Isolasi dan karakterisasi Beta-Glukan dari tubuh buah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dengan metode spektroskopi UV-Visibel dan FTIR

(1)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI β-GLUKAN DARI TUBUH BUAH JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN METODE

SPEKTROSKOPI UV-VISIBEL DAN FTIR

ILHAMSYAH NOOR

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH


(2)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI β-GLUKAN DARI TUBUH BUAH JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN METODE

SPEKTROSKOPI UV-VISIBEL DAN FTIR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

ILHAMSYAH NOOR 105096003166

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH


(3)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI β-GLUKAN DARI TUBUH BUAH JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN METODE

SPEKTROSKOPI UV-VISIBEL DAN FTIR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

ILHAMSYAH NOOR 105096003166

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ira Djajanegara Sandra Hermanto, M.Si NIP. 19640826 199303 2 004 NIP. 19750810 200501 1 005

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

Sri Yadial Chalid, M.Si NIP. 19680313 200312 2 001


(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul ” Isolasi dan Karakterisasi Pleuran dari Tubuh Buah Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) Dengan Metode Spektroskopi UV-Visibel dan FTIR” yang ditulis oleh ILHAMSYAH NOOR, NIM 105096003166 telah diuji dan dinyatakan.”Lulus” dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal “22 Juni 2010” Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Dede Sukandar, M.Si Anna Muawanah, M.Si NIP. 19650104 199103 1 001 NIP. 19740508 199903 2 002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ira Djajanegara Sandra hermanto,M.Si NIP. 19640826 199303 2 004 NIP. 19750810 200501 1 005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Sri Yadial Chalid, M.Si NIP. 19680117 200112 1 001 NIP. 19680313 200312 2 001


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Jakarta, Juni 2010

ILHAMSYAH NOOR

105096003166


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat hidup sampai sekarang dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa puji syukur kepada junjungan besar Nabi Muhammad Saw yang telah memberikan bimbingan kepada kita ke jalan yang diridhoi Allah SWT.

Skripsi yang berjudul “Isolasi dan Karakterisasi Pleuran dari Tubuh Buah Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) Dengan Metode Spektroskopi UV-Visibel dan FTIR “ diajukan untuk menyelesaikan tugas akhir yang merupakan salah satu mata kuliah wajib dalam Program Studi Kimia.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sri Yadial Chalid, M.Si sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Sandra Hermanto, M.Si sebagai dosen pembimbing penelitian yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Dr. Ira Djajanegara selaku dosen pembimbing penelitian yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

5. Kedua orang tua yang telah mencurahkan kasih sayangnya sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah serta senantiasa memberikan doa dan semangat demi masa depan yang lebih baik.

6. Dr. Mirzan T Razak, M.Eng, APU selaku pimpinan laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan yang telah menginspirasikan arti hidup sesungguhnya karena dukungan kalian saya dapat terus malanjutkan kuliah ini.

8. Nubzah saniyyah yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman kimia angkatan 2005 yang tak dapat disebutkan satu persatu. 10.Para sahabat yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis. serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata dari saya semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat Amiiin

Jakarta, Juni 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Jamur Tiram Putih ... 4

2.1.1. Klasifikasi Jamur Tiram Putih ... 5

2.1.2. Komposisi Kimia dan Khasiat Jamur Tiram Putih ... 7

2.2. β-D-Glukan ... 10

2.2.1. Bioaktivitas β-D-glukan Sebagai Antikanker... 13

2.3. Ekstraksi ... 14


(9)

2.3.3. Ekstraksi Cair-Cair ... 21

2.4. Spektrofotometri UV-Visibel ... 22

2.4.1. Prinsip Kerja spektrofotometri UV-Visibel ... 23

2.4.2. Instrumentasi Spektrofotometer UV-Visibel... 25

2.4.3. Metode Pengukuran Kadar β-glukan ... 27

2.5. Spektrofotometri Infra Merah ... 32

2.5.1. Prinsip Dasar Spektroskopi IR ... 33

2.5.2. Instrumentasi Spektrofotometer IR ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.2. Alat dan Bahan ... 39

3.2.1. Alat ... 39

3.2.2. Bahan ... 39

3.3. Prosedur Kerja ... 41

3.3.1. Ekstraksi β-glukan dari Tubuh Buah Jamur Tiram Putih ... 41

3.3.2. Analisa Kualitatif Ekstrak Padatan Glukan Dengan FTIR ... 42

3.3.3. Pengukuran Total Glucan dan D-glukosa (megazyme) ... 42

3.3.4. Pengukuran α-glukan (Megazyme) ... 43

3.3.5. Pengukuran Kadar β-glukan Metode Congo Red... 44

3.3.6. Desain Penelitian ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Hasil Identifikasi β-glukan dengan FTIR (Metode Cakram KBr) ... 47


(10)

4.2.1. Metode Megazyme ... 51

4.2.2. Metode Congored ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 56

5.1. Kesimpulan ... 56

5.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pleurotus ostreatus ... 5

Gambar 2. Rumus Struktur Pleuran (β-1,3 dan β-1,6 glukan) ... 10

Gambar 3. Struktur molekul β-D-glukan ... 10

Gambar 4. Struktur heparin ... 12

Gambar 5. Mekanisme penghambatan sel kanker oleh β-glukan ... 13

Gambar 6. Perkolator ... 17

Gambar 7. Ekstraktor soxhlet... 18

Gambar 8. Distilator... 19

Gambar 9. Warna pada spektrum sinar tampak ... 23

Gambar 10. Prinsip kerja cahaya yang terabsorpsi ... 24

Gambar 11. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis single beam ... 25

Gambar 12. Skema Alat Spektrofotometer UV-Vis double beam... 26

Gambar 13. Struktur molekul congored ... 30

Gambar 14.Gambaran dua atom yang memiliki vektor listrik dan vektor magnetik... 33

Gambar 15. Vibrasi regangan antar atom ... 34

Gambar 16. Jenis-jenis vibrasi bengkokan antar atom ... 35


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Urutan negara penghasil beberapa jenis jamur

berdasarkan tingkat produksinya ... 7

Tabel 2. Komposisi dan kandungan gizi jamur tiram putih per 100 gram ... 8

Tabel 3. Perbandingan metode ekstraksi Yap & Ng dan Chihara et al... 21

Tabel 4. Rentang panjang gelombang pada sinar tampak ... 24

Tabel 5. Serapan khas beberapa gugus ... 34

Tabel 6. Bilangan gelombang spektrum FTIR sampel dan standar β glukan 48

Tabel 7. Pengukuran absorbansi dengan metode megazim ... 51


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Proses ekstraksi jamur tiram putih... 60 Lampiran 2. Preparasi reagen (megazyme) ... 61 Lampiran 3. Perhitungan kemurnian β-glukan dengan

menggunakan Mega-Calc ... 62 Lampiran 4. Perhitungan kemurnian β-glukan secara manual ... 63 Lampiran 5. Kurva kalibrasi standar barley uji kemurnian

metode congored... 66 Lampiran 6. Perhitungan konsentrasi β-glukan dengan


(14)

ABSTRAK

Ilhamsyah Noor. Isolasi dan Karakterisasi β–glukan Dari Tubuh Buah Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) Dengan metode Spektroskopi UV-Visibel dan FTIR. Dibimbing oleh Dr.Ira Djajanegara dan Sandra Hermanto M.Si.

Jamur tiram putih merupakan salah satu jenis jamur yang bermanfaat bagi manusia, karena mengandung senyawa β-glukan yang memiliki potensi sebagai obat antikanker. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi senyawa β-glukan yang terkandung di dalam jamur tiram putih kemudian menentukan kemurniannya. Proses isolasi dilakukan dengan metode Yap & Ng yang didasarkan pada prinsip pemanasan dengan aquades yang dilanjutkan dengan presipitasi oleh etanol 4oC dan diakhiri dengan pengeringan freeze drying. Sampel padatan glukan dikarakterisasi lebih lanjut dengan menggunakan FTIR dan ditentukan kemurniannya dengan spektrofotometer UV-Visibel menggunakan metode kolorimetri (megazyme dan congored). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi jamur tiram putih dengan metode Yap & Ng mampu menghasilkan padatan glukan sebanyak 2,4004 g. Karakterisasi ekstrak dengan FTIR menunjukkan spektrum utama pada bilangan gelombang 890 cm-1 yang mengindikasikan keberadaan senyawa 1,3-β-glukan. Hasil uji kemurnian lebih lanjut menunjukkan kemurnian β-glukan yang terkandung dalam ekstrak sebesar 46,1428% dengan metode megazyme serta 167,94% dengan metode congored. Kata kunci : β-glukan, jamur tiram putih (Pleorotus ostreatus), ekstraksi Yap & Ng, spektroskopi FTIR, spektroskopi UV-Visibel.


(15)

ABSTRACT

Ilhamsyah Noor. Isolation and Characterization of β-glucan from White Oyster Mushroom (Pleorotus ostreatus) With FTIR and UV-Visible Spectroscopy Method. Advised by Dr.Ira Djajanegara and Sandra Hermanto M.Si

White oyster mushroom was one of type fungus that beneficial to humans, because of β-glucan content which potential as anticancer drug. A research has been done on the white oyster mushroom through determination to isolate the compounds of β-glucan contained in the white oyster mushrooms and then determine its purity. Isolation process was conducted by Yap & Ng method based on the principle of heating with distilled water followed by ethanol pesipitasi by 4oC and then drying by freeze drying. Characterization of the extracts through by FTIR and determination of purity by UV-visible spectrophotometer with colorimetric method (megazyme and congored). The result showed that the extraction of white oyster mushrooms with Yap & Ng method produced total yields as much 2.4004 g. Characterization of the extract with FTIR spectrum shows the main wave number 890 cm-1 which is indicated of 1,3-β-glucan. Purity test results showed the β-glucan purity in the extract amounted to 46.1428% with megazyme method and 167,94% with congored method.

Keywords : β-glucan, white oyster mushroom (Pleorotus ostreatus), Yap & Ng Extraction, FTIR Spectroscopy, UV-Visible Spectroscopy


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jamur merupakan organisme eukariotik, yang terdiri dari jamur mikroskopik dan makroskopik. Jamur bermanfaat karena beberapa jenis organisme itu dapat digunakan sebagai bahan makanan, seperti jamur shiitake, jamur kuping, jamur tiram, jamur merang, jamur kancing, portabella, ganoderma, dan sebagainya. Manfaat tidak langsung adalah beberapa jenis jamur dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional seperti jamu maupun obat modern (Widyastuti, 2009).

