101
B. Pembahasan
1. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan dalam Kawasan Hutan pada Era
Otonomi Daerah
Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, selain tunduk dengan kebijakan pertambangan juga berkaitan erat
dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar sektor kehutanan dan pembagian urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan
pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk menghindari kekisruhan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan yang
disebabkan karena adanya pertentangan norma yang mengatur kegiatan tersebut, maka antar kebijakan tersebut harus sinkron dan bersinergi.
Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan
kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih,
inkonsistensi, atau konflikperselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi
semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal.
Norma hukum yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan merupakan substansi yang harus disinkronkan guna
mencegah kekisruhan kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pemerintah daerah berwenang
menerbitkan IUP, namun untuk IUP yang wilayah kerjanya di kawasan hutan harus tetap memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan
hutan dari menteri kehutanan. Ketentuan Pasal 38 ayat 3 yang mengatur kewenangan menteri
kehutanan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
commit to user
102
kegiatan pertambangan sering dipertentangkan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi wewenang daerah mengurus rumah tangganya
sendiri, diantaranya mengurus potensi sumber daya alam di daerahnya, termasuk sumber daya alam hutan dan bahan galian tambang. Untuk itu
dalam tesis ini penulis akan mengsinkronkan secara vertikal dan horizontal peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di
kawasan hutan khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perizinan kegiatan penambangan di kawasan hutan pada era otonomi
daerah. a. Sinkronisasi Vertikal
Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pada era
otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah.
Seperti telah dijabarkan pada kajian teori di atas landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan adalah Pasal 18 ayat 2 UUD 1945,
sedangkan landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil adalah Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945.
Ketentuan tersebut lebih lanjut diejawantahkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU
No. 32 Tahun 2004. Sedangkan dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan adalah Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan. Kesesuaian kewenangan Menteri Kehutanan dalam
commit to user
103
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah, dapat dianalisa dengan mengsinkronkan dasar hukum kewenangan Menteri kehutanan tersebut
dengan dasar hukum pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam pembahasan ini penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan sebagai landasan kewenangan menteri
kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Dan selanjutnya penulis akan mengsinkronkan ketentuan
pasal 18 A ayat 2 UUD 1945 sebagai konstitusional hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil dengan ketentuan Pasal 38
ayat 3 UU Kehutanan jo Pasal 66 UU Kehutanan sebagai dasar pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat
disampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
commit to user
104
Tabel 2 Sinkronisasi Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 dengan Substansi
Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan
UUD 1945
UU Kehutanan
Pasal 18
ayat 2
Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan
Pasal 38
ayat 3
Pasal 50
ayat 3
huruf g
Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pertambangan
melalui pemberian izin pinjam
pakai oleh
Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka
waktu tertentu
serta kelestarian hutan
Setiap orang
dilarang melakukan
kegiatan penyelidikan umum, atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang di
kawasan hutan tanpa izin menteri
UU Pemerintahan Daerah Pasal
10 ayat
3
Pasal 5
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
a. Politik luar negeri; b. Pertahanan;
c. Keamanan; d. Yustisi;
e. Moneter dan
fiscal nasional; dan
f. Agama
Dalam urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
luar urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud
commit to user
105
pada ayat 3, Pemerintah dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri
sebagian urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada
Gubernur sebagai
wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan
pemerintahan kepada pemerintahan
daerah dan atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas
pembantuan. Penjelasan UU Pemerintahan Daerah
Pasal 13
ayat 2
Pasal 14
ayat 2
. Yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang secara
nyata ada
dalam ketentuan ini sesuai kondisi,
kekhasan dan potensi yang dimiliki
antara lain
pertambangan, perikanan,
pertanian, perkebunan,
kehutanan, pariwisata Yang
dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang secara
nyata ada
dalam ketentuan ini sesuai kondisi,
commit to user
106
kekhasan dan potensi yang dimiliki
antara lain
pertambangan, perikanan,
pertanian, perkebunan,
kehutanan, pariwisata. PP Pembagian Urusan Pemerintahan
Pasal 7 ayat
4 Urusan pilihan sebagaimana
dimaksud pada
ayat 3
meliputi: a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian; c. Kehutanan;
d. Energi dan sumber daya mineral;
e. Pariwisata; f. Industri;
g. Perdagangan;dan h. Ketransmigrasian.
Lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan
Huruf AA
angka 7
Kewenangan pemerintah
pusat dalam penatagunaan kawasan
hutan meliputi
penetapan norma, standar, prosedur,
dan criteria
penatagunaan kawasan
hutan, pelaksanaan
penetapan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan
milik menjadi
kawasan hutan, pemberian perizinan
penggunaan dan
tukar-
commit to user
107
menukar kawasan hutan.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, oleh karena itu sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dengan stufenbau theorie-nya atau jenis dan tata urutan hieraki peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Sebagaimana
telah disebutkan dalam kajian teori bahwa
berdasarkan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut di
atas, UUD 1945 jika dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky merupakan norma dasar atau norma fundamental Negara,
sehingga peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus berpedoman dan mengacu pada UUD 1945. Dalam tingkatan hieraki
peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 menempati kedudukan paling atas, maka sudah semestinya norma hukum dalam UUD
1945 menjadi rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga kondisi sebagaimana dimaksud Fuller bahwa, “suatu sistem
hukum tidak boleh mengandung peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain” dapat terwujud.
Berdasarkan tabel sinkronisasi di atas terlihat Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum kewenangan
menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di sinkronkan dengan ketentuan Pasal 18
commit to user
108
ayat 2 UUD 1945 sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah guna mengetahui apakah kewenangan menteri kehutanan tersebut telah sinkron
atau selaras dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah
karena berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma hukum dasar yang mengatur otonomi daerah di Indonesia.
Kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan merupakan perwujudan hak
menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat
Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang
hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah memberi wewenang
kepada pemerintah untuk:
140
140
Salim HS, op. cit., hal. 12
commit to user
109
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan;
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan. Selain itu, Pemerintah juga mempunyai wewenang untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan
di dalam kawasan hutan. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu
adanya ketentuan yang dapat mengakomidir kepentingan-kepentingan tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam ketentuan Pasal 38 UU Kehutanan diatur mengenai penggunaan kawasan hutan melalui
mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sector adalah agar pemerintah
masih mempunyai kewenangan untuk mengawsai dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut.
Dalam Pasal 38 UU Kehutanan disebutkan: 1. Pengaturan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
commit to user
110
4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan pola pertambangan terbuka.
5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis
dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan. Pengaturan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan
lebih lanjut diatur dalam PP. 18Menhut-II2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Dalam PP 24 Tahun 2010, diatur mengenai kegiatan pembangunan di luar sector kehutanan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan
hutan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan. Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan tersebut di atas memberi kepastian
hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan diatur
bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin
menteri. Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan Daerah
Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal
18 ayat 2 merupakan landasan konstitusional pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak
lanjut ketentuan tersebut maka diterbitkan UU Pemerintahan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan.
Dalam Pasal 10 ayat 3 UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat hanya meliputi:
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dengan kata lain urusan pemerintahan di luar ke
enam urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang dapat
commit to user
111
di desentralisasikan. Dalam kajian teori di atas telah dijelaskan bahwa sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dapat di
desentralisasikan. Sektor kehutanan berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 7 ayat 4 PP Pembagian Urusan
Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang bersifat pilihan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat 5 UU Pemerintahan Daerah diatur mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat 3. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat
berbentuk 1 menyelenggarakan sendiri; 2 melimpahkan sebagian kepada Gubernur dekonsentrasi; dan 3 menugaskan sebagian urusan
kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Atau dengan kata lain pemerintah diperbolehkan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, antara lain pemerintah dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor kehutanan. Dalam huruf AA angka 7 Lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan telah diatur pembagian urusan pemerintahan sektor kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam lampiran tersebut
diatur bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan
norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta
perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Seperti telah diuraikan pada kajian teori urusan pemerintahan yang bersifat concurrent dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas
commit to user
112
dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Berdasarkan kriteria
tersebut urusan pemerintahan sektor kehutanan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampakakibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila
dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupatenkota, apabila regional
menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah.
Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah administratif namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah
administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam
yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Dampak kerusakan hutan di suatu kabupaten atau provinsi tidak hanya dirasakan
oleh masyarakat yang tinggal di kabupaten atau provinsi tersebut tetapi juga dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Indonesia bahkan turut
dirasakan masyarakat internasional. Oleh karena itu, seyogyanya pengaturan izin penggunaan kawasan hutan berada di pemerintah pusat
karena izin penggunaan kawasan hutan ini merupakan instrument pengendali pengelolaan hutan guna mencegah kerusakan hutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, tidak bertentangan dengan Pasal
18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma dasar yang mengatur pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Selanjutnya penulis akan membahas sinkronisasi kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan
pada era otonomi daerah dengan pengaturan hubungan pemerintah pusat
commit to user
113
dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penulis akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 A ayat 2 sebagai landasan
konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan sebagai dasar
kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan serta ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur
pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat digambarkan dalam table berikut ini:
Tabel 3 Sinkronisasi Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945 dengan Pasal 38
ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan
UUD 1945
UU Kehutanan
Pasal 18 A
ayat 2
Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber
daya alam
lainnya antara
pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang
Pasal 38
ayat 3
Pasal 66
ayat 1,
2, 3 Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan
pertambangan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh
Menteri dengan
mempertimbangkan batasan
luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian hutan
1 Dalam rangka
penyelenggaraan kehutanan,
Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan
kepada Pemerintah Daerah;
2 Pelaksanaan penyerahan sebagian
kewenangan
UU Pemerintahan Daerah Pasal
2 ayat 4
Pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan
memiliki hubungan
dengan Pemerintah dan pemerintahan
daerah lainnya
Hubungan sebagaimana
commit to user
114
Pasal 2 ayat
5
Pasal 17
ayat 1 dimaksud
ayat 4
meliputi hubungan
wewenang, pelayanan
umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
Hubungan dalam
sektor pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4
dan 5 meliputi: a. Kewenangan
tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya
dan pelestarian; b. Bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya; dan
c. Penyerasian lingkungan
dan tata ruang serta
sebagaimana dimaksud ayat 1 bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan
otonomi daerah; 3 Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
diatur lebih
lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
commit to user
115
rehabilitasi lahan
Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam kawasan hutan oleh menteri kehutanan, tidak dapat
diartikan sebagai upaya mengambil kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alamnya, tapi lebih sebagai instrumen pengendalian dalam
pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah
administratif, namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari
kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Keberadaan hutan
tidak semata-mata untuk kepentingan penghasilan daerah dan kepentingan investasi dalam konteks pemanfaatan hutan, melainkan hutan harus mampu
memberikan manfaat jasa lingkungan, dapat mencegah bencana, erosi dan tanah longsor serta dapat mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu
diperlukan instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan berupa izin dan sanksi guna mencegah kerusakan hutan.
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-
kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan izin adalah
mengendalikan kegiatan masyarakat. Terkait izin pinjam pakai kawasan hutan yang diberikan oleh menteri kehutanan, maka izin pinjam pakai
kawasan hutan ditempatkan pada posisi pengendalian dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Dengan demikian,
izin pinjam pakai tersebut bukan hanya sebagai sumber pendapatan hasil daerah maupun sumber pendapatan hasil Negara, tetapi betul-betul sebagai
commit to user
116
instrument pengendalian agar hutan dapat berfungsi sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan.
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah
tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa: 1 Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. 2 Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya
penyerahan kewenangan
tersebut adalah
untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan
hutan dan
dalam rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi kabupatenkota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat 4 dan 5 UU No. 32 Tahun 2004
yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
dan sumber daya lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut
diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:
commit to user
117
1 Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 4 dan ayat 5 meliputi: a. kewenangan
tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan, dikaitkan dengan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur penyerahan urusan atau wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah, maka apabila menteri kehutanan akan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri tidak dapat berjalan
sendiri, karena berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5 jo Pasal 17
ayat 1 UU Pemerintahan Daerah dan PP Pembagian Urusan Pemerintahan, oleh karena itu dalam memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan, menteri kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi kepala daerah yang menunjukan adanya hubungan yang adil dan selaras
antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18A ayat 2 UUD 1945 yang lebih lanjut diejawantahkan dalam ketentuan
Pasal 2 ayat 4 dan 5 jo Pasal 17 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 38 ayat 3 dan
Pasal 66 ayat 1, 2 dan 3 UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan
kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan dan
pelaksanaan desentralisasi sektor kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 18 A ayat
2 UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah secara adil dan selaras.
commit to user
118
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sesuai stufenbau theory dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum yang lebih tinggi. Maka sesuai dengan hieraki peraturan perundang- undangan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan
sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat 2 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat 3
dan Pasal 66 ayat 1, 2, dan 3 UU Kehutanan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang
hubungan pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan telah sinkron dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah.
