MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL DI KOTA METRO
ABSTRACT
MODEL OF PURSUANCE LEVEL IN MANAGING ENVIRONMENT IN THE BASE OF SOCIAL-DEMOGRAPHY CHARACTERISTIC
OF SMALL INDUSTRY OWNER IN METRO CITY
By
FEBRIANA SUSIWI
Production activity in small industry creates not only profit and satisfaction but also residual that affect negative externality, as well as various small industries in metro city. It has not been know the characteristic of sosial demography that affects complainment behavior of small industries toward complainment in managing environment. Therefore, it is needed to developed a model to press that negative externality. Therefore, it needs to develop a model pressing that negative externality. This research was aimed to determine a model of pursuance level in managing environment that could be influenced by small industry profile, social-demography characteristic, knowledge and supervision level. This research had been done in the area of Metro City started on April – August 2015. This research used the modelapproachby using primer data from 49 small industries all over Metro City. The model used in this research was ordinal regression by using some dummy variables. Response variables used in this research were pursuance level including very obedient, obedient and not obedient. And then by using pursuance clearing variable including, small industry profile (business permission, financial, turnover, duration, employee, kind of business, and kind of waste), social-demography characteristic (age, sex, and education level), and then the level of knowledge and supervision. Based on the result of ordinal regression using software Minitab V.16 in the credibility interval of 5% and 10% showed that business permission, financial, sex, knowledge and supervision level really influenced toward the pursuance level of the small industry owner in managing the environment.
(2)
ABSRTAK
MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL
DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL
DI KOTA METRO
Oleh
FEBRIANA SUSIWI
Aktifitas produksi dalam industri kecil tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan namun juga menghasilkan residual yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif, demikian pula halnya berbagai industri kecil di Kota Metro. Belum diketahui karateristik sosial demografi yang memperngaruhi sikap kepatuhan para industriawan kecil terhadap kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu perlu dikembangkan sebuah model untuk menekan ekternalitas negatif tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dipengaruhi oleh profil indutri kecil, karakteristik sosial demografi, tingkat pengetahuan dan pengawasan. Penelitian telah dilaksanakan di wilayah Kota Metro dimulai pada Bulan April – Agustus 2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan dengan menggunakan data primer dari 94 industri kecil se-Kota Metro. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi ordinal dengan menggunakan beberapa variabel dummy. Variabel respon yang digunakan adalah tingkat kepatuhan yang meliputi sangat patuh, patuh dan tidak patuh. Kemudian dengan variabel penjelas meliputi, profil industri kecil (izin usaha, modal, omzet, lama usaha, jumlah karyawan, jenis usaha, dan jenis limbah), karekteristik sosial demografi (umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan), kemudian tingkat pengetahuan dan pengawasan. Berdasarkan hasil regresi ordinal yang menggunakan piranti lunak Minitab V.16 pada selang kepercayaan 5% dan 10% menunjukaan bahwa izin usaha, modal, jenis kelamin, tingkat pengetahuan dan pengawasan berpengaruh nyata terhadap tingkat kepatuhan pemilik usaha industri kecil dalam pengelolaan lingkungan.
(3)
(4)
(5)
(6)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan adalah sesuatu yang bersahabat, pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia untuk mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya. Asumsi pemikiran tersebut, bila setiap manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka kontribusinya untuk kesejahteraan bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat dicapai berbasiskan kekuatan masyarakat yang berdaya dan menghidupinya (Dillon dkk, 2012).
Kemakmuran dengan berbasiskan kekuatan masyarakat sangat dipercaya oleh kinerja industri yang memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Di lain pihak hal tersebut juga memberi dampak pada lingkungan akibat buangan industri maupun eksploitasi sumber daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Lebih lanjut dinyatakan harus ada transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan industri, yakni keyakinan bahwa: operasi industri secara keseluruhan harus menjamin sistem lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal hingga biosfer. Efisiensi
(7)
bahan dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang, akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi (Hambali, 2003), dalam Damayanti, 2004).
Perkembangan industri menambah urbanisasi dan meningkatkan jumlah penduduk di satu wilayah, hal ini menuntut percepatan pengembangan tata ruang suatu daerah perkotaan yang mau tidak mau harus dilakukan pengkajian secara matang untuk pertumbuhan ekonominya termasuk inventarisasi lahan-lahan yang belum dimanfaatkan dengan baik yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas lingkungan yang ditandai dengan: hilangnya ruang terbuka hijau, munculnya daerah-daerah kumuh, pencemaran udara atau pencemaran dari aktivitas industri, limbah domestik, penggusuran, keambrukan dan kemacetan lalu lintas, hilangnya teknologi hijau, dan munculnya cacapolis atau suatu kota yang mengerikan (Simanjuntak, 2008).
Dan untuk menghindari itu maka pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan bagian sangat penting bagi ekosistem berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi seluruh mahluk hidup yang diarahkan kepada terwujudnya kelestarian serta fungsi lingkungan dalam keadaan dinamis menuju pembangunan berkelanjutan (Simanjuntak, 2008).
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bagian dari wujud pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang harus dilakukan dengan baik dan terpadu serta komprehensif sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir (2)
(8)
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Jadi pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan baik.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi hal penting dengan berrkembangnya industri dan meningkatnya aktivitas ekonomi, melalui proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan kepada pengguna, namun juga menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif. Residual merupakan bagian intrinsic atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Sebelum tahun 1960-an, masalah eksternalitas dianggap hal kecil dan bisa diselesaikan melalui
(9)
negosiasi. Namun setelah tahun 1969-an para ahli melihat bahwa masalah eksternalitas adalah masalah yang cukup serius dan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari hukum termodinamika, sehingga pada periode inilah perhatian yang serius terhadap analisis pencemaran dimulai (Fauzi, 2004).
Tingginya aktivitas ekonomi di Kota Metro terutama pada sektor perdagangan dan jasa mulai mendominasi nilai PDRB sejak tahun 2009. Hampir seluruh Bank tersedia di Kota Metro untuk mendukung sektor perdagangan dan jasa. Kota Metro menjadi alternatif kedua bagi masyarakat Lampung Timur, Lampung Selatan dan Pesawaran untuk mengakses perdagangan dan jasa (Bappeda Kota Metro, 2014).
Aktivitas ekonomi melalui sektor perdagangan dan jasa, merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan dengan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut Rudjito (2003), dalam linda (2012), usaha mikro adalah usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin. Usaha mikro sering disebut dengan usaha rumah tangga. Besarnya kredit yang dapat diterima oleh usaha adalah Rp 50 juta. Usaha mikro adalah usaha produktif secara individu atau tergabung dalam koperasi dengan hasil penjualan Rp 100 juta. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pasal 3 disebutkan bahwa usaha mikro bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan ekonomi yang berkeadilan.
(10)
Peran UMKM sangat strategis bagi perekonomian Kota Metro yang ditunjukkan oleh jumlah industri kecil yang paling banyak di Kota Metro yaitu sekitar 94.14%, dimana golongan ini paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 4.529 orang atau sebesar 95.75%. Tercatat pada tahun 2013 ada 1.681 perusahaan kategori industri kecil, empat perusahaan industri menengah dan satu perusahaan industri besar (Bappeda Kota Metro, 2014).
Industri kecil atau industri rumah tangga secara umum keberadaannya adalah menyebar, namun ada juga yang terkonsentrasi dalam satu sentra industri kecil. Kriteria industri seperti ini mempunyai ciri: berkembang dengan modal kecil, menggunakan teknik produksi dan peralatan yang sederhana, keselamatan dan kesehatan kerja kurang mendapatkan perhatian, tingkat pendidikan SDM nya relatif rendah, kegiatan riset dan pengembangan usaha masih minim, belum mengutamakan faktor-faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku (Setiyono, 2004).
Pada saat ini wilayah Kota Metro dibagi menjadi lima kecamatan yang terdiri dari 22 kelurahan. Rencana struktur ruang sebagai kawasan strategis ekonomi ditetapkan dengan kriteria: kawasan yang memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh, kawasan yang memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi kota, kawasan yang memiliki potensi ekspor, kawasan yang didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi dan produksi, mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal. Kawasan perdagangan dan jasa pusat kota ditetapkan di Kecamatan Metro Pusat. Kawasan industri mikro
(11)
dan kecil tersebar pada seluruh kecamatan di Kota Metro, sedangkan untuk industri menengah dipusatkan di Kecamatan Metro Utara (RTRW Kota Metro, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemilik perhotelan, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan pabrik besar di Kota Pekanbaru memiliki tingkat kepatuhan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan berada pada
tingkat “patuh” dengan perolehan presentase 58.77 sampai dengan 71.93. Sedangkan perkantoran memiliki persentase kepatuhan rata-rata sebesar 14. 04
dengan tingkat kepatuhan “tidak patuh” (Basri, 2014).