Jamur tiram (Pleorotus sp.) merupakan salah satu jenis jamur yang cukup bermanfaat bagi manusia. Jamur tiram memiliki banyak jenis salah satunya adalah jamur tiram putih yang paling enak dan disukai. Jamur tiram putih memiliki kandungan gizi yang sangat banyak seperti zat mineral, protein, polisakarida dan lain-lain. Banyaknya kandungan gizi dalam jamur tiram putih membuat jamur tiram putih banyak dikonsumsi sebagai bahan makanan maupun bahan tambahan makanan yang diekstrak dari jamur tiram tersebut (Sumarmi, 2006).

Jamur tiram putih memiliki potensi yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari banyaknya zat-zat yang memiliki khasiat sebagai obat yang terkandung dalam jamur tiram putih. Salah satu dari zat yang berperan sebagai obat dalam jamur tiram putih adalah pleuran yang merupakan salah satu senyawa dengan struktur umum β-glukan, dimana senyawa ini memiliki peran sebagai zat antikanker yang


(17)

telah diteliti oleh para peneliti terdahulu (Chihara et al, 1970). β-glukan tidak hanya terdapat dalam jamur tiram putih, tetapi juga banyak terdapat pada jamur jenis lain seperti jamur shittake (Lentinus edodes) (Hozova, 2004).

β-glukan adalah suatu jenis polisakarida dengan monomer berupa D-glukosa, yang diikat melalui ikatan β-(1,3) glukosida dan β-(1,6) glukosida. β -glukan banyak terdapat pada dinding sel bakteri, tumbuhan dan khamir. Menurut FDA tahun 1997 β-glukan merupakan Biological Defense Modifier (BDM) dan Generally Recognized As Safe (GRAS), tidak menimbulkan toksisitas dan efek samping. β-glukan memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan, antitumor dan lain-lain. (Thontowi, 2007).

Banyaknya penggunaan jamur tiram sebagai bahan makanan dan bahan tambahan makanan serta potensi dari β-glukan sebagai zat anti kanker yang terkandung dalam jamur tiram putih, membuat kita terpacu untuk melakukan penelitian mengenai zat β-glukan tersebut. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yap & Ng (2001). Metode ini digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode ekstraksi yang pernah dilakukan oleh Chihara (1970) untuk ekstraksi β -glukan. Kelebihan dari metode ekstraksi Yap & Ng (2001) yaitu waktu ekstraksi dapat dilakukan selama 5 hari, lebih cepat dibandingkan dengan metode ekstraksi Chihara yang dilakukan selama 14 hari, Penggunaan bahan kimia yang lebih sedikit dalam proses ekstraksi, dan ekstrak yang dihasilkan lebih banyak yaitu sebanyak 325 mg jika dibandingkan dengan metode Chihara yang hanya menghasilkan ekstrak sebanyak 4 mg.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

1. Sejauh manakah β-glukan dapat diisolasi dengan menggunakan metode ekstraksi Yap & Ng (2001) ?

2. Bagaimana hasil karakterisasi β-glukan dengan FTIR?

3. Berapakah kadar β-glukan hasil pengukuran dengan metode kolorimetri congo red dan megazyme?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi β-glukan dari tubuh buah jamur tiram putih dengan menggunakan metode ekstraksi Yap & Ng (2001) dan mengetahui hasil karakterisasi β-glukan hasil ekstraksi dengan Spektrofotometer FTIR serta menentukan kadar β-glukan yang dihasilkan menggunakan metode megazyme dan congo red.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh β-glukan murni dari hasil ekstraksi jamur tiram putih dengan menggunakan metode Yap & Ng (2001) sehingga ekstrak yang diperoleh dapat diuji bioaktivitasnya sebagai bahan obat antikanker.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur Tiram Putih

Jamur tiram putih merupakan jenis jamur kayu yang tumbuh berderet menyamping pada batang kayu lapuk. Jamur ini memiliki tubuh buah yang tumbuh mekar membentuk corong dangkal seperti kulit kerang. Ciri jamur tiram putih antara lain bentuk tudung seperti tiram, lebar mencapai 25 cm, tebalnya 0,5-2 cm, yang tumbuh di daerah dingin biasanya tudungnya lebih tebal dibandingkan dengan yang tumbuh di suhu yang lebih panas (Sumarmi, 2006).

Jamur tiram putih banyak tumbuh di daerah yang lembab atau di negara yang memiliki 4 musim. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil jamur tiram putih. Petani-petani jamur tiram putih di Indonesia pada saat ini berkembang cukup pesat hal ini dikarenakan permintaan pasar internasional dan potensi dari jamur tiram putih tersebut (Suriawira, 2009).

Pada mulanya jenis jamur ini ditemukan tumbuh secara alami pada batang-batang pohon di hutan. Sekitar tahun 1935, upaya pembudidayaannya dipublikasikan oleh Kaufert, kemudian diikuti dengan berbagai penelitian di mancanegara untuk berbagai jenis jamur tiram. Jamur tiram mula-mula dibudidayakan di Belanda dan sempat diteliti serta diuji khasiatnya di laboratorium World Healt Organization (WHO). Dalam perkembangannya, jamur ini kemudian masuk ke Indonesia dan dikembangkan di Wonosobo, selanjutnya dibudidayakan di Sukabumi, Purbalingga, dan Temanggung (Prahastuti, 2001).


(20)

2.1.1. Klasifikasi Jamur Tiram Putih

Gambar 1. Pleurotus ostreatus

Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dinamakan demikian karena bentuknya seperti tiram atau kerang. Oleh orang Jepang jamur tiram putih disebut shimeji, lain halnya dengan orang eropa dan amerika yang menyebutnya sebagai oyster white (Anonim, 2002).

Jamur tiram putih merupakan jenis tumbuhan yang hidup pada bahan organik yang sudah tidak berguna (saprofit). Jamur tiram putih tumbuh dan berkembang sepanjang tahun di berbagai iklim tropis dan sub tropis. Jamur tiram putih tumbuh baik pada musim panas. Di Indonesia jamur tiram putih biasa tumbuh saat musim hujan maupun kemarau (Sumarmi, 2006).

Pada umumnya jamur tiram, Pleurotus ostreatus, mengalami dua tipe perkembangbiakan dalam siklus hidupnya, yakni secara aseksual maupun seksual. Seperti halnya reproduksi aseksual jamur, reproduksi aseksual basidiomycota secara umum yang terjadi melalui jalur spora yang terbentuk secara endogen pada kantung spora atau sporangiumnya, spora aseksualnya yang disebut konidiospora terbentuk dalam konidium. Sedangkan secara seksual, reproduksinya terjadi

Kerajaan : Fungi

Filum : Basidiomycota Kelas : Homobasidiomycetes Ordo : Agaricales

Famili : Tricholomataceae Genus : Pleurotus


(21)

melalui penyatuan dua jenis hifa yang bertindak sebagai gamet jantan dan betina membentuk zigot yang kemudian tumbuh menjadi primodia dewasa. Spora seksual pada jamur tiram putih, disebut juga basidiospora yang terletak pada kantung basidium (Phillips, 2006).

Mula-mula basidiospora bergerminasi membentuk suatu masa miselium monokariotik, yaitu miselium dengan inti haploid. Miselium terus bertumbuh hingga hifa pada miselium tersebut berfusi dengan hifa lain yang kompatibel sehingga terjadi plasmogami membentuk hifa dikariotik. Setelah itu apabila kondisi lingkungan memungkinkan (suhu antara 10-20 °C, kelembaban 85-90%, cahaya mencukupi, dan CO2 < 1000 ppm) maka tubuh buah akan terbentuk.

Terbentuknya tubuh buah diiringi terjadinya kariogami dan meiosis pada basidium. Nukleus haploid hasil meiosis kemudian bermigrasi menuju tetrad basidiospora pada basidium. Basidium ini terletak pada bilah atau sekat pada tudung jamur dewasa yang jumlahnya banyak (lamela). Dari spora yang terlepas ini akan berkembang menjadi hifa monokarion. Hifa ini akan memanjangkan filamennya dengan membentuk cabang hasil pembentukan dari dua nukleus yang dibatasi oleh septum (satu septum satu nukleus). Kemudian hifa monokarion akan mengumpul membentuk jaringan sambung menyambung berwarna putih yang disebut miselium awal dan akhirnya tumbuh menjadi miselium dewasa (kumpulan hifa dikarion). Dalam tingkatan ini, hifa-hifa mengalami tahapan plasmogami, kariogami, dan meiosis hingga membentuk bakal jamur. Nantinya, jamur dewasa ini dapat langsung dipanen atau dipersiapkan kembali menjadi bibit induk (OECD, 2006).


(22)

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengembangkan pertanian jamur tiram putih selain Jepang dan Cina. Hal ini terlihat pada tabel 1 dimana Indonesia merupakan salah satu produsen jamur tiram putih di dunia.

