LIES SETYAWATI S311010104

(1)

i

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN

DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Kebijakan Publik

Disusun Oleh:

LIES SETYAWATI

NIM : S311010104

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

ii

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN

DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

DISUSUN OLEH :

LIES SETYAWATI

NIM : S311010104

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Pembimbing I Prof. Dr. Hartiwingsih S.H., M.Hum ... ... NIP. 19570203 198503 2 00

2. Pembimbing II Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum ... ... NIP. 19641201 200501 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. NIP. 19630209 198803 1 003


(3)

(4)

iv

Nama : LIES SETYAWATI

NIM : S. 311010104

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Sinkronisasi

dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasidan ditunjukan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk membuktikan keaslian tesis, saya

memperbolehkan tesis ini diupload dalam website Program Paska Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Surakarta, Juni 2012 Yang membuat pernyataan,

LIES SETYAWATI


(5)

v

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis yang berjudul Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister program studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tesis ini membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah serta upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut.

Kemudian penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, baik bersifat materil maupun spiritual. Ucapan terima kasih yang tulus dan dengan kerendahan hati penulis haturkan kepada yang terhormat :

1.

Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.

Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3.

Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk kuliah pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana dan juga sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

4.

Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penelitian tesis dan juga sebagai tim penguji yang telah banyak memberikan masukan saran untuk penyempurnaan tesis ini.


(6)

vi

telah memberikan kemudahan penulis dalam memberi izin penelitian

6.

Bapak Dr. Hari Purwadi SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagai

Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pencerahan dan masukan demi selesainya penulisan tesis ini.

7.

Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS., selaku tim penguji yang telah memberikan banyak masukan terhadap penulisan tesis ini.

8.

Bapak, ibu dan rekan-rekan di Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan,

Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, khususnya Bapak Eko Novi, S.Sos., M.Si, Kepala Seksi Perambahan dan Kebakaran Hutan Wilayah II, yang telah membantu

penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait kegiatan pertambangan illegal

di kawasan hutan.

9.

Bapak Dr. Budi Riyanto, SH, Ahli Perancang Peraturan Perundang-Undangan

Utama pada Kementerian Kehutanan, yang telah banyak memberikan inspirasi, pencerahan, bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian tesis ini.

10.

Bapak Krisna Rya., S.H.,M.H, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.

11.

Bapak Supardi, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara,

Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.

12.

Bapak Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum, Kasubag Bantuan Hukum II, dan Mas Yudi Ariyanto, SH., MT, Kasubag Bantuan Hukum I, yang telah memberikan motivasi, ide dan masukan dalam penulisan tesis ini.

13.

Rekan-rekan Biro Hukum dan Organisasi, khususnya rekan-rekan staf di Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara.

14.

Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

banyak membantu selama perkuliahan.

15.

Kawan-kawan mahasiswa-i Program Studi Ilmu Hukum yang tak dapat penulis


(7)

vii

program pascasarjana.

17.

Oo terima kasih atas support dan kebersamaannya dalam mendengarkan keluh

kesah selama penulisan tesis ini.

18.

Sahabatku Nana terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan yang menghibur disela-sela penulisan tesis ini.

19.

Adik-adikku Dudi dan Desi, serta ponakanku tercinta Muhamad Raihan, terima

kasih support dan kebersamaannya.

20.

Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga amal baik semua pihak mendapat balasan kebaikan yang berlipat dari Alloh SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Surakarta, Juli 2012 Penulis


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

ABSTRAK... xii

ABSTRACT... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 19

D. Manfaat Penelitian ... 19

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kebijakan Publik... 21

B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik ... 24

C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan ... 29

1. Pengertian Perundang-Undangan... 29

2. Norma Hukum Negara Republik Indonesi ... 32

3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan.... 40

D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam ... 44

E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah ... 49

1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 49

2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ... 58

F. Tinjauan Umum Tentang Perizinan ... 66

1. Pengertian perizinan... 66


(9)

ix

5. Syarat Sah Perizinan ... 73

G. Kerangka Berpikir... 74

1. Bagan ... 74

2. Penjelasan Bagan ... 74

H. Penelitian Yang Relevan……… .... 77

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 78

B. Sifat Penelitian ... 79

C. Pendekatan Penelitian ... 79

D. Jenis dan Sumber Data ... 81

E. Teknik Pengumpulan Data... 83

F. Teknik Analisis Data... 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 85

1. Peraturan Perundang – Undangan Sektor Pertambangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ... 85

2. Peraturan Perundang-Undangan Sektor Kehutanan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ... 87

3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Sektor Pertambangan dan Kehutanan ... 89

B. Pembahasan 1. Sinkronisasi dan Sinergi Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Kegiatan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah ... 100

2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan ... 128


(10)

x

B. Implikasi... 136 C. Saran... 136 DAFTAR PUSTAKA……….. 137


(11)

xi Tabel:

1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, serta Kabupaten dan/atau Kota Dalam Menerbitkan IUP.

2. Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

3. Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan

4. Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan


(12)

xii

Lies Setyawati, S. 311010104. 2012. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah

Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengsinkronkan dan mengsinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (doctrinal) dengan menggunakan konsep hukum yang kedua yaitu hukum sebagai norma-norma positif_di dalam sistem perundang-undangan nasional. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik simpulan Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron namun belum sinergis, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga implementasinya belum terpadu satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengsinergiskan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan cara memadukan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan pertambangan agar lintas sektoral dan terpadu satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis menyarankan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, PP Minerba perlu mensyaratkan perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya aturan yang mengatur IUP di dalam kawasan hutan wajib mencantumkan klausul, untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.


(13)

xiii

Lies Setyawati, S.311010104. 2012. Synchronization and Synergy of Regulations

Concerned with The Mining Activity in Forest Area on The Era of Regional Autonomy.

Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta.

This research aims to determine the synchronization and synergy of the regulations that regulate mining activities in forest areas in the era of regional autonomy and to identify the efforts can be done to synchronize and synergy that regulations.

The type of the research is normative legal research (doctrinal) by using second law concept namely law as positive norm in the national legislation system. This research includes the type of research that is prescriptive normative law and applied by using statue and concept approachment. Types of data used are secondary data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data collection techniques used through library research and data collection through electronic media relating to the matter under research. Data analysis technique applied in this research is deductive logic, that conclude from a general case to the individual case involving by formulating the facts, seeking its causal relationships, and develop reasoning based on the cases.

Based on research results and discussion, it can be concluded that the laws and regulations of mining activities in forest areas in the era of regional autonomy has been synchronized, but not synergistic, because the regulations are still a sectoral so that its implementation has not been integrated among other. There for it’s necessary to do efforts to synergy such regulations by integrating vision and mission of mining and forestry sector as well as the improvement of regulations of mining and forestry sector in order to be cross sectoral and integrated among others.

Based on the abovementioned data, the author suggest legislation that regulates mining activities in forest areas in the era of regional autonomy should be cross-sectoral. Furthermore PP Minerba needs to require the need for coordination with the ministry of forestry in the issuance of the IUP that located in forest areas. Additionally the need of the rule to regulate IUP set in the forest area must include a clause, for mining activities in forest areas can only be started after the license to use the forest area from forestry minister.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan ozon.1

Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut. Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut.

Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim,


(15)

khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan. Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di Indonesia.

Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi)

terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie (VOC)

yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui

sistem tanam paksa cultuurstesel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan

menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet.2

Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428 hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.3Setelah Indonesia merdeka, eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an, sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam

2 Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi di Indonesia, www.burung.org/download.php?id=569, diakses pada tanggal 18 Mei 2011


(16)

pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas, pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak

pembangunan daerah.4

Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan

pemasok devisa Negara terbesar setelah migas (minyak dan gas bumi).5

Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in local hand. (Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati

4Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,

Cet. 1, 2010): hal. 1


(17)

masyarakat sekitar hutan)6. Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan, seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah lagi

Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat

mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan

Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan

untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan.7

Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara nyata di Indonesia.8

Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9.

Sebuah badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat

6

Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On An Uneven Playing Field”, Journal of Suistainability Science,Vol. 2, No. 2, P-2

7 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,,

http://www.subhanagung.net/2011/03/eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011

8Ibid.

9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya http://www.icel.or.id/penegakan-hukum-illegal-logging-permasalahan-dan-solusinya/ , diakses pada tanggal 8 Mei 2011


(18)

di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United Nation Environment Program (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007 mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50% hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.10

Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai dinamisator masyarakat11. Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional.

Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari,

10Fitryani Yuliawati, op. cit.

11 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (Yogyakarta: Center for Critical Social


(19)

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam rangka pemanfaatan hutan, yaitu:12

a. Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting untuk melestarikan hutan.

b. Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha.

c. Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan hutan secara lestari dengan sistim silvikultur.

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri.

Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat

12 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan: Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan (Jakarta: Raja


(20)

mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) diatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu:

a. Religi;

b. Pertambangan;

c. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;

d. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun

relay televisi;

e. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;

f. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;

g. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air,

dan saluran air bersih dan/atau air limbah;

h. Fasilitas umum;

i. Industri terkait kehutanan;

j. Pertahanan dan keamanan;


(21)

l. Penampungan sementara korban bencana alam.

Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi

daerah yang sesungguhnya.13

Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengamanatkan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah).

Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut:

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).

3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).

5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).

13Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal (Yogyakarta:


(22)

6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat 3).

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil

(Pasal 18 A ayat 2).14

Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah :

1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)

2. Pembagian pendapatan (distribution of income)

3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).15

Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah (daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara.

2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.

3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut

birokrasi pemerintahan.

4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.16

Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya),

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005): hal. 20.

15Ibid, hal. 83

16 Subadi, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan(Jakarta: Prestasi Pustaka,


(23)

Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan

jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah.17 Dalam UU

Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 :

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah didesentralisasikan

Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal (daerah).

17 Agus Dwiyanto,” Revisi UU 32/2004:Latar Belakang Dan Arah Perubahannya”, dalam

Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto (eds.), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi daerah Di Indonesia (Yogyakarta: Gava Media, Cet.1, 2009): hal. 67


(24)

Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations with highly centralized modes of forest governance, several countries in the region are transferring some planning and implementations decisions to state or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’ Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994, Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001 are some of the national policies that provides opening for nurturing local forest governance.(untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk (terpusat), beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan keputusan kepada pemerintah lokal (daerah), terutama yang berkenaan dengan pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun 1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah Indonesia Tahun 1999 dan UU Komune Kamboja Tahun 2001 membuka peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal (daerah))18.

Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau

makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.19

UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 66 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.

18Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on

The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”.

International Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(2):96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011


(25)

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten. Menurut Fisher20, pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan maupun merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan

dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara

langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan masyarakat setempat dari jerat kemiskinan.

Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam

mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan:21

The modern concept of multi-stakeholder forest management has

20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Cet.1, 2005): hal. 39

21 Mangala de Zoysa dan Makoto Inoue, “Forest Governance and Community Based Forest

Management In Sri Lanka : Past, Present and Future Perpectives”, Internationa Journal of Social Forestry (IJSF),2008, 1(1):27-49. ISSN 1979-2611 , www.ijsf.org, diakses tanggal 17 Oktober 2011


(26)

become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and generating income trough small forest based industries.(Konsep pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil).22

Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan, sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan:

As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many district/municipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly according to the terms of the licences anyway. (Sama seperti pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutan/pemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal


(27)

penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutan/pemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin)23.

Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya, yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.

Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya semangat pembaruan dan pembangunan nasional yang direncanakan pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No.

23 Luke Lazarus Arnold, “Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do

with It?“, Law, Environment and Development Journal (2008), p. 75, http//www.lead-journal.org/content/08075.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2011


(28)

11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya. Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam pertambangan, namun bentuk-bentuk izin pengusahaan bahan galian berdasarkan undang-undang ini masih terpusat (berada di tangan menteri). Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian.

Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah,

peraturan perundang-undangan sektor pertambangan juga mengalami

perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). UU Minerba telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah. Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sektor-sektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan bumi (Pasal 134 ayat (1) UU Minerba). Oleh karena itu peraturan sektor pertambangan tidak dapat terlepas dari peraturan sektor pertanahan. Dan


(29)

apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan dengan sektor kehutanan.

Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan potensial mendatangkan dan menjadi sumber pendapatan, sehingga mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan masing-masing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan (wewenang) antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan

sektor kehutanan.24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan

administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan. Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.

Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi seluas-luasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

24I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT.


(30)

Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba) pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) UU kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) yang merupakan pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan.

Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya disebut Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya


(31)

tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja terdapat sedikitnya 1.236 (seribu dua ratus tiga puluh enam) perusahaan tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja adalah seluas 6.946.301,95 (enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu tiga ratus satu koma sembilan puluh lima) hektar.

Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat kegiatan pertambangan illegal tersebut.

Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul:

“SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH”.


(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu:

1. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan

pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron dan sinergis satu dengan yang lainnya?

2. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan

perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan

perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah

2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk

menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah

D. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai penyelesaian sengketa hukum.


(33)

2. Manfaat Praktis :

Sebagai masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara khusus bagi Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.


(34)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Kebijakan Publik

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya

akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut di definisikan.25

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat

didefinisikan sebagai “ hubungan suatu unit pemerintah dengan

lingkungannya.26 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.27 Sedangkan Carl J Frederick, mendefinisikan kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.28

25 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, ( Yogyakarta: Media Pressindo, Cet.