b. Sinkronisasi Horizontal UU Kehutanan, UU Minerba dan UU Pemerintahan Daerah beserta
peraturan pelaksananya, merupakan peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era
otonomi daerah. Oleh karena itu selain sinkronisasi vertical terkait eksistensi kewenangan menteri kehutanan dalam memberika izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada era otonomi daerah, maka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur
kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah perlu juga dilakukan sinkronisasi horizontal. Sinkronisasi horizontal dapat
dilakukan dengan menggunakan asas lex speciali derogate lex generale.
commit to user
119
Dalam sinkronisasi horizontal, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan substansi sektor yang akan disinkronkan, dalam
penelitian ini adalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah. Selanjutnya adalah memaparkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur kegiatan tersebut, dalam hal ini adalah UU Minerba, UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan
pelaksananya. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan melalui tabel sebagai berikut:
commit to user
120
Tabel 4 Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU
Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan
UU Pertambangan UU Kehutanan
UU Pemerintahan Daerah Pasal
134 ayat 2
Pasal 134
ayat 3 Kegiatan
usaha pertambangan
tidak dapat
dilaksanakan pada
tempat yang dilarang
untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan
Kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana
dimaksud Pasal
38 ayat 3
Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan
pertambangan melalui
pemberian izin pinjam
pakai oleh
Menteri dengan
mempertimbang kan batasan luas
dan jangka
waktu tertentu
serta kelestarian hutan
Pasal 10
ayat 3
Pasal 5
Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 meliputi:
a. Politik luar negeri; b. Pertahanan;
c. Keamanan; d. Yustisi;
e. Moneter dan
fiscal nasional; dan
f. Agama
Dalam urusan
pemerintahan yang
menjadi kewenangan
Pemerintah di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud
pada ayat 3, Pemerintah dapat:
commit to user
121
pada ayat 2 dapat
dilaksanakan setelah
mendapat izin dari
instansi pemerintah
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku
a. Menyelenggarakan sendiri
sebagian urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada
Gubernur sebagai
wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan
pemerintahan kepada pemerintahan
daerah dan atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Penjelasan UU
Pemerintahan Daerah Pasal
13 ayat 2
Yang dimaksud
dengan urusan
pemerintahan yang secara nyata ada
dalam ketentuan ini sesuai
kondisi, kekhasan
dan potensi
yang dimiliki antara lain
pertambangan, perikanan,
pertanian,
commit to user
122
Pasal 14
ayat 2
perkebunan, kehutanan,
pariwisata Yang
dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dalam ketentuan ini
sesuai kondisi,
kekhasan dan
potensi yang
dimiliki antara lain pertambangan,
perikanan, pertanian,
perkebunan, kehutanan,
pariwisata PP Pembagian Urusan
Pemerintahan Pasal
7 ayat
4 Urusan
pilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat 3 meliputi:
a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian; c. Kehutanan;
d. Energi dan
sumber daya mineral;
e. Pariwisata;
commit to user
123
f. Industri; g. Perdagangan;
dan h. Ketransmigras
ian. Lampiran
PP Pembagian
Urusan Pemerintahan
Huruf AA
angka 7
Kewenangan pemerintah
pusat dalam
penatagunaan kawasan
hutan meliputi penetapan
norma, standar,
prosedur, dan criteria
penatagunaan kawasan
hutan, pelaksanaan
penetapan fungsi hutan
serta perubahan
hak dari lahan milik menjadi
kawasan hutan,
pemberian perizinan
commit to user
124
penggunaan dan
tukar- menukar
kawasan hutan.
1. UU Pemerintahan Daerah