Tabel 1. Negara penghasil beberapa jenis jamur

Nama Umum Negara Penghasil

Champaignon/Jamur kancing

Shittake/black mushroom/hioko

Jamur merang (paddy straw mushroom)

Jamur winter

Jamur kuping/hiratake Jamur tiram/shimeji

Nameko

Jamur lendir putih Tuber

Amerika serikat, Perancis, Nederland, Inggris, RRC, Taiwan, Australia, Skandinavia

Cina, Jepang, Taiwan, Korea, Indonesia (Baru mulai), Amerika serikat dan beberapa Negara Eropa

Cina, Taiwan, Korea, Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia

Jepang, Cina, Taiwan, Korea Cina, Taiwan, Filipina

Cina, Taiwan, Jepang, Thailand, Pakistan, Indonesia, Singapura, Jerman, Nederland Jepang

Cina, Taiwan Jepang (Suriawira, 2009)

2.1.2. Komposisi Kimia dan Khasiat Jamur Tiram Putih

Seiring dengan populasi jamur sebagai bahan makanan yang enak dan bergizi, permintaan atas jamur tiram putih di masyarakat terus meningkat. Jamur tiram putih banyak diminati oleh masyarakat karena rasanya yang enak. Jamur tiram putih biasa dimasak di dalam sup bahkan ada pula yang membuat jamur tiram putih menjadi makanan ringan seperti keripik jamur tiram. Selain enak


(23)

jamur tiram putih juga bergizi, dimana kandungan gizi dari jamur tiram putih ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Komposisi dan kandungan gizi jamur tiram putih per 100 gram Zat Gizi Kandungan

Kalori(energi) 367 kal

Protein 10,5-30,4 %

Karbohidrat 56,6 %

Lemak 1,7-2,2 %

Tiamin 0,2 mg

Riboflavin 4,7-4,9 mg

Niasin 77,2 mg

Co (kalsium) 314 mg

K (kalium) 3,793 mg

P (Posfor) 717 mg

Na (Natrium) 837 mg

Fe (zat besi) 3,4-18,2 mg

Serat 7,5-8,7 %

(Sumarmi, 2006)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jamur tiram putih memiliki kandungan gizi yang cukup baik untuk dikonsumsi bahkan jika dilihat dari kandungan proteinnya jamur tiram ini memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari beras yang hanya sebesar 7,3% dan gandum yang sebesar 13,2%. Jamur tiram putih juga mengandung sembilan macam asam amino yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. 72% lemak dalam jamur tiram terdiri dari asam lemak tidak jenuh, sehingga aman dikonsumsi baik yang menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterol)


(24)

maupun gangguan metabolisme lipid, sisanya 28% asam lemak jenuh serta adanya semacam polisakarida kitin di dalam jamur tiram sehingga menimbulkan rasa enak (Sumarmi, 2006).

Dilihat dari kandungan gizi yang terdapat dalam jamur tiram putih maka bahan ini termasuk aman untuk dikonsumsi. Adanya serat yaitu lignoselulosa baik untuk pencernaan. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa dengan pemberian menu jamur tiram putih selama 3 minggu akan menurunkan kadar kolesterol dalam serum hingga 40 % dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi pakan yang mengandung jamur tiram putih, sehingga mereka berpendapat bahwa jamur tiram putih dapat menurunkan kadar kolesterol pada penderita hiperkolesterol (Sumarmi, 2006).

Kandungan serat yang terkandung dalam jamur tiram putih juga berpengaruh positif terhadap pencegahan penyakit kencing manis. Dengan peningkatan konsumsi serat dapat membantu perbaikan sensitifitas jaringan ujung saraf insulin, sehingga dapat mengurangi kebutuhan tubuh akan insulin. Berdasarkan eksperimen The Mushroom Asosiation of England dengan memberi tiga pon jamur tiram putih pada penderita kanker setiap minggu selama enam bulan berturut-turut menunjukan efek yang signifikan terhadap kondisi kesehatan penderita yang berangsur membaik dan pada akhirnya sembuh (Jaelani, 2008).

Selain zat-zat di atas jamur tiram putih juga mengandung senyawa pleuran yang merupakan polimer dari glukosa. Pleuran terdiri dari ikatan β-1,3 dan β-1,6 glukosida, dengan rumus molekul (C6H10O5)x. Zat inilah yang diduga memiliki


(25)

bioaktivitas sebagai zat antikanker, antikolesterol dan antiinflamasi karena memiliki struktur umum β-glukan.

Gambar 2. Rumus Struktur Pleuran (β-1,3 dan β-1,6 glukan)

2.2. β-D-Glukan

Gambar 3. Struktur molekul β-D-glukan (Kidd, 2000)

Glukan adalah polisakarida yang terbuat dari rantai molekul glukosa. Sedangkan beta (β) adalah sebutan dari posisi sterik dari group hidroksi glukosa yang termasuk dalam formasi rantai tersebut. Beta (β)-1,3 D-glukan dan beta (β )-1,6 D-Glukan adalah struktur yang biasa terbentuk. Sedangkan penomoran 1,3 dan 1,6 adalah berdasarkan posisi molekul glukosa yang terangkai bersama rantai. β -glukan merupakan homopolimer glukosa yang diikat melalui ikatan β-(1,3) dan β


(26)

-(1,6) glukosida (Thontowi, 2007). β-glukan memiliki bobot molekul tinggi, tergolong senyawa homopolisakarida, yaitu polisakarida yang tersusun dari satu jenis gula. Monomer β-glukan yakni D-glukosa (Kusmiati, 2007).

Pada tahun 1940-an sebuah riset telah dilakukan oleh Pillemer yang kemudian menemukan suatu substansi yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh yang disebut Zymosan dan tidak diketahui dengan jelas sampai pada tahun 1960-an. Hingga pada tahun 1970-an Nicholas Diluzio di Tulane University, penelitian mengenai beta (β) 1,3 D Glukan pada manusia dimulai, kemudian diuji lagi oleh Dr Peter Mansell bahwa senyawa beta (β) D Glukan mampu mengaktifkan makrofag. Pada tahun 1980 di Harvard Study dilakukan penelitian yang menggambarkan adanya rangsangan yang disebabkan oleh senyawa beta (β) D Glukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Disamping juga sejumlah riset yang menunjukkan bahwa senyawa beta (β) D Glukan yang mampu mengaktifkan makrofag untuk mengatasi infeksi HIV, komplikasi yang disebabkan trauma berat dan akibat radiasi, beta (β) D Glukan juga mampu untuk meningkatkan efektifitas antibiotik dan antivirus (Ahmad, 2008).

Beta glukan banyak terdapat pada dinding sel bakteri, jamur, maupun tumbuhan tingkat tinggi. Beta glukan telah mendapat rekomendasi aman dari Food and Drug Administration (FDA) untuk dikonsumsi manusia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa β-glukan yang dikonsumsi dapat memberikan efek pengobatan antara lain sebagai antioksidan, antikolesterol, perlindungan terhadap radiasi, antipenuaan dan juga sebagai antitumor (Spicer, 2005).


(27)

Proteoglikan merupakan gabungan antara polisakarida dan protein dengan polisakarida sebagai rantai utamanya dan protein sebagai konjugat. Perbedaan proteoglikan dengan glikoprotein yaitu pada proteoglikan rantai penyusun utamanya yaitu polisakarida, sedangkan pada glikoprotein rantai penyusun utamanya adalah protein. Proteoglikan bisa juga disebut sebagai glikosaaminoglikan atau dapat juga disebut mukopolisakarida. Heparin adalah salah satu contoh senyawa yang termasuk proteoglikan, dimana ia berfungsi sebagai anti gumpalan darah (Anida, 2004)

Gambar 4. Struktur heparin

Peptidoglikan adalah polisakarida yang terdiri dari dua gula turunan yaitu asam-N-asetil glukosamin serta asam-N-asetil muramat yang dihubungkan ikatan

β-1,4, dan sebuah rantai peptida pendek yang contohnya terdiri dari asam amino l-alanin, D-l-alanin, D-asam glutamat, dan baik L-lisin atau asam diaminopimelik (DAP)-asam amino langka yang hanya ditemukan pada dinding sel prokariot. Peptidoglikan adalah komponen utama dinding sel bakteri yang bersifat kaku dan


(28)

bertanggung jawab untuk menjaga integritas sel serta menentukan bentuknya. Struktur dasar peptidoglikan adalah sebuah selubung yang menyelimuti sel yang tersusun dari utas-utas peptidoglikan yang berdampingan satu sama lain dan dihubungkan dengan ikatan silang tetrapeptida yang terbuat dari asam amino. Peptidoglikan hanya ditemukan pada spesies bakteri contohnya Staphylococcus aureus, namun tidak semua bakteri memiliki DAP pada peptidoglikannya (Madigan et al, 2006).

2.2.1. Bioaktivitas β-glukan Sebagai Antikanker

Seperti yang telah diketahui β-glukan memiliki bioaktifitas sebagai antikanker. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu. Berikut ini merupakan mekanisme penghambatan perkembangan sel kanker oleh β-glukan.


(29)

Mekanisme penghambatan perkembangan sel kanker oleh β-glukan sebagaimana pada gambar 4 dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung, secara langsung β-glukan mengaktivasi makrofag, neutrofil, dan Natural Killer Cells dan memecah dinding selkanker, sehingga pertumbuhan sel kanker terhambat. Secara tidak langsung β-glukan yang menempel pada makrofag menstimulasi makrofag untuk membentuk Cytotoksik T Limposit yang kemudian cytotoksik T limposit menghasilkan substansi kimia antikanker lainnya yang dapat menghacurkan sel kanker. Dengan kata lain adanya β-glukan dapat mengaktifkan makrofag untuk mengenal dan merusak sel yang mengalami mutasi yang dapat menyebabkan kanker ataupun tumor (Anonim, 2009).

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen yang diinginkan dari penyusun-penyusun lain dalam suatu bahan atau campuran dengan menggunakan pelarut. Ekstraksi merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan senyawa dari sistem campuran (Pudjaatmaka dan Qodratillah, 2002).

Bila suatu zat terlarut membagi diri antara dua cairan yang tak dapat campur, ada suatu hubungan yang pasti antara konsentrasi zat terlarut dalam dua fasa pada kesetimbangan. Nernst pertama kalinya memberikan pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi ketika pada tahun 1981 ia menunjukan bahwa suatu zat akan terlarut akan membagi dirinya antara dua cairan yang tak dapat campur sedemikian rupa sehingga angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperatur tertentu (Underwood, 2002).


(30)

Berdasarkan hukum distribusi nernst : [A]1 = tetapan

[A]1 menyatakan konsentrasi zat terlarut A dalam fase cair 1.

Meskipun hubungan ini berlaku cukup baik dalam kasus-kasus tertentu, pada kenyataannya hubungan ini adalah tidak eksak. Yang benar, dalam pengertian termodinamik, angka banding aktivitas bukannya rasio konsentrasi yang seharusnya konstan. Aktivitas suatu spesies kimia dalam satu fase memelihara suatu rasio yang konstan terhadap aktivitas spesies itu dalam fase cair yang lain ;

aA1

Di mana :

aA1 = aktivitas zat terlarut A dalam fase 1 KDA = koefisien distribusi dari spesies A 2.3.1. Ekstraksi Padat-Cair

Ekstraksi padat–cair dilakukan bila ingin memisahkan suatu komponen dalam suatu padatan dengan menggunakan suatu pelarut cair. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus [A]2

aA2


(31)

sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Sudjadi, 1986). Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi padat-cair, yaitu :

1. Pelarut yang digunakan harus melarutkan bahan yang diekstraksi secara sempurna

2. Analit dalam sampel harus tahan panas (tidak terurai oleh panas) 3. Volume pelarut pengekstraksi harus cukup agar tidak kering

4. Pelarut tidak atau sedikit saja melarutkan bahan lain selain analit yang diinginkan (diisolasi)

Ada beberapa contoh dari ekstraksi padat cair yaitu : 1. Maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut (Darwis, 2002).