Atas dasar latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka Kota Metro memiliki potensi cemaran lingkungan yang berasal dari aktifitas industri kecil, dan apabila tidak ada pengelolaan yang baik hal ini dapat berisiko terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karena hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karaketeristik sosial demografi pemilik usaha dan profil industri kecil serta pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan, dikerenakan belum ada penelitian yang meneliti mengenai hal tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya pengaruh karakteristik sosial demografi pemilik usaha (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan), profil industri kecil (jenis industri kecil, izin usaha, modal, omzet,
(12)
jumlah karyawan dan lama usaha berdiri), jenis limbah, tingkat pengetahuan dalam pengelolaan lingkungan, dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model tingkat kepatuhan berbasis karakteristik sosial demografi pemilik usaha industri kecil di Kota Metro.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Sebagai masukan bagi para pelaku usaha industri kecil serta pemerintah dalam upaya pengelolaan lingkungan.
b) Sebagai bahan informasi untuk penelitian sejenis pada masa yang datang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah. Pihak swasta dan masyarakat juga sangat penting peran sertanya dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dan setiap orang mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat tercapai kelestarian lingkungan hidup (Suhartini, 2008).
(13)
Menjadi sebuah harapan agar Kota Metro dapat menjadi kota dengan lingkungan yang terkelola dengan baik, menjadi kota yang bersih, nyaman untuk ditinggali, serta nyaman untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan bahkan dapat menjadi kota yang menjadi pusat pendidikan dan pariwisata. Disisi lain makin bertambahnya jumlah usaha mikro dan kecil di Kota Metro yang diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kota Metro menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan. Namun demikian usaha mikro dan kecil sebagai tulang punggung perekonomian mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pencemaran lingkungan ditimbulkan oleh limbah yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Berdasarkan kenyataan di lapangan masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum mengelola limbahnya dengan baik dan benar. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dimiliki tentang teknologi pengelolaan limbah serta bahaya yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu dengan segala keterbatasan yang ada, mereka masih melihat limbah sebagai sesuatu yang sudah tidak mempunyai nilai ekonomi. Padahal sesungguhnya dengan teknologi tepat guna, limbah yang dihasilkannya masih dapat diolah menjadi barang jadi lainnya sehingga memberi nilai tambah ekonomi dan sekaligus mengurangi beban pencemaran terhadap lingkungannya (Setiyono, 2004).
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya kajian tentang pengaruh karakteristik sosial demografi pemilik usaha, profil industri kecil serta tingkat
(14)
pengetahuan dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.Kerangka pemikiran pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran dalam Penelitian PROFIL INDUSTRI KECIL
1. Jenis Industri Kecil (Aneka Keripik, Aneka Olahan Makanan dan Aneka Kerajinan)
2. Ijin Usaha 3. Modal 4. Omzet
5. Jumlah Karyawan 6. Lama Usaha Berdiri
KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN
JENIS LIMBAH 1. Padat
2. Cair 3. Gas
PENGAWASAN
KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI PEMILIK INDUSTRI KECIL
Usia
Jenis kelamin Pendidikan
PENGETAHUAN DALAM PENGELOLAAN
(15)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Mikro dan Kecil
Usaha mikro dan kecil yang meliputi definisi, dan jenis usaha mikro dan kecil dijelaskan lebih lanjut di bawah ini,
2.1.1. Definisi Usaha Mikro dan Kecil
Usaha Mikro Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Adapun definisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM):
a. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
b. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
(16)
dalam Undang-Undang ini.
c. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Kriteria Usaha Mikro menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 6, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memiliki kriteria sebagai berikut : Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak temasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. Ciri-ciri Usaha Mikro, yaitu: usaha produktif (Menurut Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003, tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil). Usaha pada semua sektor ekonomi yang dimaksudkan untuk dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan usaha.
Ada beberapa acuan definisi yang digunakan oleh berbagai instansi di Indonesia, yaitu: UU No.9 tahun 1995 tentang usaha kecil mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah, batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp 200 juta hingga Rp 10 milyar.
(17)
BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah, batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun. Berdasarkan definisi tersebut, data BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2002 menunjukkan populasi usaha kecil mencapai sekitar 41.3 juta unit atau sekitar 99.85 persen dari seluruh jumlah usaha di Indonesia, sedangkan usaha menengah berjumlah sekitar 61.1 ribu unit atau 0.15 persen dari seluruh usaha di Indonesia. Sementara itu persebaran UKM paling banyak berada di sektor pertanian (60 persen) dan perdagangan (22 persen) dengan total penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut sekitar 53 juta orang (68 persen penyerapan tenaga kerja secara total).
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, omzet adalah jumlah uang hasil penjualan barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp. 5 milyar. Sementara itu, usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp. 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp. 1 miliar (sesuai UU No. 9 tahun 1995). Bank Indonesia menggolongkan UK dengan merujuk pada UU No. 9/1995, sedangkan untuk usaha menengah, BI menentukan sendiri kriteria aset tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp. 200 juta s/d Rp. 5 miliar) dan non manufaktur (Rp. 200-600 juta). Badan Pusat Statistik (BPS)
(18)
menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 1-19 orang; usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang. Menurut Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) usaha mikro adalah usaha yang memiliki kurang dari 5 orang tenaga kerja. Jumlah industri/perusahaan, tenaga kerja dan nilai investasi di Kota Metro disajikan pada Tabel. 2.1.
Tabel.2.1 Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014
Sumber : Dinas Koperasi, 2014
2.1.2. Jenis Usaha Mikro, dan Kecil
Jumlah pabrik tempe yang banyak dan sebagian besar mengambil lokasi disekitar sungai ataupun selokan selokan guna memudahkan proses pembuangan limbahnya, akan sangat mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya upaya penanggulangan limbah. Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang diperoleh dari proses proses tersebut diatas dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan mengambang pada proses pencucian serta lembaga yang lepas pada waktu
Kecamatan
Bidang Usaha
TK
Industri Menengah Skala Usaha Perdagangan Perindustrian Jasa Investasi
(Rp/000)
Omset/Bulan (Rp/000)
MI K M
Metro Selatan
510 79 137 1287 21.363.100 10.379.945 647 75 5
Metro Barat 1068 159 417 3585 266.480.500 186.367.700 1170 360 114 Metro Timur 1138 245 401 3580 64.881.500 39.557.700 1535 246 3 Metro Pusat 1969 298 411 5437 48.020.700 67.921.000 2331 307 40 Metro Utara 796 395 231 3331 67.445.200 119.832.420 1301 112 9 METRO 5481 1176 1597 17220 468.191.000 424.058.765 6984 1100 171
(19)
pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya. Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang relatif singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut. Adanya proses pembusukan, akan menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama pada musim kemarau dengan debit air yang berkurang. Ketidakseimbangan lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan (Wiryani, 2010).
Pemahaman akan bahan pencemar yang terdapat dalam limbah cair yang berasal dari proses pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan suatu hal yang penting. Pemahaman ini diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemarannya serta mengkaji cara-cara pengelolaan limbah yang tepat (Wiryani, 2010)
Industri kecil atau industri rumah tangga secara umum keberadaannya adalah menyebar, namun ada juga yang terkonsentrasi dalam satu sentra industri kecil. Kriteria industri seperti ini mempunyai ciri-ciri, yaitu: berkembang dengan modal usaha kecil, menggunakan teknik produksi dan peralatan yang sederhana, keselamatan dan kesehatan kerja kurang mendapatkan perhatian, tingkat pendidikan SDM nya relatif rendah, kegiatan riset dan pengembangan usaha masih minim, belum mengutamakan faktor-faktor kelestarian lingkungan, belum
(20)
mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka perlu disediakan teknologi yang sederhana yang dapat diterapkan oleh para pengusaha tanpa merasa terbebani sehingga pengolahan limbah dapat diterapkan dan dioperasikan dengan benar. Untuk menghindari terjadinya pencemaran akibat tibulnya limbah industri, maka diperlukan pengelolaan limbah dengan benar dan tentunya dengan biaya yang seminimal mungkin. Hal ini harus dilakukan mulai dari sumbernya dan proses produksi yang ada, yaitu dengan penerapan teknologi bersih (nir-limbah), minimalisasi limbah (re-use, recycle dan lain-lain), baru teknologi pengolahan limbah sebagai alternatif terakhir (Setiyono, 2004).
