124
penggunaan dan
tukar- menukar
kawasan hutan.
1. UU Pemerintahan Daerah
Seperti sudah dipaparkan pada hasil penelitian, dalam UU Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat 1, 2 dan 3 jo Pasal penjelasan
pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 7 ayat 4 PP Pembagian Urusan Pemerintahan di sebutkan bahwa urusan sektor kehutanan dan
sektor pertambangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang di desentralisasikan kepada daerah. Dimana rincian urusan sektor kehutanan
yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf AA, sedangkan rincian urusan sektor pertambangan
yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf BB.
2. UU Minerba
Dalam UU Minerba desentralisasi sektor pertambangan tercermin dari Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, yang mengatur pembagian kewenangan
pemerintah pusat dan daerah dalam mengelolan pertambangan. Dalam Pasal tersebut diatur bahwa pemerintah daerah juga mempunyai
kewenangan untuk menerbitkan IUP. Terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan UU
Minerba mengatur apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus
memperoleh izin dari instansi terkait Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU Minerba. Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU
Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan
commit to user
125
hutan. Selain itu dalam PP 23 Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2, penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan
berada di kawasan hutan atau bukan wajib disampaikan kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan WIUP.
3. UU Kehutanan
Dalam UU Kehutanan sendiri desentralisasi sektor kehutanan diatur dalam Pasal 66 ayat 1, 2 dan 3, yang menyebutkan tujuan
dilaksanakannya penyerahan
kewenangan tersebut
adalah untuk
meningkatkan efektivitas
pengurusan hutan
dan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi
kabupatenkota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pasal 38
ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus melalui
izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan. Dalam UU Minerba diatur di lokasi yang dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan harus memperoleh izin dari instansi terkait. Terkait dengan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan secara khusus
diatur dalam Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, dimana kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan harus memperoleh
izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Jadi dapat dikatakan bahwa UU Kehutanan merupakan aturan lex specialis yang
mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan. Oleh karenanya norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan.
commit to user
126
Dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah,
diketahui bahwa: 1.
Pemerintah Daerah berwenang menerbitkan IUP. 2.
Kegiatan pertambangan di lokasi yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari
instansi terkait. 3.
Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan meskipun telah memperoleh IUP dari kepala daerah tetap memerlukan izin
penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa,
ketentuan UU Minerba Pasal 134 ayat 2 dan 3 telah sinkron dengan ketentuan Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan.
Sedangkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba yang mengatur kewenangan daerah untuk menerbitkan IUP dalam pelaksanaannya harus
tunduk pada ketentuan Pasal 134 ayat 2 dan 3 UU Minerba jo Pasal 38 ayat 3 jo Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, artinya untuk IUP
yang lokasinya berada dalam kawasan hutan tetap harus memerlukan izin penggunaan kawasan dari menteri kehutanan.
d. Sinergitas Dalam prakteknya kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
masih menuai banyak persoalan. Hal ini disebabkan kebijakan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan hanya bersifat
sektoral. Sebagai contoh Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 50 ayat 3 huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan harus melalui izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 134 ayat 2 dan
3 UU Minerba yang mensyaratkan izin instansi pemerintah untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan di tempat yang dilarang untuk
commit to user
127
melakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalamnya izin menteri kehutanan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan
hutan. Namun UU Minerba lebih lanjut tidak menyebutkan tentang keharusan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon
areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam
penerbitan izin pertambangan yang areal kerjanya di dalam kawasan hutan. Tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin Usaha
Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,
membuat Unit Pelaksana Teknis UPT Kementerian Kehutanan di daerah sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin pertambangan yang berada di
dalam kawasan hutan. Tidak adanya koordinasi dan rekomendasi tersebut menyebabkan meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi
pertambangan berada di kawasan hutan atau bukan wajib disampaikan kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan WIUP
sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika proses penerbitan IUP oleh gubernurbupati tidak melibatkan UPT
Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai dengan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang menjadi acuan
status kawasan hutan dan bukan hutan. Hal ini dapat menyebabkan kerancuan apakah calon lokasi pertambangan tersebut berada dalam
kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Selain itu tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin
Usaha Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,
menyebabkan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang
commit to user
128
lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat
dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan- perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal
kerjanya berada dalam kawasan hutan. Disamping itu belum adanya aturan yang mengharuskan penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan
hutan harus mencantumkan klausul bahwa kegiatan pertambangan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri
kehutanan menyebabkan banyak Kepala Daerah dalam menerbitkan IUP tidak mencantumkan klausul tersebut.
Hal-hal tersebut di atas menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam
pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Banyak pengusaha tambang yang langsung beroperasi di dalam kawasan hutan
setelah mendapatkan izin eksplorasi tanpa adanya izin pinjam pakai kawasan hutan. Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk
menentukan titik eksploitasi pit. Penyelidikan umum sebagai bagian dari tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara
tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan Pasal 36 UU Minerba. Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu
izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam
pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan
operasi pertambangan bisa dimulai sejak IUP terbit. Seharusnya, operasi pertambangan di dalam kawasan hutan Hutan Lindung atau Hutan
commit to user
129
Produksi baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IUP.
141
2. Upaya-Upaya