Keuntungan cara ekstraksi ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kelemahannya adalah waktu pengerjaan lama.


(32)

2. Perkolasi

Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Prinsipnya serbuk sampel ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan pelarut dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut sehingga akan melarutkan zat aktif. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator. Larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedangkan sisa penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi. Tetapi efektivitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan (Darwis, 2002).

Gambar 6. Perkolator 3. Soxhletasi

Prinsip kerjanya adalah serbuk yang akan diekstraksi diletakkan pada selongsong (thimble) dan ditempatkan pada bagian dalam alat soxhlet. Kemudian dipasang labu alas bulat yang sesuai dengan ukurannya. Diisi pelarut melalui bagian atas soxhlet, sehingga terjadi dua kali sirkulasi. Pada bagian atas dipasang


(33)

pendingin balik. Jika pelarut dididihkan uap akan keluar ke atas melalui pipa menuju pendingin balik dan akan dikondensasikan. Uap yang telah dikondensasikan akan turun dengan tetesan pelarut dan kemudian jatuh ke selongsong yang berisi bahan yang diekstraksi. Larutan akan berkumpul dan setelah larutan mencapai tinggi maksimal di atas soxhlet, secara otomatis larutan akan turun mengalir ke dalam labu alas bulat. Dengan demikian bahan dikatakan telah mengalami satu kali sirkulasi (Darwis, 2002).

Gambar 7. Ekstraktor soxhlet

Proses ini akan terjadi terus menerus secara otomatis sampai ekstraksi sempurna. Selanjutnya senyawa hasil ekstraksi dapat diambil dari larutan yang terkumpul dari labu alas bulat. Keuntungan metode ini adalah cairan pelarut yang dibutuhkan lebih sedikit, zat aktif yang diperoleh lebih banyak, dan ekstraksi dapat diteruskan sesuai dengan keperluan tanpa menambah volume cairan pelarut. Sedangkan kerugiannya adalah larutan dipanaskan terus menerus sehingga yang zat aktifnya tidak tahan pemanasan kurang cocok dilakukan dengan metode ini.


(34)

Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruhi oleh panas (Darwis, 2002).

4. Distilasi

Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu (Darwis, 2002).

Gambar 8. Distilator

Distilasi pertama kali ditemukan oleh kimiawan Yunani sekitar abad pertama masehi yang akhirnya perkembangannya dipicu terutama oleh tingginya permintaan akan spritus. Hypathia dari Alexandria dipercaya telah menemukan rangkaian alat untuk distilasi dan Zosimus dari Alexandria-lah yang telah berhasil menggambarkan secara akurat tentang proses distilasi pada sekitar abad ke-4 Bentuk modern distilasi pertama kali ditemukan oleh ahli-ahli kimia Islam pada masa kekhalifahan Abbasiah, terutama oleh Al-Razi pada pemisahan alkohol


(35)

menjadi senyawa yang relatif murni melalui alat alembik, bahkan desain ini menjadi semacam inspirasi yang memungkinkan rancangan distilasi skala mikro, The Hickman Stillhead dapat terwujud. Tulisan oleh Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang lebih dikenal dengan Ibnu Jabir menyebutkan tentang uap anggur yang dapat terbakar. Ia juga telah menemukan banyak peralatan dan proses kimia yang bahkan masih banyak dipakai sampai saat kini. Kemudian teknik penyulingan diuraikan dengan jelas oleh Al-Kindi.

Secara teori, hasil distilasi dapat mencapai 100% dengan cara menurunkan tekanan hingga 1/10 tekanan atmosfer. Dapat pula dengan menggunakan distilasi azeotrop yang menggunakan penambahan pelarut organik dan dua distilasi tambahan, dan dengan menggunakan penggunaan cornmeal yang dapat menyerap air baik dalam bentuk cair atau uap pada kolom terakhir. Namun, secara praktek tidak ada distilasi yang mencapai 100% (Yee, 2008).

5. Ekstraksi Yap & Ng (2001)

Metode ekstraksi Yap & Ng pada dasarnya hampir sama dengan proses ekstraksi lainnya, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini yaitu air (aquades).

β-glukan diisolasi dengan air panas yang kemudian dilakukan presipitasi (pengendapan) dengan etanol dan diteruskan dengan proses freeze drying dengan menggunakan nitrogen cair. Uji kemurnian dilakukan dengan analisis kolom karbohidrat yang memberikan kemurnian sebesar 87,5 %.

Jika dilihat dari aspek komersialnya metode ekstraksi yang dilakukan oleh Yap & Ng (2001) lebih efisien, lebih murah dan tidak membutuhkan waktu yang lama jika dibandingkan dengan metode ekstraksi β-glukan yang dilakukan oleh


(36)

Mizuno (1999) dan Chihara et al pada tahun 1970. Berikut merupakan perbandingan antara metode Yap & Ng dan Chihara et al.

Tabel 3. Perbandingan metode ekstraksi Yap & Ng (2001) dan Chihara et al (1970)

Karakteristik Metode yang digunakan

Metode Chihara Metode Yap & Ng

1. Waktu ekstraksi

2. Bahan kimia yang

dibutuhkan

3. Ekstrak yang dihasilkan

4. Persentasi kemurnian ekstrak 14 hari Banyak 4 mg 99,23 % 5 hari

Tidak ada, kecuali nitrogen cair dan etanol 325 mg

87,50 %

( Yap & Ng, 2001)

2.3.2. Ekstraksi Cair-Cair

Proses ekstraksi melibatkan dua fasa (kedua fasa dapat berupa cairan tetapi tidak bercampur), dan dapat dilakukan dengan satu kali ekstraksi (single extraction), beberapa kali ekstraksi (multiple extraction), dan ekstraksi berkesinambungan (continues extraction).

Ektraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia diantara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur dimana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian lain larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, kemudian didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi tetap (Sudjadi, 1986). Hal yang penting pada jenis ekstraksi cair-cair ini bukanlah volume fasa organik, melainkan jumlah pengekstraksian yang dilakukan. Ekstraksi 10 ml fasa organik sebanyak 5 kali,


(37)

akan memisahkan senyawa yang lebih banyak dibandingkan dengan satu kali ekstraksi, walaupun total volume palarut organik yang digunakan sama (Puspita, 2004).

Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaltu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin. Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara teknis dalam skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam logam. Proses inipun digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi padat cair (Rahayu, 2009).

2.4. Spektrofotometri UV-Visibel

Teknik analisis spektrofotometri termasuk salah satu teknik analisis instrumental disamping teknik kromatografi dan elektrokimia. Teknik tersebut memanfaatkan fenomena interaksi materi dengan gelombang elektromagnetik seperti sinar-x, ultraviolet, cahaya tampak dan inframerah. Fenomena interaksi bersifat spesifik baik absorpsi maupun emisi. Interaksi tersebut menghasilkan signal-signal yang disadap sebagai alat analisis kualitatif dan kuantitatif (Sudjadi, 1985).


(38)

2.4.1. Prinsip Kerja Spektrofotometri UV-Visibel

Prinsip kerja dari spektrofotometri UV-Visibel adalah adanya interaksi antara radiasi pada rentang panjang gelombang 200-800 nm yang dilewatkan terhadap suatu senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam ikatan molekul, maka semakin panjang panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap (Watson, 2005).

Suatu spektrometer UV-Visibel bekerja pada daerah panjang gelombang sekitar 200 nm (pada ultra-violet dekat) sampai sekitar 800 nm (pada infra-merah sangat dekat). Lompatan elektron yang mungkin menyerap sinar pada daerah itu jumlahnya terbatas. Warna-warna utama dari spektrum sinar tampak adalah:

Gambar 9. Warna pada spektrum sinar tampak

Warna-warna dari spektrum sinar tampak lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini :


(39)

Pa

Pr

Po

Pt Tabel 4. Rentang panjang gelombang pada sinar tampak

Warna Panjang gelombang (nm)

Ungu 380 – 435

Biru 435 – 500

Sian (biru pucat) 500 – 520

Hijau 520 – 565

Kuning 565 – 590

Oranye 590 – 625

Merah 625 – 740

Gambar 10. Prinsip kerja cahaya yang terabsorpsi Po = Pa + Pt + Pr

dimana:

Po = intensitas sinar yang masuk Pa = intensitas sinar yang diabsorbsi Pr = intensitas sinar yang dipantulkan Pt = intensitas sinar yang diteruskan Ketika panjang gelombang cahaya melalui larutan kimia yang diujikan, sebagian cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh larutan. Berdasarkan hukum Lambert Beer’s (1852), secara kuantitatif absorbsi ini dinyatakan sebagai berikut : Log I0/IT = ε . L. C


(40)

dimana

I0 = Intensitas cahaya sebelum melewati sampel IT = Intensitas cahaya setelah melewati sampel

ε = Koefisien ekstingsi, konstanta yang tergantung dari senyawa substansi dan panjang gelombang yang digunakan untuk análisis

L = Panjang atau jarak cahaya yang melewati sampel C = Konsentrasi dari larutan yang dianalisa

2.4.2. Instrumentasi Spektrofotometer UV-Visibel

Alat spektrofotometer UV-Vis terdapat dua macam yaitu single beam dan double beam dimana perbedaan antara keduanya adalah pada tempat sampel dan standar. Untuk single beam, tempat sampel dan standar digunakan bergantian, sedangkan untuk double beam sampel dan standar memiliki tempat masing-masing, sehingga dalam pengukuranya dilakukan secara bersama. Berikut perbedaan skema alat antara single beam dan double beam (Underwood,2002)

Gambar 11. Skema alat spektrofotometer UV-Vis single beam Sumber  Monokromator Sampel Detektor 

Penguat 


(41)

Gambar 12. Skema alat spektrofotometer UV-Vis double beam

Adapun bagian-bagian dari alat spektrofotometer UV-Vis terdiri dari :

1. Sumber cahaya, yang biasa digunakan dalam spektrofotometer UV-Vis adalah lampu hidrogen atau lampu deuterium. Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang. 2. Monokromator, Alatnya dapat berupa prisma atau grating. Untuk

mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah. Ada dua tipe prisma yaitu susunan cornu dan susunan littrow. Secara umum tipe cornu menggunakan sudut 60°, sedangkan tipe littrow menggunakan prisma dimana pada sisinya tegak lurus dengan arah sinar yang berlapis alumunium serta mempunyai sudut optik 30°.

sumber 

monokr

omator  sampel 

referens

komputer

Pengubah  analog ke  digital

Pemroses  sinyal

Detektor

Cermin berotasi

Cermin Cermin


(42)

3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa dan gelas hasil leburan serta seragam keseluruhannya.