2.2 Ekonomi Pencemaran
Proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan pada pengguna, namun juga menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif. Perman (1996) melihat bahwa residual merupakan bagian intrinsik atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktifitas tersebut. Dalam pendekatan ekonomi tradisional, dampak dari residual tersebut tidak secara eksplisit diakomondasikan dalam model produksi dan konsumsi. Padahal, dengan mengabaikan dampak eksternal tersebut bukan saja syarat optimimalitas produksi dan konsumsi tidak bisa terpenuhi, namun juga mengabaikan biaya sosial yang sebenarnya harus ditanggung oleh masyarakat (Fauzi, 2004)
(21)
Sebelum tahun 1960-an, masalah eksternalitas dianggap hal kecil dan bisa diselesaikan melalui negosiasi. Namun, setelah tahun 1960-an, para ahli melihat bahwa masalah eksternalitas adalah masalah yang cukup serius dan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari hukum termodinamika, sehingga pada priode inilah perhatian yang serius terdahap analisis ekonomi pencemaran (contad dan clark, 1987 dalam Fauzi, 2004).
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ekonomi pencemaran, kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang di maksud dengan pencemaran. Dalam perspektif biofisik, pencemaran diartikan sebagai masuknya aliran residual (residual flow) yang diakibatkan oleh manusia, ke dalam sistem lingkungan. Apakah residual ini mengakibatkan kerusakan atau tidak, tergantung pada kemampuan penyerapan (absorptive capacity) media lingkungan, seperti air, tanah, maupun udara. Selain itu, penting juga untuk membedakan antara pencemaran aliran (flow pollution) dan pencemaran stok (stock pollution). Pencemaran aliran merupakan pencemaran yang di timbulkan oleh residual yang mengalir masuk kedalam lingkungan pencemaran ini tergantung dari laju aliran yang masuk kedalam lingkunan, artinya jika aliran ini berhenti, pencemaran juga akan berhenti. Contoh nyata dari flow pollution ini adalah kebisingan udara. Jika sumber kebisingan dihentikan, yang berarti laju kebisingan, berkurang, pencemaran kebisingan udara juga akan berhenti. Di sisi lain, pencemaran yang bersifat stok (stock polution) terjadi jika kerusakan yang menimbulkan merupakan fungsi dari stok residual dan bersifat kumulatif (Fauzi, 2004).
(22)
Akumulasi ini terjadi jika jumlah bahan pencemar yang diproduksi melebihi kapasitas penyerapan lingkungan. Bahan-bahan logam berat yang masuk keperairan, misalnya, akan terakumulasi dan menjadi stok pollutan. Demikian juga sampah yang tidak bisa diurai oleh mikroba akan terakumulasi dan menjadi stok pullutan. Dari perspektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya secara kualitas dan kualitas untuk menyuplai barang dan jasa, juga dampak pencemaran tersebut terhadap kesehatan masyarakat (Fauzi, 2004).
a) Efisiensi Pencemaran
Oleh karena pencemaran merupakan fenomena yang bersifat perfasive (akan tetap ada) sebagai akibat dari proses aktivitas ekonomi, maka dari sudut prinsip ekonomi sumberdaya jalan yang terbaik dalam menangani pencemaran adalah bagaimana mengendalikan pencemaran tersebut ketingkat yang paling efisien. Dalam konteks ini, efensiensi yang dimaksud adalah yang bersifat Pareto improvement. Karna pencemaran menghasilkan utilitas yang negatif, Pareto improvement mengharuskan tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan dari pencemaran tersebut (Fauzi, 2004).
b)Pencemaran Aliran
Bagian ini akan terlebih dahulu membicarakan efisiensi pencemaran aliran. Misalnya, dalam proses produksi suatu barang (X) sebagiannya (α ) menghasilkan pencemaran sebesar Ś (dibaca zeta). Secara matematik, pernyataan diatas ditulis:
(23)
Dimana 0 < α < 1 adalah konstan. Andaikan pula manfaat yang diperoleh dari produksi X adalah B(X, Ś). Jika X adalah barang yang memberikan manfaat positif, Ś dapat dianggap sebagai barang yang memberikan manfaat negatif. Hubungan antara manfaat total dan produksi X sering di asumsi bersifat cembung (meningkat dengan peningkatan yang menurun terhadap X), sehingga manfaat marjinal terhadap X akan memiliki kemiringan yang negatif (Gambar 2.1). sementara itu, karna adanya hubungan linier antara pencemaran dan produk (X). Bagaimana dengan kerusakan yang di timbulkan oleh pencemaran, karna pencemaran menimbulkan kurusakan terhadap lingkungan, kerusakan tersebut diukur dalam unit rupiah, merupakan fungsi dari pencemaran atau :
) (2.1) Kurva manfaat total disajikan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Kurva Manfaat Total
Kurva penerimaan marjinal terhadap Ś juga berbentuk sama dengan kurva manfaat karjinal terhadap X, secara intuitif hal ini dapat dipahami karna manfaat ekonomi akan menurun seiring dengan meningkatnya pencemaran (dibaca secara horizontal dari kiri kekanan). Kurva penerimaan marjinal disajikan pada Gambar 2.2
X X
B(X)
(24)
Gambar. 2.2 Kurva Manfaat Total dan Manfaat Marjinal (Sumber : Fauzi, 2004)
Kurva manfaat marjinal terhadap pencemaran disajikan pada Gambar 2.3
Gambar. 2.3 Kurva Manfaat Marjinal terhadap Pencemaran (Sumber : Fauzi, 2004)
Kurva kerusakan yang diukur dalam pengukuran marjinal (perubahan kerusakan per perubahan pencemaran) disajikan pada Gambar 2.4
Ś Ś
Manfaat Marjinal terhadap Pencemaran
Manfaat marjinal
(25)
D (Rp)
Kerusakan Marjinal
Ś
Ś Gambar. 2.4 Kurva Kerusakan Marjinal (Sumber : Fauzi, 2004)
Kurva kerusakan marjinal memiliki kemiringan (Slope) yang positif karena diasumsikan bahwa kerusakan (dalam ukuran rupiah) akan meningkat sejalan dengan peningkatan pencemaran.
Gambar 2.5 Tingkat Pencemaran yang Efisien (Sumber : Fauzi, 2004)
Dengan diperolehnya kurva manfaat marjinal dan kurva kerusakan marjinal, penggambungan kedua kurva tersebut disajikan pada Gambar 2.5 akan menghasilkan tingkat pencemerana yang efisien secara sosial. Sebagaimana tampak pada Gambar 2.5 tanpa adanya pengendalian, tingkat pencemaran yang
D (Rp)
D *
Ṥ*
Kerusakan Marjinal
Ṥ
Ṥ Manfaat
Marjinal Ṥ
(26)
optimal ditunjukkan oleh perpotongan kurva manfaat dan kerusakan pada titik Ṥ*. Titik perpotongan ini disebut titik keseimbangan yang paling efisien secara sosial, karena jika Ṥ < Ṥ, manfaat marjinal akan lebih besar daripada kerusakan marjinal, sehingga tinggkat buangan industri pencemaran akan meningkat. Demikian juga jika Ṥ> Ṥ, manfaat marjinal akan lebih kecil daripada kerusakan marjinal yang menyebabkan industri mengurangi buangannya. Jadi keseimbangan tersebut dicapai hanya pada titik Ṥ= Ṥ.
c. Pencemaran Stock
Menganalisis aspek ekonomi pencemaran stock jauh lebih kompleks dibandingkan pencemaran aliran. Hal ini disebabkan karena selain pencemaran stock bersifat akumulatif, pencemaran ini juga bersifat intertemporal (terkait dengan perbedaan antar waktu) sehingga untuk menganalisisnya secara terperinci memerlukan pendekatan dinamik. Berikut ini adalah pendekatan analisis pencemaran stock yang didasarkan pada analisis yang dikenalkan oleh Kaller (1971), Conrad dan Clark (1987), dalam Fauzi (2004).
d. Kebijakan terhadap Pencemaran
Salah satu masalah yang timbul pada pengendalian pencemaran melalui pendekatan efisiensi atau tingkat pencemaran yang optimal adalah penentu kebijakan sulit untuk menentukan tingkat pencemaran yang optimal tersebut. Pemerintahan, misalnya tidak terlalu berkepentingan untuk menentukan fungsi produksi dan fungsi biaya industri. Di sisi lain, menyerahkan pengendalian pencemaran kepada industri semata juga tidak akan menjamin tercapainya
(27)
efisiensi tersebut. Karena itu, suatu pendekatan pengendalian pencemaran melalui instrumen-instrumen tertentu perlu dilakukan. Instrumen tersebut berbasis pasar (Market Bassed) atau berupa perintah dan pengendalian (command and control). Untuk memahami instrumen kebijakan pencemaran tersebut, terlebih dahulu kita memerlukan terminologi baru yang akan menggantikan peran kurva manfaat marjinal pada Gambar 2.2. terminologi yang dimaksud adalah biaya pengurangan pencemaran atau abatement cost, khususnya marjinal abatement cost (MAC). Jika misalnya pencemaran tersebut adalah aliran (flow) dari suatu industri yang mencemari perairan maka dalam operasinya bisa saja industri tersebut melepaskan banyak pencemaran ke perairan. Namun dengan menggunakan teknologi yang ada dan dibantu dengan pengelolaan yang baik, industri tersebut bisa saja mengurangi pencemaran melalui pengurangan jam operasi mengubah proses produksi, mengganti sumber energi dan berbagai alternative lainnya. Biaya untuk melakukan aktivitas tersebut disebut abatement cost karena aktivitas tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi pencemaran. Untuk keperluan analisis ekonomi pencemaran, akan lebih mudah jika kita menggunakan pengukuran marjinal, yakni marginal abatement cost atau MAC yang menggambarkan penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran atau biaya yang bisa dihematkan jika pencemaran ditingkatkan sebesar satu unit.