III, 2005): hal.15

26Ibid

27Ibid.

28 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi


(35)

Amara Raksa Raya mengemukakan:29

“Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu:

1. Indentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai

2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.”

Menurut Thomas R Dye dalam Budi Winarno, “kebijakan publik adalah

apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.30Senada

dengan pendapat Dye, Edwards III dan Sharkasky mengemukakan kebijakan negara adalah “...is what goverment say and do, or not to do. It is the goals purpose of goverment programs” (...adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan program pemerintah).31

Pengertian Kebijakan menurut Kartasasmita, merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang menyebabkan atau yang

mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dari kebijakan negara tersebut.32

Menurut Amir Santoso:33

“kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori: Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua

29 Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara,

2000):hal. 17-18.

30Budi Winarno, op. cit., hal. 15. 31Irfan Islamy, op. cit., hal. 18

32Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi

Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001): hal.189

33 Amir Santoso, “Analisis Kebijaksanaan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3,


(36)

kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah ”serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian Keputusan dan tindakan”.

Berkaitan dengan definisi kebijakan publik, Anderson mengatakan bahwa:34 “public policies are those policies developed by goverment bodies and officials” (kebijakan negara adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:35

1. bahwa kebijakan negara itu mempunyai tujuan.

2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat pemerintah.

3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar

dilakukan oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.

4. bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, dan

5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.

Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan publik yang telah diuraikan di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam tulisan ini

34Irfan Islamy, op. cit., hal. 19. 35Ibid.


(37)

adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan.

B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik

Seperti telah diuraikan di atas “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program pemerintah. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dipilih dan ditentukan tersebut sehingga dapat terwujud di dalam masyarakat maka diperlukan beberapa sarana. Salah satu bentuk sarana yang cukup memadai adalah hukum dengan berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, “law effectively legitimates policy”, atau dengan perkataan lain, “proper attention to the use of law in public policy formulation and implementation requires an awarness of the condition under which law is effective”.36 Dengan kata lain hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hukum merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijaksanaan pemerintah.

Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas maka pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, Negara hukum merupakan salah satu tujuan Negara, maksudnya:

Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan adalah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan Negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat

36Jay A. Sigler dan Benjamin R Beede, The Legal Sources of Public Policy, (California: D.C.


(38)

dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan Negara itu sendiri. Baik Negara maupun perorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan yang lain sebagai sesamanya sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Sehingga Negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tidak

bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa.37

Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum administrasi adalah “melindungi administrasi Negara itu sendiri”.38Maksudnya, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan itu perlu dilakukan karena sekecil apapun kekuasaan yang digenggam suatu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.39

Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya

penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka hukum dapat

37Didid NazmiYunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992): hal.26. 38 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

(Bandung: Alumni, 1992): hal..6

39 Cornelis Lay, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian


(39)

dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan

memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.

2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi.

3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik.

4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan

sumber-sumber daya.40

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”.41 Dengan demikian dasar bagi suatu pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah harus didasarkan pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ditentukan jenis dan hieraki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

40Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994): hal.

76-77.


(40)

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principle of goal of administration), Asas-asas ini meliputi:

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of

equality);

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);

6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of

competence);

7. Asas permainan yang layak (principles of fair play);

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);

10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);

11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of

protecting the personal way of life);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia);

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).42

Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik

42 Ateng Syafrudin, Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian

Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB),


(41)

adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan” dalam bentuk hukum, karena sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas. Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan prinsip saling mengisi. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa “sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut”.43

Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat kita lihat dalam prakteknya, dimana keduanya dalam penerapannya dapat saling melengkapi sehingga baik hukum maupun kebijakan publik dalam penerapannya dapat berjalan dengan lebih baik. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut dapat dilihat dari tiga sektor kajian, yakni formulasi, implementasi dan evaluasi.

Dalam perbincangan hubungan hukum dan kebijakan publik dalam konteks formulasi, sesungguhnya kita akan membahas bagaimana antara pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik itu dapat saling memperkuat satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan implementasi kita akan berbicara tentang bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasil-hasil hukum dan kebijakan publik di lapangan. Sedangkan pada konteks evaluasi kita akan banyak membahas tentang bagaimana perbaikan kebijakan publik yang selama


(42)

ini berjalan dapat dievaluasi dengan baik dengan bantuan hukum sebagai instrument penguat diterapkannya rekomendasi-rekomendasi evaluasi kebijakan publik yang ada.44

C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan 1. Pengertian Perundang-Undangan

Belum ada kesepakatan para ahli mengenai pengertian perundang-undangan. Ketidaksepakatan para ahli tersebut pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.