4. Detektor, peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. (Underwood,2002)

Syarat-syarat senyawa yang dapat dianalisis menggunakan UV-VIS yaitu : 1) Bahan mempunyai gugus kromofor (UV)

2) Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tapi berwarna (Visible)

3) Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tidak berwarna, ditambahkan pereaksi warna (Visible)

4) Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dibuat turunannya yang mempunyai gugus kromofor (UV).

2.4.3. Metode Pengukuran Kadar β-glukan 1. Megazyme

Megazyme adalah salah satu perusahaan yang memproduksi enzim. Salah satu enzim yang diproduksi digunakan untuk menentukan kemurnian β-glukan yang berasal dari jamur. Mekanisme uji kemurnian β-glukan adalah sebagai berikut; senyawa hasil ekstraksi dari jamur dihidrolisis dengan menggunakan HCl


(43)

pekat menjadi D-glukosa dengan bantuan enzim Exo-1,3-Glucanase, setelah terhidrolisis D-glukosa diinkubasi menggunakan glukosa oksidase dan kemudian berubah menjadi D-glukonat dan peroksidase. Adanya enzim peroksidase dan penambahan p-hydroxibenzoic acid serta 4 aminoantipyrine, akan mengubah D-glukonat menjadi quinoneimine dye yang berwarna merah. Senyawa tersebut dapat diukur dengan menggunakan UV-Visibel spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm (Barry, 2009).

Uji Kemurnian β-glukan dengan metode megazyme dilakukan dengan dua tahap yaitu pengukuran total glukan dan pengukuran α-glukan dari ekstrak sampel. Untuk penentuan kadar kemurnian β-glukan dilakukan dengan cara persentase total glukan dikurangi dengan persentase α-glukan, maka akan didapat persentase kemurnian dari senyawa β-glukan yang terkandung dalam ekstrak sampel. Selain pengukuran sampel dilakukan juga pengukuran terhadap standar yaitu yeast yang telah tersedia dalam paket bersama enzim. Pengukuran ini dilakukan untuk memastikan ketelitian hasil pengujian ini, karena konsentrasi β -glukan dari yeast telah ditentukan sebesar 56,5% yang tertera pada botol standar yeast.

Total Glukan – α-glukan = β-glukan

Pengukuran total glukan dilakukan dengan cara menghidrolisis ekstrak sampel terlebih dahulu dengan menggunakan HCl pekat (asam pekat) kemudian sisa glukan yang tak terhidrolisis oleh HCl akan dihidrolisis oleh enzim exo -1,3-glukanase hal ini bertujuan agar sampel yang merupakan polimer dapat


(44)

terhidrolisis secara sempurna menjadi monomer-monomernya yang berupa D-glukosa. Setelah terhidrolisis secara sempurna kemudian larutan diinkubasi dengan GOPOD (4-aminoantipirin, asam p-hidroksi benzoat, enzim peroksidase) sehingga warna larutan akan berubah menjadi warna merah yang dapat diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang 510 nm. Dapat dilihat reaksi dari proses di atas adalah sebagai berikut (Barry, 2009).

Reaksi 1

Reaksi 2

 4


(45)

Pengukuran α-glukan dilakukan dengan cara menginkubasi sampel yang telah dilarutkan dengan KOH 2N dengan enzim amyloglucosidase dan larutan invertase. Yang mana enzim tersebut hanya akan memotong-motong glukan pada posisi α, sehingga hanya α-glukan yang terukur pada alat spektrofotometer. Setelah penambahan enzim larutan ditambahkan enzim GOPOD (4-aminoantipirin, asam p-hidroksi benzoat, enzim peroksidase) dan diinkubasi. Akan terjadi perubahan warna menjadi warna merah sama halnya dengan pengukuran total glukan. Dapat dilihat reaksi dari proses di atas adalah sebagai berikut ( Barry, 2009).

Reaksi 1

α-glukan + H2O D-glukosa

Reaksi yang selanjutnya terjadi pada pengukuran α-glukan sama dengan pengukuran total glukan. Dari glukosa hingga pembentukan senyawa quinonimine yang berwarna merah.

2. Congo Red

Gambar 13. Struktur molekul congo red amyloglukosidase


(46)

Congo red adalah suatu garam natrium dari benzidinediazo-bis-1-naftilamin-4-asam sulfonat dengan rumus molekul C32H22N6Na2O6S2 dan dengan berat molekul 696,66 g/mol. Congo red larut dalam air, dan kelarutan congo red paling baik dalam pelarut organik. Penggunaan congo red dalam bidang biokimia digunakan dalam penentuan kemurnian β-glukan yang diisolasi dari gandum. Berawal dari penelitian tersebut, reagen congo red sampai sekarang masih dapat digunakan sebagai penentuan kemurnian β-glukan (Stensmaa, 2001).

Congo red pertama kali disintesis pada tahun 1883 oleh Paul Bottiger yang bekerja untuk perusahaan Friedrich Bayer di Elberfield, Jerman. Ia sedang mencari pewarna tekstil yang tidak memerlukan langkah yang rumit. Perusahaan tersebut tidak tertarik dengan warna merah yang cerah. Jadi ia mengajukan paten di bawah namanya kemudian dijual kepada perusahaan AGFA di Berlin. Pewarna tersebut membawa sukses besar untuk perusahaan AGFA, sehingga pada tahun-tahun berikutnya dengan alasan yang sama perusahaan tersebut memasarkan pewarna lainnya dengan nama “congo”. (Stensmaa, 2001)

Metode congo red merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentukan adanya senyawa β-glukan dari suatu bahan. Metode ini menggunakan reagen congo red sebagai pereaksi sehingga akan membentuk kompleks congo red dan polisakarida yang berwarna merah. Senyawa congo red sendiri berwarna merah, tetapi apabila reagen ini tidak bereaksi terhadap suatu senyawa, maka larutan akan berubah menjadi bening. Untuk uji pendahuluan dengan congo red tidak dikhususkan pada polisakarida tertentu tetapi polisakarida secara umum, jadi untuk uji congo red hanya digunakan untuk mengetahui konsentrasi polisakarida


(47)

dari ekstrak sampel. Untuk mengetahui jenis senyawa yang terkandung dalam ekstrak sampel dapat dilakukan dengan cara kromatografi.

2.5. Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada Bilangan Gelombang 13.000 – 10 cm-1 (Giwangkara, 2007). Dibandingkan dengan panjang gelombang sinar ultraviolet dan tampak, panjang gelombang infra merah lebih panjang dan dengan demikian energinya lebih rendah. Energi sinar inframerah berkaitan dengan energi vibrasi molekul.

Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan (Giwangkara, 2007). Saat ini telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan rentang panjang gelombang tertentu. Spektrum elektromagnetik merupakan kumpulan spektrum dari berbagai panjang gelombang. Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang, sinar infra merah dibagi atas tiga daerah, yaitu:

1. Daerah infra merah dekat (0,72 – 2,5µm) 2. Daerah infra merah pertengahan (2,5 – 50 µm) 3. Daerah infra merah jauh (50 – 1000 µm)


(48)

2.5.1. Prinsip Dasar Spektroskopi IR

Dasar Spektroskopi Infra Merah dikemukakan oleh Hooke dan didasarkan pada senyawa yang terdiri atas dua atom atau diatom yang digambarkan dengan dua buah bola yang saling terikat oleh pegas seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 14. Gambaran dua atom yang memiliki vektor listrik dan vektor magnetik Jika pegas direntangkan atau ditekan pada jarak keseimbangan tersebut maka energi potensial dari sistem tersebut akan naik. Setiap senyawa pada keadaan tertentu telah mempunyai tiga macam gerak, yaitu gerak translasi, vibrasi dan rotasi. Bila ikatan bergetar, maka energi vibrasi secara terus menerus dan secara periodik berubah dari energi kinetik ke energi potensial dan sebaiknya. Jumlah energi total adalah sebanding dengan frekwensi vibrasi dan tetapan gaya (k) dari pegas dan massa (m1 dan m2) dari dua atom yang terikat. Energi yang dimiliki oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk mengadakan perubahan vibrasi (Giwangkara, 2007).

Frekuensi vibrasi suatu ikatan dapat dihitung dengan cukup seksama dengan cara yang sama seperti menghitung frekuensi vibrasi sistem pegas dan sebuah bola. Sesuai dengan persamaan hukum Hooke dibawah ini.

υ = 1 2π 

k m1m2 (m1+ m2)


(49)

di mana

υ = Frekuensi

k = Tetapan yang berhubungan dengan kekuatan pegas (gaya suatu ikatan) m1, m2 = Masa dari dua bola (atom)

c = Kecepatan cahaya = 3. 1010 cm/detik

besaran m1m2 / (m1 +m2) dapat dinyatakan sebagai µ, masa tereduksi dari sistem itu (Sudjadi, 1985).

Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger print (400-2000 cm-1). Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu :

1. Vibrasi Regangan (Stretching)

Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan terdiri dari dua macam, yaitu regangan simetri dan regangan asimetri.


(50)

2. Vibrasi Bengkokan (bending)

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu vibrasi goyangan, guntingan, kibasan, dan pelintiran.

Gambar 16. Jenis-jenis vibrasi bengkokan antar atom (Giwangkara,2007) Vibrasi yang digunakan untuk identifikasi molekul (sidik jari) adalah vibrasi bengkokan, khususnya goyangan (rocking), yaitu yang berada di daerah bilangan gelombang 2000 – 400 cm-1. Karena di daerah antara 4000 – 2000 cm-1 merupakan daerah yang khusus yang berguna untuk identifkasi gugus fungsi. Daerah ini menunjukkan absorbsi yang disebabkan oleh vibrasi regangan. Pada daerah antara 2000 – 400 cm-1 seringkali sangat rumit, karena vibrasi regangan maupun bengkokan mengakibatkan absorbsi pada daerah tersebut. Dalam daerah 2000 – 400 cm-1 tiap senyawa organik mempunyai absorbsi yang unik, sehingga


(51)

daerah tersebut sering juga disebut sebagai daerah sidik jari. Berikut ini adalah beberapa senyawa dengan daerah serapannya.

