Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S PKI (1965 1998)

(1)

i

POLITIK PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ETNIS

TIONGHOA DI KUDUS PASCA G. 30 S/PKI (1965-1998)

SKRIPSI

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah pada Universitas Negeri Semarang

Oleh : Vita Vinia Ardisari

NIM 3101401004

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN SEJARAH


(2)

ii

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan di sidang ujian skripsi pada :

Hari :

Tanggal :

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Wasino, M.Hum Drs. Suharso, M.Pd

NIP. 131813678 NIP. 131691527

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M. Hum


(3)

iii Sosial Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Penguji Skripsi

Drs. Jayusman, M.Hum NIP. 131764053

Anggota I Anggota II

Dr. Wasino, M.Hum . Drs. Suharso, M.Pd

NIP. 131813678 NIP. 131691527

Mengetahui, Dekan,

Drs. Sunardi, M.M. NIP. 130367998


(4)

iv

sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2005

Vita Vinia Ardisari NIM 3101401004


(5)

v

Hadapi hidup ini selalu dengan senyum, walaupun yang kau dapati, sangatlah berbeda dengan anganmu

Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan (Soe Hok Gie)

Skripsi ini dengan penuh keikhlasan kupersembahkan kepada :

Bapak Ashadi tercinta, Ibu Aminah Tersayang serta Gegek adikku satu-satunya yang selalu mendukungku. Dan bagi semua yang mau mengerti Vita dalam segala hal.


(6)

vi

memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mecapai gelar Sarjana Pendidikan Sejarah di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis memperoleh bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. H. Ari Tri Soegito, SH, M.M selaku Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan penulis menimba ilmu dengan segala kebijakannya.

2. Drs. Sunardi, M.M selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang dengan kebijaksanaannya penulis bisa menyelesaikan skripsi dan studi dengan baik.

3. Drs. Jayusman, M.Hum selaku Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah mendorong dan mengarahkan penulis selama menempuh studi..

4. Dr. Wasino, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran dan perhatian dalam memberikan bimbingan dan pengarahan.

5. Drs. Suharso, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang penuh kemudahan dalam memberikan bimbingan dan pengarahan.

6. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu yang tidak dapat ternilai harganya selama belajar di Jurusan Sejarah.


(7)

vii

terima kasih atas bantuan dan kebersamaan kalian.

9. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran diharapkan dari pembaca untuk perbaikan penulisan yang akan datang.

Semarang, Pebruari 2005

Penulis


(8)

viii Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 170 h.

Kata Kunci : Etnis Tionghoa, Politik Orde Baru, Kab. Kudus

Etnis Tionghoa di Kudus merupakan salah satu dari kebanyakan Etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing. Hubungan Etnis Tionghoa di Kudus dengan penduduk Pribumi sempat terganggu pada tahun 1918. Kerusuhan antar Etnis terjadi karena adanya persaingan usaha antara Etnis Tionghoa (Pendatang) dengan santri (Pribumi). Pertikaian ini menyisakan kepedihan yang mendalam diantara keduanya. Hingga kedua Etnis yang berselisih mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Terbukti sampai sekarang konflik terbuka tidak terjadi lagi, tetapi kerikil-kerikil itu masih ada.

Pada masa Kolonial, Etnis Tionghoa di perlakukan secara khusus oleh penguasa pada waktu itu. Kebijakan yang dilakukan terhadap Etnis Tionghoa cenderung mendiskreditkan golongan ini. Diantara kebijakan tersebut antara lain penetapan golongan Etnis Tionghoa sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) bersama dengan orang India, Arab, dan Melayu. Peraturan berikutnya adalah

Wijkenstelsel (pemusatan pemukiman Etnis Tionghoa), passenstelsel (kartu perjalanan), politierol (peradilan polisi) dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim.

Pasca Kemerdekaan, pemerintah Indonesia dibawah Soekarno memberlakukan kebijakan terhadap Etnis Tionghoa. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain PP No. 10 tentang larangan berdagang eceran di pedesaan, penerapan sistem ekonomi Benteng Ali-Baba, pendirian sekolah berbahasa pengantar Tionghoa yang kemudian ditutup kembali, serta pengakuan atas 6 Agama resmi di Indonesia.

Penelitian ini mengkaji tentang politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus, tepatnya Pasca G 30. S/PKI atau pemerintahan dibawah Soeharto. Yang ingin diungkap dari penelitian ini adalah bagaimana reaksi Etnis Tionghoa terhadap politik pemerintah Indonesia, terutama kepada kebijakan-kebijakan dibidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di bidang politik pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan politik Asimilasionis, kebijakan tersebut ditopang dengan didirikannya Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) Etnis Tionghoa mengapresiasikan kegiatan politiknya hampir ke semua Partai politik yang ada. Dibidang ekonomi pemerintah Soeharto menerapkan sistem “Cukongisme” sistem ini mengadopsi sistem Benteng Ali-Baba, dengan diadakannya kerjasama penduduk pribumi sebagai pemilik ijin dan Etnis Tionghoa sebagai pemilik modal. Kebijakan inilah yang nantinya menimbulkan pro dan kontra diantara Etnis Tionghoa sendiri. Di bidang sosial budaya (Cultural) pemerintah Soeharto mengambil kebijakan dengan melarang aktivitas agama secara berlebihan serta menutup Sekolah


(9)

ix

Tionghoa dalam menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia. Politik pemerintah Indonesia mempunyai pengaruh yang bagus namun ada pula yang buruk, dengan demikian dapat dijelaskan mengenai implikasi dari adanya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi deskripsi lain mengenai Etnis Tionghoa di Kudus. Reaksi dan pendapat Etnis Tionghoa atas politik pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, dan sosial budaya dapat dijadikan rangsangan bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih cermat lagi.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan Historiografi, sehingga nantinya bisa menghasilan karya yang bisa di konsumsi untuk menambah ilmu tentang politik Indonesia khususnya tahun 1965-1998.

Penelitian memperoleh hasil bahwa Etnis Tionghoa di Kudus bukanlah kelompok minoritas yang homogen dilihat dari segi ekonomi, politik, dan budaya. Pemerintah Orde Baru telah mengambil kebijakan yang bersifat Asimilasionis, bukan Integrasionis terhadap para Etnis Tionghoa di Kudus. Kebijakan di bidang Ekonomi dilakukan dengan menerapkan sistem cukong , menyebabkan gejolak di masyarakat karena munculnya Konglomerat-konglomerat baru. Di bidang kebudayaan pemerintah Orde Baru membelenggu pelaksanaan ibadah Etnis Tionghoa yaitu dengan melarang perayaan hari besar keagamaan secara besar-besaran, serta dilarang merenovasi dan memperbaiki tempat ibadah (Klenteng).

Usaha keras kearah pembauran sudah diambil baik oleh pemerintah maupun masyarakat, melibatkan baik tokoh pribumi maupun non Pribumi. Harus diakui bahwa proses pembauran belum berhasil sepenuhnya dicapai. Hal ini dirasakan oleh Etnis Tionghoa, prestasi paling buruk dalam proses pembauran ini justru terjadi pada bidang yang sangat vital, yakni ekonomi yang pada saat-saat tertentu turut memancing munculnya berbagai kerusuhan yang merugikan semua pihak. Belum tuntasnya pembauran ini disebabkan oleh banyak faktor: historis, politik, ekonomis, kultural.


(10)

x

Persetujuan Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Pernyataan ... iv

Motto Dan Persembahan ... vi

Sari ... viii

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Lampiran………. . xiv

Daftar Singkatan……… ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah... 1

1.2.Pemasalahan... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Manfaat Penelitian ... 7

1.5.Ruang Lingkup Penelitian... 8

1.6.Telaah Pustaka ... 8

1.7Metode Penelitian ... 16

1.7.Sistematika Penulisan Skripsi ... 25

BAB II PERSEBARAN ETNIS TIONGHOA DI KUDUS………… 27


(11)

xi

2.1.4 Mata Pencaharian……… ... 32

2.1.4.1Petani dan buruh………... 32

2.1.4.2Perdagangan……… ... 35

2.1.4.3 Industri Rokok………... 35

2.1.4.4Industri Batik………... 38

2.2 Etnis Tionghoa di Kudus... 42

2.2.1 Kepercayaan Etnis Tionghoa di Kudus………... 43

2.2.2 Pemukiman Etnis Tionghoa……… .... 45

2.2.3 Mata Pencaharian………. 46

2.2.3.1Pedagang……… ... 46

2.2.3.2Industri Rokok………... 46

2.2.3.3Industri Batik………... 48

BAB III PERKEMBANGAN ETNIS TIONGHOA PERANAKAN MASA ORDELAMA 3.1 Perbedaan Antara Etnis Tionghoa Peranakan Dengan Etnis Tionghoa Totok di Kudus... 49

3.1.1 Perbedaan Dalam Kegiatan Ekonomi……….. ... 49

3.1.1.1Peranakan……… ... 49


(12)

xii

3.1.1.2.2 Sesudah 1965……. ... 52

3.1.2 Perbedaan Dalam Kehidupan Keluarga (sistem kekerabatan) ... 53.

3.1.2.1Peranakan. ... 53

3.1.2.1.1 Sebelum 1965……... 53

3.1.2.1.2 Sesudah 1965…….. ... 54

3.1.2.2Totok.. ... 55

3.1.2.2.1 Sebelum 1965……... 55

3.1.2.2.2 Sesudah 1965……… ... 56

3.1.3 Perbedaan Dalam Bidang Pendidikan……... 57

3.1.3.1Peranakan…. ... 57

3.1.3.1.1 Sebelum 1965……... 57

3.1.3.1.2 Sesudah 1965…….. ... 58

3.1.3.2Totok………. ... 58

3.1.3.2.1 Sebelum 1965………... 58

3.1.3.2.2 Sesudah 1965…….. ... 59

3.1.4 Perbedaan Dalam Haluan Politik……. ... 59

3.1.4.1Peranakan…….. ... 59

3.1.4.1.1 Sebelum 1965……... 59


(13)

xiii

3.1.5 Perbedaan Dalam Agama dan Kepercayaan……. ... 63

3.1.5.1Peranakan……. ... 63

3.1.5.1.1 Sebelum 1965………... 63

3.1.5.1.2 Sesudah 1965……….. ... 64

3.1.5.2Totok……. ... 64

3.1.5.2.1 Sebelum 1965……... 64

3.1.5.2.2 Sesudah 1965………. ... 65

3.2Sikap dan Perilaku Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus... 66

3.3Kehidupan Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus…….. ... 67

3.3.1 Kaum Peranakan dari Generasi Sesudah Perang dan Kehidupannya….. ... 67

BAB IV POLITIK PEMERINTAHAN INDONESIA TERHADAP ETNIS TIONGHOA DI KUDUS MASA DEMOKRASI TERPIMPIN……... 69

4.1Etnis Tionghoa di Kudus Masa Demokrasi Terpimpin ... 71

4.2Kehidupan Politik Etnis Tionghoa di Kudus ... 76

4.3PP No. 10 (Laranganm Berdagang di Pedesaan) ... 76

4.4Kehidupan Ekonomi Etnis Tionghoa di Kudus…………. .. 79

4.5Kehidupan Sosial Budaya Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus 80 4.6Konghuchuisme……… ... 81


