kebebasan dalam mengeluarkan pendapat di kalangan orang dewasa Neeldman, 2004. Selain itu, Manongga 2012 mengatakan bahwa
remaja menginginkan dirinya berkontribusi pada lingkungan agar merasa berguna. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi remaja cenderung merasa
dirinya tidak berguna dan menganggap ini sebagai masalah. Sumber stres remaja di atas juga sesuai dengan teori stressor yang
dikemukakan oleh Lazarus dalam Safaria, 2006 bahwa kondisi fisik, lingkungan dan sosial dapat menyebabkan stres.
D. PENGARUH FAKTOR KEPRIBADIAN FIVE-FACTOR MODEL PADA
COPING REMAJA
Stres merupakan situasi individu saat mengalami kesulitan dalam menangani segala kendala dan ancaman. Stres dapat berdampak positif maupun
negatif bagi individu. Stres dapat mengenai semua individu, tak terkecuali remaja. Untuk merespon situasi stres, diperlukan usaha-usaha yang disebut coping. Secara
lebih lengkap, coping adalah usaha kesadaran yang dikehendaki untuk mengatur emosi, pikiran, perilaku, fisiologi dan merespon keadaan yang menyebabkan stres
Compas et al., 2001. Coping memiliki dua orientasi, yaitu untuk menghadapi stressor engagement coping dan untuk menghindar dari stressor disengagement
coping. Selain berminat pada coping, penelitian ini juga berminat pada kepribadian
five-factor model FFM yang merupakan salah satu faktor penentu kecenderungan coping. Kepribadian FFM terdiri dari lima faktor, yaitu opennes to
experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticism. Kelima faktor kepribadian FFM tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi
penilaian dan respon terhadap stres. Faktor pertama, opennes to experience cenderung menganggap peristiwa sebagai tantangan bukan suatu ancaman.
Demikian juga dengan faktor kedua yaitu conscientiousness yang menganggap peristiwa sebagai tantangan. Individu dengan tingkat conscientiousness tinggi
cenderung menghindari tindakan impulsif yang dapat menyebabkan masalah keuangan, kesehatan dan interpersonal. Faktor ketiga, extravertion juga
menganggap peristiwa bukan sebagai ancaman, tetapi tantangan yang harus dihadapi. Ketiga faktor tersebut mempunyai penilaian positif dalam menghadapi
masalah. Faktor keempat, agreeableness terkait dengan konflik interpersonal yang rendah. Dapat dikatakan bahwa individu dengan tingkat agreeableness tinggi
cenderung kurang mengalami stres sosial. Terakhir, faktor neuroticism berhubungan erat dengan distress. Individu neurotic menilai peristiwa sebagai
situasi yang sangat mengancam. Selain itu, individu neurotic juga cenderung memiliki sumber daya coping yang rendah Carver Connor-Smith, 2010.
Dapat dikatakan bahwa faktor kepribadian FFM mempengaruhi penilaian individu terhadap stres. Selain itu, masing-masing faktor kepribadian juga
membedakan strategi coping yang dipilih dalam menghadapi stres. McCrae dan Costa dalam Primaldhi, 2008 menjelaskan bahwa trait kepribadian merupakan
faktor yang menentukan jenis strategi coping yang digunakan individu secara konsisten. Sebagai contoh, individu yang memiliki penilaian positif terhadap stres
cenderung menggunakan engagement coping.
Penjelasan lebih lanjut untuk pengaruh masing-masing faktor FFM pada coping adalah sebagai berikut:
1. Opennes to experience. Individu dengan opennes to experience yang tinggi melibatkan
kecenderungan individu untuk menjadi imajinatif, kreatif, memiliki rasa ingin tahu, fleksibel dan cenderung berorientasi pada kegiatan dan ide-ide baru
McCrae John, 1992. Kecenderungan tersebut dapat memfasilitasi dan mengarah pada engagement coping yang memerlukan pertimbangan
perspektif yang baru, seperti restrukturisasi kognitif dan pemecahan masalah Carver Connor-Smith, 2010. Akan tetapi, opennes to experience juga
dapat memfasilitasi penggunaan wishfull thingking yang merupakan salah satu strategi disengagement coping. Hal ini terjadi karena individu yang
cenderung berimajinasi dan berangan-angan dalam menghadapi masalah Connor-Smith Flachsbart, 2007. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan
bahwa karakteristik-karakteristik individu opennes to experience lebih banyak memfasilitasi penggunaan engagement coping.