Tabel 5. Serapan khas beberapa gugus

Gugus Jenis senyawa Daerah serapan

C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470

C-H Alkena 3020-3080, 675-1000

C-H Aromatic 3000-3100, 675-870

C-H Alkuna 3300

C=C Alkena 1640-1680

C C Alkuna 2100-2260

C=C Aromatic (cincin) 1500-1600

C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470

C-O Alcohol,eter, asam karboksilat, ester 1080-1300

C=O Aldehid, keton, asam

karboksilat,ester

1690-1760

O-H Alkohol, fenol(monomer) 3610-3640 O-H Alkohol, fenol(ikatan H) 200-3600 (lebar)

O-H Asam karboksilat 500-3000 (lebar)

N-H Amina 3300-3500

C-N Amina 1180-1360

C N Nitril 2210-2260

NO2 Nitro 1515-1560, 1345-1385

(Takeuchi, 2009)

Spektra IR informasinya tak sekaya spektra NMR. Namun, spektroskopi IR merupakan satu dari teknik yang paling sering digunakan untuk mendapatkan informasi struktur berbagai tipe senyawa. Keuntungan spektroskopi IR dibanding


(52)

NMR adalah pengukurannya mudah dan sederhana, dan spektra IR tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi pengukuran.

2.5.2. Instrumentasi Spektrofotometer IR

Spektrofotometer infra merah biasanya merupakan spektrofotometer ganda dan terdiri dari 5 bagian utama yaitu sumber radiasi, daerah cuplikan, kisi difraksi (monokromator), dan detektor.

1. Sumber radiasi, radiasi infra merah biasanya dihasilkan oleh pemijar Nernst dan Globar. Pemijar Globar merupakan batangan silikon karbida yang dipanasi hingga sekitar 1.200oC, sehingga memancarkan radiasi kontinyu pada daerah 1-40µm. Globar merupakan sumber radiasi yang sangat stabil. Pijar Nernst merupakan batang cekung dari sirkonium dan yitrium oksida yang dipanasi hingga sekitar 1.500oC dengan arus listrik. Sumber ini memancarkan radiasi antara 0,4-20µm dan kurang stabil jika dibandingkan dengan globar, tetapi Globar memerlukan pendinginan air.

2. Monokromator, monokromator terdiri dari sistem celah masuk dan celah keluar, alat pendespersi yang berupa kisi difraksi atau prisma, dan beberapa cermin untuk memantulkan dan memfokuskan berkas sinar. Bahan yang lazim digunakan prisma adalah natrium klorida, kalium bromida, sesium bromida dan litium fluorida. Prisma natrium klorida paling banyak digunakan untuk monokromator infra merah, karena dispersinya tinggi untuk daerah antara 5,0-16µm, tetapi dispersinya kurang baik untuk daerah antara 1,0-5,0µm. Kalium bromida dan sesium bromida merupakan bahan prisma yang baik untuk infra merah jauh. Litium fluorida merupakan bahan yang baik untuk infra merah


(53)

dekat. Bahan-bahan tersebut diatas bersifat higroskopis, sehingga dapat dirusak oleh uap air. Sekarang spektrofotometer infra merah kebanyakan menggunakan kisi difraksi, bukan prisma. Keuntungan kisi difraksi adalah resolusi lebih baik, energi sinar yang hilang lebih sedikit sehingga dapat digunakan lebar celah yang lebih sempit, memberikan disperse yang linier dan tahan terhadap uap air. Sedangkan kekurangan dari kisi difraksi adalah jumlah sinar hamburan lebih banyak dan dihasilkannya lebih dari satu spektrum dari berbagai orde. Untuk mengatasi kelemahan ini maka digunakan prisma dan filter bersama kisi difraksi (monokromator ganda), sehingga hanya dihasilkan spektrum dari satu orde saja. Hal yang sama juga dapat diperoleh dengan membuat sudut jalur kisi sedemikian rupa sehingga sinar yang didispersikan terpusat hanya pada satu orde saja.

3. Detector. Sebagian besar alat modern menggunakan detektor panas. Detektor fotolistrik tidak dapat digunakan untuk mendeteksi sinar infra merah, karena energi foton infra merah tidak cukup besar untuk membebaskan elektron dari permukaan katoda dari suatu tabung foton. Detektor panas suntuk mendeteksi sinar infra merah yaitu termokopel, bolometer dan sel Golay. Ketiga detektor ini bekerja berdasarkan efek pemanasan yang ditimbulkan oleh sinar infra merah (Sudjadi,1985).


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikologi BPPT dan Laboratorium Bahan Alam Pusat Penelitian Kimia LIPI Puspiptek, Serpong serta Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 hingga Januari 2010.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Visibel Hitachi U-2001, ultra sentrifugator Beckman, sentrifius (Sigma 201m), spektrofotometer FTIR spectrum one Perkin Elmer, freez-drying (telstar iyoalfa 15), blender, waterbath, vortex mixer, neraca analitik, magnetik stirer dan beberapa alat-alat glassware seperti beaker glass, tabung glass uji dengan tutup ukuran 20 x 125 mm dan 16 x 125 mm, tabung glass uji tanpa tutup ukuran 16 x 100 mm, erlenmeyer, gelas ukur dan pipet ukur dan alat-alat lainnya.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan berupa jamur tiram putih (Pleorotus Ostreatus) yang diperoleh di pasar tradisional Ciputat. Jamur tiram yang digunakan adalah jamur tiram yang masih segar (fresh). Standar β-glukan sigma (ȕ-glucan from barley), (C6H10O5)n (9041-22-9) powder, glucose > 95% sebagai standar untuk uji


(55)

kemurnian dengan FTIR, Yeast sebagai standar dalam pengukuran megazyme. Selain itu juga digunakan bahan-bahan lain selain bahan penunjang, antara lain : Kits (megazyme) :

1. Botol 1 : Exo-1,3-Glucanase (100 U/mL) plus β-Glucosidase (20U/mL), stabil selama > 4 tahun pada suhu 4oC => 2 mL

2. Botol 2 : Amyloglucosidase (1630 U/mL) plus larutan invertase 50% v/v dalam gliserol, stabil selama 2 tahun pada suhu 2oC atau 4 tahun pada suhu -20oC. => 20 mL

3. Botol 3 : Reagent buffer glukosa, stabil selama 2tahun pada 4oC atau 4 tahun pada suhu -20oC. => 50 mL

4. Botol 4 : Glucose determination reagent, stabil selama 4 tahun pada suhu -20oC

5. Botol 5 : larutan standar D-Glukosa dalam 0,2% w/v asam benzoat, stabil selama 4 tahun pada suhu ruang => 5mL, 1.00 mg/mL

6. Botol 6 : Kontrol β-glukan, stabil selama > 5 tahun pada temperature ruang. => ~2 g

Reagent :

1. Buffer Sodium asetat (200 mM, pH 5.0) 2. Buffer Sodium asetat (1,2 M, pH 3.8) 3. Potasium Hidroksida (KOH 2M) 4. Asam Hidroklorida (37% v/v, ~10M)


(56)

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Ekstraksi β-glukan dari Tubuh Buah Jamur Tiram Putih (Yap & Ng, 2001)

Ekstraksi β-glukan dari tubuh buah jamur tiram menggunakan metode yang telah dikembangkan oleh Yap & Ng (2001) dengan sedikit modifikasi (pada penelitian ini untuk membekukan sampel basah dengan deep freeze sedangkan pada metode Yap & Ng dengan menggunakan nitrogen cair), mula-mula 1 kg jamur tiram putih segar dicuci dan diblender kemudian dihomogenisasikan dengan air panas sebanyak 1500 mL pada suhu ± 100oC. setelah tercampur rata, homogenat didinginkan pada suhu ruang kemudian dipisahkan dari residu dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Selanjutnya filtrat tersebut ditambah dengan etanol 95% yang telah didinginkan sampai suhu 4oC, kemudian terjadi presipitasi.

Presipitat kemudian diekstraksi kembali dengan menggunakan air panas sebanyak 1000 mL pada suhu 100oC dan disaring untuk memisahkan bahan-bahan yang tidak larut. Larutan yang bersih dipisahkan dengan bahan yang tidak larut dengan menggunakan kapas, kemudian filtrat (larutan yang bersih) ditambahkan lagi dengan etanol 95% (4oC) dengan volume yang sama (1:1) dan didiamkan selama 1 hari. Disentrifugasi kembali kemudian larutan dipisahkan dari presipitat. Presipitat yang didapat dibekukan dalam Deep Freezer pada suhu -82oC dan dikeringkan dengan cara freeze drying kemudian ditimbang sebagai berat kering ekstrak sampel.


(57)

Residu jamur diekstraksi hingga empat kali dengan cara yang sama tetapi dengan volume yang berbeda untuk memastikan tidak ada senyawa pleuran (β-glukan yang terdapat dalam jamur tiram putih/Pleorotus ostreatus) yang tersisa atau hanya tinggal sedikit sekali yang tertinggal pada residu jamur. Hasil yang didapatkan dari hasil ekstraksi adalah berupa padatan glukan larut air.