(14)

xiv

5.2 Kampanye Anti Etnis Tionghoa……... 85

5.3 Politik Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa…... 88

5.3.1 Dibidang Ekonomi……… 88

5.3.2 Dibidang Sosial dan Budaya……… 92

5.3.3 Dibidang Politik……… 99

BAB VI REAKSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP POLITIK PEMERINTAH INDONESIA………. ... 101

6.1 Reaksi Etnis Tionghoa terhadap Politik Pemerintah Indonesia Pada Masa Peralihan dari Soekarno ke Soeharto ……... 101

6.2 Dibidang Ekonomi ... 104

6.3 Dibidang Sosial Budaya... 110

6.4 Dibidang Politik ... 117

BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan………… ... 121

DAFTAR PUSTAKA... 128


(15)

xv

1. Surat Penelitian Ke Bupati Kudus………... 132

2. Surat Ijin Penelitian Ke BPS……… 133

3. Surat Rekomendasi Research/Survey……….. 134

4. Peta Kabupaten Kudus………. 135

5. Susunan pengurus Cabang Baperki Kudus……….. 136

6. Riwayat Klenteng Hok Tik Bio………. 137

7. Susunan Pengurus Klenteng Hok Tik Bio………. 138

8. PP no 10 1959 Tentang Larangan Berdagang Di Pedesaan 139 9. PP no 6 Th 1965 Tentang Penempatan Perusahaan Asing di Indonesia………. 145

10.UU no 6 Th 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri 148 11.Biodata Eduardus Irianto………. 157

12.Biodata Hongko Santoso……….. 158

13.Biodata Himawan………. 159

14.Biodata Liong Kuo Tjun………... 160

15.Biodata Antonius Agus Sugianto……….. 161

16.Biodata Iwan Permana Raharja……….. 162

17.Biodata Agus Budianto……….. 163


(16)

xvi

Bakom PKB : Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa Baperki : Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia BBM : Bahan Bakar Minyak

BPS : Badan Pusat Statistik BTI : Barisan Tani Indonesia

CSIS : Centre For Strategic And Internasional Studies DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

Gerwani : Gerakan Wanita Indonesia Gestapu : Gerakan September Tiga Puluh GOR : Gedung Olah Raga

G 30 S/PKI : Gerakan Tiga Puluh September PKI KAMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KKN : Korupsi Kolusi Nepotisme

KOTI : Komando Tertinggi Lekra : Lembaga Kesenian Rakyat

LPKB : Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat Nasakom : Nasionalis Agama Komunis NU : Nahdlatul Ulama


(17)

xvii PKI : Partai Komunis Indonesia

PMKRI : Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia PPP : Partai Persatuan Pembagunan

PSI : Partai Sosialis Indonesia PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia RRC : Republik Rakyat Cina

RRT : Republik Rakyat Tiongkok SARA : Suku Agama Ras

SBKRI : Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia SCUT : Staf Chusus Urusan Tionghoa

SNPC : Sekolah Nasional Proyek Chusus TNI : Tentara Nasional Indonesia

VOC : Verenigde Oos Indishce Compagni WNI : Warga Negara Indonesia


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sejarah kedatangan Etnis Tionghoa di Indonesia telah dilakukan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Kedatangan mereka dimaksudkan untuk melakukan hubungan dagang (hubungan yang didasarkan atas kegiatan dan kepentingan ekonomi), meskipun juga terjalin hubungan politik seperti dengan pengiriman utusan-utusan. Diketahui pula jauh sebelumnya, kerajaan Khubilai Khan didalam upaya memperluas daerah kekuasaannya memaksa raja Kertanegara untuk mengakui atau takluk dibawah kekuasaannya. Dikatakan setelah melewati konflik kedua kerajaan itu mulai ramailah hubungan diantara kedua bangsa itu. Hubungan ekonomi yang dijalin merambat kepada hubungan kebudayaan sehingga lahirlah budaya-budaya yang dianggap milik bangsa Indonesia yang merupakan hasil asimilasi dan akulturasi kedua kebudayaan tersebut (Yudohusodo 1985:55-56).

Awal kedatangan pedagang-pedagang pada akhirnya melekat atau identik dengan sosok Etnis Tionghoa. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sejarah mereka yang berambisi memperbaiki taraf hidup mereka, dibanding ketika masih tinggal di negeri Tiongkok. Kekuatan di bidang perdagangan dan ekonomi yang semakin kuat dikalangan Etnis Tionghoa didorong peristiwa geger pecinan di Batavia pada tahun 1750. Sejak tragedi tersebut mereka


(19)

menjauhi politik dan berkonsentrasi ke Ekonomi (Tjuk Sukardi Staf Pengajar FE Unair dalam Arie Muhammad 2004:2).

Pada masa penjajahan Belanda, keberadaan orang-orang Tionghoa sebagai pedagang dimanfaatkan oleh pemerintahan Belanda, yang dalam hal ini VOC, demi kepentingannya orang-orang Tionghoa dimanfaatkan sebagai jembatan untuk menjual kekayaan Indonesia sendiri. Penempatan orang-orang Tionghoa sebagai masayarakat pedagang ditunjang dengan pemberian fasilitas sebagai masyarakat kelas dua, lambat laun menimbulkan friksi diantara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat pribumi karena dengan kebijakan pemerintah VOC ini pada akhirnya memperlemah bisnis pribumi. Kecurigaan pribumi terhadap Etnis Tionghoa ini akhirnya melahirkan pergolakan anti Tionghoa pada tahun 1913 yang terjadi di seluruh pantai utara Jawa dan Solo dan peristiwa pembantaian Tionghoa di Kota Kudus tahun 1918 (Jousiri Hasbullah dalam tulisannya di Kompas, tentang Kapok jadi Nonpri, pada tanggal 23 juni 1998).

Pasca kemerdekaan friksi antara Etnis Tionghoa dengan pribumi kembali memuncak ketika pemerintahan presiden Soekarno (yang didukung oleh PKI) dalam kebijakan luar negerinya berporos ke Peking yang tentunya menguntungkan mereka dan ini adalah sikap yang wajar mengingat Tiongkok adalah tanah leluhur mereka, kondisi ini pada akhirnya mambawa kerugian bagi Etnis Tionghoa. Ketika peristiwa yang menjadi puncak atau anti klimak dari hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi, yaitu meletusnya peristiwa G 30. S/PKI yang dilanjutkan dengan turunnya Presiden Soekarno


(20)

sejak itu orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia diisolasikan dari

kegiatan politik (Zein 2000:4; Skinner dalam Tan 1981:22). Kebijakan pemerintah Indonesia masa Soekarno pada mulanya yaitu

Undang-Undang Kewarganegaraan yang dilandaskan pada azaz Ius soli dan “sistem pasif.” Undang-undang itu menyebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal Indonesia sehingga Mayoritas Etnis Tionghoa yang tingga di Jawa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia. Adanya undang-undang ini ternyata tidak disambut baik oleh Etnis Tionghoa terbukti berdasarkan data dari departemen kehakiman pada tahun 1950, 50 % Etnis Tionghoa Kudus masih berkewarganegaraan asing (Suryadinata 1985:117).

Berdasarkan jumlah prosentase tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada berbagai alasan mengapa Etnis Tinghoa lebih memilih menjadi WNA. Pertama, sebagai Warga Negara Asing yang dalam hal ini lebih mengarah kepada Warga Negara RRC maka secara hukum mereka akan selalu dijaga dan dilindungi oleh pemerintah RRC walaupun sudah berada di luar wilayah negaranya. Kedua, dipandang dari sudut ekonomi mereka akan lebih mudah menjalin hubungan dagang dengan penduduk Etnis Tionghoa khususnya bagi yang sering bepergian ke luar negeri.

Pada tahun 1955 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan diadakan oleh RRC dan Indonesia. Perjanjian tersebut berisi : (1) memberikan bukti bahwa orang tua mereka di Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun. (2) menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan


(21)

Tionghoa (3) mereka harus menaati peraturan undang-undang di Indonesia agar menjadi warga negara Indonesia.(4) orang Tionghoa kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiam dan lahir di Indonesia boleh mengajukan diri untuk menjadi warga negara Indonesia apabila telah berumur 18 tahun (5) seseorang yang berumur lebih dari 18 tahun orang tuanya tidak lahir di Indonesia orang tersebut harus mengajukan permohonan naturalisasi (Suryadinata 1986:115-117).

Kebijakan ekonomi masa Soekarno yaitu dengan memperkecil kekuatan ekonomi kaum Tionghoa lokal dalam rangka membentuk perekonomian nasional yang kuat. Kebijakan ini dimaksudkan agar memberikan kesempatan yang luas kepada penduduk pribumi sebagai pengusaha yang akan datang. Dengan demikian pemerintah memperhatikan warga negaranya.

Pada masa Demokrasi liberal (1949-1958) pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyudutkan Etnis Tionghoa yaitu dengan membuat peraturan dibidang import dan sedikit demi sedikit meluas dibidang perekonomian lainnya, sampai akhirnya orang pribumi dapat memegang sepenuhnya kendali perekonomian Indonesia.

Pada masa Demokrasi terpimpin (1959-1965) pemerintah Indonesia memaksa berlakunya peraturan dengan menggunakan jalan kekerasan sehingga panglima militer setempat mengeluarkan peraturan bahwa orang Tionghoa tidak boleh tinggal di pedesaan, peraturan ini kemudian dikenal sebagai PP no. 10 dari Sistem Benteng. Sehingga hubungan antara orang


(22)

Indonesia asli dengan Etnis Tionghoa menjadi menegang (Suryadinata 2002:90).

Pada masa pemerintahan Orde Baru penguasa mencoba untuk meng-Indonesia-kan mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat semu dan tindakan yang timbul dari Etnis Tionghoa sendiri, seperti penghilangan bahasa dan huruf Tionghoa, mengganti nama, melakukan perkawinan campuran dan ganti agama yang sebetulnya bukanlah penyelesaian dari akar permasalahan. Konflik-konflik masih tetap saja terjadi, sebetulnya apabila kita sadari penghilangan bahasa dan huruf merupakan tindakan diskriminasi pemerintah, namun kebijakan diambil karena dianggap yang terbaik pada saat itu. Kecuali tindakan yang muncul dari orang Tionghoa itu sendiri karena hal itu menyangkut keyakinannya (Ari Muhammad 2004:2).

Di Kudus proses asimilasi budaya yang sudah terjalin ratusan tahun rupanya masih tidak berhasil menghilangkan kecurigaan-kecurigaan diantara pribumi kepada Etnis Tionghoa. Begitupun sebaliknya Etnis Tionghoa kepada pribumi. Jumlah Etnis suku dan agama yang heterogen disadari akan menjadi ancaman keutuhan suatu bangsa, oleh karena itu menjadi dasar pemikiran penguasa bahwa sesuatu yang berbau suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) harus dijauhkan dari pikiran masayarakat Indonesia. Over protective terhadap SARA yang diberikan negara yang dalam hal ini penguasa, yang pada akhirnya justru membahayakan kita sendiri.

Adanya anggapan Etnis Tionghoa yang salah dari sebagaian masyarakat pribumi (Khususnya Kudus) masih terjadi sampai sekarang ini.


(23)

Etnis Tionghoa digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki jiwa nasionalis. Mereka kadang melupakan, ketika mereka melihat saudara kita yang beretnis Tionghoa itu berjuang membela nama bangsa pada suatu event olah raga. Lewat sejarah kita dapat mengetahui tokoh-tokoh Etnis Tionghoa yang membela bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, masa lahirnya Orde Baru, dan lain-lain. Sebagian masyarakat Kota Kudus menganggap Etnis Tionghoa adalah kumpulan orang-orang kaya yang tidak mau bermasyarakat, tukang kolusi, korupsi dan berbagai atribut negatif lainnya. Komunis menganggap sebagian Etnis Tionghoa lokal berorientasi pada Tionghoa mereka mengecam sikap kebanyakan Etnis Tionghoa yang “melarikan diri” waktu terjadi konflik rasial (Yahya 1991:97).

