semua suku bangsa di Indonesia, termasuk suku-suku keturunan Tionghoa, Arab, India, Eropa, Pakistan, Yahudi... tidak mungkin kita menghilangkan
rahang Batak, kesipitan mata Tionghoa, atau kebesaran hidung Arab. Ini bukan masalahnya. Yang penting adalah mewujudkan keharmonisan,
persatuan untuk membangun bangsa Indonesia....”
Pidato soekarno ditanggapi dengan sangat positif oleh kalangan pribumi maupun golongan Etnis Tionghoa. Bahkan banyak diantara mereka mulai sadar
akan pentingnya persatuan di seluruh Indonesia seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi tetap satu.
4.3 PP 10 Larangan Berdagang di Daerah Pedesaan
PP No.10 yaitu peraturan yang berisi tentang larangan bagi orang-orang asing terutama yang berEtnis Tionghoa untung tinggal di daerah pedesaan
selain peraturan tersebut diatas ada peraturan yang berdasarkan Undang- undang kewarganegaraan tahun 1946. Mencantumkan peraturan orang-orang
Tionghoa untuk menjadi warga negara Indonesia Setiono 2003; Coppel 1994; Suryadinata 1978.
Etnis Tionghoa di Kudus menanggapi peraturan ini dengan berbagai macam pendapat, ada yang menerimanya dengan lapang dada namun tidak
sedikit pula yang memprotes tentang kebijakan tersebut. Pemerintah Indonesia menganggap bahwa Etnis Tionghoa sebagai kelompok yang pekerja keras
dalam bidang ekonomi. Dikawatirkan jika Etnis Tionghoa masuk ke daerah swatantra pedalaman seluruh aset yang ada di daerah pedalaman akan
dikuasai oleh kalangan Etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa memiliki suatu usaha-usaha legal dalam hal
memajukan kehidupannya di daerah Kudus yang berakibat fatal, yaitu
menimbulkan kemunduran ekonomi Indonesia. Semua jalur dibidang pedagangan dikuasai oleh Etnis Tionghoa, adapun akibat di laksanakannya
PP-10, banyak orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat Kudus, karena masih berstatus dwi kewarganegaraan atau asing. Lalu mereka pindah
di daratan Tiongkok ternyata tidak kerasan lalu bermigrasi ke daerah Hongkong ataupun macao. Perginya penduduk Etnis Tionghoa dari pedalaman
menurut ketentuan PP-10 sangatlah merugikan perekonomian bangsa Indonesia, dimana barang-barang kebutuhan menjadi langka, dan harganya
membumbung tinggi lihat lampiran 8. Pada masa demokrasi terpimpin Baperki berkembang menjadi organisasi
massa. Ia menitik beratkan integrasi integrasi politik, bukan asimilasi, dikalangan Etnis Tionghoa. Organisasi itu makin condong ke kiri dan mendekati
Sukarno untuk mendapat perlindungan. Politik kiri inilah yang akhirnya membawa Baperki musnah setelah terjadinya G-30-S pada tahun 1965
Suryadinata 2002:81-82.
4.4 Kehidupan Ekonomi Etnis Tionghoa di Kudus