengan mengubah penilaian mereka terhadap stres atau meningkatkan kapasitas mereka untuk mengatasi stres secara adaptif Compas et al., 2001; Zimmer-Gembeck, Skinner, 2008. Individu yang memiliki coping yang adaptif adalah individu yang dapat mengatur emosi dan perilaku, merekonstruksi pikiran, mengkontrol tindakan pada lingkungan sosial dan nonsosial untuk mengubah atau mengurangi sumber stres Compas et al., 2001. Penggunaan coping antara individu satu berbeda dari individu lainnya. Masing-masing individu bereaksi secara berbeda terhadap sumber stres yang dialami. Segala sesuatu yang membuat individu berbeda dengan yang lainnya ada pada kepribadian individu masing-masing Carver Connor-Smith, 2010. Kepribadian terkait dengan tendensi biologis genetik. Berhubung kepribadian berakar dari biologis, faktor kepribadian merupakan dasar awal dalam mempengaruhi coping sepanjang masa kehidupan Connor-Smith Flachsbart, 2007. Maka dari itu, peneliti memilih faktor kepribadian sebagai faktor awal yang mempengaruhi coping. McCrae dan Costa dalam Primaldhi, 2008 mengatakan bahwa faktor kepribadian adalah salah satu yang menentukan kecenderungan coping yang digunakan individu. McCrae dan Costa dalam Pervin, Cervone, dan John, 2010 menyebutkan kelima faktor kepribadian tersebut adalah Opennes to Experience O, Conscientiousness C, Extraversion E, Agreeableness A dan Neuroticism N. Penelitian ini menggunakan teori keribadian five-factor model karena teori ini mampu memprediksi berbagai hal, termasuk kecenderungan coping. Penelitian terkait pengaruh faktor kepribadian five-factor model pada coping telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Friedman-Wheeler 2008 yang meneliti pengaruh faktor neuroticism pada coping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor neuroticism berpengaruh positif dan signifikan dengan disengagement coping dan berpengaruh negatif pada engagement coping. Hal ini membuktikan bahwa remaja dengan tingkat neuroticism tinggi, memiliki kecenderungan untuk menggunakan disengagement coping. Berdasar pada penelitian di atas, dikatakan bahwa kecenderungan kepribadian neurotic mempengaruhi coping yang digunakan remaja. Peneliti semakin tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor kepribadian lainnya pada coping remaja. Dengan mengetahui kecenderungan kepribadiannya, remaja dapat mengetahui kecenderungan coping dalam dirinya, apakah adaptif atau maladaptif. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada pengaruh masing-masing faktor kepribadian five-factor model pada coping remaja.

B. RUMUSAN MASALAH