2. Conscientiousness Faktor ini mencerminkan ketekunan, pengaturan dan disiplin diri,
organisasi, achievement orientation dan pendekatan musyawarah McCrae John, 1992. Individu dengan conscientiousness tinggi memfasilitasi individu
dalam pemecahan masalah dan meminimalkan disengagement coping Carver Connor-Smith, 2010. Connor-Smith dan Flachsbart, 2007 menambahkan
bahwa conscientiousness juga memprediksi penggunaan primary dan
secondary control engagement coping strategi. Strategi primary control engagement coping tersebut adalah pemecahan masalah dan pengaturan emosi.
Strategi tersebut memerlukan perencanaan serta ketekunan dalam mengadapi masalah. Sedangkan strategi secondary control engagement coping adalah
distraction dan cognitive restructuring dimana individu memerlukan perubahan atensi dari pikiran negatif menjadi pikiran positif. Individu
conscientious juga diprediksi memiliki disengagement coping yang rendah Vollrath dalam Connor-Smith Flachsbart, 2007.
3. Extraversion Faktor ini cenderung melibatkan emosi positif, sosialisasi, asertif,
energi dan tingkat aktivitas yang tinggi McCrae John, 1992. Kecenderungan individu untuk asertif memberikan energi untuk memulai dan
bertahan dalam pemecahan masalah atau problem solving Vollrath dalam Carver Connor-Smith, 2010. Emosi yang positif akan memfasilitasi
individu dalam resrukturisasi kognitif. Selain itu, individu yang memiliki emosi positif cenderung berorientasi pada orang lain atau jaringan sosialnya.
Hal ini memfasilitasi individu untuk mendapatkan dukungan sosial ketika individu menghadapi masalah. Connor-Smith dan Flachsbart, 2007
menambahkan bahwa
faset-faset extraversion
tidak memfasilitasi
disengagement coping. 4. Agreeableness
Faktor ini melibatkan tingkat kepercayaan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain McCrae John, 1992. Individu yang memiliki tingkat
agreeableness tinggi memiliki jaringan sosial yang kuat Carver Connor- Smith, 2010. Maka dari itu, faktor agreeableness dapat memprediksi coping
yang berorientasi pada dukungan sosial sehingga memfasilitasi dalam pemecahan masalah. Individu yang memiliki tingkat agreeableness tinggi
diduga memiliki level yang rendah pada penarikan diri memiliki sifat tabah serta penyesuaian yang baik sehingga memfasilitasi salah satu strategi
engagement coping yaitu acceptance Connor-Smith Flachsbart, 2007. 5. Neuroticism
Faktor ini mencerminkan kecenderungan individu untuk mengalami ketakutan, kesusahan, kesedihan dan physiological arousal McCrae John,
1992. Individu neurotic juga cenderung sulit berpikir positif dan melakukan restrukturisasi kognitif. Oleh karena itu, individu neurotic lebih mengarah
pada disengagement coping Carver Connor-Smith, 2010. Selain itu, individu neurotic melibatkan reaksi fisik dan emosional yang intens untuk
meminimalkan stres. Hal tersebut difasilitasi oleh penggunaan disengagement coping strategi dengan cara menghindar. Bentuk penghindaran tersebut dapat
berupa penggunaan narkoba atau mengkonsumsi minuman keras. Connor- Smith Flachsbart, 2007.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor opennes to experience, conscientiousness, extraversion dan agreeableness berpengaruh
untuk membentuk engagement coping dan mengurangi disengagement coping. Sedangkan faktor neuroticism berpengaruh untuk membentuk disengagement
coping dan mengurangi engagement coping.
E. SKEMA PENELITIAN