Kehidupan Politik Etnis Tionghoa di Kudus

Kudus. Salah satunya adalah kebijakan mengenai penutupan sekolah-sekolah Etnis Tionghoa. Di Kudus tepatnya di jalan A. Yani sekarang pada tahun 1960 pernah berdiri sebuah SD Tionghoa 1, akibat dari adanya kebijakan pemerintah mengenai penghapusan sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, SD tersebut menjadi korban penutupan. Ironinya tanah dan bangunan yang seharusnya dimiliki oleh yayasan Etnis Tionghoa diruislag menjadi milik pemerintah. Sekarang bangunan dan tanah tersebut telah menjadi sebuah pusat pertokoan di pusat kota Kudus.

4.2 Kehidupan Politik Etnis Tionghoa di Kudus

Dalam bidang politik, Etnis Tionghoa memberikan partisipasi yang positif bagi kehidupan politik pada masa Demokrasi Terpimpin di Kudus. Partisipasi politik yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa di Kudus lebih banyak dikerahkan dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Sebagian dari mereka ada yang aktif di partai politik maupun di organisasi sosial kemasyarakatan. Peraturan-peraturan yang dibuat selama Demokrasi Terpimpin tidak selalu membuat Etnis Tionghoa merasa dikucilkan, bahkan sebagian Etnis Tionghoa lain menaruh harap pada kepemimpinan Soekarno dalam menjalankan roda pemerintahan. Beberapa alasan yang menyertai ini antara lain: 1. Soekarno dianggap sebagai seorang yang sosialis. Anggapan ini lebih mendukung pernyataan bahwa lebih baik memiliki pemimpin yang program politiknya sesuai dengan komitmen dirinya sendiri yang terinspirasi oleh pidato Presiden Soekarno dalam peringatan 17 Agustus 1960 yang menyatakan bahwa tujuan revolusi adalah mewujudkan sosialisme a’la Indonesia. 2. Soekarno sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu berhadapan dan mengontrol pimpinan Angkatan Darat yang dianggap mempunyai kemampuan menghancurkan struktur pemerintahan yang memiliki niat mencapai sosialisme. 3. Etnis Tionghoa tidak mau mendukung golongan yang menentang Soekarno, yaitu golongan yang didominasi oleh Masjumi dan PSI, karena golongan ini selalu mendukung aliran yang ingin menindas golongan Tionghoa. diolah dari hasil wawancara Kebijakan politik Soekarno yang dianggap menguntungkan adalah sikapnya kepada Baperki dan golongan Etnis Tionghoa yang kooperatif, ditambah dengan kedekatan hubungan Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah RRT pada tahun 1963. kebijakan Luar Negeri Soekarno memberi peluang yang baik untuk megkonsolidasikan posisi golongan Tionghoa dan mempercepat penyelesaian masalah kewarganegaraan yang sampai tahun 1963 masih belum tuntas dilaksanakan. Presiden Soekarno yang sudah tidak menyukai liberalisme barat, mulai mengalihkan perhatian kepada komunisme marxis yang mengajarkan mengenai sosialisme. Presiden Soekarno menyampaikan pidato tentang persatuan Indonesia dalam peringatan 17 Agustus 1964, adapun isinya; “...penting sekali kita hapuskan semua elemen rasialisme. Saudara-saudara ketahui bahwa yang saya impikan adalah adanya keharnonisan antar semua suku bangsa di Indonesia, termasuk suku-suku keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa, Pakistan, Yahudi... tidak mungkin kita menghilangkan rahang Batak, kesipitan mata Tionghoa, atau kebesaran hidung Arab. Ini bukan masalahnya. Yang penting adalah mewujudkan keharmonisan, persatuan untuk membangun bangsa Indonesia....” Pidato soekarno ditanggapi dengan sangat positif oleh kalangan pribumi maupun golongan Etnis Tionghoa. Bahkan banyak diantara mereka mulai sadar akan pentingnya persatuan di seluruh Indonesia seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi tetap satu.

4.3 PP 10 Larangan Berdagang di Daerah Pedesaan