PENDAHULUAN LIES SETYAWATI S311010104

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan ozon. 1 Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut. Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut. Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim, 1 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal. 2 commit to user 2 khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan. Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di Indonesia. Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan deforestasi terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie VOC yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa cultuurstesel. Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet. 2 Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428 hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian. 3 Setelah Indonesia merdeka, eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an, sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam 2 Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi di Indonesia, www.burung.orgdownload.php?id=569 , diakses pada tanggal 18 Mei 2011 3 Ibid. commit to user 3 pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas, pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak pembangunan daerah. 4 Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan pemasok devisa Negara terbesar setelah migas minyak dan gas bumi. 5 Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in local hand. Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati 4 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2010: hal. 1 5 Ibid, hal. 2 commit to user 4 masyarakat sekitar hutan 6 . Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan, seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah lagi Deforestation perusakan hutan di Indonesia saat ini telah menjadi ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB mendefinisikan Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan. 7 Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara nyata di Indonesia. 8 Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9 . Sebuah badan dunia FAO Food and Agriculture Organization melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat 6 Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On An Uneven Playing Field” , Journal of Suistainability Science, Vol. 2, No. 2, P-2 7 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,, http:www.subhanagung.net201103eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011 8 Ibid. 9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya http:www.icel.or.idpenegakan-hukum-illegal-logging-permasalahan-dan-solusinya , diakses pada tanggal 8 Mei 2011 commit to user 5 di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United Nation Environment Program UNEPGRID-Arendal pada Mei 2007 mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50 hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau sekitar 25 saja yang akan tertinggal di pulau ini. 10 Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai dinamisator masyarakat 11 . Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, 10 Fitryani Yuliawati, op. cit. 11 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat Yogyakarta: Center for Critical Social Studies CCSS, Cet. Pertama, 2003: hal. vii commit to user 6 kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam rangka pemanfaatan hutan, yaitu: 12 a. Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting untuk melestarikan hutan. b. Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha. c. Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan hutan secara lestari dengan sistim silvikultur. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara pemerintah berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat 12 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan: Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Cet.1, 1995: hal. 5 commit to user 7 mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan diatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18Menhut-II2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu: a. Religi; b. Pertambangan; c. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; d. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih danatau air limbah; h. Fasilitas umum; i. Industri terkait kehutanan; j. Pertahanan dan keamanan; k. Prasarana penunjang keselamatan umum; atau commit to user 8 l. Penampungan sementara korban bencana alam. Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya. 13 Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, mengamanatkan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah. Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut: 1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Pasal 18 ayat 2. 2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya Pasal 18 ayat 2. 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah Pasal 18 A ayat 1. 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya Pasal 18 B ayat 2. 5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa Pasal 18 B ayat 1. 13 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, 2007: hal. 13 commit to user 9 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum Pasal 18 ayat 3. 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil Pasal 18 A ayat 2. 14 Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah : 1. Pembagian kekuasaan sharing of power 2. Pembagian pendapatan distribution of income 3. Kemandirian administrasi daerah empowering. 15 Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah daerah otonom tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara. 2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia SDM yang tinggi. 3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut birokrasi pemerintahan. 4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif. 16 Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005: hal. 20. 15 Ibid, hal. 83 16 Subadi, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010: hal. 24 commit to user 10 Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah. 17 Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 : 1 Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. 2 Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. 3 Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat 3 atau dengan kata lain telah didesentralisasikan Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal daerah. 17 Agus Dwiyanto,” Revisi UU 322004:Latar Belakang Dan Arah Perubahannya”, dalam Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto eds., Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi daerah Di Indonesia Yogyakarta: Gava Media, Cet.1, 2009: hal. 67 commit to user 11 Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations with highly centralized modes of forest governance, several countries in the region are transferring some planning and implementations decisions to state or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’ Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994, Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001 are some of the national policies that provides opening for nurturing local forest governance. untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk terpusat, beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan keputusan kepada pemerintah lokal daerah, terutama yang berkenaan dengan pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun 1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah Indonesia Tahun 1999 dan UU Komune Kamboja Tahun 2001 membuka peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal daerah 18 . Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupatenkota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. 19 UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 66 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa: 1 Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. 18 Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”. International Journal of Social Forestry IJSF, 2008, 12:96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011 19 Ibid commit to user 12 2 Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten. Menurut Fisher 20 , pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan maupun merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan masyarakat setempat dari jerat kemiskinan. Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan: 21 The modern concept of multi-stakeholder forest management has 20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.1, 2005: hal. 39 21 Mangala de Zoysa dan Makoto Inoue, “Forest Governance and Community Based Forest Management In Sri Lanka : Past, Present and Future Perpectives”, Internationa Journal of Social Forestry IJSF, 2008, 11:27-49. ISSN 1979-2611 , www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011 commit to user 13 become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and generating income trough small forest based industries.Konsep pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil. 22 Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan, sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan: As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many districtmunicipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly according to the terms of the licences anyway. Sama seperti pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutanpemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal 22 Ibid commit to user 14 penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutanpemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin 23 . Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya, yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia. Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya semangat pembaruan dan pembangunan nasional yang direncanakan pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No. 23 Luke Lazarus Arnold, “Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do with It?“, Law, Environment and Development Journal 2008, p. 75, httpwww.lead- journal.orgcontent08075.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2011 commit to user 15 11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya. Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam pertambangan, namun bentuk-bentuk izin pengusahaan bahan galian berdasarkan undang-undang ini masih terpusat berada di tangan menteri. Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian. Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah, peraturan perundang-undangan sektor pertambangan juga mengalami perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara UU Minerba. UU Minerba telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah. Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan IUP. Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sektor- sektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan WIUP, Wilayah Pertambangan Rakyat WPR, atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus WIUPK tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan bumi Pasal 134 ayat 1 UU Minerba. Oleh karena itu peraturan sektor pertambangan tidak dapat terlepas dari peraturan sektor pertanahan. Dan commit to user 16 apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU Minerba. Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan dengan sektor kehutanan. Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan potensial mendatangkan dan menjadi sumber pendapatan, sehingga mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan masing- masing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan wewenang antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan sektor kehutanan. 24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan. Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi seluas- luasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. 24 I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia Bandung: PT. Alumni, Cet. 1, 2009: hal. 88 commit to user 17 Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan ketentuan Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU Minerba jo Pasal 38 ayat 3 UU kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah yang merupakan pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam selanjutnya disebut Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya commit to user 18 tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja terdapat sedikitnya 1.236 seribu dua ratus tiga puluh enam perusahaan tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja adalah seluas 6.946.301,95 enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu tiga ratus satu koma sembilan puluh lima hektar. Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat kegiatan pertambangan illegal tersebut. Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan perundang- undangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul: “SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH”. commit to user 19 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu: 1. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron dan sinergis satu dengan yang lainnya? 2. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah: 1. Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang- undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah 2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah D. Manfaat penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai penyelesaian sengketa hukum. commit to user 20

2. Manfaat Praktis :

Sebagai masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara khusus bagi Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. commit to user 21

BAB II KAJIAN TEORI