3.3.2. Analisa Kualitatif Ekstrak Padatan Glukan Dengan FTIR

Sampel padatan glukan larut air sebanyak ± 20 mg dicampurkan dengan serbuk KBr, digerus pada lumping agate hingga tercampur rata dan diambil sedikit kemudian masukan ke dalam cakram dan dipress dengan alat press holder. Setelah terbentuk film tipis, cakram KBr dimasukan pada KBr disc holder dan spektrum sampel direkam pada range 400-4000 cm-1 pada resolusi 8 dengan FTIR spektrofotometer. Hasilnya dibandingkan dengan spektrum standar barley >95%. 3.3.3. Pengukuran Total Glucan dan D-Glukosa (Megazyme)

Sampel padatan glukan larut air dan yeast (sebagai standar pengujian) dimasukan ke dalam tabung glass uji (tabung reaksi) bertutup ukuran 20 x 125 mm sebanyak 100 mg, tabung digoyang-goyangkan hingga sampel jatuh seluruhnya ke bagian bawah tabung. Selanjutnya 1,5 mL asam klorida terkonsentrasi (37% v/v) ditambahkan ke dalam tiap tabung (2 tabung), tutup tabung dan dikocok dengan vortex. Tabung ditempatkan dalam waterbath pada suhu 30oC selama 45 menit dan vortex setiap 15 menit, kemudian ditambahkan 10 mL aquades pada tiap tabung, tutup tabung dan kocok dengan vortex. Selanjutnya tutup tabung dilepaskan dan masukan tabung pada air mendidih (~100oC), setelah 5 menit tutup kembali dan inkubasi dilanjutkan selama 2 jam. Setelah 2 jam


(58)

dinginkan tabung pada suhu ruang, tutup tabung dilepaskan dengan hati-hati kemudian 10 mL KOH 2N ditambahkan pada tiap tabung. Bilas isi tabung menggunakan buffer sodium asetat (pH 5.0) ke dalam tabung bersih, tepatkan volumenya. Suspensi disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman GF/A atau sentrifus pada 1500 g selama 10 menit. Cairan yang jernih dipisahkan dari endapan yang telah disaring kemudian dimasukan ke dalam tabung glass uji ukuran 16x100 mm. Reagen Exo-1,3-Glucanase (100 U/mL) plus β-Glucosidase (20U/mL) ditambahkan ke dalam sodium asetat buffer (200 mM, pH 5.0) pada tiap tabung, kocok tabung dengan menggunakan vortex dan inkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit. Selanjutnya 3 mL reagen GOPOD ditambahkan pada tiap tabung dan inkubasi pada suhu 40oC selama 20 menit. Warna larutan berubah menjadi merah dan absorbansi semua larutan (sampel, blanko, yeast dan standar glukosa) diukur pada panjang gelombang 510 nm.

Setelah didapatkan absorbansi dari sampel, blanko, yeast dan standar glukosa, dapat dihitung konsentrasi total glukan dengan cara manual (lampiran 4) atau dengan menggunakan software Mega Calc (lampiran 3) dengan memasukan absorbansi tiap larutan.

3.3.4. Pengukuran α-Glukan (Megazyme)

Sampel padatan glukan larut air dan yeast (sebagai standar pengujian yang terdapat dalam paket megazyme) dimasukan ke dalam tabung glass uji bertutup ukuran 20x125 mm, kemudian tutup tabung dan goyangkan hingga sampel jatuh seluruhnya ke dasar tabung. Magnetik stirer (5x15 mm) dan 2 mL KOH 2N dimasukkan ke dalam tiap tabung. Selanjutnya 8 mL buffer Sodium asetat (1,2


(59)

M, pH 3.8) dimasukan ke dalam tiap tabung, 0,2 mL Amyloglucosidase (1630 U/mL) plus larutan invertase (50% v/v dalam gliserol) ditambahkan perlahan-lahan ke dalam tiap tabung, campur hingga rata dan tempatkan dalam waterbath pada suhu 40oC. Kemudian tabung diinkubasi pada suhu 40oC selama 30 menit dengan diselingi pengocokan oleh vortex. Untuk sampel dengan kandungan α -glukan lebih dari 10 % ; secara kuantitatif dipindahkan dengan menggunakan air ke dalam volumetric flask, campur dengan baik kemudian larutan disentrifugasi pada 1500 g selama 10 menit. Untuk sampel dengan kandungan α-glukan kurang dari 10 % sentrifugasi semua larutan dalam tabung pada 1500g selama 10 menit. Untuk semua sampel volume akhir dalam tabung 10 mL. Kemudian 0,1 mL aliquot dipindahkan ke dalam tabung glass uji (16x100 mm), selanjutnya sodium asetat buffer (200 mM, pH 5.0) plus 3 mL reagen GOPOD ( Aminoantipirin, asam p-hidroksi benzoat dan enzim peroksidase) ditambahkan ke dalam tabung uji dan inkubasi pada suhu 40oC selama 20 menit. Absorbansi semua larutan (sampel, blanko, yeast dan standar glukosa) diukur pada panjang gelombang 510 nm.

Setelah didapatkan absorbansi dari sampel, blanko, yeast dan standar glukosa, dapat dihitung konsentrasi α-glukan dengan cara manual (lampiran 4) atau dengan menggunakan software Mega Calc (lampiran 3) dengan memasukan absorbansi tiap larutan.

3.3.5. Pengukuran Kadar β-glukan Metode Congo Red

Sampel glukan sebanyak 0,02787 g dimasukan dalam botol vial (botol polipropilen), dilarutkan dengan 1,4 mL NaOH dan 0,6 mL aquades (larutan glukan 1%). Larutan distirer hingga larut, kemudian 1 ml larutan glukan 1 % di


(60)

pipet dan dimasukan ke dalam ependof 1,5 mL. Kemudian sentrifus larutan dan pisahkan filtrat. Filtrat ditambahkan dengan 0,5 mL NaOH kemudian ditambahkan congo red. Rekam spektrum larutan glukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang 510 nm. Kandungan β -glukan dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh dari larutan standar β -glukan dari barley dengan memasukan absorbansi yang didapatkan dari hasil pengukuran ke dalam persamaan regresi linear (lampiran 5). Hasil yang didapatkan yaitu konsentrasi dalam satuan ppm yang kemudian di konversi ke satuan % w/w (lampiran 6)

3.3.6. Desain Penelitian

Jamur Tiram Putih (1kg)

Ekstraksi Yap & Ng 

Ekstrak glukan

Identifikasi Kemurnian

Uji Kualitatif (FTIR) 

Uji Kuantitatif (UV‐Vis) (megazyme dan congored


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi jamur tiram putih dilakukan dengan menggunakan metode Yap & Ng dengan sedikit modifikasi. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut air dan dibekukan dalam Deep freezer pada suhu -82oC. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Yap & Ng untuk membekukan sampel basah glukan menggunakan nitrogen cair tetapi dalam penelitian ini menggunakan deep freezer. Ekstraksi dilakukan sebanyak lima kali pengulangan dengan berat ekstrak yang didapat sebanyak 2,4004 g berat sampel glukan kering berupa serbuk (0,24 % dari 1 kg berat basah jamur tiram putih).

Hasil ekstrak dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yap & Ng (2001) dengan menggunakan sampel Lentinula edodes (jamur shiitake), ekstrak glukan yang terkandung dalam jamur tiram putih lebih kecil jika dibandingkan dengan ekstrak glukan yang terkandung dalam jamur shiitake. Dengan menggunakan metode yang sama, ekstrak glukan pada jamur tiram putih yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2,4004 g/1kg berat basah sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yap & Ng menghasilkan ekstrak glukan sebanyak 3,25 g/ 1kg berat basah. Jika dilihat dari kandungan karbohidrat pada jamur shiitake memang lebih banyak jika dibandingkan dengan jamur tiram, untuk jamur shiitake mengandung karbohidrat sebanyak 66% per 100 gram jamur sedangkan untuk jamur tiram hanya sebesar 56,6% per 100 gram jamur. Begitu pula total serat diet yang terkandung dalam jamur tiram hanya sebesar 41,8 % per


(62)

100 g jamur sedangkan jamur shiitake mengandung total serat diet sebesar 46,1 % (Widyastuti, 2008). Jika dilihat dari kandungan karbohidrat dan total serat diet yang terkandung dalam jamur tiram dan shiitake, maka ekstrak glukan yang terkandung dalam jamur tiram kemungkinan memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan ekstrak glukan pada shiitake. Karena glukan merupakan salah satu senyawa polisakarida yang terkandung dalam jamur.

4.1. Hasil Identifikasi β-Glukan dengan FTIR (Metode Cakram KBr)

Sampel padatan glukan larut air yang didapat dari hasil ekstraksi dan diidentifikasi keberadaan senyawa β-glukan dan senyawa lainnya dengan menggunakan spektroskopi FTIR. Pengujian dilakukan dengan membandingkan pola spektrum sampel dengan standar β-glukan yang berasal dari barley dengan konsentrasi >95%. Sehingga dapat dilihat dengan membandingkan pola spektrum dari sampel padatan glukan larut air dengan standar barley yang telah tersedia.

Metode yang digunakan adalah metode cakram KBr, dipilih metode ini karena sampel berupa serbuk padat dan mudah dilakukan. Sampel dicampurkan dengan serbuk KBr dan dipress hingga membentuk lapisan tipis pada disc holder. Kemudian sampel akan direkam spektrumnya dari senyawa yang terdapat dalam ekstrak sampel tersebut.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap sampel dan standar β-glukan didapatkan pola spektrum yang mirip. Pola spektrum sampel dan standar yang terekam pada alat FTIR adalah sebagai berikut.


(63)

Gambar 17. Pola spektrum FTIR sampel dan standar beta glukan

Berdasarkan pola spektrum FTIR di atas terdapat beberapa gugus fungsi utama yang mencirikan senyawa glukan, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6. Bilangan gelombang spektrum FTIR sampel dan standar beta glukan Bilangan Gelombang Sampel

(cm-1)

Bilangan Gelombang Standar

(cm-1)

Ikatan

1077,27-1157,63 1070,34-1157,63 C-O

890 895,57 1,3- β-glukan

3200-3600 3200-3600 -OH

2921,77 2892,74 CH alifatik

1655,03 1650,75 C=O

Dari tabel 6 dapat dilihat gugus fungsi yang terekam pada alat FTIR. Gugus fungsi di atas menggambarkan struktur senyawa glukan, dimana senyawa 1,3-β-D-glukan spesifik terletak pada bilangan gelombang 890 cm-1. Panjang


(64)

gelombang tersebut yang menjadi fokus dari penelitian ini karena merupakan senyawa yang ingin diisolasi. Selain itu terdapat beberapa gugus fungsi lain yaitu C-O pada bilangan gelombang 1157,63 cm-1 yang terdapat pada cincin glukosa, kemudian OH yang terikat pada rantai samping pada panjang gelombang 1077,27 cm-1, dan pada panjang gelombang 3200-3600 cm-1merupakan –OH yang terikat pada tiap cincin glukosa. Hasil pengujian di atas hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Batal pada tahun 2008 mengenai verifikasi struktur 1,3- β -D-glukan menggunakan FTIR, yang menyebutkan bahwa ikatan 1,3 β-glukan dapat terdeteksi pada bilangan gelombang 890 cm-1, sedangkan ikatan C-O-C cincin heksan pada bilangan gelombang 1160 cm-1, dan C-OH yang terletak pada rantai samping pada bilangan gelombang 1078 cm-1. Untuk ikatan 1,6-β-glikosida belum didapatkan referensi yang pasti pada bilangan gelombang berapa ikatan tersebut berada, tetapi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Batal yang mendapatkan hasil bahwa ikatan 1,3-β-D-glukan pada bilangan gelombang 890 cm-1 dan ikatan 1,4-β-D-glukan pada 930 cm-1 serta ikatan C-O-C yang terlatak pada 1160 cm-1 dapat diasumsikan bahwa ikatan 1,6-β-D-glukan berada pada kisaran panjang gelombang 800-1200 cm-1. Tetapi seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada ikatan 1,3-beta glukan, karena memiliki bioaktifitas yang tinggi sedangkan untuk ikatan 1,6-beta glukan, semakin banyak ikatan 1,6-beta glukan dalam suatu senyawa maka akan semakin memperkecil bioaktifitas dari senyawa tersebut (Liu et al, 2000).


