Meskipun Sari tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari sang ayah terhadap dirinya, namun sang ayah memberikan
pemahaman yang negatif tentang figur laki-laki di mata Sari karena ia telah berlaku tidak setia dan tidak bertanggung jawab
pada istrinya.
b Gambaran Relasi Lekat Sari-Orang Tua
Kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan
oleh Sari maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua arah, yakni dari Sari sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai
basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan
lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki
tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby 1982. Penulis
mencoba menggambarkan
perilaku lekat
dengan menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup
kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam proses penggalian data dengan Sari.
1. Proximity Maintenance Mencari Kedekatan
Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara
kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari
orang tua.
a Sari-Ayah:
Relasi Sari dengan sang ayah dapat terbilang jauh atau tidak intim secara fisik maupun emosional sejak kecil hingga
Sari beranjak dewasa. Kedekatan fisik dan emosional tidak pernah terjalin
dengan sang ayah, melainkan kebutuhan finansial yang mendekatkan dirinya dengan ayah. Dengan
kata lain, Sari menjadi terbuka dengan ayah terkait dengan kebutuhannya akan biaya-biaya yang harus dipenuhinya,
bukan tentang hal-hal yang mencakup pikiran dan perasaannya terhadap sesuatu. Tidak ada upaya untuk
mencari kedekatan dan membina relasi lekat dengan sang ayah karena Sari merasa ayah telah mengecewakan dirinya
dengan perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya, juga karena penelantaran yang dilakukan ayah terhadap
keluarga dengan keputusannya menikah lagi dengan perempuan lain.
“Yah.. Kalo sama papa sih paling minta duit aja… Itu juga dulu pas jaman masih kaya..”
“Nggak.. Nggak ada itu dipeluk apa dicium sama papa.. Dingin.. Ya nggak akrab sih sama papa mah.. Cuma ya itu
urusan bayar-bayaran kuliah aja, sama uang makan baru n
gehubungin papa..” “Ya kalo dulu mah yaaa… Pas kecil masih lumayan sering lah
diajakin belanja kan ke mall, beli baju-baju baru gitu kan.. Itu juga diem-
diem dari mama… Itu yaa.. Apa ya.. Dulu banget lah.. Jaman bokap sehat Hahaha… Pas dia udah ada istri lagi
ya ngomong aja males..”
Sari menutup diri dari berbagai percakapan atau diskusi dengan sang ayah ketika ayah menikah lagi dan memiliki
anak dari istri kedua. Penilaian Sari terhadap sang ayah
sangat buruk dan hal itu membuat Sari juga tidak pernah melibatkan ayah dalam pengambilan keputusan
yang dibuatnya. Bagi Sari, ayah adalah sosok yang tidak dapat ia
percayai karena sang ayah telah mengkhianati ibunya. Penolakan dan sikap menghindar yang ditunjukkan Sari
kepada ayahnya sekaligus menunjukkan kekecewaan dan luka
yang amat
besar dirasakan
Sari sehingga
kepercayaannya terhadap sang ayah pun hilang seketika saat mengetahui sang ayah berlaku kasar terhadap ibunya dan
menikah serta memiliki anak lagi.
“Nggak… nggak ngomong.. Taunya kan juga dari si mama cerita kalo si papa teh kawin lagi…”
“Yah boro-boro curhat, Mbak… Ngomong aja nggak pernah lagi kalo di rumah… Rasanya teh sakit ati gimana gitu kalo
keinget kasarnya papa ke si mama..” “Ya.. Jadi kalo ketemu di rumah yaudah lewat aja gitu… Ini
gegara si papa sakit aja jadi saya juga jadi sering balik Solo.. Itu juga disuruh mama, ceunah kesian si papa sakit parah,
terus anak perempuannya nggak pulang- pulang”.
“Kalo dulu sih pas kecil ya kadang nanya papa ada.. Kalo misalnya tuh ya pas mau beli baju..
‘Pa, bagus nggak baju yang ini?’ Gitu.. Itu juga jarang.. Kalo sekarang kan saya udah
segede gini yaa… Nggak pernah sama sekali tanya-tanya lagi soal apapun yaa Mbak.. Gatau rasanya kaya asing aja.. Bener
deh asing.. Ya meskipun sekarang papa udah balik sama keluarga ya cuma kok saya yang malah jadi kayak nggak kenal
papa lagi.. Beda Mbak soalnya…”
Sari mengungkapkan bahwa dirinya dan sang ayah tidak pernah bercerita tentang hal-hal yang mendalam terkait
dengan pikiran dan perasaan atau rencana-rencana jangka pendek maupun panjang. Perkembangan Sari pada masa
remaja hingga dewasa juga hilang dari pengamatan sang ayah karena ayah terlalu fokus pada pernikahan dan keluarga
barunya. Seluruh perhatian ayah diberikan pada keluarga barunya sehingga Sari dan keluarga terbengkalai. Hal
tersebut menyebabkan Sari merasa sangat jauh dengan keberadaan ayah
sehingga ketika sang ayah kembali pada keluarga, Sari masih merasakan canggung dan sakit hati yang
mendalam pada perlakuan ayah terhadap keluarga, terkhusus kepada ibunya. Sari berpikir bahwa ia tidak berdaya untuk
menolong ibunya dari perlakuan kasar sang ayah. Ketika Sari berada dalam situasi terpisah dengan sang ayah pun Sari
tidak merasakan ada sesuatu yang hilang. Hal itu membuat Sari tidak berkeinginan untuk menjalin komunikasi dengan
sang ayah via telepon atau Short Messenger Service SMS ketika mereka berada dalam situasi yang berjauhan.