Transferable Discharge Permit (TDP)
Jenis kebijakan lain untuk mengendalikan pencemaran adalah melalui izin melepaskan pencemaran yang dapat ditransfer. Jenis kebijakan ini sering disebut Transferable Discharge Permit atau TDP. Konsep yang sebelumnya pernah
(28)
diperkenalkan oleh Dales (1968) ini pada prinsipnya memberikan hak kepemilikan sebagian (Particial Property Right), dalam hal ini untuk melepaskan pencemaran. TDP bekerja melalui mekanisme pasar karena dengan sistem yang bersifat transfrable, hak tersebut dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar yang berlaku. Jual beli dapat dilakukan oleh pelaku tunggal untuk industri yang berbeda atau pelaku-pelaku yang berbeda. Berbeda dengan pengendalian pencemaran melalui pajak yang berbasis harga, pengendalian bersistem TDP bekerja dengan basis kuantitas bahan pencemar yang dilepas. Dengan kata lain, TDP adalah semacam pengendalian kuantitas (quantity control) pencemaran. Untuk memberikan insentik kepada pelaku industri agar membeli izin, pemerintah menetapkan batas pencemaran maksimum yang diperolehkan sehingga menciptakan nilai kelangkaan (scarcity) lingkungan (Fauzi, 2004).
Pengendalian dengan Commend and Control (CAC)
Pengendalian pencemaran dapat juga dilakukan dengan tidak menggunakan instrument pasar, namun langsung melalui perintah dan pengawasan- Commend and Control. Pengendalian jenis ini dilakukan dengan menggunakan skema pengaturan administrative dan perundang-undangan yang terkait langsung dengan jumlah pencemaran atau output yang diperbolehkan dan dengan teknologi yang digunakan oleh industri. Bentuk pengendalian CAC ini dilakukan dengan menentukan standar baik standar emisi maupun standar ambient. Standar emisi akan menentukan laju (rate) emisi maksimum yang diperbolehkan secara hukum, sementara standar ambient menentukan dimensi kualitatif terhadap lingkungan sekitar. Standar ini bisa mengacu pada kualitas udara disebuah kota, atau kualitas
(29)
air pada suatu sungai. Bentuk standar lainnya bisa saja dilakukan melalui standar teknologi atau technology-based standar (TBE) atau desain standar. Tipe standar ini pada intinya mengharuskan industri untuk mengadopsi teknologi yang mengurangi pencemaran (Fauzi, 2004).
2.3. Pengelolaan Lingkungan
Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tak hidup. Keberadaan lingkungan hidup sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Apabila terjadi kerusakan lingkungan hidup maka kehidupan manusia juga akan terganggu. Globalisasi dan reformasi membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan terhadap lingkungan. Adanya globalisasi dan reformasi merubah nilai dan pola pikir terhadap pengambilan kebijakan tentang lingkungan. Mengingat pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, pemerintah baik pusat maupun daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup sangat dibutuhkan karena masyarakatlah yang secara langsung berhadapan dengan masalah lingkungan. Dengan program pembangunan yang berwawasan lingkungan diharapkan selain pembangunan itu sendiri berhasil juga lingkungan tidak mengalami penurunan kualitas (Sriyanto, 2007).
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya, namun yang berciri khas yaitu merupakan upaya terpadu pelestarian fungsi limgkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
(30)
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Berdasarkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Purnaweni, 2014). Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini: Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan perundang-undangan. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau denda (Basri, 2014).
Prinsip pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan empat indikator POAC yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (Asdak, 2004. dalam Purnaweni, 2014).
Beberapa konsep pengelolaan limbah yaitu, konsep produksi bersih (Cleaner Production) dan konsep zero waste merupakan suatu strategi untuk menghindari timbulnya pencemaran industri melalui pengurangan timbulan limbah (waste generation) pada setiap tahap dari proses produksi untuk meminimalkan atau mengeliminasi limbah sebelum segala jenis potensi pencemaran terbentuk. Istilah-istilah seperti pencegahan pencemaran (pollution prevention), pengurangan pada
(31)
sumber (source reduction), dan minimasi limbah (waste minimization) sering disertakan dengan istilah produksi bersih (Cleaner Production). Konsep produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, dimana limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi, karena itu usaha pencegahan tersebut harus dilakukan mulai dari awal (waste avoidance), pengurangan terbentuknya limbah (waste reduction) dan pemanfaatan limbah yang terbentuk melalui daur ulang (recycle). Keberhasilan upaya ini akan menghasilkan penghematan (saving) yang luar biasa karena penurunan biaya produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini menjadi sumber pendapatan (revenue generator) (Ditjen IKM, 2007).
Pengelolaan limbah industri pangan (cair, padat dan gas) diperlukan untuk meningkatkan pencapaian tujuan pengelolaan limbah (pemenuhan peraturan pemerintah), serta untuk meningkatkan efisiensi pemakain sumber daya. Secara umum, pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi (reduction), pengumpulan (collection), penyimpangan (storage), pengangkutan (transportation), pemanfaatan (reuse, recycling), pengolahan (treatment), atau penimbunan (disposal). Timbulnya limbah dari industri pangan, baik limbah cair, padat maupun gas, tidak dapat dihindari seratus persen. Setelah dilakukan usaha-usaha minimisasi melalui modifikasi proses maupun pemanfaatan (dengan prinsip produksi bersih) langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah pengolahaan atau penanganan limbah tersebut untuk menghindari pencemaran lingkungan. Kriteria utama pengolahan limbah adalah pemenuhan baku mutu yang berlaku dengan biaya minimum (Ditjen IKM, 2007).
(32)
Pengolahan Limbah Cair
Limbah industri pangan merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan. Jumlah dan karakteristik air limbah industri bervariasi menurut jenis industrinya. Contoh untuk industri tahu dan tempe mengandung banyak bahan organik dan padatan terlarut. Untuk memproduksi 1 ton tahu atau tempe dihasilkan limbah sebanyak 3.000-5.000 Liter (Ditjen IKM, 2007).
Petunjuk Teknis Pengelolaan Limbah Industri Pangan Ditjen IKM Departemen Perindustrian (2007), sebagian besar limbah cair industri pangan dapat ditangani dengan mudah dengan sistem biologis, karena polutan utamanya berupa bahan organik, seperti karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Polutan tersebut umumnya dalam bentuk tersuspensi atau terlarut sebelum dibuang, ke lingkungan, limbah cair industri pangan harus diolah untuk melindungi keselamatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Tujuan dasar pengolahan limbah cair adalah untuk menghilangkan sebagian besar padatan tersuspensi dan bahan terlarut, kadang-kadang juga untuk penyisihan unsur hara (nutrien) berupa nitrogen dan fosfor. Secara umum, pengolahan limbah cair dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengolahan primer, pengolahan sekunder, dan pengolahan tersier.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah, pada lampiran XVIII disajikan pada Tabel 2.2
(33)
Tabel. 2.2 Baku Mutu Air Limbah Pengolahan Kedelai
Parameter
Pengolahan Kedelai
Kecap Tahu Tempe
Kadar *) (mg/L) Beban (kg/ton) Kadar *) (mg/L) Beban (kg/ton) Kadar *) (mg/L) Beban (kg/ton)
BOD 150 1.5 150 3 150 1.5
COD 300 3 300 6 300 3
TSS 100 1 200 4 100 1
pH 6-9
Kuantitas Air Limbah Paling Tinggi
10 20 10
Sumber : Permen LH No.5 Tahun 2014
2.4. Konsep Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sejak pertemuan di Rio de Janiero (Brasil), masalah kelestarian lingkungan hidup semakin penting dan bersifat global. Masalah pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan kelestarian lingkungan hidup. Memahami ekosistem sangat penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup karena pertimbangan sosial sangat erat kaitannya dengan proses politik dan pengambilan keputusan dalam pengembangan pengetahuan lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat desa, baik perubahan terhadap pola hidup, kepercayaan, emosi maupun pengetahuan masyarakat. Lebih lanjut lagi berdasarkan fakta yang didapat dari kehidupan masyarakat ternyata dominasi materialisme yaitu pandangan terhadap kehidupan yang lebih baik ternyata mampu mengubah peradaban manusia yang pada akhirnya mengarah kepada terciptanya krisis lingkungan hidup (Pebreni, 2012).
