29
ini berjalan dapat dievaluasi dengan baik dengan bantuan hukum sebagai instrument penguat diterapkannya rekomendasi-rekomendasi evaluasi kebijakan
publik yang ada.
44
C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan
1. Pengertian Perundang-Undangan
Belum ada kesepakatan para ahli mengenai pengertian perundang- undangan. Ketidaksepakatan para ahli tersebut pada persoalan apakah
perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil produk dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Fockema Andrea dalam Maria Farida, istilah “perundang- undangan” Legislation, wetgeving, atau Gezetzgebung mempunyai dua
pengertian yang berbeda, yaitu: a. Perundang-undangan
merupakan proses
pembentukanproses membentuk peraturan Negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat
daerah. b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan
hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
45
Lebih lanjut Maria Farida menyatakan, apabila kita membicarakan Ilmu
Perundang-Undangan, maka
kita membahas
pula proses
pembentukanperbuatan membentuk peraturan-peraturan Negara, dan sekaligus seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari
pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah.
46
Sedangkan peraturan
perundang-undangan sebagaimana
44
Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik Surabaya: Averroes Press, Cet.1, 2002: hal. 39
45
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya Yogyakarta: Kanisius, Cet. Kelima, 1998: hal.3
46
Ibid
commit to user
30
tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2
adalah:”Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”
Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan istilah perundang-undangan berbeda dengan peraturan perundang-
undangan. Perundang-undangan menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan
istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan
Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis bentuk peraturan produk hukum tertulis
yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
47
Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang undangan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. bersifat tertulis
2. mengikat umum
3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
48
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab
dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan Beschikking misalnya. Atau ada pula
aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja.
Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945,
47
http:massofa.wordpress.com20080429perundang-undangan-di-indonesia , diakses pada tanggal 5 November 2011
48
Ibid
commit to user
31
misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.
49
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum merupakan unsur
mutlak yang harus diperhatikan dalam penyusunannya. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada
hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan
sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas
hukumnya. Asas hukum inilah yang memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.
50
Suatu sistem hukum memiliki asas yang menjadi ukuran keberadaan sistem hukum itu sendiri. Menurut Fuller, sistem hukum
haruslah mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem
hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum
diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya “principles of legality”, yaitu:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah ia tidak boleh hanya sekedar mengandung
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk
menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi
49
Ibid
50
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bhakti: hal. 47
commit to user
32
waktu yang akan dating. 4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan. 7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari.
51
2. Norma Hukum Negara Republik Indonesia