Menurut Fockema Andrea dalam Maria Farida, istilah

“perundang-undangan” (Legislation, wetgeving, atau Gezetzgebung) mempunyai dua

pengertian yang berbeda, yaitu:

a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses

membentuk peraturan Negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.

b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.45

Lebih lanjut Maria Farida menyatakan, apabila kita membicarakan

Ilmu Perundang-Undangan, maka kita membahas pula proses

pembentukan/perbuatan membentuk peraturan-peraturan Negara, dan sekaligus seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat maupun di

Daerah.46 Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagaimana

44 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik (Surabaya: Averroes Press,

Cet.1, 2002): hal. 39

45 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, Cet. Kelima, 1998): hal.3


(43)

tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2 adalah:”Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”

Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan istilah undangan berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh

Pejabat atau Lembaga yang berwenang.47

Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang undangan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. bersifat tertulis

2. mengikat umum

3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.48

Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya

untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking)misalnya. Atau ada pula

aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945,

47 http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perundang-undangan-di-indonesia/ , diakses

pada tanggal 5 November 2011


(44)

misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas

memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.49

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas

hukum merupakan unsur mutlak yang harus diperhatikan dalam

penyusunannya. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.50

Suatu sistem hukum memiliki asas yang menjadi ukuran keberadaan sistem hukum itu sendiri. Menurut Fuller, sistem hukum haruslah mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum

diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya “principles of

legality”, yaitu:

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah ia tidak boleh hanya sekedar mengandung

keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi

49Ibid


(45)

waktu yang akan dating.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.51

2. Norma Hukum Negara Republik Indonesia

Istilah norma, yang berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam

bahasa Arab dan sering disebut dengan pedoman, patokan atau aturan

dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.52

Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berperilaku atau bertindak. Di Negara kita, norma-norma yang masih sangat dirasakan adalah norma adat, norma agama, norma-norma moral dan norma-norma-norma-norma hukum Negara. Norma-norma-norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama dan lainya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.

51Ibid, hal. 51


(1)

Peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan

di kawasan hutan meliputi meliputi peraturan perundang-undangan di

bidan kehutanan, yaitu UU Kehutanan dan peraturan pelaksananya,

peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, yaitu UU

Minerba dan peraturan pelaksananya dan peraturan

perundang-undangan terkait otonomi daerah, yaitu UU Pemerintahan Daerah dan

peraturan pelaksananya. Ketiga sektor peraturan perundang-undangan

tersebut masih bersifat ego sektoral, sehingga tidak terjadi koordinasi

dalam pengaturan kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era

otonomi daerah.

UU Minerba (Pasal 134 ayat (2) dan (3) dan PP Minerba (Pasal

14 ayat 2) meskipun telah mensyaratkan untuk IUP yang areal

kerjanya di kawasan hutan harus ada izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan dari menteri

kehutanan, namun tidak menyaratkan perlunya berkoordinasi dengan

kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP tersebut.

Perundang-undangan sector kehutanan yang ada saat ini dinilai masih terasa

bernuansa

command and control.

Sehingga dianggap tidak memacu

dunia investasi dan tidak

pro poor.

143

Demikian pula Perda-Perda yang

dikeluarkan daerah lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya alam

untuk peningkatan pendapatan asli daerah daripada pelestarian sumber

daya alam itu sendiri. Untuk itu maka perlu penyempurnaan ketiga

sektor peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam PP Minerba seyogyanya dimasukan ketentuan yang

mengatur perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam

proses penerbitan IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.

Dengan dilibatkannya kementerian kehutanan dalam proses penerbitan


(2)

133

IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan diharapkan tumpang tindih

lahan pertambangan dan kawasan hutan dapat dihindari. Dengan

adanya koordinasi kementerian kehutanan dapat segera mengetahui

bahwa di areal hutan tertentu telah diterbitkan IUP, hal ini akan

memudahkan

aparat

kehutanan

dalam

mengawasi

kegiatan

pertambangan di kawasan hutan, sehingga kegiatan pertambangan

illegal dapat diminimalisir.

Penyempurnaan

peraturan

perundang-undangan

sektor

kehutanan dapat dilakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan

peraturan perundang-undangan sektor kehutanan yang mengarah

kepada

good forestry government

yang berjiwa pro investasi,

pro poor

dan

pro job.