“Tentang perasaan saya gitu? Emmm… Nggak ya.. Nggak bisa berkutik saya juga.. Bisa apa coba.. Anak bawang kan
saya mah, Mbak….” “Bukannya gimana yah Mbak.. Bukannya emmm.. Bukan
nggak maapin… Cuman canggung aja.. Terus keinget gitu tindak tanduk dia kepada ibu saya itu jauh lebih menyakitkan..
daripada ibu saya disiksa mungkin lebih baik saya yang dipukul daripada ibu saya yang dibikin begitu..”
“…Apa.. Pas awal kuliah? Nggak sih.. Nggak nyari.. nggak kangen juga.. Ya biasa-biasa aja lah, lah kalo ketemu aja
n ggak ngobrol, apalagi di telfon, Mbak.. “
b Sari-Ibu:
Sari memiliki kedekatan yang lebih erat kepada ibu daripada kepada ayah karena ayah jarang pulang ke rumah dan
Sari melihat ayah menyiksa ibu, membuat ibu menangis. Kedekatan yang dimiliki Sari dengan ibunya mencakup
kedekatan emosional dan kedekatan fisik. Sari merasa
sangat menyayangi ibunya dan ia merasa tidak bisa berada dalam situasi yang terpisah dari ibunya. Pengalaman pertama
Sari berpisah dengan ibunya ialah ketika Sari memutuskan berkuliah di luar kota. Hal tersebut membuat Sari setiap
malam harus tetap berkomunikasi dengan sang ibu melalui telepon atau Short Messenger Service SMS. Bahkan, Sari
kerap menangis ketika merasa rindu dengan ibunya, namun hanya bisa mendengarkan suaranya melalui telepon.
“Wah.. kalo sama mama sih saya baper banget deh mba.. Mama saya telfon saya tiap malem aja saya bisa nangis, saking
kangennya, terus sedih kalo pas mama bilang lagi nggak ada uang atau belum bayar listrik lah apa lah, nggak bisa bayar
kuliah saya lah. Rasanya saya mending berhenti kuliah aja biar langsung kerja bantuin mama saya. Kalo keadaannya mama
saya yang sakit kayak papa saya, saya rela deh mba biar saya aja yang gantiin sakitnya asal jangan mama saya yang s
akit”.
Rasa sayang Sari kepada selalu diungkapkan secara terbuka dalam bentuk kata-kata, perhatian, dan pengertian. Ada
keinginan untuk melindungi ibu dari hal-hal buruk yang dapat menimpanya. Sari pun mencari ibu ketika ia membutuhkan
pertolongan atau sekedar berbagi cerita tentang pengalamannya sehari-hari. Namun demikian, meskipun Sari tergolong dekat
dengan ibunya, Sari tidak menunjukkan keterbukaan kepada ibunya
. Ia memilih untuk tidak menceritakan persoalan yang bersifat pribadi kepada ibunya agar tidak
menjadi masalah.
“No…. Nggak semua bisa diceritain mbak.. Apalagi soal pacar-pacaran.. Hehh mending diem aja deh daripada
ntar diocehin males.. Paling kalo soal kuliah ya terbuka. Ini kan saya juga terhambat banget ya mbak skripsi
nggak kelar-kelar. Sampe bayar orang buat ngerjain juga malah kabur orangnya, ketipu 3 juta saya. Kaya gitu-gitu
saya nggak bilang sama mama saya.. Ya saya cuma mau mama taunya saya baek-
baek aja lah disini…”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari berupaya untuk membuat sang ibu tenang dengan mengetahui
dirinya baik-baik saja. Sari menampilkan diri yang baik dan patuh di hadapan ibunya. Tidak semua aturan yang diberikan
oleh ibu diikutinya. Dalam hal berpacaran, ia menyembunyi- kannya dari kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena
sosok ibu dalam pandangan Sari merupakan sosok yang over-protective. Sejak kecil, ibu mengambil semua keputusan
dalam hidup Sari, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Sari tidak diijinkan untuk main bersama teman-temannya sepulang
sekolah, harus memakai baju yang ‘cantik’ menurut ibunya, tidak boleh datang ke acara ulang tahun teman-temannya.
Kemanapun Sari pergi selalu diantar jemput oleh ibunya. Sari hanya boleh mengikuti acara gereja dengan pendampingan
ibunya. Hal itu dialami hingga Sari duduk di bangku SMA.
Sang ibu memiliki pandangan bahwa kegiatan yang bersifat positif dan baik bagi anaknya ialah kegiatan-kegiatan yang
mengandung unsur kerohanian. Sari menganggap bahwa dirinya sulit sekali mendapatkan ijin dari sang ibu jika ia
menemukan hal baru yang menarik untuk dilakukan. Kekhawatiran sang ibu yang berlebihan membuat Sari
membatasi ruang gerak untuk eksplorasi
. Ia memilih untuk menjadi pasif dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di
kampus. Banyak larangan yang diberikan oleh sang ibu demi kebaikan Sari, dan Sari merasa tidak keberatan dengan hal itu
karena Sari meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk kebaikan Sari.
“Saya anak baik.. anak manis dan penurut. Ya itu sih yang diketahui sama papa mama saya..”
“Mereka taunya ya saya ikutin, tapi pada kenyataannya saya banyak mangkir juga tertawa.. Ya itu tadi.. Saya kan dilarang
pacaran, tapi saya bolak-balik pacaran backstreet gitu.. Itu sih yang menurut saya paling nakal”
“Ya… Misal kegiatan di gereja, ikut retreat, latihan nyanyi atau nari di gereja. Di luar itu sih bakal diinterogasi dulu
kegiatannya kayak gimana, sama siapa, waktunya kapan, macem-
macem lah..”
2. Safe Haven Menjadi Tempat Perlindungan