(34)
Pebreni (2012), pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ini tentunya tidak lepas dari campur tangan dari beberapa dimensi yaitu:
a. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Politik. Politik merupakan dimensi yang mendapat perhatian utama dalam bidang undang-undang, falsafah, teologi, dan sosial, terutama konsep tentang keadilan. Konsep keadilan menginginkan supaya setiap individu menerima apa yang wajar bagi dirinya. Perlu diingat bahwa keterlibatan individu dalam berbagai kedudukan dalam dimensi politik, merupakan syarat penting untuk dapat mencapai suatu tujuan.
b. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Ekonomi, disadari atau tidak bahwa pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari segi ekonomi. Proses ini akan terus meluas dalam berbagai bentuk perusahaan, yang bertujuan membasmi kemiskinan untuk meningkatkan taraf pendapatan yang seimbang. Tingkat pembangunan ekonomi yang pesat ini membawa implikasi terhadap kemampuan lingkungan hidup menampung berbagai jenis limbah dan sampah industri. Oleh karena itu, persoalan tentang lingkungan hidup menjadi perhatian utama masyarakat dan pemerintah. Hal ini didorong oleh dampak negatif pembangunan ekonomi, kepesatan urbanisasi, dan proses modernisasi yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu usaha utama dalam pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah menjalankan konsep seimbang di antara pembangunan ekonomi dengan daya dukung sumber alam bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
(35)
c. Pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam dimensi sosial budaya. Sosial budaya ialah suatu konsep kehidupan sekelompok orang maupun beberapa kelompok yang membuat keputusan hidup bersama melalui usaha untuk memanfaatkan lingkungan hidup dalam rangka keperluan hidup bersama.
2.5 Teori Kepatuhan (compliance theory)
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan.
2.5.1 Konsep Kepatuhan
Pengertian Kepatuhan dalam sebagai berikut: Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (1994) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degresi et al, 1998) dalam Suparyanto (2010).
A.Proses Perubahan Sikap dan Perilaku (teori Kelman)
Menurut Kelman (1958) dalam Suparyanto (2010) perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
(36)
menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri.
A.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut (Niven, 2008) dalam Suparyanto (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan diantaranya adalah:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan aktif.
(37)
b. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi (Azwar, 2007).
Pada penelitian tentang bagaimana kepatuhan Polandia terhadap European Environmental Policy (EEP) sebagai salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh European Union (EU). EEP dikeluarkan dengan tujuan untuk mengontrol negara anggota EU dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan dan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat EU. Polandia sebagai salah satu negara anggota yang bergabung dengan EU bersamaan dengan ketujuh negara Central and Eastern Europe (CEE) lainnya pada tahun 2004, berdasarkan ‘acquis communautaire’ harus mengimplementasikan setiap bagian dari peraturan dan kebijakan yang terdapat di dalam EU, dimana salah satunya adalah European Environmental Policy. Sebagai sebuah negara yang tidak memfokuskan diri dalam permasalahan lingkungan, proses implementasi EEP menjadi tantangan tersendiri bagi Polandia (Harinanda, 2014).
(38)
Penelitian ini menggunakan pendekatan rezim lingkungan internasional untuk melihat tingkat kepatuhan sebuah negara terhadap suatu kebijakan maupun perjanjian internasional, yang mana konsep kepatuhan terhadap rezim internasional digunakan dalam menganalisa kepatuhan Polandia dalam mengimplementasikan EEP. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Polandia dalam mengimplementasikan EEP. Kasus pelanggaran tersebut dibuktikan dengan sejumlah sektor yang tidak mencapai beberapa target dalam EEP. Sehingga Polandia dinilai tidak patuh terhadap EEP dikarenakan adanya ketidaktelitian dengan faktor penyebab ketidakmampuan dari segi ekonomi yang menjadi penghalang dalam mematuhi EEP. Polandia mempunyai keinginan yang tinggi dalam mematuhi EEP, namun ternyata mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan EEP sehingga Polandia harus menerima sejumlah sanksi finansial yang dikeluarkan oleh European Court of Justice (ECJ) (Harinanda, 2014).
c. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan antenatal care (Notoatmodjo, 2007).
(39)
2.5.2 Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan
Pada penelitian Basri 2014, menunjukkan bahwa mayoritas pemilik perhotelan, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan fectory besar di Kota Pekanbaru memiliki tingkat kepatuhan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan berada pada tingkat “patuh” dengan perolehan presentase 58,77 s/d 71,93. Sedangkan perkantoran memiliki persentase kepatuhan rata-rata sebesar 14, 04 dengan tingkat kepatuhan “tidak patuh” (Basri, 2014).
Pengukuran tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan dapat dilihat berdasarkan beberapa faktor: memiliki dokumen lingkungan, memiliki pengolahan limbah cair, memiliki pengolahan limbah padat, memiliki pengolahan limbah gas, memiliki unit IPAL, memiliki unit tpa, memiliki unit incenerator, memiliki unit pengolah akhir sampah, melakukan pemantauan air limbah, melakukan pemantauan udara emisi, melakukan pemantauan udara ambien, melakukan pemantauan air sungai, melakukan pemantauan air sumur (air tanah), melakukan pemantauan sosial lingkungan, melakukan pemantauan kesehatan lingkungan, memiliki personil pemantau lingkungan, melaksanakan pemantauan lingkungan, membuat laporan kondisi lingkungan 1 tahun terakhir dan melaporakan kondisi lingkungan ke instansi terkait (Basri, 2014).
2.6 Karakteristik Sosial Demografi
Karakteristik Sosial Demografi meliputi usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini,
(40)
2.6.1 Usia
Usia menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah lama hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan. Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang (Notoatmodjo, 2007).
Menurut WHO (1993) dalam Susiwi (2003), perubahan-perubahan fisiologi karena umur antara lain adalah kompetisi fisik tubuh (masa tubuh, berat dan fungsi otot) yang berkaitan dengan kekuatan dan ketahan serta volume tubuh, perubahan kordiovaskular, sistem respirasi (kapasitas total paru), peribahan organ sensor (penglihatan dan pendengaran), dan perubahan sistem susunan saraf pusat. Kinerja fisik maksimum menurun kurang lebih 1,5% per tahun.
Sejumlah pengkajian telah memperlihatkan pola produktifitas dan kinerja pekerjaan yang cukup konsisten dengan bertambahnya umur. Pengkajian atas tenaga kerja terampil dan setengah terampil ternyata memperlihatkan kurva kinerja yang berbentuk huruf U terbalik, dimana kinerja memuncak pada akhir umur 30-an dan awal umur 40-an, dengan kemunduran kinerja sedikit demi sedikit pada umur 50-an dan 60-an. Pengkajian lain menunjukkan bahwa indeks mutu kinerja manusia memuncak pada umur 20-an dan memperlihatkan
(41)
penurunan yang besar mejelang umur 50 tahun, terdapat juga pengkajian yang menunjukkan bahwa pelatihan dan pengalaman merupakan faktor penentu sehingga pekerja dengan usia 50 sampai 60 dapat mempertahankan tingkat kinerja (WHO,1993 dalam Susiwi 2003).
2.6.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin menurut kamus bahasa indonesia adalah sifat (keadaan) laki-laki atau perempuan. Menurut Chaffin dan Anderson (Susiwi, 2003), rata-rata wanita mempunyai kekuatan otot 66% lebih kecil daripada laki-laki. Menurut Messite dan Welch 1982 (Headpohl dan Clever, 1994) mengemukakan perbedaan ini terlihat terutama pada tulang, pada lumbar spinalis wanita kemampuan untuk menahan antara 15-20% lebih rendah daripada laiki-laki. Kekuatan otot lebih optimal di usia 20 tahun pada wanita dan 30 tahun pada laki-laki.
Pada salah satu penelitian menyimpulkan adanya perbedaan kekuatan fisik pada perempuan yang hanya 65% dari kekuatan laki-laki. Secara umum kapasitas kerja perempuan rata-rata sedikit 30% lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan lebih sesuai dan lebih baik pada pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dan ketepatan (Susiwi, 2003).
