Perbedaan Dalam Haluan Politik

3.1.3.2.2 Sesudah 1965

Pada masa Orde Baru Etnis Tionghoa Totok hampir sama dengan masa sebelumnya, dalam mendidik anak-anak mereka dilakukan dengan cara ortodok. Tidak berbaurnya pendidikan yag dilakukan oleh Etnis Tionghoa Totok disebabkan oleh permasalahan bahasa mereka. Mereka tidak mahir dalam bahasa Indonesia sehingga ketika akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia tidak dilakukan oleh mereka Iwan Permana Raharja wawancara tanggal 18 April 2005.

3.1.4 Perbedaan Dalam Haluan Politik

3.1.4.1 Peranakan

3.1.4.1.1 Sebelum 1965

Pada masa Soekarno Etnis Tionghoa Peranakan membentuk suatu organisasi yang bernama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Baperki, organisasi ini bertujuan untuk membela kepentingan Etnis Minoritas Tionghoa baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam bidang politik. Di Kudus terdapat cabang Baperki yang susunan pengurusnya Dalam berita baperki tanggal. 5 Agustus 1954 diperoleh keterangan bahwasannya telah dibentuk cabang Baperki di Kudus dengan susunan pengurus sbb: Ketua : Ie Boen Tjiang Wakil Ketua : Tan Sien Gie Penulis : The Giok Hoo Tan Hong Yan Bendhara : Ko Djee Siong Pembantu Penerangan : Tee Thiam Kwie Secretariat : Tan Thiam Kwee lihat lampiran 5 Baperki cabang Kudus tidak banyak melakukan aktifitas yang lebih menonjol, hal ini dikarenakan Etnis Tionghoa di Kudus sudah beralih kegiatan kedalam bidang Ekonomi. Hadirnya Baperki di Kudus rupanya tidak disambut dengan antusias oleh Etnis Tionghoa di Kudus, hal ini disebabkan Etnis Tionghoa di Kudus lebih memikirkan nasib dan perjuangan hidupnya dalam bidang ekonomi akibat banyaknya tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian Baperki di Kudus berdiri hanya sekedar formalitas belaka atau dengan kata lain hanya papan namanya saja tetapi aktivitas dan kegiatannya tidak ada. Keengganan Etnis Tionghoa di Kudus untuk masuk dalam wilayah politik bukannya tanpa alasan, banyak dari Etnis Tionghoa di Kudus yang takut bahkan traumatik terhadap kejadian yang menimpa Kudus pada tahun 1918. Kerusuhan antara Etnis Tionghoa dan Penduduk pribumi yang dimotori oleh kaum santri ini memakan banyak korban, baik itu berasal dari Etnis Tionghoa maupun dari Penduduk Pribumi.

3.1.4.1.2 Sesudah 1965

Pasca G 30 SPKI banyak Etnis Tionghoa peranakan yang menjadi korban. Korban yang dimaksud bukan korban karena pemberontakan PKI melainkan sebagai terdakwa karena banyak dari Etnis Tionghoa yang bersimpati kepada PKI ikut ditangkap oleh ABRI dan dipenjarakan, terutama yang aktif dalam Baperki. Tidak sedikit pula yang tidak tahu-menahu masalah politik ikut menjadi korban Agus Budianto wawancara tanggal 18 April 2005. Karakteristik Etnis Tionghoa dalam bidang politik adalah mereka mengikuti trend yang sedang berkembang waktu itu. Setelah terjadinya pemberontakan G 30 SPKI banyak dari politikus Etnis Tionghoa yang ditangkap dan di penjara oleh ABRI, kemudian banyak dari Etnis Tionghoa yang biasa saja mulai beralih simpati kepada PNI. Banyak alasan mengapa lebih memilih condong ke PNI diantaranya adalah: 1. PNI dipandang sebagai Partai yang Plural dan nasionalis tanpa memandang darimana Etnis mereka berasal 2. PNI dipandang sebagai satu-satunya partai yang memperjuangkan hak dan Kewajiban Etnis Tionghoa 3. PNI merupaan penjelmaan dari Soekarno yang dalam pandangannya Etnis Tionghoa Soekarno sebagai Pelindung dan Bapak Mereka. diolah dari hasil wawancara. Pada tahun 1971 diterapkan peraturan mengenai diadakannya fusi terhadap partai-partai yang ada. Kontestan pada pemilu 1977 diikuti oleh 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan PPP, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia PDI. Bergabungnya partai-partai merupakan awal dari kebijakan Pemerintah Orde Baru yang otoriter dan keras kepala.

3.1.4.2 Totok

3.1.4.2.1 Sebelum 1965

Etnis Tionghoa Golongan Totok tidak melakukan aktivitas politiknya di Indonesia, mereka datang ke Indonesia karena berlindung dari perang saudara yang terjadi di negeri Tiongkok. Oleh karena itu ada semacam traumatis ketika mereka aktif dalam kegiatan politik di Indonesia. Dalam mengepresikan aktivitas politiknya mereka terdorong oleh keterikatan emosional sehingga pada pemilu 1955 golongan Totok lebih berafiliasi ke Baperki yang saat itu bukan sebagai partai politik tetapi mengikuti pemilihan umum legislatif atau Badan Konstituante Agus Budianto wawancara tanggal 18 April 2005.

3.1.4.2.2 Sesudah 1965

Pada masa pemerintahan Orde Baru politik yang diterapkan terhadap Etnis Tionghoa cenderung menguntungkan hal ini disebabkan karena Etnis Tionghoa dijadikan alat oleh pemerintahan Orde Baru sebagai penguat dibidang perekonomian. Etnis Tionghoa Totok mulai berafiliasi dengan Golkar karena banyak membantu mereka baik dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka memilih Golkar bukannya tanpa alasan tetapi karena mereka menginginkan keamanan mereka dan tidak terprofokasi untuk ikut-ikutan menentang pemerintah. Intinya mereka akan ikut kepada si penguasa yang ada pada saat itu Agus Budianto wawancara tanggal 18 April 2005.

3.1.5 Perbedaan Dalam Agama Dan Kepercayaan