Persepsi mereka tentang keamanan nasional Indonesia berbeda dari orang Indonesia yang anti komunis. Oleh karena itu politik pemerintahan Indonesia terhadap Etnis Tionghoa dipengaruhi oleh persepsi elite yang berkuasa pada periode khusus tertentu, terhadap kaum minoritas dan juga yang lainnya persepsi mereka tentang prioritas negara Indonesia untuk meletakkan peranan Tionghoa Kudus pada perspektif yang benar, marilah kita teliti Politik Pemerintahan Indonesia Terhadap Tionghoa Di Kudus Sejak 1965 sampai dengan 1998.


(24)

1.2Permasalahan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang sejarah munculnya pemukiman Etnis

Tionghoa di Kudus?

2. Bagaimana Perkembangan Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus tahun 1965-1998?

3. Bagaimana politik Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa di Kudus?

4. Mengapa Pemerintah Indonesia selalu mencurigai Etnis Tionghoa? 5. Bagaimana Tanggapan atau Reaksi Etnis Tionghoa terhadap politik

Pemerintah tersebut? 1.3Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah munculnya pemukiman Etnis Tionghoa di Kudus?

2. Untuk mengetahui perkembangan Etnis Tionghoa peranakan di Kudus tahun 1965-1998?

3. Untuk mengetahui politik Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa di Kudus?

4. Untuk mengetahui mengapa pemerintah Indonesia selalu mencurigai Etnis Tionghoa?

5. Untuk Mengetahui Tanggapan atau Reaksi Etnis Tionghoa terhadap politik Pemerintah tersebut?


(25)

1.4Manfaat penelitian

Penelitian tentang adanya sesuatu politik pemerintahan di Indonesia terhadap Etnis Tionghoa ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bisa memperoleh gambaran tentang bagaimana politik pemerintah Indonesia pasca G 30 S/PKI.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan kajian sejarah lokal khususnya dan sejarah nasional pada umumnya.

3. Menambah pengetahuan bagi para mahasiswa di jurusan sejarah khususnya dan di Jurusan lain pada umumnya.

4. Bermanfaat untuk penelitian yang lebih luas dan lebih mendalam, sehingga memperkaya khasanah kesejarahan nasional.

1.5Ruang lingkup penelitian

Agar dapat memahami permasalahan dalam penelitian ini, maka perlu adanaya pembatasan ruang lingkup sejarah lokal. Menurut I Gde Widja (1988:4) sejarah lokal adalah suatu bentuk tulisan dalam lingkup terbatas meliputi lokalitas tertentu.

Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah daerah Kudus dengan maksud agar mempermudah dan mempersempit daerah penelitian dimana di kota Kudus ini masih banyak orang-orang Tionghoa yang masih bermukim disitu. Untuk ruang waktunya yaitu 1965-1998 dimana pada tahun 1965 terjadi peristiwa yang mengguncang sejarah Indonesia yaitu G 30. S/PKI yang banyak melibatkan Etnis Tionghoa, sehingga membawa perubahan kebijakan


(26)

pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Karena Etnis Tionghoa terbagi menjadi dua yaitu Totok dan peranakan, penulis hanya akan meneliti Etnis Tionghoa dari golongan peranakan.

1.6Telaah Pustaka

Dimata sebagian besar pemimpin pribumi, orang Tionghoa di Indonesia membentuk sebuah kelompok eksklusif yang tidak hanya menguasai perekonomian Indonesia, tetapi juga mempunyai hubungan dengan Tionghoa. Dengan demikian kesetiaan mereka lebih tertuju kepada Tionghoa (khususnya RRC) dari pada ke Indonesia. Sebagian besar pemimpin berpendapat bahwa pada masa lampau orang Tionghoa melayani kepentingan para penguasa kolonial (Belanda dan Jepang) dan karenanya tidak dapat dipercaya (Suryadinata 1985:190-191) .

Karena ketidakpercayaan dan iri hati kaum pribumi kepada Etnis Tionghoa, politik dalam negeri Indonesia selalu berupaya mengurangi apa yang yang dianggap sebagai kekuatan ekonomis, politis, dan budaya para Tionghoa lokal. Misalnya dibidang ekonomi, Sistem Benteng (1950) memberikan perlakuan istemewa kepada para importir Tionghoa, prioritas pemberian izin diberikan kepada usaha-usaha baru yang dimiliki oleh orang Indonesia pribumi (1954, 1956); Investor asing diharuskan bekerjasama dengan perusahaan lokal yang pemegang sahamnya sebagian besar pribumi (1974); serta kredit tertentu yang dicadangkan khusus bagi pengusaha pribumi (1975).


(27)

Selain mengurangi kekuatan ekonomi golongan Tionghoa, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa kebijaksanaan mereka adalah untuk menyerap kaum minoritas Tionghoa kedalam masyarakat Indonesia. Beberapa kebijaksanaan memang benar-benar ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut. Misalnya persyaratan bahwa warga negara Indonesia harus menerima pendidikan Indonesia (1957), larangan bagi para pedagang eceran asing untuk berdagang di daerah pedesaan (1959), peraturan pengubahan nama bagi orang Indonesia bukan asli (1961, 1967), pemudahan proses naturalisasi (1969), ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa (1966), berdirinya sekolah-sekolah SNPC (1969), dan akhirnya ditutupnya sekolah-sekolah tersebut (1975), semuanya menunjukan tindakan resmi yang diambil oleh berbagai pemerintahan Indonesia untuk mengasimilasi orang Tionghoa lokal kedalam masyarakat pribumi.

Di pihak lain, peraturan dan pratek yang menyimpang dari garis itu juga ada. Misalnya, digunakanannya kembali secara resmi istilah yang bernada menghina yaitu Tionghoa, menyinggung perasaan banyak orang etnik Tionghoa serta mengakibatkan mereka merasa terasing. Tingginya biaya yang dikenakan untuk mengurus proses naturalisasi juga mempersulit orang Tionghoa yang ingin menjadi warga negara Indonesia. Kebijaksanaan menggolongkan kembali orang Indonesia kedalam pribumi dan nonpribumi. Bagi yang terlibat dalam kegiatan ekonomi serta kebijaksanaan yang hanya memihak pribumi saja, berakibat makin menghambat asimilasi. Disamping itu, pengakuan akan agama minoritas Tionghoa dan pemberian izin untuk


(28)

menjalankan adat istiadat Etnis Tionghoa cenderung mengekalkan keterpisahan orang Tionghoa. (Tetapi perlu dicatat disini bahwa pengakuan tersebut memang sesuai dengan asas pancasila yang memberikan kebebasan beragama kepada warga negara Indonesia).

Kebijaksanaan dan pratek yang kontradiktif tersebut merupakan akibat dari pertentangan antara persepsi kaum pribumi mengenai minoritas Tionghoa disuatu pihak dan situasi dalam negeri yang kompleks pada pihak lain. Contoh yang paling menyolok mengenai konflik ini dapat dilihat pada besarnya persentase orang asing Tionghoa di Indonesia. Pemerintah tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap mereka; apakah akan mempertahankan status quo, atau mengundang mereka untuk menjadi warga negara Indonesia. Persepsi pribumi mengenai minoritas Tionghoa jelas ada pengaruhnya terhadap kekurangtegasan mengenai masalah itu. Para pemimpin Indonesia sadar bahwa apabila orang Tionghoa tersebut menjadi warga negara RRC, maka Peking memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi mereka, tetapi hak dan kewajiban tersebut hilang apabila mereka menjadi warga negara Indonesia. Walaupun begitu para pemimpin pribumi khawatir mereka tidak mampu menerima dan mengasimilasikan begitu banyak penduduk asing kedalam masyarakat pribumi. Kekhawatiran lainnya yaitu jika keberadaan orang asing hanya akan mendatangkan bahaya bagi keamanan nasional Indonesia (Suryadinata 1985:3-6).

Disamping masalah persepsi, kenyataan ekonomis dan politis sering memaksa kaum elite Indonesia untuk merumuskan kebijaksanaan yang tidak


(29)

sepenuhnya taat asas dengan tujuan yang dicanangkan. Keadaan nyata kondisi perekonomian Indonesia telah membuat kebijaksaan yang jelas dan tegas menjadi tak mungkin dilakukan. Karena pentingnya orang Tionghoa bagi sektor perekonomian Indonesia, para pemegang kekuasaan Indonesia terpaksa menoleransi kekuasaan ekonomi Etnis Tionghoa. Penggunaan modal dari orang Etnis Tionghoa tersebut untuk mencapai pemantapan baik ekonomi maupun polilitis. Para pengusaha Tionghoa sadar akan posisi mereka sulit dinegara ini, dan mereka telah bekerja sama dengan para pengusaha pribumi pemegang izin perdagangan jauh sebelum munculnya Orde Baru. Setelah kup tahun 1965 pemegang pemerintahan bekerja sama dengan beberapa pengusaha Tionghoa, baik untuk maksud-maksud pribadi, ekonomi, maupun politis, dan hal itu membawa akibat adanya apa yang disebut sistem cukong. Ironisnya, kerjasama itu lebih memperkuat posisi ekonomi Etnis Tionghoa, atau sekurang-kurangnya mmpertahankan kedudukan mereka dalam bidang ekonomi.

Kenyataan bahwa kaum elite Pribumi menganggap bangsa Indonesia terdiri dari unsur-unsur “pribumi” ditambah dengan pemahaman bahwa golongan Tionghoa pada dasarnya monolitis, sering menyebabkan mereka kurang melihat masalah Tionghoa pada perpektif yang benar. Walau beberapa orang Indonesia yang berfikir melalui jalur hukum menghimbau agar ditarik garis perbedaan yang jelas antara warga negara Indonesia dengan orang asing, pemisahan tersebut kurang berhasil karena salah pengertian telah berlangsung beberapa lama dan situasi politik dan ekonomi begitu kompleks.


(30)

Praktek-praktek yang dilakukan pejabat pemerintah dibeberapa kota yang menuntut agar warga negara keturunan Tionghoa mempunyai kartu penduduk khusus demi keamanan, serta menggolongkan kembali para wiraswastawan kedalam yang pribumi dan nonpribumi, telah memaksakan terjadinya dikotomi antara orang Indonesia dan Etnis Tionghoa. Tidak heran jika pemerintah Indonesia masih belum memiliki konsep penyelesaian bagi masalah-masalah Etnis Tionghoa. Sebuah surat kabar di Jakarta Kompas mengamati bahwa pemerintahan hanya memberikan reaksi terhadap situasi-situasi individual dan menagani masalah Tionghoa dengan cara ad hoc karena tidak ada program yang terencana.

Persepsi pribumi terhadap minoritas Tionghoa kurang banyak perubahannya dibandingkan dengan persepsi Etnis Tionghoa lokal tentang Indonesia dan bangsa Indonesia. Perubahan dipihak Etnis Tionghoa terutama disebabkan oleh kuatnya nasionalisme dengan selama jangka waktu lebih dari setangah abad. Itu mengakibatkan para penentu kebijaksanaan Indonesia menganut kebijaksanaan pengawasan dan asimilasi Etnis Tionghoa sedangkan kemajemukan budaya menjadi tidak popular. Walaupun demikian pelaksanaan kebijaksanaan itu sulit dilaksanaan karena kompleknya struktur politik Indonesia, kekuatan internasional yang berada diluar kemampuan Indonesia pun jadi masalah.

Menurut Walker Connor yang dikutip oleh Suryadinata (1985:206) Etnis Tionghoa memandang bahwa Indonesia adalah tanah airnya karena mereka lahir dan besar di Indonesia. Mereka berpandangan pemerintah terlalu over


(31)

akting dalam mengambil kebijakan mengenai masalah Tionghoa. Munculnya jurang ekonomi yang terlalu dalam antara Etnis Tionghoa dengan pribumi membuat gesekan-gesekan yang dilandasi oleh kecemburuan ekonomi selalu terjadi.

