Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau

kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Bila kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago adalah nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah. Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang. Maksudnya yaitu segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum Abidin, 2008.

2.4 Sistem Kekerabatan Suku Minangkabau

Sistem kekerabatan suku Minangkabau adalah matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seseorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Menurut Muhammad Rajab 1969, sistem matrilineal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : keturunan dihitung menurut garis ibu, suku terbentuk menurut garis ibu, tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya eksogami, pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku, kekuasaan di dalam suku terletak di tangan ibu tetapi jarang sekali dipergunakan sedangkan yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istrinya, hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak saudara laki-laki ibu kepada kemenakannya anak dari saudara perempuan. Universitas Sumatera Utara Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau samapai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Peranan penghulu ninik mamak boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga indikator akan berjalan semestinya atau tidak sistem matrilineal itu. Sistem ini hanya diajarkan secara turun-temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkabau itu sendiri. Ada beberapa ketentuan atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau yaitu Basuku bamamak bakamanakan, Barumah gadang, Basasok bajarami, Basawah baladang, Bapandan pakuburan, Batapian tampek mandi. Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilineal yaitu : Pengaturan harta pusaka. Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda yaitu sako dan pusako. Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup Universitas Sumatera Utara perempuan dengan anak-anaknya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Peranan laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk kebutuhan keluarga. Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak. Pada giliran berikutnya, setelah dewasa dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya. Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah maksudnya harta pusaka kaum, jangan mengurangi maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri. Selain berperan di dalam kaum, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal. Kaum dan pesukuan. Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut. Di Universitas Sumatera Utara dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande berasal dari satu ibu. Unit yang lebih luas disebut saparuik berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya. Pada awalnya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku- suku itupun dimekarkan. Bundo kanduang sebagai perempuan utama. Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Bundo kanduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu Abidin, 2008.

2.5 Kehidupan masyarakat Minangkabau