karena Etnis Tionghoa dijadikan alat oleh pemerintahan Orde Baru sebagai penguat dibidang perekonomian.
Etnis Tionghoa Totok mulai berafiliasi dengan Golkar karena banyak membantu mereka baik dalam bisnis maupun dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Mereka memilih Golkar bukannya tanpa alasan tetapi karena mereka menginginkan keamanan mereka dan tidak
terprofokasi untuk ikut-ikutan menentang pemerintah. Intinya mereka akan ikut kepada si penguasa yang ada pada saat itu Agus Budianto
wawancara tanggal 18 April 2005.
3.1.5 Perbedaan Dalam Agama Dan Kepercayaan
3.1.5.1 Peranakan
3.1.5.1.1 Sebelum 1965
Kecenderungan Etnis Tionghoa dalam memeluk agamanya kurang begitu menggembirakan dalam artian intensitas golongan Etnis
Tionghoa untuk aktif dalam kegiatan keagamaan kurang. Golongan peranakan umumnya lebih mengedepankan aspek ekonomi untuk
menunjang kehidupan mereka. Kebijakan pemerintah Soekarno yang melarang dan menghimbau kepada Etnis Tionghoa untuk tidak
mengadakan perayaan secara berlebihan mengingat mereka sebagai golongan yang minoritas. Dikawatirkan akan menimbulkan hal-hal
yang tidak diinginkan jika perayaan tersebut. Kebanyakan dari Etnis Tionghoa dari golongan peranakan di Kudus memeluk agama Budha,
sedangkan mereka berkumpul di Klenteng tempat peribadatan Etnis
Tionghoa sekedar untuk melestarikan budaya nenek moyang mereka dan menganggapnya sebagai aliran kepercayaan saja Liong Kuo Tjun
wawancara tanggal 14 Januari 2005.
3.1.5.1.2 Sesudah 1965
Pemerintahan Soeharto menerapkan aturan yang lebih ketat mengenai pelaksanaan ibadah Etnis Tinghoa di Kudus. Perayaan
tentang hari-hari besar keagamaan bagi Etnis Tionghoa seperti; Gong Xi Fa Cai, Cap Go Meh, dll di larang secara resmi oleh pemerintah.
Pemerintah bahkan membungkus agama Khong Hu Chu untuk masuk dalam Agama Budha, padahal antara Kong Hu Chu dengan Budha
berbeda. Pemerintah hanya mengakui lima agama resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha.
Etnis Tionghoa peranakan dari periode ini sudah banyak yang memeluk agama selain Khong Hu Chu seperti Kristen, Katolik, dll.
Oleh sebab itu kepedulian mereka terhadap kebudayaan nenek moyang mereka kurang begitu melekat karena mereka telah merasa telah
menjadi Warga Negara Indonesia yang sepenuhnya. Tetapi tidak sedikit pula yang terus melestarikan kebudayaan mereka Liong Kuo
Tjun wawancara tanggal 14 Januari 2005.
3.1.5.2 Totok
3.1.5.2.1 Sebelum 1965
Bagi Etnis Tionghoa Totok kehidupan agamanya dilakukan sesuai dengan bawaan dari adat istiadat yang mereka terima semasa
masih di negeri Tiongkok. Mereka sangat taat dalam beribadah yaitu dengan datang ke klenteng-klenteng yang ada. Mereka menyadari
sebagai minoritas untuk tidak melaksanakan hari besar keagamannya dengan glamor seperti yang dilaksanakan oleh Etnis Tionghoa
Peranakan. Pemerintah Indonesia dibawah presiden Soekarno secara
langsung melarang segala bentuk perayaan hari besar Agama Tionghoa Khong Hu Chu karena dikawatirkan akan menimbulkan gesekan di
masyarakat, namun sebagian Etnis Tionghoa beranggapan bahwa pemerintah terlalu berlebihan dalam mengatur kehidupan beragama
mereka Liong Kuo Tjun wawancara tanggal 14 Januari 2005.
3.1.5.2.2 Sesudah 1965
Pelaksanaan Ibadah yang dilaksanakan Etnis Tionghoa Totok pada masa Orde Baru tidak berbeda dengan pelaksanaan di masa orde
lama pemerintahan Soekarno. Pemerintah Orde Baru bahkan menerapkan aturan yang lebih ketat mengenai perayaan hari besar
keagamaan Etnis Tionghoa Totok dengan membatasi tentang kebudayaan dan kesenian barongsai. Perihal perluasan dan
pengembangan tempat peribadatan Etnis Tionghoa Totok dimasa Orde Baru dihambat dengan aturan-aturan baik yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah Pemda maupun departemen Agama. Pemerintah memberikan aturan yang berbelit-belit mengenai pengembangan tempat peribadatan
ini mulai dari perijinan sampai dengan pelaksanaannya Liong Kuo Tjun wawancara tanggal 14 Januari 2005.
3.2 Sikap Dan Perilaku Etnis Tionghoa Peranakan di Kudus.