1.6.1 Politik Pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Sebelum G 30 S/PKI

Pemerintah Soekarno sebelum tahun 1950 membuat kebijakan positif buat orang Tionghoa mengenai status kewarganegaraan mereka, yaitu dengan

“sistem Pasif” menyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga secara otomatis masyarakat Tionghoa di Kudus menjadi warga negara Indonesia walaupun mereka tetap pasif dalam artian tidak melakukan apapun untuk mereaksi adanya undang-undang tersebut (Suryadinata 1987:116).

Kebijaksanaan mengenai status kewarganegaraan ini ternyata tidak disambut baik oleh para Etnis Tionghoa di Kudus, terbukti dengan adanya catatan di Departemen Kehakiman Indonesia pada awal tahun 1950-an bahwa etnis Tionghoa lokal yang masuk menjadi warga negara Indonesia tidak lebih dari 50 % (Suryadinata 1985:116-117).

Dengan kebijakan positif yang dibuat oleh Soekarno itu masyarakat Tionghoa merasa diperhatikan oleh pemerintah RI walaupun mereka sebenarnya bingung menentukan pilihan antara menjadi warga negara Indonesia atau menjadi warga negara asing. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial Belanda masih kuat sehingga


(32)

ajakan pemerintah RI masih terkatung-katung dalam benak mereka untuk memilih Indonesia atau yang lain.

Kebijakan negatif juga pernah dikeluarkan pada masa pemerintahan Soekarno yaitu dengan dikeluarkannya PP No. 10 tahun 1959 yang berisi larangan terhadap Etnis Tionghoa untuk melakukan perdagangan didaerah pedesaan. Hal ini menyebabkan banyaknya protes dikalangan Etnis Tionghoa di daerah Kudus, bahkan mereka banyak yang mengisyaratkan akan memilih mati dari pada hidup tetapi dilarang berdagang (Setiono 2002:791).

1.6.2 Politik Pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Sesudah G 30 S/PKI

Pada Masa peralihan antara Soekarno ke Soeharto mengenai persoalan Tionghoa, pada tanggal 21 oktober 1965 Soekarno menginstruksikan kepada rapat komando operasi tertinggi (KOTI) untuk menyingkirkan jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan. Sehingga dengan masa peralihan tersebut dampak positifnya bagi Etnis Tionghoa yaitu Etnis Tionghoa merasa nyaman tinggal di Indonesia serta tidak akan terjadi suasana permusuhan antara Etnis Tionghoa dengan pemerintah Soekarno (Coppel 1994:129).

Pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan kepada Masyarakat Tionghoa untuk melakukan investasi yang sebesar-besarnya (cukong) dibawah perlindungan pemerintah. Pemerintah secara konsisten membela kebijakan untuk menyambut baik modal asing sehingga perekonomian Tionghoa menjadi melonjak (Coppel 1994:291). Hal ini membuat bergairahnya


(33)

kehidupan perekonomian di Kudus yang berdampak pada banyak berdirinya perusahaan-perusahaan di Kudus yang dijalankan oleh Etnis Tionghoa, terutama dalam bidang industri rokok.

Kebijakan Luar negeri Pemerintah Orde Baru tentu saja jauh berubah dari konfrontasi terhadap imperialisme, neokolonialisme sehingga dengan kebijakan-kebijakan tersebut, pengusaha-pengusaha Tionghoa yang bersekutu dengan modal Barat dari Jepang dimana kebijakan tersebut menuntut orang Tionghoa harus bersifat mendamaikan (Coppel 1994:292).

Kebijakan negatif yang dilakukan pemerintah pasca G 30. S/PKI terhadap Etnis Tionghoa ditandai dengan adanya gerakan anti Tionghoa (kekerasan terhadap Tionghoa). Gerakan ini menyebabkan timbulnya strategi LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) adalah untuk menimbulkan gambar Baperki sebagai kelompok ras ekslusif yang oleh penduduk Indonesia dianggap mewakili golongan WNI keturunan Tionghoa. Sehingga dampak negatif bagi Etnis Tionghoa yaitu dengan Baperki orang Indonesia tidak pada umumnya cenderung memandang setiap WNI keturunan Tionghoa sebagai hal yang kurang mendukung PKI. Kebijakan ini membuat adanya pembunuhan besar-besaran terhadap orang komunis sehingga berakibat terjadinya gangguan administratif yang mengarah pada penaikan uang, tidak adanya perlindungan (terutama bagi pemilik toko) serta terjadi tuntutan-tuntutan mengenai pembatasan ekonomi sampai pengusiran massal terhadap Etnis Tionghoa (Coppel 1994:122).


(34)

1.7Metode penelitian

Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah (Historical Method). Metode tersebut adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk 1983:32). Sedangkan menurut Gorrgan, metode sejarah mempunyai pengertian sebagai berikut :

Suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membentuk dan secara efektif akan mengkaji sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan suatu hasil sintesa (pada umumnya dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang dicapai (Wiyono 1990:2)

Dan menurut Nugroho Notosusanto yang dimaksud metode penelitian sejarah adalah :

Prosedur dari sejarah untuk melukiskan kisah masa lampau itu ternyata terjadi (1) mencari jejak-jejak masa lampau (2) meneliti jejak-jejak secara kritis (3) berdasarkan informasi yang diberikan oleh jejak-jejak itu berusaha membayangkan bagaimana imajinasi ilmiah (Nugroho Notosusanto 1971:72).

Menurut Gottschalk (1975:32) ada empat langkah kegiatan dalam prosedur penelitian sejarah, yaitu :

1. Heuristik (mencari sumber)

Yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau yang berupa keterangan-keterangan, kejadian, benda peninggalan masa lampau dan


(35)

bahan tulisan. Dalam pengumpulan data ini dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :

a. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara mencari dan membaca buku-buku dan literatur yang relevan dengan tema penelitian. Literatur-literatur tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan diantaranya adalah perpustakaan-perpustakaan jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang, perpustakaan pusat Universitas Negeri Semarang, dan perpustakaan wilayah propinsi Jawa Tengah, Museum Pers Nasional, Perpustakaan UGM, Arsip Nasional RI Jakarta.

Studi pustaka ini berupa buku-buku yang akan menunjang dalam penyusunan skripsi ini yang ada kaitannya dengan tema yang dibahas. Sumber dokumen dari penelitian ini diambil dari klenteng Hok Tik Bio berupa riwayat klenteng HOK TIK BIO dan daftar Etnis Tionghoa di Kudus yang bersembahyang di Klenteng Hok Tik Bio, dan klenteng klenteng lainnya, statistik kabupaten Kudus yang berasal dari (Badan Pusat Statistik) BPS, Berita Antara 11 Juli 1946, 11 Juli 1947, 8 Agustus 1947, 20 Agustus 1947, 26 April 1954, 26 Juli 1954, 26 Januari 1955, dan 15 Mei 1960.

b. Studi Lapangan Untuk Observasi

Yang dimaksud dengan studi lapangan yaitu suatu cara melalui pengamatan langsung untuk menghimpun jejak sejarah terhadap lokasi atau objek studi dalam penelitian ini. Dengan teknik ini penulis secara


(36)

langsung melihat keadaan, suasana, dan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di Kudus. Dalam penelitian ini yang diobservasi antara lain tentang keberadaan Etnis Tionghoa di Kudus, perkembangan agamanya, dan kehidupan Etnis Tionghoa di Kudus.

c. Wawancara

(1)Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap informan, agar yang akan diwawancarai mau menjawab dengan lancar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis dapat menggali dan memperoleh informasi yang disajikan informan serta mampu membedakan informasi yang sesungguhnya dan informasi yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh-tokoh Etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru.

Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, maka perlu mempersiapkan beberapa hal teknis, yaitu :


(37)

2)Menghubungi informan yang akan diwawancarai. 3)Pengaturan waktu, hari, dan tempat wawancara. 4)Persiapan-persiapan lain yang diperlukan. 2. Kritik Sumber

Kritik sumber adalah usaha kegiatan untuk mendapatkan data yang tingkat kebenarannya atau kredibilitas paling tinggi dengan melalui seleksi data yang telah terkumpul. Kritik sumber ini dibedakan kritik ekstern dan kritik intern.

a. Kritik Ekstern, yaitu yang bertujuan untuk menguji otensitas, asli tidaknya sumber yang dipakai.

Caranya dengan kompilasi atau membandingkan antara buku dengan dokumen yang diperoleh, sumber yang dipakai dari buku yang bersangkutan saling diperbandingkan juga. Tidak semua jawaban ditulis karena tidak lulus seleksi. Hal ini wajar karena tiap pribadi mempunyai sudut pandang yang berbeda. Dalam penelitian ini penulis telah melakukan kritik ekstern yaitu penilaian terhadap buku-buku referensi dan pemilihan informan untuk melakukan teknik wawancara tentang keberadaan Etnis Tionghoa di kawasan Kudus. Dalam melakukan kritik ekstern terhadap sumber-sumber tertulis dengan cara menilai apakah sumber-sumber yang penulis peroleh merupakan sumber yang sesuai dengan permasalahan yang penulis kaji atau tidak. Buku yang digunakan adalah buku yang berjudul Pribumi Indonesians,


(38)

the Chinese Minority and China (A Study of Perception and Policies) karya Leo Suryadinata yang diterbitkan oleh Heinamann Asia Singapore dalam buku ini dibahas megenai sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia dan reaksi Etnis Tionghoa lokal terhadap kebijakan pemerintah dari masa kolonial sampai Orde Baru. Sebagai buku kedua yaitu Tionghoa Dalam Pusaran Politik karangan Benny G. Setiono yang diterbitkan oleh Elkasa Jakarta, buku ini berisi mengenai kehidupan Etnis Tionghoa dari masa pra sejarah sampai era Orde Baru dan reaksi masyarakat Etnis Tionghoa terhadap politik pemerintah Indonesia, sedangkan buku ke tiga yaitu Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi karangan Affan Gaffar yang diterbitkan oleh Pustaka pelajar Yogyakarta yang berisi mengenai kharakteristik dan politik Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru.

(1)Pada tahap pemilihan informan, penulis melakukan kritik ekstern dengan cara mendatangi calon informan kemudian menafsirkan apakah calon informan tersebut dapat memberikan keterangan tentang pertanyaan yang penulis ajukan atau tidak. Informan yang dijadikan sumber lisan adalah tokoh Etnis Tionghoa dan beberapa orang yang mengetahui tentang keberadaan Etnis Tionghoa di Kudus. Hasil dari kritik ekstern ini, penulis menggunakan 7 informan.


(39)

b. Kritik Intern. Yaitu kritik yang menilai sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan. Sumber-sumber itu berupa buku-buku kepustakaan guna melihat isinya relevan dengan permasalahan yang dikaji serta bisa dipercaya kebenarannya.

Pada tahap kritik intern untuk mengkritisi hasil wawancara, yaitu dengan membandingkan isi data yang penulis peroleh di lapangan berupa hasil wawancara dari para informan yang satu dengan informan yang lain. Pembandingan jawaban tersebut bertujuan untuk mempermudah penulis dalam mengambil satu kesimpulan mengenai keterangan yang diberikan oleh para informan tersebut akan kebenaran jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Hal ini dilakukan karena ingin memperoleh jawaban dengan nilai pembuktian dari isi atau data sumber tersebut masih relevan atau tidak.

Hasil dari kritik intern, penulis menemukan bahwa kedua buku referensi yang penulis gunakan lebih menekankan bahwa politik pemerintah Indonesia kebanyakan merugikan dan cenderung bersikap anti Tionghoa, dan satu buku tentang kharakteristik pemerintah Orde Baru serta politiknya terhadap Etnis Tionghoa. Isi-isi dari buku-buku tersebut dapat dipercaya karena di dalam penulisannya sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu, tidak terlalu mengada-ada. Jadi informasi yang terdapat pada buku-buku tersebut masih relevan dan dapat dipercaya isinya.