2.6.3 Tingkat Pendidikan
Pengertian Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) yaitu proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di dalam
(42)
Undang-Undang Republik Indonesia pasal 1 Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sisdiknas, 2003, dalam Komalasari, 2014).
Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh sesorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Komalasari, 2015).
2.7 Konsep Sosial Kapital
Pemikiran mengenai capital social yang dibangun dari hasil studi empiris maupun kajian sosiologis dan ekonomis. Pemberdayaan kapital sosial tidak terlepas dari potensi sumber daya lokal yang meliputi aspek struktur dan kelembagaan lokal. Pembangunan sumber daya sosial sampai saat ini kurang memadai, yang terlihat dari lemahnya dukungan lingkungan kebijakan (policy environment) berupa regulasi (formal rules) dan dukungan politik pertanian (Najamudin, 2014).
Pengembangan kapital sosial sesungguhnya demikian penting, karena akan dapat berkontribusi dalam upaya pengembangan usaha dan sekaligus merupakan
(43)
pemberdayaan masyarakat lokal. Bahkan kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya kapital sosial yang bersifat non fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Pendapat itu tentunya kurang lengkap jika aspek kelembagaan, organisasi sosial, norma, kepercayaan maupun jaringan sosial tidak dianalisis secara detail dengan mengutarakan analisis mengenai peran masing-masing sumber kapital sosial itu. Bisa saja terjadi keragaman tingkat ketersediaan sumber sosial diantara individu, kelompok, atau dalam komunitas tertentu, yang didominasi oleh kontribusi jaringan kerja yang ada. Dengan demikian, peran jaringan kerja atau jaringan sosial yang tumbuh dalam komunitas lokal sangat mungkin memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakatnya (Najamudin, 2014).
Pada masyarakat yang berpotensi cepat maju umumnya mampu mengembangkan jaringan kepercayaan (mutual trust) yang relatif besar. Elemen modal sosial yang dinilai penting dalam masyarakat adalah: (1) penguatan budaya atau tata nilai. Masyarakat memiliki tata nilai yang mampu mengakomodasi masalah kekurangan pangan dan faktor kesulitan hidup lainnya. (2) kepercayaan (trust ). Kepercayaan tidak dilihat hanya sebagai masalah personalitas (psikologis) atau intrapersonal. Pada hasil penelitian dikemukakan terbentuknya rasa saling percaya adalah hasil interaksi yang melibatkan anggota masyarakat dalam suatu kelompok ketetanggaan, asosiasi tingkat dukuh, organisasi tingkat desa dan berkembangnya sistem jaringan sosial hingga melintasi desa, dan (3) manajemen sosial. Manajemen sosial dapat diidentifikasi melalui tingkat ketergantungan masyarakat desa contoh pada pusat pemeritahan (Pranadji, 2006).
(44)
Hasil penelitian menjabarkan bahwa penguatan sosial dapat dilakukan dengan mengembangkan skema-skema penguatan modal sosial, seperti peningkatan fungsi BPD, LKMD, Gapoktan, PKK, BUMDes, dan Koperasi. Penguatan sosial kapital dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga-lembaga sosial dengan memfokuskan pada penguatan aspek kepercayaan, mutual respect, dan mutual benefit, serta memperhatikan faktor budaya dan nilai-nilai yang berlaku. Kelembagaan yang ada dimasyarakat tersebut dipandang sebagai modal sosial. Partisipasi masyarakat dalam kelembagaan-kelembagaan tersebut termasuk tinggi. Setiap kelembagaan memiliki fungsinya masing-masing dan masyarakat diharapkan dapat mengidentifikasi dan memanfaatkannya (Cahyono, dan Adhiatma, 2012).
Nilai-nilai kepercayaan dalam masyarakat dapat dilihat dari frekuensi pertemuan yang cenderung rutin dalam kelembagaan setiap bulannya. Hal tersebut adalah bentuk kepercayaan diantara warga desa yang merupakan elemen modal sosial. Kemudian terdapat elemen dari modal sosial yaitu solidaritas antar warga. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan penulis mengenai rasa memiliki diantara anggota sehingga kerukunan dan persatuan warga meningkat yaitu dengan cara silaturahmi, bertukar pengalaman, kekompakan dan lainnya. Persaudaraan di desa contoh lebih banyak diwarnai nilai-nilai primordial atau askriptif. Kemudian nilai kepercayaan, solidaritas, jaringan kerjasama tersebut dijadikan modal dalam peningkatan fungsi yang lain, seperti peningkatan respek dan keuntungan bersama (Cahyono, dan Adhiatma, 2012).
(45)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain Penelitian menggunakan metode survai. Uji hipotesis menggunakan persamaan ordinal dengan model: (i) Memodelkan karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan (ii) Memodelkan profil industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan, (iii) Memodelkan tingkat pengetahuan pemilik industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan (iv) Memodelkan pengawasan terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Dengan model tersebut, maka akan dapat diketahui hubungan dan pengaruh antara karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil, profil industri kecil, tingkat pengetahuan dan pengawasan terhadap kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.
3.2. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai September 2015, mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan hasil penelitian. Adapun tempat lokasi penelitian dilakukan di Kota Metro.
(46)
3.3. Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut: Komputer, software Minitab versi.16, alat tulis, kuisioner (daftar pertanyaan) dan kamera.
3.4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif untuk dapat mengetahui hubungan dan pengaruh variabel yang diteliti dengan kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dengan cara pengambilan sampel dari suatu populasi menggunakan kuisioner. Data diperoleh melalui survei dengan wawancara langsung menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuisioner) serta melakukan observasi terhadap proses pengelolaan lingkungan.
3.4.1.Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan kepada para pelaku industri kecil untuk memperoleh informasi tentang profil industri kecil, pengawasan, tingkat pengetahuan dan karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil. Sedangkan untuk mengetahui tingkat kepatuhan pelaku dalam pengelolaan lingkungan menggunakan observasi langsung ketempat pengolahan limbah sisa produksi dengan melihat ketersediaan saranaprasarana pengolahan limbah serta proses pengolahan limbah yang dilakukan. Data penalitian sacara rinci disajikan pada Tabel 3.1 di bawah ini,
(47)
Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data Primer
Untuk mengukur variabel, maka dibuat definisi operasional pada setiap variabel yang dijadikan sebagai indikator agar mudah melakukan koding pada saat entry data. Indikator dari variabel penelitian disajikan pada Tabel 3.2
Data yang dikumpulkan Sumber Data
Profil UMKM
1. Jenis Usaha Industri Kecil (Kelompok Industri Pangan, dan Industri Kerajinan) 2. Ijin Usaha
3. Modal
4. Jumlah Karyawan 5. Lama Usaha Berdiri
Wawancara kepada pemilik Industri Kecil
Jenis Limbah
1. Padat 2. Cair 3. Gas
Wawancara kepada pemilik Industri Kecil
Karakteristik Sosial Demografis Pemilik Industri Kecil
1. Jenis kelamin 2. Usia
3. Pendidikan
Wawancara kepada pemilik Industri Kecil
Pengetahuan
1. Kurang 2. Cukup 3. Baik
Wawancara kepada pemilik Industri Kecil
Pengawasan
1. Pernah 2. Tidak Pernah
Wawancara kepada pemilik Industri Kecil
Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan
1. Tidak Patuh 2. Patuh 3. Sangat Patuh
(48)
Tabel 3.2. Definisi Operasional
Data penelitian yang akan diambil berdasarkan jenis dan sumber data sekunder disajikan Tabel 3.3 di bawah ini,
Data yang dikumpulkan Sumber Data
Profil UMKM
1. Jenis Usaha Industri Kecil (Kelompok Industri Pangan, dan Industri Kerajinan) 2. Ijin Usaha
3. Modal
4. Jumlah Karyawan 5. Lama Usaha Berdiri
Aneka Keripik : bila keripik pisang/ singkong, rengginang, kerupuk, emping.
Aneka Olahan Makanan selain keripik bila : tahu, tempe, roti, selai pisang, nata de coco.
Aneka Kerajinan bila : anyaman, batik, mebel.