144

Untuk itu perlu diatur ketentuan insentif dan disinsentif

dalam peraturan perundang-undangan kehutanan guna memacu dunia

usaha.

145

Terkait dengan kegiatan pertambangan di kawasan hutan

maka perlu adanya peraturan yang mengatur insentif bagi para

pengusaha tambang yang melakukan kegiatan pertambangang di

kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Insentif tersebut dapat berupa kemudahan

dalam proses pengurusan dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan

hutan untuk kegiatan pertambangan.

Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seyogyanya

perda-perda yang diterbitkan pemerintah daerah tidak hanya

berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam untuk peningkatan

pendapatan asli daerah, tetapi juga harus memperhatikan kelestarian

sumber daya alam tersebut. Perda-perda yang dikeluarkan hendaknya

tidak hanya mengatur masalah pemberian izin pengelolaan sumber

daya alam dan tarif atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tetapi

144 Ibid 145 Ibid, hal. 50


(3)

juga harus mengatur upaya-upaya rehabilitasi sumber daya alam

tersebut. Terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan, perlu

adanya perda yang mengatur bahwa dalam penerbitan IUP yang areal

kerjanya di kawasan hutan oleh Kepala Daerah, maka IUP tersebut

harus mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri

kehutanan” serta dalam IUP tersebut mencantumkan tembusan kepada

menteri kehutanan.


(4)

135

BAB V

PENUTUP

A.

Simpulan

1.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan

dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron baik secara

vertikal dan horizontal. Namun peraturan-peraturan tersebut belum sinergis

satu dengan yang lainnya, karena peraturan-peraturan tersebut masih

bersifat sektoral sehingga belum terpadu satu dengan yang lainnya.

a. Secara vertikal Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU

Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan

dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai

landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan

Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan

tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai

dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah.

b. Secara horizontal norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan

di kawasan hutan pada era otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam

Pasal 38 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), dan Pasal 66 UU Kehutanan, Pasal

6, Pasal 7, Pasal 8 dan 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, dan Pasal 10

ayat (1) (2) dan (3) UU Pemerintahan Daerah juga telah sinkron satu

dengan yang lain. Namun peraturan perundangan-perundangan tersebut

belum bersinergis satu dengan yang lain. Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU

Minerba meskipun telah mensyaratkan adanya izin menteri kehutanan

untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan, namun tidak mengatur

perlunya koordinasi dan rekomendasi menteri kehutanan dalam

penerbitan IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan. Sehingga

pemerintah daerah dalam penerbitan

IUP ada

yang tidak


(5)

mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan

baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri kehutanan”

serta dalam IUP tersebut tidak mencantumkan tembusan kepada

menteri kehutanan.

2.

Upaya-upaya untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan terkait

kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara:

a.

Keterpaduan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan yaitu

pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan dilakukan

dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu

peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dan pertambangan

yang mengatur pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan

haruslah berorientasi pada upaya optimal untuk mencapai kemakmuran

rakyat. keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan

sangat diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan

perundang-undangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan

yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan

pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.

b.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan

terkait kegiatan

pertambangan di kawasan hutan yang meliputi peraturan

perundang-undangan di sektor kehutanan, pertambangan dan otonomi daerah,

dengan cara merubah peraturan yang sudah ada dan membuat

peraturan hukum yang baru yang bersifat lintas sektoral dan

bersinergis satu sama lain, sehingga terjadi koordinasi dalam

pengaturan kegiatan pertamabangan di kawasan hutan pada era

otonomi daerah.


(6)

137

B.

Implikasi

1.

Maraknya kegiatan pertambangan illegal di kawasan hutan karena banyak

pengusaha sektor pertambangan setelah memperoleh IUP dari kepala

daerah langsung melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa

mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.

2.

Adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan

IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.

C.

Saran

1.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan

dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral,

sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi antar instansi terkait dalam

menerbitkan perizinan terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan.

2.

Penyempurnaan

peraturan

perundang-undangan

terkait

kegiatan

pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah:

a. PP Minerba perlu menambahkan ketentuan yang mensyaratkan adanya

koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang

berada dalam kawasan hutan.

b. Perlu adanya perda pedoman penerbitan IUP yang mengatur bahwa

dalam penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan

diwajibkan untuk mencantumkan klausul bahwa untuk kegiatan

pertambangan dalam kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya

izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.

c. Perlu adanya peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang

mengatur insentif bagi pengusaha tambang yang melakukan kegiatan

pertambangan di kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.