(40)

Hasil dari kritik intern untuk metode wawancara ini, penulis menemukan bahwa keterangan yang diberikan informan itu relevan dengan permasalahan yang dikaji.

3. Interpretasi

Interpretasi merupakan usaha untuk mewujudkan rangkaian data-data yang mepunyai kesesuaian satu sama lain dan bermakna (Widja, 1989:23). Interpretasi ini dilakukan untuk menentukan makna yang saling berhubungan antara data yang telah diperoleh, seperti yang dikemukakan I Gde Widja tersebut. Pada tahap ini data yang diperoleh di seleksi, dimana penulis menentukan data mana yang harus ditinggalkan dalam penulisan sejarah dan dipilih mana yang relevan. Fakta-fakta sejarah yang telah melalui tahap kritik sumber dihubungkan atau saling dikaitkan sehingga pada akhirnya akan menjadi suatu rangkaian yang bermakna.

4. Historiografi

Tahap ini terakhir dari metode sejarah, dimana penulis sudah menyusun ide-ide tentang hubungan satu fakta dengan fakta yang lain melalui kegiatan interpretasi maka langkah akhir dari penelitian adalah penulisan atau menyusun cerita sejarah. Bentuk dari cerita sejarah ini akan ditulis secara kronologi dengan topik yang jelas sehingga akan mudah untuk dimengerti dan dengan tujuan agar pembaca dapat mudah memahaminya. Hasil dari penelitian yang diteliti secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang


(41)

berlaku tanpa mengurangi daya tarik untuk membaca yang kemudian dibukukan.

1.8Sistematika Skripsi

Bab I Pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka (landasan teori), metode penelitian, sistematika skripsi.

Bab II bab ini menjelaskan tentang sebaran Etnis Tionghoa di kota Kudus Bab III bab ini penulis akan menjelaskan perkembangan Etnis Tionghoa

peranakan masa Orde Lama.

Bab IV bab ini menjelaskan mengenai politik pemerintah Indonesia terhadap Tionghoa masa Demokrasi Terpimpin

Bab V bab ini merupakan inti pembahasan akan memaparkan politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa pasca G 30. S/PKI. Bab VI bab ini menjelaskan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap politik

pemerintah Indonesia

Bab VII Berupa kesimpulan dari apa yang telah dibahas dalam bagian – bagian yang sebelumnya


(42)

BAB II

PERSEBARAN ETNIS TIONGHOA DI KUDUS

2.1Gambaran Umum Kabupaten Kudus 2.1.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Kudus sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah, terletak diantara 4 (empat) kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110º36 dan 110º50’ Bujur Timur dan antara 6º51 dan 7º16 Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 22 km.

Adapun daerah-daerah yang membatasi Kudus adalah sebagai berikut : ™ Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jepara dengan jarak sekitar 35

Km.

™ Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati dengan jarak sekitar 24 Km.

™ Sebelah utara berbatasan dengan Gunung Muria dengan jarak sekitar 17 km.

™ Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak dengan jarak sekitar 25 km.


(43)

Kudus terletak diatas tanah datar kurang dari 50 meter diatas permukaan laut. Dibagian selatan masih banyak tanah berawa-rawa dan 18 km ke utara terletak Gunung Muria dengan ketinggian 1602 m (Castles 1982:74). Adapun luas daerah kabupaten Kudus adalah 40.114.608 ha, yang terdiri atas tanah pekarangan, ladang/tegalan, sawah irigasi, dan sawah tadah hujan (BPS Kudus).

Sebagian besar sawah di Kudus merupakan sawah tadah hujan, sehingga apabila musim kemarau agak panjang maka akan terlihat tanah-tanah gersang yang tidak ditanami. Tanaman yang ditanam di daerah Kudus pada umumnya adalah padi, jagung, ketela, tebu, dan palawija. Walaupun Kudus sebagai salah satu tempat berdiri dan berkembangnya industri rokok, perkebunan tembakau tidak dapat dijumpai di sana karana tanah di Kudus tidak cocok untuk budidaya tanaman tersebut. Tanaman untuk pembuat rokok didatangkan dari daerah lain seperti Madura, Bojonegoro, Temanggung, dan weleri (Onghokham 1987:166). Kudus terdiri dari 9 Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Kaliwungu 2. Kecamatan Kota 3. Kecamatan Jati 4. Kecamatan Undaan 5. Kecamatan Mejobo 6. Kecamatan Jekulo 7. Kecamatan Bae 8. Kecamatan Gebog


(44)

9. Kecamatan Dawe

2.1.2 Kependudukan

Pemerintahan kolonial Belanda melaksanakan sensus pertama di Kabupaten Kudus dengan jumlah penduduk pada tahun 1861 berkisar 90.000 jiwa. Hanya sebagian kecil yang tinggal di daerah perkotaan, yang lainnya banyak bermukim didaerah pedesaan. Hal ini bisa dilihat dari data yang ada sekitar 14.000 jiwa tinggal didaerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang cepat terjadi di daerah ini, tercatat pada sensus kedua tahun 1915 jumlah penduduk Kabupaten Kudus berjumlah 278.000 jiwa. Sedangkan pada tahun 1930 penduduk Kudus berjumlah 280.294 jiwa. Lalu berdasarkan hasil sensus tahun 1961, diketahui jumlah penduduk Kabupaten Kudus Berjumlah 373.598 jiwa (Castles 1982:172). Berdasarkan data dari BPS Kudus (sensus penduduk) pada tahun 1971 penduduk Kudus berjumlah 461.256 jiwa serta pada tahun 1998 berjumlah 695.602 jiwa.

Sebagai daerah yang agraris kondisi masyarakat Kudus tidak pernah lekat dari kebudayaan Jawa, disamping itu komponen masyarakat Kudus yang monoton menyebabkan etnik kultural yang ada tidak terlalu pluralistik. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini salah satunya adalah karena Kudus bukanlah kota pelabuhan dan perniagaan seperti Semarang. Secara administratif pemerintah Hindia Belanda pada abad XX membagi masyarakat Kudus berdasarkan kedudukan hukum dan ekonomi kedalam tiga golongan yaitu golongan Eropa, Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan India), dan India. Di


(45)

Kudus sendiri tidak banyak orang asing (bangsa Eropa) yang berdomisili (Castles 1982:73). Berbeda dengan bangsa Eropa, justru orang asing timur jauh seperti Tionghoa dan Arab banyak yang bermukim di Kudus.

Pada masa Orde Baru keadaan penduduk yang bertambah pesat terdapat di daerah perkotaan, seperempat penduduk Kudus berada di perkotaan. Pemerintah kemudian menggalakkan program KB (keluarga Berencana) untuk menekan pertambahan penduduk yang sangat cepat. Program KB terbukti dapat menurunkan laju pertambahan penduduk. Dari tabel dibawah ini dapat dilihat laju pertambahan penduduk sepuluh tahun terakhir sebelum tahun 1998.

NO TAHUN

JUMLAH PENDUDUK 1. 1989 603.953 2. 1990 609.604 3. 1991 615.315 4. 1992 620.725 5. 1993 626.555 6. 1994 634.980 7. 1995 641.622 8. 1996 651.611 9. 1997 689.743 10. 1998 695.602 Sumber : BPS Kudus.


(46)

Kepadatan penduduk yang semakin berambh banyak menyisakan banyak masalah terutama di bidang ketenagakerjaan. Indrustri yang ada di Kudus ikut membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan. Tidak sedikit pula masyarakat Kudus yang mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah.

2.1.3 Kepercayaan Masyarakat

Agama utama masyarakat Kudus adalah Agama Islam dimana sebagian besar masyarakatnya memeluk agama tersebut. Penyebaran Agama Islam di Kudus dilakukan oleh Wali Songo, Kudus dijadikan penyebaran agama Islam zaman kesultanan demak. Daerah ini dahulu bernama “loram” (Salam 1962:55), namun pada waktu Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Jafar Sodik atau yang dikenal sebagai sunan Kudus kemudian menganti daerah ini dengan nama Kudus. Dalam penyebaran agama Islam Sunan Kudus dikenal sebagai seorang sunan yang fundamental dan ortodok jika dibandingkan dengan sunan-sunan yang ada di Wali Songo (Castles 1982:76). Sebagai contoh beliau melarang penduduk Loram untuk menyembelih hewan sapi, hal ini digunakan untuk menghormati pemeluk agama lain dan menghargai para mualaf yang baru masuk Islam. Padahal makan daging sapi tidak diharamkan oleh agama Islam. Nampaknya larangan tersebut masih dipatuhi sampai hari ini (Salam 1962:6).

Ajaran dan petunjuk yang diberikan oleh Sunan Kudus tanpaknya sedikit banyak mempengaruhi sifat masyarakat muslim


(47)

Kudus terhadap Agama lain. Walaupun muslim di Kudus menganggap bahwa orang non-muslim adalah kafir, bukan berarti agama lain yang tidak dihormati disana. Hal ini terbukti dengan didirikannya rumah tempat peribatan Etnis Tionghoa atau klenteng di Kudus barat yang merupakan tempat tinggal mayoritas masyarakat santri di Kudus. Namun di sisi lain adanya anggapan bahwa Pemerintah Hindia Belanda yang beragama Kristen sekarang kita sebut “tidak perlu dihormati, sehingga kalaupun mereka memberikan sumbangan bentuk pendanaan mereka menolak karena tidak patut menerima : uang haram” itu dari pemerintah (Hugronje 1982:24).

Islam di Kudus dapat dikatakan sangat kuat, tetapi tidak seluruhnya orang–orang Kudus fanatik terhadap ajaran agama Islam. Dapat dikatakan bahwa di Kudus polarisasi pembagian wilayah berdasarkan tingkat keagamaan penduduknya. Kudus Barat merupakan wilayah bagi Islam santri sedangkan Kudus Timur adalah wilayah bagi orang Islam abangan, Tionghoa dan Eropa. Walaupun begitu mayoritas penduduk di daerah ini memutuskan diri mereka berada di pihak garis santri sementara itu banyak kyai di Kudus yang mempunyai kesaktian (Castles 1982:102-103).

Pada masa Orde Baru kegiatan keagaman di Kudus berjalan dengan damai. Pemerintah bahkan turut campur dalam masalah ini, dengan dalih menjaga keamanan (stabilitas) dan kesatuan bangsa. Pemerintah melarang segala bentuk perayaan keagamaan secara


(48)

besar-besaran kecuali dilakukan oleh Agama Islam. Kebijakan pemerintah dibidang kepercayaan pun membuat pnganut aliran kepercayaan tidak leluasa menjalankannya. Kong Hu Chu tidak diakui sebagai Agama resmi pemerintah Indonesia, hal ini membuat agama ini tidak mengalami perkembangan yang pesat.

2.1.4 Mata Pencaharian 2.1.4.1Petani dan Buruh

Kira-kira 98% orang Jawa pada masa kolonial termasuk rakyat jelata. Hampir 90% dari mereka tinggal di desa sebagai petani. Orang desa mempunyai kedudukan rendah walaupun mereka mempunyai sebuah rumah dan kebun pada Zaman kolonial Belanda. Namun yang paling rendah dalam tingkatan rakyat desa adalah orang yang tidak mempunyai rumah atau kebun. Mereka membangun gubug di pekarangan salah seorang tetangganya atau kerabatnya dan biasanya bekerja sebagai pembantu atau buruh tani bagi pemilik tanah tempat mereka menumpang (Niel 1984:30-34).

Menjelang tahun 1900 pengaruh Barat dapat dikatakan sudah sampai kepedesaan dan dalam banyak hal membuat kepala desa menjadi bagian dalam proses ekonomi dan pemerintah Hindia Belanda. Namun penduduk desa sendiri secara individu tidak dapat dikatakan telah terpengaruh oleh barat.