Jenis Limbah
1. Padat 2. Cair 3. Gas
Padat : bila berbentuk padat
Cair : bila berbentuk cair
Gas : bila berbentuk gas
Karakteristik Sosial Demografis Pemilik Industri Kecil
1. Jenis kelamin 2. Umur
3. Pendidikan
Jenis kelamin : bila laki-laki/ perempuan
Umur : usia dalam tahun
Pendidikan : SD, SLTP, dan lbh dari SLTA
Pengetahuan
1. Kurang 2. Cukup 3. Baik
Kurang bila : nilai 0 - 24.99
Cukup bila : nilai 25 - 49.99
Baik bila : nilai 50-100
Pengawasan Pernah
Tidak Pernah
Pernah bila : lebih dari 1 kali dilakukan pengawasan
Tidak Pernah bila : tidak pernah dilakukan pengawasan
Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan
1. Tidak Patuh 2. Patuh 3. Sangat Patuh
Tidak Patuh bila : nilai 0-24.99
Patuh bila : nilai 25 – 49.99
(49)
Tabel 3.3. Jenis dan Sumber Data Sekunder
Data yang dikumpulkan Sumber
Jumlah dan Sebaran Industri Kecil Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM Kota Metro
Nama dan Alamat Industri Kecil Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM Kota Metro
Profil Industri Kecil (Jenis, Modal Usaha, Omzet dan Jumlah Karyawan Industri Kecil)
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kota Metro
Kajian tentang Kepatuhan Studi pustaka
Kajian tentang Pengawasan Studi pustaka
Kajian tentang Pengetahuan Studi pustaka
Kajian tentang Pencemaran Studi pustaka
Kajian tentang Pengelolaan Lingkungan Studi pustaka
Peraturan Perundangan tentang Pengelolaan Lingkungan
Studi pustaka
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
a) Persiapan : pengumpulan data sekunder mengenai jumlah dan alamat Industri Kecil
b) Melakukan survei ke lokasi industri kecil untuk memperoleh data primer dengan variabel yang telah ditentukan dengan pengelolaan lingkungan di lima kecamatan wilayah Kota Metro.
c) Melakukan analisis menggunakan software minitab versi.16
3.4.2. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis industri kecil baik Industri Pangan, dan Industri Kerajinan yang tersebar di lima kecamatan Wilayah Kota Metro. Adapun jumlah total populasi sebesar 1.176 perusahaan kategori industri mikro dan kecil, kemudian populasi dibagi ke dalam kelompok kewilayahan untuk memilih wakil tiap-tiap kelompok. Adapun kelompok kewilayahan dibagi
(50)
ke dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Metro Pusat, Kecamatan Metro Barat, Kecamatan Metro Timur, Kecamatan Metro Utara, dan Kecamatan Metro Selatan.
b. Sampel Penelitian
Teknik sampling yang digunakan menggunakan teknik probabiliti sampling. Probabiliti sampling adalah teknik sampling dimana setiap anggota populasi memiliki peluang sama dipilih menjadi sampel. Dengan kata lain, semua anggota tunggal dari populasi memiliki peluang tidak nol. Ada bermacam-macam metode probabiliti sampling dengan turunan dan variasi masing-masing, namun paling populer adalah Sampling Rumpun (Cluster Sampling). Populasi dibagi ke dalam kelompok kewilayahan kemudian memilih wakil tiap-tiap kelompok. Dengan menggunakan teknik klaster ini, lebih dapat menghemat biaya dan tenaga dalam menemui responden yang menjadi subjek atau objek penelitian. Teknik ini melibatkan pengambilan acak (dikocok) dari suatu populasi (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah semua industri kecil baik kelompok industri pangan, maupun industri kerajinan sebesar 1.176, jumlah sebaran populasi industri kecil disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014
Sumber : Dinas Koperasi, 2014 Kecamatan
Bidang Usaha
TK
Industri Menengah Skala Usaha Perdagangan Perindustrian Jasa Investasi
(Rp/000)
Omset/Bulan (Rp/000)
MI K M
Metro Selatan
510 79 137 1287 21.363.100 10.379.945 647 75 5 Metro Barat 1068 159 417 3585 266.480.500 186.367.700 1170 360 114 Metro Timur 1138 245 401 3580 64.881.500 39.557.700 1535 246 3 Metro Pusat 1969 298 411 5437 48.020.700 67.921.000 2331 307 40 Metro Utara 796 395 231 3331 67.445.200 119.832.420 1301 112 9 METRO 5481 1176 1597 17220 468.191.000 424.058.765 6984 1100 171
(51)
Sampel dalam penelitian ini adalah usaha dengan skala mikro dan kecil se-Kota Metro yang tersebar pada 5 kecamatan dan 22 kelurahan pada bidang usaha perindustrian dengan jumlah sebesar 1176 usaha mikro dan kecil. Sampel yang akan dijadikan sebagai subyek penelitian ditentukan secara random dan dihitung dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2000) yaitu sebagai berikut:
n
Keterangan
n : jumlah responden
N : jumlah total industri mikro dan kecil yang menjadi sampel
e : presisi 10%
n
n
n
n=
94Dari perhitungan rumus di atas jumlah sampel dari kelima kecamatan didapatkan sebesar 94 industri mikro dan kecil. Kemudian di hitung sampel pada masing-masing kecamatan dengan rumus di bawah ini:
n
Keterangan
n : Jumlah sampel yang akan diambil pada setiap kecamatan N : Jumlah total populasi pada lima kecamatan
Ni : Jumlah populasi pada kecamatan ke (i) ni : Jumlah sampel pada lima kecamatan
Setelah dihitung jumlah sampel setiap kecamatan menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel setiap kecamatan disajikan pada Tabel 3.5
(52)
Tabel 3.5. Jumlah Sampel pada Tiap Kecamatan di Kota Metro
No Kecamatan Jumlah Populasi Jumlah Sampel
1 Metro Selatan 79 8
2 Metro Barat 159 13
3 Metro Timur 245 19
4 Metro Pusat 298 24
5 Metro Utara 395 30
Total 1.176 94
Sumber : hasil perhitungan
Adapun peta wilayah pada lima kecamatan yaitu Kecamatan Metro Selatan, Kecamatan Metro Barat, Kecamatan Metro Timur, Kecamatan Metro Pusat dan Kecamatan Metro Utara terlampir. Dan data identitas pemilik usaha industri kecil terlampir
3.4.3. Variabel Penelitian A. Variabel Penelitian
Secara generik model dapat dimaknai sebagai representasi dari realitas. Sementara itu, pengaruh suatu kepatuhan atau ketidak patuhan dalam pengelolaan lingkungan secara teoritis tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja, melainkan bisa disebabkan oleh faktor yang jamak sifatnya. Faktor-faktor tersebut bisa mulai dari faktor yang sifatnya personal, kondisi sosial, ataupun kondisi lingkungan. Untuk menguji faktor apa saja yang mempengaruhi suatu kepatuhan atau ketidakpatuhan sekaligus untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing faktor tersebut, para ahli matematika telah mengembangkan model Ordinal Logistic Regresi.
(53)
Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode statistika untuk menganalisis variabel terikat yang mempunyai skala ordinal yang terdiri atas tiga kategori atau lebih. Variabel bebas yang dapat disertakan dalam model dapat berupa data kategori atau kontinu yang terdiri atas dua variabel atau lebih (Yulianto, 2013). Variabel penelitian ini meliputi variabel penjelas dan variabel respon. Lebih lanjut akan diuraikan dalam bagian berikut.
B. Variabel Respon
Variabel respon dalam penelitian ini adalah kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Variabel respon sering juga disebut variabel terikat, sesuai dengan tujuan penelitian ini maka variable respon (Y) dalam penelitian ini adalah kepatuhan yang dikategorikan dalam tiga kategori yaitu sangat patuh, patuh dan tidak patuh. Jika pemilik industri kecil yang ke i memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang baik, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang memadai, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi tepat guna maka dikategorikan sangat patuh.
Jika memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang cukup, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang cukup, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi sederhana maka dikategorikan patuh. Dan jika tidak memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan, tidak tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan, tidak adanya proses pengolahan limbah. Selanjutnya tingkat kepatuhan dikategorikan berdasarkan skor disajikan pada Tabel 3.6
(54)
Tabel. 3.6. Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan
Tingkat Kepatuhan
Indikator Nilai
Y= 2 (Sangat Patuh)
Memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang baik, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang memadai, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi tepat guna
50 s/d 100
Y= 1 (Patuh)
Jika memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang cukup, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang cukup, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi sederhana
25 s/d 49.99
Y= 0 (Tidak Patuh)
Jika tidak memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan, tidak tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan, tidak adanya proses pengolahan limbah
0 s/d 24.99
Sumber : Penelitian Basri (2014) yang telah dimodifikasi
Pada model regresi logistik ordinal jika industri kecil yang ke i dikategorikan sebagai industri kecil yang sangat patuh maka Yi =2, jika dikategorikan industri kecil patuh maka Yi =1, jika dikategorikan industri kecil tidak patuh maka Yi =0. Dalam penelitian ini kepatuhan suatu industri kecil disebut sebagai variabel respon (apakah sangat patuh, patuh atau tidak patuh) karena status itu dipengaruhi oleh faktor intra (dirinya) maupun faktor eksternal seperti, profil industri kecil, jenis limbah, karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil, serta pengetahuan dan pengawasan, faktor-faktor ini dikenal sebagai variabel penjelas atau variabel penduga bagi terjadinya atau penyebab suatu industri kecil akan sangat patuh, patuh atau tidak patuh.
