Pembahasan Peraturan Perundang-undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi

101

B. Pembahasan

1. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan dalam Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, selain tunduk dengan kebijakan pertambangan juga berkaitan erat dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar sektor kehutanan dan pembagian urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk menghindari kekisruhan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan yang disebabkan karena adanya pertentangan norma yang mengatur kegiatan tersebut, maka antar kebijakan tersebut harus sinkron dan bersinergi. Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi, atau konflikperselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal. Norma hukum yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan merupakan substansi yang harus disinkronkan guna mencegah kekisruhan kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pemerintah daerah berwenang menerbitkan IUP, namun untuk IUP yang wilayah kerjanya di kawasan hutan harus tetap memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan. Ketentuan Pasal 38 ayat 3 yang mengatur kewenangan menteri kehutanan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk commit to user 102 kegiatan pertambangan sering dipertentangkan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi wewenang daerah mengurus rumah tangganya sendiri, diantaranya mengurus potensi sumber daya alam di daerahnya, termasuk sumber daya alam hutan dan bahan galian tambang. Untuk itu dalam tesis ini penulis akan mengsinkronkan secara vertikal dan horizontal peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perizinan kegiatan penambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah. a. Sinkronisasi Vertikal Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pada era otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah. Seperti telah dijabarkan pada kajian teori di atas landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan adalah Pasal 18 ayat 2 UUD 1945, sedangkan landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil adalah Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945. Ketentuan tersebut lebih lanjut diejawantahkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan adalah Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan. Kesesuaian kewenangan Menteri Kehutanan dalam commit to user 103 memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah, dapat dianalisa dengan mengsinkronkan dasar hukum kewenangan Menteri kehutanan tersebut dengan dasar hukum pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam pembahasan ini penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan sebagai landasan kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Dan selanjutnya penulis akan mengsinkronkan ketentuan pasal 18 A ayat 2 UUD 1945 sebagai konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan jo Pasal 66 UU Kehutanan sebagai dasar pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: commit to user 104 Tabel 2 Sinkronisasi Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan UUD 1945 UU Kehutanan Pasal 18 ayat 2 Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Pasal 38 ayat 3 Pasal 50 ayat 3 huruf g Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian hutan Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin menteri UU Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat 3 Pasal 5 Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional; dan f. Agama Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud commit to user 105 pada ayat 3, Pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Penjelasan UU Pemerintahan Daerah Pasal 13 ayat 2 Pasal 14 ayat 2 . Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dalam ketentuan ini sesuai kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dalam ketentuan ini sesuai kondisi, commit to user 106 kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata. PP Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 7 ayat 4 Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energi dan sumber daya mineral; e. Pariwisata; f. Industri; g. Perdagangan;dan h. Ketransmigrasian. Lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan Huruf AA angka 7 Kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar- commit to user 107 menukar kawasan hutan. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, oleh karena itu sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dengan stufenbau theorie-nya atau jenis dan tata urutan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Sebagaimana telah disebutkan dalam kajian teori bahwa berdasarkan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut di atas, UUD 1945 jika dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky merupakan norma dasar atau norma fundamental Negara, sehingga peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus berpedoman dan mengacu pada UUD 1945. Dalam tingkatan hieraki peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 menempati kedudukan paling atas, maka sudah semestinya norma hukum dalam UUD 1945 menjadi rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga kondisi sebagaimana dimaksud Fuller bahwa, “suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain” dapat terwujud. Berdasarkan tabel sinkronisasi di atas terlihat Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di sinkronkan dengan ketentuan Pasal 18 commit to user 108 ayat 2 UUD 1945 sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah guna mengetahui apakah kewenangan menteri kehutanan tersebut telah sinkron atau selaras dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah karena berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma hukum dasar yang mengatur otonomi daerah di Indonesia. Kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan merupakan perwujudan hak menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah memberi wewenang kepada pemerintah untuk: 140 140 Salim HS, op. cit., hal. 12 commit to user 109 1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; 2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; 3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, Pemerintah juga mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat mengakomidir kepentingan-kepentingan tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam ketentuan Pasal 38 UU Kehutanan diatur mengenai penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sector adalah agar pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawsai dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Dalam Pasal 38 UU Kehutanan disebutkan: 1. Pengaturan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. 2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. commit to user 110 4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan pola pertambangan terbuka. 5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan. Pengaturan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan lebih lanjut diatur dalam PP. 18Menhut-II2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam PP 24 Tahun 2010, diatur mengenai kegiatan pembangunan di luar sector kehutanan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan. Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan tersebut di atas memberi kepastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan diatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin menteri. Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal 18 ayat 2 merupakan landasan konstitusional pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjut ketentuan tersebut maka diterbitkan UU Pemerintahan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan. Dalam Pasal 10 ayat 3 UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat hanya meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dengan kata lain urusan pemerintahan di luar ke enam urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang dapat commit to user 111 di desentralisasikan. Dalam kajian teori di atas telah dijelaskan bahwa sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dapat di desentralisasikan. Sektor kehutanan berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 7 ayat 4 PP Pembagian Urusan Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang bersifat pilihan. Selanjutnya Pasal 10 ayat 5 UU Pemerintahan Daerah diatur mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat berbentuk 1 menyelenggarakan sendiri; 2 melimpahkan sebagian kepada Gubernur dekonsentrasi; dan 3 menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Atau dengan kata lain pemerintah diperbolehkan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, antara lain pemerintah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor kehutanan. Dalam huruf AA angka 7 Lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan telah diatur pembagian urusan pemerintahan sektor kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam lampiran tersebut diatur bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan. Seperti telah diuraikan pada kajian teori urusan pemerintahan yang bersifat concurrent dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas commit to user 112 dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Berdasarkan kriteria tersebut urusan pemerintahan sektor kehutanan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampakakibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupatenkota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah. Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah administratif namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Dampak kerusakan hutan di suatu kabupaten atau provinsi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kabupaten atau provinsi tersebut tetapi juga dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Indonesia bahkan turut dirasakan masyarakat internasional. Oleh karena itu, seyogyanya pengaturan izin penggunaan kawasan hutan berada di pemerintah pusat karena izin penggunaan kawasan hutan ini merupakan instrument pengendali pengelolaan hutan guna mencegah kerusakan hutan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma dasar yang mengatur pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Selanjutnya penulis akan membahas sinkronisasi kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan pada era otonomi daerah dengan pengaturan hubungan pemerintah pusat commit to user 113 dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 A ayat 2 sebagai landasan konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan sebagai dasar kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan serta ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat digambarkan dalam table berikut ini: Tabel 3 Sinkronisasi Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan UUD 1945 UU Kehutanan Pasal 18 A ayat 2 Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang Pasal 38 ayat 3 Pasal 66 ayat 1, 2, 3 Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian hutan 1 Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah; 2 Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan UU Pemerintahan Daerah Pasal 2 ayat 4 Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan pemerintahan daerah lainnya Hubungan sebagaimana commit to user 114 Pasal 2 ayat 5 Pasal 17 ayat 1 dimaksud ayat 4 meliputi hubungan wewenang, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5 meliputi: a. Kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta sebagaimana dimaksud ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah; 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. commit to user 115 rehabilitasi lahan Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam kawasan hutan oleh menteri kehutanan, tidak dapat diartikan sebagai upaya mengambil kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alamnya, tapi lebih sebagai instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah administratif, namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Keberadaan hutan tidak semata-mata untuk kepentingan penghasilan daerah dan kepentingan investasi dalam konteks pemanfaatan hutan, melainkan hutan harus mampu memberikan manfaat jasa lingkungan, dapat mencegah bencana, erosi dan tanah longsor serta dapat mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan berupa izin dan sanksi guna mencegah kerusakan hutan. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan- kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan izin adalah mengendalikan kegiatan masyarakat. Terkait izin pinjam pakai kawasan hutan yang diberikan oleh menteri kehutanan, maka izin pinjam pakai kawasan hutan ditempatkan pada posisi pengendalian dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Dengan demikian, izin pinjam pakai tersebut bukan hanya sebagai sumber pendapatan hasil daerah maupun sumber pendapatan hasil Negara, tetapi betul-betul sebagai commit to user 116 instrument pengendalian agar hutan dapat berfungsi sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa: 1 Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. 2 Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi kabupatenkota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat 4 dan 5 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat: commit to user 117 1 Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 4 dan ayat 5 meliputi: a. kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan, dikaitkan dengan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur penyerahan urusan atau wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah, maka apabila menteri kehutanan akan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri tidak dapat berjalan sendiri, karena berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5 jo Pasal 17 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah dan PP Pembagian Urusan Pemerintahan, oleh karena itu dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi kepala daerah yang menunjukan adanya hubungan yang adil dan selaras antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18A ayat 2 UUD 1945 yang lebih lanjut diejawantahkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat 4 dan 5 jo Pasal 17 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 ayat 1, 2 dan 3 UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan pelaksanaan desentralisasi sektor kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah secara adil dan selaras. commit to user 118 Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sesuai stufenbau theory dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Maka sesuai dengan hieraki peraturan perundang- undangan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat 2 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 ayat 1, 2, dan 3 UU Kehutanan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang hubungan pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan telah sinkron dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah. b. Sinkronisasi Horizontal UU Kehutanan, UU Minerba dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksananya, merupakan peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah. Oleh karena itu selain sinkronisasi vertical terkait eksistensi kewenangan menteri kehutanan dalam memberika izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada era otonomi daerah, maka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah perlu juga dilakukan sinkronisasi horizontal. Sinkronisasi horizontal dapat dilakukan dengan menggunakan asas lex speciali derogate lex generale. commit to user 119 Dalam sinkronisasi horizontal, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan substansi sektor yang akan disinkronkan, dalam penelitian ini adalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah. Selanjutnya adalah memaparkan peraturan perundang- undangan yang mengatur kegiatan tersebut, dalam hal ini adalah UU Minerba, UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksananya. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan melalui tabel sebagai berikut: commit to user 120 Tabel 4 Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan UU Pertambangan UU Kehutanan UU Pemerintahan Daerah Pasal 134 ayat 2 Pasal 134 ayat 3 Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud Pasal 38 ayat 3 Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbang kan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian hutan Pasal 10 ayat 3 Pasal 5 Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional; dan f. Agama Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Pemerintah dapat: commit to user 121 pada ayat 2 dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Penjelasan UU Pemerintahan Daerah Pasal 13 ayat 2 Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dalam ketentuan ini sesuai kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, commit to user 122 Pasal 14 ayat 2 perkebunan, kehutanan, pariwisata Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dalam ketentuan ini sesuai kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata PP Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 7 ayat 4 Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energi dan sumber daya mineral; e. Pariwisata; commit to user 123 f. Industri; g. Perdagangan; dan h. Ketransmigras ian. Lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan Huruf AA angka 7 Kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan commit to user 124 penggunaan dan tukar- menukar kawasan hutan.

1. UU Pemerintahan Daerah