Petani Kudus yang kegiatan perekonomiannya lebih bersifat agraris adalah penduduk kampung yang lebih bertumpu pada tanaman


(49)

padi sebagai sumber penghasilannya, apakah sebagai pemilik tanah, penggarap tanah dengan syarat bagi hasil, atau buruh tani. Prosentase terbesar penduduk desa adalah buruh tani yang bekerja disawah-sawah tanah partikelir Tionghoa atau pribumi pemilik tanah.

Namun seiring dengan dibangunnya pabrik-pabrik di daerah kota atau pinggiran kota. Banyak dari buruh tani di pinggiran Kudus yang beralih pekerjaan sebagai buruh pabrik. Apalagi terkadang pada bulan-bulan tertentu hasil dari pertanian tidaklah menggembirakan. Banyak orang yang bekerja di pabrik milik pemerintah, usahawan, Tionghoa, ataupun usahawan pribumi.

Di pabrik milik pemerintah, mereka bekerja di pabrik gula dan juga perusahaan kereta api yang memang dibuat untuk mengangkut hasil pertanian tebu ke pabrik gula didaerah Rendeng, Besito dan Tanjung Moro. Para buruh itu bukan hanya kaum pria saja, tetapi kaum perempuannya juga. Kebanyakan kaum perempuan di Kudus pekerja di pabrik batik yang dikuasai oleh orang Tionghoa. Mereka bekerja permanen dimana hampir seluruh aktifitas dilakukan. Pasar adalah lingkungannya dan seluruh kehidupannya sedikit banyak dibentuk oleh pasar itu (Niel 1984).

Di Kudus, pasar memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan disana. Disebutkan bahwa Pasar Kliwon yang terletak di sebelah timur kabupaten Kudus merupakan tempat yang sangat strategis dan menguntungkan bagi para pedagang di Kudus. Walaupun


(50)

bukan pasar yang terbesar di Jawa Tengah namun pasar ini cukup dikenal di Pulau jawa dan menjadi salah satu pusat perdagangan di Jawa Tengah sehingga banyak pedagang baik pribumi ataupun Tionghoa yang mempunyai toko disana. Persaingan tajam antara pedagang pribumi dan Tionghoa tampaknya telah dimulai di pasar ini (Korver 1986:93).

Selain pasar kliwon, ada sebuah pasar walaupun mungkin lebih cocok dikatakan sebagai bazar yang juga sangat menguntungkan aktifitas perdagangan, khususnya bagi para pedagang pribumi yang lebih dikenal sebagai pedagang santri. Setiap tanggal 1 Ramadhan disekitar menara Kudus diadakan semacam bazar untuk memperingati hari tersebut. Orang Kudus menyebut bazar tersebut sebagai

“dandangan”. Bazar yang tadinya hanya menjual makanan dan mainan anak-anak lama kelamaan berkembang menjadi bazar yang menjual aneka barang seperti baju, makanan sebagian juga sekaligus pembatik yang dikenal dengan sebutan penggobeng. Ada juga kaum pria yang bekerja dalam pabrik batik, mereka disebut sebagai kuli. Namun sekitar tahun 1900, banyak kuli yang berpindah kerja sebagai buruh pada industri rokok, petasan, perusahaan kapuk, percetakan, pembuatan tegel dan pabrik es, karena upah yang mereka dapatkan lebih baik ketimbang bekerja sebagai kuli baik di perusahaan Tionghoa. Selain itu ditemukan pula pengrajin diKudus yang membuat hasil keramik, barang logam, dan jala ikan. Walaupun kota Kudus


(51)

tidak memiliki pantai dan laut dahulu sekitar akhir abad ke-19 ditemukan juga pengrajin dan pengukir kayu jati di Kudus, tetapi kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap sama sekali (Soekisman 1995:255).

2.1.4.2Perdagangan

Perdagangan tak bisa dilepaskan dengan pasar sebagai tempat beraktivitas. Pasar adalah salah satu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup. Suatu ciri umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dan juga merupakan suatu dunia sosial budaya yang hampir lengkap dengan sendirinya. Seperti laut bagi seorang nelayan, maka perdagangan bagi seorang pedagang merupakan suatu dunia yang peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Namun walaupun begitu, tetap saja para pedagang santri tidak bisa menggantungkan hidupnya lewat pasar ini karena hanya terjadi sekali dalam setahun (wawancara dengan Bapak Hong Sing tanggal 15 Januari 2005).

Selain menetap dan mempunyai toko di pasar, ada sebagian pedagang santri yang melakukan aktivitas perdagangannya dari pedagang santri tersebut menjual rokok kretek yang juga amat digemari di daerah lain. Bahkan di Mojokerto pedagang santri itu menetap dan hanya secara berkala melakukan perjalanan kembali ke Kudus. Pedagang santri Kudus hidup berkelompok dan menetap disuatu daerah yang nantinya dinamakan sesuai dengan tempat mereka


(52)

berasal. Koloni terbesar dari pedagang Kudus tidak hanya di Mojokerto tetapi juga Malang dan Lumajang.

2.1.4.3Industri Rokok

Lahirnya industri rokok kretek di Kudus, bahkan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Haji Jamahri (Djamasri), seorang penduduk di Kudus (Castles 1982:60). Pada suatu waktu Haji Jamahri menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama diderita oleh beliau. Setiap kali penyakit itu kambuh, ia benar- benar menderita dan tersiksa karenanya. Untuk mengobati penyakitnya tersebut, ia mencoba memakai minyak cengkeh, digosokkan ke bagian dada dan punggungnya. Ternyata, ia merasa ada perbaikan walaupun belum sembuh sama sekali. Selanjutnya ia pun mengunyah cengkeh. Di luar dugaan hasilnya ternyata jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hanya menggosokkan minyak cengkeh. Dengan percobaan yang sukses itu, terlintas dalam pikirannya untuk menggunakan rempah-rempah sebagai obat. Adapun caranya sangat sederhana sekali. Cengkeh ini halus-halus, kemudian dicampurkan dengan tembakau yang dipakainya untuk merokok. Dengan cara ini ia dapat menghirup asapnya sampai masuk keparu-parunya.

Sekali lagi, percobaannya berhasil dengan gemilang. Penyakit dadanya sembuh total. Cara pengobatan ini sangat terkenal diseluruh daerah tempat ia tinggal. Teman-teman dan handai taulannya


(53)

beramai-ramai meminta rokok buatannya semakin lama semakin meningkat, ia terpaksa membuatnya dalam jumlah yang sangat besar.

Demikianlah, suatu barang yang semula hanya bertujuan sebagai obat, dalam waktu singkat menjadi sebuah produk yang sangat menguntungkan, hingga Haji Djamasri mendirikan sebuah perusahaan rokok kretek kecil dan sekaligus merupakan awal kelahiran dari industri rokok kretek di Kudus.

Pada awalnya, penduduk Kudus menyebut jenis rokok baru penemuan Haji Djamasri ini sebagai “rokok cengkeh.” Namun karena rokok ini jika dihisap menimbulkan bunyi “kretek-kretek” seperti daun dibakar (dalam bahasa jawa disebut “kumretek”), sebagai akibat adanya rajangan cenkeh untuk campuran tembakau isinya, maka jenis rokok baru ini akhirnya disebut “rokok kretek” (Onghokham 1987:105-106).

Haji Djamasri telah meninggal dunia di Kudus pada tahun 1890. Dengan demikian bisa diperkirakan, lahirnya industri rokok di Kudus telah terjadi antara tahun 1870-1880. Pada awalnya seluruh perusahaan rokok kretek berada ditangan orang pribumi. Tetapi, setelah para pengusaha pribumi ini berhasil mencapai banyak kemajuan dalam waktu yang relatif singkat, para pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Banyak yang menyebutkan bahwa persaingan antara pengusaha kretek pribumi dan pengusaha kretek Tionghoa menjadi sangat tajam dan menjadi alasan kuat terjadinya kerusuhan


(54)

tanggal 31 Oktober 1918 (Onghokham 1987:107-108). Namun hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Memang benar banyak pengusaha Tionghoa yang mengikuti jejak pengusaha kretek pribumi, namun perusahaan rokok yang Tionghoa justru terjadi sesudah kemerdekaan Indonesia.

Parada Harahap, seorang wartawan terkenal pada zaman penjajahan Belanda pernah singgah dan bertemu raja-raja rokok yang note bene adalah pengusaha-pengusaha rokok kretek pribumi. Ia sangat mengagumi semangat para pengusaha pribumi tersebut sehingga terjadinya kerusuhan Kudus merupakan suatu manifesto dari semangat juang pengusaha rokok kretek pribumi dalam mempertahankan kedudukan mereka. Tercatat raja-raja rokok yang pernah ditemuinya ialah M. Sirin, H. M.Atmowidjojo, H.Md.Noorchamito, H. Nawawi, H.Ashadi, H. Rusjdi sampai H. A.Maroef. Bahkan salah satu dari raja rokok tersebut yaitu Nitisemito menjadi satu-satunya pengusaha yang namanya disebut oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno sebagai wujud penghargaan atas keberasilannya dalam bidang ekonomi (Onghokham, 1987).

2.1.4.4Industri Batik

Batik mulai dikenal di Kudus sekitar abad ke-17, yang diperkenalkan oleh pedagang Tionghoa. Namun batik di Kudus tidaklah mengalami perkembangan yang pesat seperti di daerah lainnya. Daerah Pekalongan, Tegal, dan daerah Jawa Tengah Selatan


(55)

(zuid-midden java) merupakan kantong-kantong pengusaha pribumi disektor industri batik. Tetapiketika pemerintah Hindia Belanda mulai mengambil alih beberapa perdagangan yang tadinya dikelola oleh orang Tionghoa seperti perdagangan opium dan rumah gadai, membuat orang Tionghoa melirik industri batik yang memang mempunyai prospek yang cukup menjanjikan karena batik merupakan pakaian khas orang Jawa. Jiwa dagang yang dimiliki oleh orang Tionghoa membuat usaha mereka sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Namun usaha mereka di kota–kota tersebut tidaklah mengalami kemajuan yang pesat, sebaliknya di Kudus, Banyumas, Ambarawa, Semarang, Juwana dan Lasem industri batik dikuasai sepenuhnya oleh orang Tionghoa (Oemar dkk 1994).

Sejak awal batik dibawa dan diperkenalkan oleh orang Tionghoa di Kudus. Mereka pun menguasai sektor perdagangan ini sampai menjelang abad XX. Walau begitu ada sejumlah kecil perusahaan batik yang didirikan oleh kaum pribumi. Namun industri batik kaum pribumi terdapat di desa-desa seperti Demakan, Barongan, Panjunan. Bahan-bahan dasar membuat batik sendiri dibeli dari pedagang Tionghoa yang diambilnya dari Ambarawa (Castles 1982).

Namun menjelang akhir abad X1X, industri batik di Kudus yang dikuasai oleh orang Tionghoa mengalami kemunduran. Hal ini terjadi disebabkan oleh tajamnya persaingan antara pedagang batik Tionghoa danpedagang batik Pekalongan dan Lasem. Batik Pekalongan yang


(56)

memang lebih maju dibanding dengan batik Kudus lebih mendapat tempat dikalangan konsumennya karena disebabkan harganya murah. Akibatnya tidak sedikit pengusaha batik Tionghoa di Kudus yang beralih ke Industri lain, yaitu industri rokok kretek yang memang pada waktu itu sedang mengalami perkembangan yang pesat. Padahal saat itu industri rokok sepenuhnya berada dalam genggaman pengusaha pribumi. Hal ini pulalah yang mungkin menyebabkan adanya perasaan tidak senang pengusaha pribumi terhadap orang Tionghoa selain itu perlakuan pengusaha batik Tionghoa kepada buruh batiknya, yang kebanyakan wanita, juga sangat tidak simpatik dan terkadang melampaui batas kemanusiaan. Kebanyakan dari tenaga kerja wanita pribumi digaji hanya sedikit sekali bahkan ada pengusaha batik Tionghoa yang tidak memperbolehkan buruhnya membeli obat ketika ia sakit. Begitu pula dengan kuli batik, yang kebanyakan laki-laki, mereka berpendapat bahwa upah yang diberikan majikannya sangat tidak mewadahi. Hal ini menyebabkan mereka lebih suka beralih tempat kerja di pabrik petasan, pabrik rokok kretek, percetakan, pabrik tegel dan pabrik es. Sikap pelit dan arogan orang Tionghoa ini juga mungkin turut mempertebal rasa anti-Tionghoa dikalangan pribumi (Korver 1986).