(55)
C. Variabel Penjelas
Pada penelitian ini variabel penjelas merupakan variabel yang sangat penting untuk diselidiki terhadap pengaruh atau dampaknya pada tingkat kepatuhan industri kecil dalam pengelolaan lingkungan adalah dikelompokkan ke dalam profil industri kecil (izin usaha, modal, omzet, lama usaha, jumlah karyawan, jenis usaha, dan jenis limbah) , karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil (umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan) dan variabel pendukung lain adalah tingkat pengetahuan dan pengawasan.
Ketiga kelompok variabel ini secara generik dapat menjelaskan suatu industri kecil akan sangat patuh, patuh atau tidak patuh dalam pengelolaan lingkungan. Dalam kehidupan nyata hampir tidak ada suatu kejadian yang disebabkan oleh penyebab dengan faktor tunggal, adapun secara rinci faktor-faktor tersebut beserta pemecahan kedalam beberapa subvariabel penjelasnya, pemberian simbol dalam model dan pemberian skornya disajikan Tabel 3.7
(56)
Tabel 3.7. Subvariabel Penjelas, Simbol dalam Model dan Pemberian Skor Variabel Penyebab Subvariabel Penyebab Simbolisasi dalam Model
Pemberian Skor Nilai dan Satuannya
(A) (B) (C) (D)
Karakteristik Sosial Demografis Pemilik Industri Mikro dan Kecil (X1) 1) Umur 2) Jenis kelamin 3) Pendidikan
SD
SLTP
> SLTA
[UMR] [JK] [PDK] [D1_PDK_SD] [D1_PDK_SLTP] [D1_PDK_>SLTA] Tahun
=1 Jika Pria; =0 Jika Lainnya
=0 Jika SD; =0 Jika Lainnya =1 Jika SLTP; =0 Jika Lainnya
=1 Jika >SLTA; =0 Jika Lainnya
Profil Industri Kecil (X2)
4) Ijin Usaha [IU] =1 Jika ada; =0 Jika Tidak
5) Modal [MDL] Rp
6) Omzet [OMZET] Rp
7) Lama Usaha [LMU] Tahun 8) Jumlah
Karyawan
[KARY] Jiwa
9) Jenis Industri Mikro Kecil
[JIMK]
Aneka Keripik
[D2_ JIMK_AKRP] =0 Jika Aneka Keripik; =0 Jika Lainnya
Aneka Olahan Makanan
[D2_ JIMK_AOM] =1 Jika Aneka Olahan Makanan Selain Keripik; =0 Jika Lainnya
Aneka Kerajinan
[D2_ JIMK_AKRJN] =1 Jika Aneka Kerajinan; =0 Jika Lainnya
Jenis Limbah
(X3)
10)Jenis Limbah
Padat Cair Gas [JL] [D3_JL_PDT] [D3_JL_CAIR] [D3_JL_GAS]
=0 Jika Limbah Padat; =0 Jika Lainnya
=1 Jika Limbah Cair; =0 Jika Lainnya
=1 Jika Limbah Gas; =0 Jika Lainnya Pengetahuan (X4) 11)Tingkat Pengetahuan Kurang Cukup Baik [D4_KRG] [D4_CKP] [D4_BAIK]
=0 Jika Kurang; =0 Jika Lainnya
=1 Jika Cukup; =0 Jika Lainnya
=1 Jika Baik; =0 Jika Lainnya
Pengawasan (X5)
12)Pengawasan [PWS] =1 Jika Pernah; =0 Jika Lainnya
(1)
2.4. Konsep Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 28
2.5. Teori Kepatuhan ... 30
2.5.1. Konsep Kepatuhan ... 30
2.5.2. Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 34
2.6. Karakteristik Sosial Demografi ... 34
2.6.1. Usia ... 35
2.6.2. Jenis Kelamin ... 36
2.6.3. Tingkat Pendidikan ... 36
2.7. Konsep Sosial Kapital ... 37
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ...………... 40
3.2. Waktu dan Tempat ... 40
3.3. Bahan dan Alat ... 41
3.4. Metode Penelitian ... 41
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data ... 41
3.4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 44
3.4.3. Variabel Penelitian ... 47
3.4.4. Analisis Data ... 52
3.4.5. Uji Hipotesis ... 52
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kota Metro ………….…... 53
4.1.1. Sejarah Kota Metro ... 53
4.1.2. Kondisi Geografis ... 54
4.1.3. Pendidikan ... 55
4.1.4. Pertanian ... 56
4.1.5. Pariwisata ... 56
4.1.6. Industri Perdagangan dan Jasa ... 56
4.1.7. Pertanian dan Perikanan ... 58
(2)
4.1.9. Kependudukan ... 60
4.1.10. Transportasi ... 63
4.1.11. Rencana Tata Ruang Wilayah ... 63
4.2. Hasil Penelitian ... 67
4.2.1. Statistik Deskriptif Karakteristik Sosial Demografi Pemilik Industri ... 67 4.2.2. Statistik Deskriptif Profil Industri Kecil, Pengetahuan dan Pengawasan ... 69 4.2.3. Statistik Deskriptif Tingkat Kepatuhan Pelaku Industri Kecil ... 75 4.3. Pembahasan ... 77
4.3.1. Pengaruh Karakteristik Sosial Demografi terhadap Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 79 4.3.2. Pengaruh Profil Industri Kecil Terhadap Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 86 4.3.3. Pengaruh Pengetahuan Pemilik Industri Kecil terhadap Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 98 4.3.4. Pengaruh Pengawasan terhadap Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 101 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 103
5.2. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ...
(3)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014 ...
13
2.2. Baku Mutu Air Limbah Pengolahan Kedelai ... 28
3.1. Jenis dan Sumber Data Primer ... 42
3.2. Definisi Operasional ... 43
3.3. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 44
3.4. Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014 ... 45 3.5. Jumlah Sampel pada Tiap Kecamatan di Kota Metro ... 47
3.6. Tingkat Kepuasan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 49
3.7. Subvariabel Penjelas, Simbol dalam Model dan Pemberian Skor ... 51 4.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio di Kota Metro Tahun 2010-2013 ... 61 4.2. Rencana Struktur Ruang Kota Metro ... 66 4.3. Hasil Optimasi Parameter Model Pengaruh Karakteristik
Sosial Demografi, Profil Industri, Tingkat Pengetahuan dan Pengawasan terhadap Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan
(4)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro, Lampung pada tanggal 15 Februari 1980, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Suhendro dan Ibu Esti Purnami. Penulis lulus Sekolah Dasar di SD I Rejomulyo pada Tahun 1992, lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 3 Metro pada tahun 1995, lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan di SPK Depkes Metro pada tahun 1998, kemudian lulus dari Diploma III Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 2001, kemudian melanjutkan SI Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 2003. Setelah selesai kuliah penulis pernah bekerja di Universitas Malahayati Bandar Lampung, Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran Jakarta, Konsultan pada Program P2DTK, dan saat ini bekerja di Bidang Sosial Budaya Bappeda Kota Metro. Penulis pada tahun 2013 terdaftar sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Megister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung.
(5)
SANWACANA
Alhamdulilah, segala puji hanya milik allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, keberkahan dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Model Tingkat Kepatuhan Dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis Karakteristik Sosial Demografi Pemilik Usaha Industri Kecil Di Kota Metro sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini selesai. Penghargaan ini khusus penulis tujuan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., selaku pembimbing utama atas kesediaanya untuk memberikan waktu, bimbingan, bantuan dan sarana dalam menyelesaikan tesis ini
2. Bapak Dr. Erdi Suroso, S.T.P, M.T.A., selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan saran dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku pembahas atas kesediaanya memberikan saran dan masukannya.
4. Kedua Orang Tuaku atas do’a, perhatian dan kasih sayangnya. 5. Suami tercinta dan anak-anakku tersayang
6. Bapak dan Ibu dosen program Studi Magister Ilmu Lingkungan.
7. Bapak dan Ibu Kabid dan Kasubid Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi Bappeda Kota Metro.
8. Rekan-rekan kerja di Bappeda Kota Metro terutama bidang Sosial Budaya dan Bidang Ekonomi
(6)
9. Sahabat-sahabat MIL 2015.
10. Pihak-pihak yang telah membantu penulis selama menyusun tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan untuk semua kebaikannya, dan besar harapan saya tesis ini dapat memberikan tambahan wawasan dan bermanfaat untuk kita semua, Amiin.
Bandar Lampung, 18 Oktober 2015