Industri batik di Kudus selain mengalami persaingan yang sangat hebat dari pekalongan dan daerah lainnya, juga mengalami persaingan


(57)

lokal antara industriawan batik Tionghoa dan industriawan pribumi. Pola Pemukiman (Korver 1986:14).

Pada zaman kolonial, kota-kota di Hindia Belanda terutama di Jawa digolongkan menjadi empat macam, yaitu: (1) kota awal di Indonesia, (2) kota indis, (3) kota kolonial, (4) kota modern. Kota awal di Indonesia disebutkan memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial biasanya yang dibedakan dengan dua type, yaitu; (a) kota-kota pedalaman dengan ciri tradisional, religius dan (b) kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan (Soekiman 1995:193). Kudus dapat dimasukkan ke dalam golongan kota pedalaman dengan ciri tradisional yang penuh dengan nuansa religius.

Sejak zaman pendudukan pemerintah Belanda sampai awal abad XX, Kudus tidak mengalami kemajuan berarti dari segi pemukiman. Seperti umumnya kota-kota Kabupaten di Jawa, terdapat alun-alun di tengah kota. Di sekeliling alun-alun tersebut terdapat rumah Bupati dan para pejabatnya yang menonjol, diselingi dengan rumah kontrolir atau asisten residen dan perkantoran lain. Tidak jauh dari alun-alun terdapat gedung pengadilan, rumah penjara, kantor Pos-Telegraf-Telepon (PTT) dan rumah pejabat kabupaten, pejabat Eropa. Di samping itu rumah-rumah para haji dan masyarakat Tionghoa juga terletak tidak terlalu jauh dari alun-alun. Mayoritas para haji, orang Arab, dan santri bermukim di Kudus sebelah barat atau yang lebih


(58)

dikenal dengan sebutan Kudus barat (dalam bahasa Jawa disebut Kulon). Sedangkan sebagian besar pedagang Tionghoa bertempat tinggal di Kudus sebelah timur atau lebih dikenal dengan nama Kudus Timur dibatasi oleh sungai “Gelis.” Bangunan para haji yang tinggal di Kudus Barat lebih banyak mengikuti villa-villa bergaya Italia, namun tidak jarang yang memilih rumah gaya tradisional Kudus yang penuh dengan ukiran yang sangat indah dan mahal, sedangkan orang Tionghoa lebih menyukai gaya Belanda sebagai arsitektur rumah mereka (Castles 1982).

Adapun masyarakat pribumi golongan bawah bertempat tinggal di desa-desa dan pinggiran kota. Dibandingkan dengan pemukiman masyarakat golongan bawah sangatlah menyedihkan. Rumah-rumah mereka yang jauh sangat sederhana hanya terbuat dari kayu saja. Rendahnya perhatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap pemukiman masyarakat pribumi menyebabkan timbulnya berbagai penyakit yang meminta korban ribuan penduduk setiap tahunnya (Soekisman 1995:194).

2.2Etnis Tionghoa di Kudus

Ihwal kedatangan Etnis Tionghoa di Kudus belum banyak yang bisa memastikan secara pasti. Bahkan kalangan sejarawan Kudus masih memperdebatkan perihal kedatangan tentara kubilai khan dan peranan kyai telingsing di Kudus. Jika kita melihat sejarah akan kedatangan pasukan Kubilai Khan (1292) yang akan menyerang kerajaan di Jawa sekilas kita


(59)

ketahui bahwa mungkin inilah pertama kalinya Etnis Tionghoa menginjakkan kaki di Kudus yang tercatat oleh sejarah, akan tetapi karena kedatangannya bertujuan untuk berperang dan tidak untuk menetap maka peristiwa ini bisa dikategorikan gugur sebagai rujukan, mengenai kedatangan Etnis Tionghoa di Kudus untuk pertama kalinya. Di pihak lain Lance Castles (1982) berpendapat bahwa Kyai Telisinglah orang pertama dari Etnis Tionghoa yang bisa disebut sebagai sesepuh orang Tionghoa yang menetap sampai akhir hayatnya di Kudus. Kyai Telingsing adalah murid dari sunan Kudus dan pada masanya beliau merupakan pemeluk agama Islam yang termasyur. Sampai sekarang makamnya berada di dekat makan Sunan Kudus (dekat Menara).

Sumber lain yang ditulis oleh sesepuh “Klenteng Hok Tik Bio” mengisahkan bahwa kedatangan Etnis Tionghoa untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1741, dimana saat itu terjadi pembunuhan massal yang dilakukan oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda terhadap Etnis Tionghoa di Jakarta. Kemudian beberapa Etnis Tionghoa yang lain berhasil meloloskan diri dan melarikan diri menggunakan jalur laut menuju ke sungai-sungai besar pedalaman. Daerah-daerah yang menjadi tujuan adalah Cirebon, Tegal, Semarang, Kudus, Juwana, Rembang, Lasem bahkan juga di Jawa Timur. Di Kudus mereka melalui kanal Semarang (kali yang ada di tepi jalan Semarang-tanggulangin) dari cabang sungai Tanggulangin mereka meneruskan ke utara dan sampailah ditepi sungai Dusun BOGO yang sekarang bernama Tanjung Karang dari sinilah bisa dikatakan sejarah awal kedatangan Etnis Tionghoa di Kudus bermula (lihat lampiran 6).


(60)

2.2.1. Kepercayan Etnis Tionghoa di Kudus

Data mengenai aliran kepercayaan masyarakat Tionghoa di Kudus sangat sulit diketahui karena belum banyak buku yang menulis tentang Etnis Tionghoa di Kudus. Berangakat dari hal ini penulis berinisiatif mewawancarai beberapa orang Etnis Tionghoa di Kudus. Alhasil menurut penuturan Kuo Tjun (Tionghoa Peranakan), pada umumnya golongan Etnis Tionghoa di Kudus sangat beragam dalam memeluk Agama dan kepercayaan mereka. Ada yang beragama Katholik, Islam, Kristen namun sebagaian besar mereka memeluk Agama Khong Hu Chu, Tao, dan Budhis.

Tiga agama yang mayoritas dipeluk oleh Etnis Tionghoa di Kudus tidak menimbulkan “perbedaan” yang berarti, tetapi malah semakin mengukuhkan mereka di tengah-tengah keberadaan mayarakat di Kudus. Selain itu terdapat juga tiga buah rumah peribadatan (klenteng) yang menjadi ciri khas keberadaan Etnis Tionghoa di Kudus. Ketiga Klenteng yang ada di Kudus semuanya tertuju kepada pengikut “Hok Tek Cheng Sin” atau lebih dikenal sebagai Dewa Bumi. Dalam kepercayaan masyarakat Etnis Tionghoa tempat peribadatan yang terbagi dalam bermacam-macam aliran, sebagai contoh untuk pengikut San Po Tha Jin di Klenteng Sam Po Kong Semarang dianggap sebagai pengikut Dewa Pengobatan, Thay Sang Lauw Cin sebagai Mahadewa, dan Khong Hu Chu

sebagai tuan rumah atau Gurunya (diolah dari hasil wawancara tgl. 15 Jnauari 2005).


(61)

Di Kudus ketiga tempat peribadatan (Klenteng) dapat dijumpai di Tanjung Karang sebagai Klenteng “Hok Sik Bio”, di Jalan A. Yani depan Mal Matahari Plaza Kudus, dan di dekat menara. Tempat-tempat peribadatan Etnis Tionghoa tertata dengan menarik dan dapat dilihat dari segi arsitekturnya yang tinggi maupun perpaduan warna yang mencolok dan berada dijalur-jalur strategis sehingga keberadaan mereka mudah dijumpai dimanapun.

2.2.2. Pemukiman Etnis Tionghoa

Kebanyakan Etnis Tionghoa di Kudus bermukim di kota-kota, dan sangat jarang atau bahkan tidak kita jumpai Etnis Tionghoa tinggal di desa-desa apalagi daerah sekitar pegunungan. Dimungkinkan adanya pemukiman Etnis Tionghoa yang seperti ini adalah reaksi terhadap peraturan pemerintah pada masa orde lama yang melarang WNA berusaha di wilayah pedesaan (Suryadinata 1978:31).

Seperti halnya orang perantauan yang lainnya, sudah barang tentu Etnis Tionghoa mempunyai etos kerja dan mentalitas yang kuat dalam menjalani kehidupan. Kebanyakan Etnis Tionghoa berhasil dalam dunia usaha terutama dalam bidang perdagangan (Zein 2000:67-87).

Menurut Lance Castles (1982:71) rumah-rumah masyarakat Etnis Tionghoa terletak tidak jauh dari sekitar alun-alun, mayoritas bermukim di Kudus sebelah barat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kudus Barat (dalam bahasa Jawa disebut Kulon). Sedangkan sebagian besar pedgang Etnis Tionghoa bertempat tinggal di Kudus sebelah timur atau lebih


(62)

dikenal dengan nama Kudus Timur (dalam bahasa Jawa disebut Wetan). Orang-orang Etnis Tionghoa lebih banyak menyukai desain arsitektur rumah gaya Belanda.

Di Kudus kantong-kantong Etnis Tionghoa dapat dijumpai di Sekitar Simpang Tujuh, daerah sekitar Menara, Rendeng, sekitar GOR Wergu Kudus, Tanjung Karang yang semuanya biasa disebut kawasan pecinan.

2.2.3. Mata Pencaharian

Golongan Etnis Tionghoa di Kudus bekerja dan mencari uang untuk mengidupi keluarganya bersumber pada berbagai hal, ada yang sebagai pengusaha, pedagang, ataupun yang lainnya. Umumnya mereka membaur dengan masyarakat pribumi walaupun dengan melihat warna kulitnya kita sudah bisa membedakan mana yang Etnis Tionghoa dan mana yang bukan. Berikut akan dijelaskan bagaimana Etnis Tionghoa di Kudus menjalankan aktivitasnya.

2.2.3.1Pedagang

Etnis Tionghoa yang tinggal di Kudus sebagian besar bergerak dalam bidang perdagangan. Hal ini bisa dilihat dari seluruh kawasan peTionghoan yang ada di wilayah Kudus merupakan komplek pertokoan. Menurut Himawan kenapa banyak Etnis Tionghoa bergerak dalam bidang perdagangan karena faktor kekeluargaan yang sangat tinggi yang ditunjukkan oleh sesama Etnis Tionghoa membuat pedagang-pedagang di luar Etnis Tionghoa sulit bersaing (hasil wawancara tgl. 12 januari 2005).


(63)

2.2.3.2Industri Rokok

Lahirnya Industri rokok di Kudus bahkan di Indonesia tidak lepas dari peran Haji Djamahri orang muslim Kudus. Pada awalnya seluruh perusahaan rokok di Kudus di pegang oleh penduduk pribumi. Pengusaha-pengusaha pribumi tersebut melipatgandakan hasil produksi secara signifikan hal ini menyebabkan kalangan Etnis Tionghoa berlomba-lomba untuk menyamai pengusaha-pengusaha pribumi yang pada akhirnya menjadikan persaingan antara kedua kelompok tersebut menjadi panas.

Pasca perang kemerdekaan atau masa Orde Baru pengusaha-pengusaha Tionghoa meninggalkan kaum pribumi dengan sangat cepat, hal ini karena pengusaha-pengusaha Etnis Tionghoa mendapat dukungan dari pemerintahan Orde Baru dalam program cukongisasi (coppel 1994:66).

Tidak jelas memang kapan Etnis Tionghoa memulai manancapkannya dalam percaturan Industri rokok kretek. Terjadinya huru-hara pada 1918 dimana banyak pengusaha rokok pribumi yang dipenjara dan ditangkap oleh pemerintah membuat para pengusaha Etnis Tionghoa memanfaatkannya dengan mengawali kebangkitan rokok kretek di Kudus. Persaingan tampaknya tidak hanya berlaku dengan usaha se-kota namun justru tantangan datang dari lembah Brantas seperti Blitar, Tulung Agung, dan Kediri yang mengalami kemajuan cukup pesat (Castles 1982:141).

Nojorono sebagai perusahaan rokok milik Etnis Tionghoa yang besar mengalami peningkatan industri yang cukup tajam. Pabrik ini


(64)

semakin kuat dan pusat-pusat industri sebelum perang yang tidak penting sekarang malah merajai di Kudus. Etnis Tionghoa sedikitnya memiliki 25 firma yang terbesar dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sendi-sendi pereknomian di Kudus mulai dipegang oleh Etnis Tionghoa (Castles 1982:142).

2.2.3.3Industri Batik

Etnis Tionghoa menjadi penguasa dalam industri batik di Kudus. Jauh meninggalkan lawan-lawannya yang mencoba tetap eksis pengusaha-pengusaha Etnis Tionghoa melakukan politik jaringan yang teratur hal ini membuat kota seperti Lasem, Kudus, dan Banyumas dikuasai Etnis Tonghoa. Industri batik di Kudus berkembang pesat walaupun harus bersaing dengan kota-kota yang lebih dahulu menyandang trade mark Indonesia misalnya, Pekalongan, Yogya, Solo, dan Cirebon (Coppel 1985:15).

Belakangan Industri batik yang dipegang oleh masyarakat Etnis Tionghoa mengalami kemunduran. Hal ini banyak disebabkan oleh beberapa hal seperti: beralihnya buruh batik ke pabrik yang lain karena gaji tak mencukupi, persaingan dengan pengusaha pribumi, dan tajamnya persaingan dengan industri di daerah lain (Korver 1986: 14).


(65)

49 BAB III

PERKEMBANGAN ETNIS TIONGHOA PERANAKAN MASA ORDE LAMA

3.1Perbedaan Antara Etnis Tionghoa Peranakan Dengan Etnis Tionghoa Totok di Kudus

Golongan Etnis Tionghoa di Kudus diketahui mempunyai ciri tersendiri antara yang satu dengan yang lain. Menurut Hidayat (1977:101) golongan Etnis Tionghoa di Kudus dibagi menjadi dua bagian yaitu Tionghoa Peranakan dan Tionghoa Totok, dimana keduanya terdapat perbedaan baik dalam lafal ucapan, kehidupan sosial-budaya, corak pendidikan, adat istiadat, maupun dari sistem kekerabatannya. Perbedaan ini disebabkan oleh karena pengaruh dari lingkungan dalam ketatanegaraan masyarakat Kudus.

Tionghoa Peranakan diartikan sebagai Etnis Tionghoa yang lahir dan telah menjadi Warga Negara Indonesia, sedangkan Totok adalah Etnis Tionghoa yang lahir di Tiongkok (RRT) tetapi telah menetap di Indonesia. Peranakan kebanyakan sudah tidak menggunakan bahasa Tionghoa, sedangkan Totok mahir dalam menggunakan Bahasa Tionghoa.

3.1.1 Perbedaan Dalam Kegiatan Ekonomi 3.1.1.1Peranakan

3.1.1.1.1 Sebelum 1965

Pada masa Pemerintahan Soekarno Etnis Tionghoa Peranakan banyak yang mengalami perubahan dalam bidang ekonomi. Di Kudus kehidupan Etnis Tionghoa Peranakan pada masa ini mengalami puncak


(66)

kejayaan ekonomi karena hampir seluruh kegiatan ekonomi dikuasai oleh Etnis Tionghoa Peranakan. Pada era perang kemerdekaan banyak Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus yang membantu dalam penyediaan obat-obatan sebagai bantuan mereka terhadap perjuangan penduduk pribumi dalam melawan penjajah (Himawan wawancara tanggal 13 Januari 2005).

3.1.1.1.2 Sesudah 1965

Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus pada masa Orde Baru banyak melakuan kegiatan usahanya baik itu yang kecil-kecilan seperti toko kelontong dsb maupun yang besar dengan mendirikan pabrik maupun usaha batik. Untuk melihat kegiatan usaha yang lebih jelas mengenai Etnis Tionghoa dari kalangan menengah, dapat dilihat dari tempat usaha mereka yang terdapat di kawasan pecinan (tempat orang-orang Tionghoa tinggal) yang terletak di daerah Gribig Kudus

Bagi Etnis Tionghoa dari golongan atas (kaya) mereka banyak membuka pabrik seperti pabrik rokok Djarum yang dipunyai oleh Bambang Hartono maupun Pabrik Rokok Nojorono (pembuat rokok

Minak Djinggo dan Clas Mild). Dilihat dari usahanya Etnis Tionghoa peranakan pada masa ini ikut menikmati kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Orde Baru walaupun sebenarnya kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru digunakan untuk mempermudah bisnis (usaha) yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa Totok (Hongko Santoso wawancara tanggal 13 Januari 2005).


(1)

Munculnya prasangka terhadap Etnis Tionghoa khususnya para Cukong, membawa imbas kepada Etnis Tionghoa lainnya. Penduduk pribumi menganggap Etnis Tionghoa sebagai pengatur perekonomian di Indonesia. Puncak kekecaman pribumi terhadap Etnis Tionghoa pada masa Orde Baru, ditumpahkan saat peristiwa 14 Januari 1974 (Malari). Peristiwa tersebut menyebabkan traumatik yang mendalam bagi golongan Etnis Tionghoa Expose yang Intensive terhadap gerakan bisnis Etnis Tionghoa, membuat Pribumi mudah sekali tersulut Emosi, seperti tidak dikomando hampir seluruh toko-toko dan barang milik Etnis Tionghoa telah dirusak dan dibakar massa.

Akibat dari peristiwa Malari, Etnis Tionghoa semakin menjauhi dunia politik dan mengaktifkan diri kepada lembaga-lembaga keagamaan. Di Kudus, walaupun tidak terjadi peristiwa, Malari, kegiatan keagamaan Etnis Tionghoa di Kudus semakin ramai. Kebijakan pemerintah yang over protective terhadap Etnis Tionghoa tidak menyusutkan minat Etnis Tionghoa untuk melaksanakan ibadah pemerintah melarang dirayakannya hari besar agama Konghucu secara berlebihan dan pelarangan upaya penugasan maupun perbaikan Klenteng-klenteng yang digunakan Etnis Tionghoa.

Pemahaman atas realitas masalah keTionghoaan hendaknya tidak mengedepankan prasangka buruk terhadap golongan ini. Pemahaman yang Integral dan menyeluruh akan sangat membantu dalam memahami realitas masyarakat Tionghoa. Trelepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang diskriminatif perlu disikapi dengan obyektif. Etnis Tionghoa juga seperti warga Negara Indonesia lainnya yang patut dijunjung tinggi dan banyak mendapatkan


(2)

hak dan kewajibannya. Dengan demikian prasangka terhadap Etnis Tionghoa menjadi lebih obyektif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Baqir Zein, Abdul. 2000. Etnis Tionghoa Dalam Potret Pembaharuan Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.

Bonavia, David. 1987. Alih Bahasa Tionghoa Dan Masyarakatnya. Jakarta: Erlangga.

Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa Di Indonesia. Semarang: Tanjung Sari

Castles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi Di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan

Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Djin, Siauw Tiong. 1999, Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Jakarta: Hasta Mitra.

Dwipayana, G. 1991. Jejak Langkah Pak Harto (1 Oktober 1965-27 Maret 1968). Jakarta : PT Cipta Lamtoro Gung Persada

Greif, Stuart W. 1991. Problematik Orang Indonesia Asal Tionghoa. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafika

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah (terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Junus, Jahja. 1991. Nonpri Dimata Pribumi. Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa.

---. 1999. Masalah Tionghoa di Indonesia : Asimilasi vs Integrasi. Jakarta: Lembaga Pengkajian Masalah Pembaharuan.

Hariyono, P. 1993. Kultur Tionghoa Dan Jawa (Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural). Jakarta: Sinar Harapan


(4)

Hidayat.1977. Masyarakat Dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia. Bandung: Tarsito

Hugronje, Snouck. Islam di Hindia Belanda. Jakarta: Djambatan.

Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

---. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500- 1900. Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. 1977. Sejarah Nasional Iindonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka ---. 1977. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka ---. 1977. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kian Gie, Kwik dan Masjid. 1998. Masalah Pribumi Dan Non Pribumi

Dewasa Ini. Jakarta: sinar harapan .

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat . Jakarta: PT Gramedia.

Korver, A.P.E. 1986. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti Press

Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Lembaran Sejarah. 1999. Masyarakat Tionghoa Di Indonesia Pada masa Kolonial. Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM.

Liang, Tee Song. 2004. HOK TIK BIO. Kudus: Klenteng Hok Tik Bio Maxwell, John. 2001. Soe Hok Gie : Pergulatan Intelektual Muda melawan

Tirani. Jakarta: Grafiti

Melly G, Tan. 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia Jakarta: PT Gramedia.

Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elit Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Notosusanto, Nugroho. Norma–Norma Dasar Penelitian Sejarah. Jakarta: Penerbit Sej ABRI.


(5)

Oemar, Moh., dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Preoyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta.

Onghokham & Budiman. 1987. Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus : PT Djarum Kudus. Paulus, B. P. SH. 1983. Kewarganegaraan RI Ditinjau Dari UUD 1945

Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa. Jakarta: Ptpradnya paramita.

Ricklefs, M. C. 1995. Sejarah Indonesia Modren. Yogyakarata: UGM Press. Salam, Solichin. 1962. Kudus dan Kerukunan Islam. Jakarta.

Skinner, William G. 1979.Golongan Minoritas Tionghoa. Jakarta: Gramedia.

Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Soekiman, Joko. 1995. Kebudayaan Indies dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang.

Soekisman, W. D. 1975. Masalah Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Bangun Indonesia.

Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

---. 1978 Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China (A Study of Perception and Policies). Singapore: Heinamann Asia

---. 1976. Peranakan Chinese Politcs in Java (1917-1942). Singapore: Simgapore Universiti Press.

Tan. Mely. G. 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia. Suatu masalah pembinaan kesatuan Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Widja, I Gde. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah : Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Wibowo, I. 1999. Retrospeksi Dan Rekonstekstualisasi : Masalah Tionghoa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Yudohusodo, Siswono. 1985. Warga Baru (Kasus Tionghoa Di Indonesia ). Jakarta: PT Yayasan Padamu Negeri.


(6)

B. Majalah, Surat Kabar, Buletin

Koran Sin Po, 15 Mei 1952, 29 Januari 1954, 30 Oktober 1954.

Majalah Starweekly, 2 April 1960, 16 April 1960, 23, April 1960, 21 Mei 1960.

Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2004 “Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah”.

Surat Kabar Kompas tanggal 23 juni 1998 “Kapok jadi Nonpri”. C. Dokumen, Arsip

Lembaran Negara no. 129 tahun 1959 Lembaran Negara no. 30 tahun 1965 Lembaran Negara no. 33 tahun 1968