(65)

Jika dilihat secara lebih mendetail, terdapat satu puncak dari hasil pembacaan FTIR pada sampel yang berbeda terhadap standar yaitu pada bilangan gelombang 1550 – 1650 cm-1. Bilangan gelombang tersebut menurut literatur kemungkinan adalah gugus amida. Tetapi jika diperhatikan pada struktur β -glukan tidak terdapat amida. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Werning (2008) mengenai karakteristik β-glukan pada panjang gelombang 1560 dan 1650 cm-1 menunjukan CO-NH dari protein atau proteoglukan, sehingga terdapat kemungkinan bahwa senyawa β-glukan yang diperoleh masih mengandung protein yang terikat pada sakarida. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peak yang timbul pada bilangan gelombang 1560-1650 cm-1 merupakan pengotor karena masih terdapat ikatan CO-NH yang mengindikasikan adanya protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fang Liu dan Ooi (2000) ada beberapa senyawa hasil ekstraksi dari jamur sebagai zat antikanker dilakukan melalui uji antikanker dengan menggunakan ekstrak glukan dan glukan protein, dimana dari hasil penelitiannya terdapat ekstrak dari beberapa jamur. Hasil ekstrak berupa kompleks glukan-protein memiliki bioaktifitas terhadap sel kanker salah satunya yaitu Agaricus blazei. Ooi dan Fang Liu pada penelitian yang sama pada tahun 2000 juga mengatakan bahwa terdapat senyawa polisakarida lain yang berfungsi sebagai antikanker yaitu hetero-β-glukan, heteroglikan, β-glukanprotein, α -manno-β-glucan, α-glucan, α-glucan-protein, dan heteroglikan-protein. Jadi kemungkinan besar senyawa proteoglukan yang terdapat dalam jamur tiram dapat juga memiliki bioaktifitas sebagai antikanker.


(66)

Bila dilihat dari spektrum sampel dan standar beta glukan hasil uji FTIR serta beberapa acuan dari hasil penelitian sebelumnya, hampir dapat dipastikan bahwa senyawa hasil ekstraksi jamur tiram adalah senyawa β-glukan yang belum murni karena masih terdapat senyawa pengotor berupa proteoglukan. Apabila dilihat konsentrasi beta glukan dari sampel tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi standar (>95%) hal ini dapat dilihat dari ketajaman dan luas peak area dari spektrum hasil uji FTIR tersebut.

4.2. Hasil Analisa Kadar β-glukan Dengan Spektrofotometer UV-Vis 4.2.1. Metode Megazyme

Uji Kuantitatif sampel dengan metode enzimatis bertujuan untuk menentukan seberapa besar kemurnian β-glukan yang didapatkan dari hasil ekstraksi jamur tiram putih. Uji ini menggunakan enzim-enzim yang diisolasi oleh perusahaan Megazyme di Irlandia. Enzim ini hanya khusus digunakan untuk penentuan senyawa β-glukan dari hasil ekstraksi jamur ataupun yeast.

Hasil pengukuran β-glukan dengan metode enzimatis dengan spektrofotometer UV-Visibel adalah sebagai berikut

Tabel 7. Pengukuran absorbansi dengan metode megazim

Sampel Absorban 1 Absorban 2

Blanko Tiram total Tiram α Yeast total Yeast α Glukosa 0,021 0,605 0,045 0,708 0,081 1,063 0,021 0,610 0,045 0,665 0,083 1,090


(67)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan Mega-Calc (lampiran 3) didapatkan bahwa konsentrasi total glukan yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 48,1196 % sedangkan untuk pengukuran yeast adalah sebesar 54,8164 %. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa konsentrasi α-glukan yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 1,9768 % dan pada yeast adalah sebesar 0,5155 %. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program yang terdapat dalam paket, yaitu Mega-Calc (Lampiran 3).

Pengukuran juga dapat dihitung secara manual (lampiran 4). Konsentrasi total glukan hasil perhitungan manual didapatkan sebesar 54,8164% dan konsentrasi α-glukan adalah sebesar 0,5155% untuk standar yeast. Sedangkan untuk sampel didapatkan sebesar 48,1196% untuk total glukan dan 1,9768 untuk

α-glukan. Hasil perhitungan secara manual sama dengan hasil perhitungan dengan menggunakan Mega-Calc.

Konsentrasi β-glukan dari sampel dan yeast, dihitung dengan cara mengurangi konsentrasi total glukan dengan konsentrasi α-glukan. Setelah dikurangi didapatkan konsentrasi β-glukan dari sampel dan yeast masing-masing adalah sebesar 46,1428 % dan 54,3009 %. Hasil tersebut sama dengan hasil perhitungan manual (Lampiran 4). Konsentrasi tersebut hanya untuk ikatan 1,3-β -glukan karena enzim 1,3-exo--glukanase hanya bekerja spesifik untuk memotong glukan pada ikatan 1,3-β-glukan saja. Jika dilihat dari hasil pengukuran standar yeast yang digunakan, terdapat penurunan konsentrasi. Pada botol standar tertulis bahwa konsentrasi yeast adalah sebesar 56,5% sedangkan konsentrasi standar yeast hasil pengukuran adalah sebesar 54,3009%. Menurunnya konsentrasi


(68)

standar yeast dapat dikarenakan ketidakstabilan dari senyawa β-glukan. Ketidakstabilan yeast itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor penyimpanan dan suhu. Penelitian yang dilakukan oleh Andriy Sinistya (2008) mendapatkan kemurnian β-glukan sebesar 35,5% - 50% dari sampel jamur tiram putih (Pleorotus ostreatus) dengan menggunakan metode yang sama (megazym) hanya ia menggunakan metode ekstraksi yang berbeda yaitu dengan metode alkali (NaOH).

4.2.2. Metode Congo Red

Sama halnya dengan uji kuantitatif dengan metode enzimatis. uji kuantitatif ekstrak sampel dengan metode congo red bertujuan untuk menentukan konsentrasi kemurnian senyawa yang terkandung dalam sampel. Hanya uji kuantitatif dengan metode congo red memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan metode enzimatis yaitu pada pengujian dengan congo red semua polisakarida yang terdapat dalam sampel akan terukur. Tetapi dengan metode ini biayanya lebih murah dan lebih mudah dilakukan karena tidak memerlukan waktu yang lama.

Uji kuantitatif dengan menggunakan metode congo red dilakukan dengan melarutkan sampel dengan KOH yang kemudian ditambahkan dengan reagen congo red yang mana akan membentuk kompleks poliskarida-congo red yang berwarna merah. Yang kemudian akan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 510 nm. Hasil pengujian dengan metode congo red terdapat pada tabel 8.


(69)

Tabel 8. Pengujian Sampel dengan congo red

Konsentrasi Sampel A1 A2 A3 A

rata-rata (ppm) (%)

Blanko 0 0 0 0 - -

P1 0,182 0,192 0,184 0,186 24800 172,82 P2 0,180 0,181 0,176 0,179 23400 163,06

Prata-rata 24100 167,94

Dari hasil pengujian dapat dihitung dengan memasukan pengujian sampel pada persamaan linear yang didapatkan dari kurva standar beta glukan (terlampir). Setelah dihitung didapatkan konsentrasi sebesar 24800 ppm untuk P1 dan 23400 ppm untuk P2. Kemudian jika dirubah menjadi %w/w maka didapatkan hasil sebesar 172,82% dan 163,06%. Konsentrasi P1 dan P2 dirata-rata dan didapatkan hasil sebesar 167,94 %. Konsentrasi yang didapat dirubah agar dapat dibandingkan antara metode congo red dan metode megazyme untuk pengukuran kemurnian beta glukan ini. Jika dibandingkan antara kedua metode dapat dilihat perbedaan yang sangat signifikan, pengujian kemurnian dengan metode congo red melebihi 100% yang artinya adalah semua senyawa ikut terukur dalam pengujian, tidak hanya β-glukan, ada kemungkinan α-glukan, atau polisakarida lainnya ikut terukur juga.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil pengujian congo red ini tidak mencerminkan konsentrasi kemurnian β-glukan seutuhnya, karena pegujian β-glukan ini semua polisakarida terukur, tidak hanya β-glukan, tetapi juga α-glukan maupun polisakarida lainnya bahkan disakarida. Jadi metode ini tidak dapat dijadikan acuan untuk pengujian kemurnian β-glukan, karena memiliki beberapa kekurangan dibandingkan dengan pengujian dengan menggunakan metode megazyme. Tetapi untuk pengujian β-glukan secara sederhana dalam


(70)

artian hanya untuk memastikan ada atau tidaknya β-glukan dalam suatu bahan alam. Metode ini bisa dipakai karena mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu yang tidak banyak, dan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan metode enzimatis dan juga karena reagen congo red bereaksi dengan β-glukan secara signifikan walaupun tidak hanya β-glukan yang terukur.

Penggunaan metode megazyme pada penelitian ini didasarkan pada akurasi dari pengukuran, karena metode megazyme dapat mengukur kadar β-glukan secara tepat. Dimana pada metode ini kadar total glukan dan α-glukan juga ikut diukur dan persentasi kadar β-glukan diukur dengan selisih antara total glukan dengan α‐ glukan. Sedangkan untuk penggunaan metode congo red lebih didasarkan pada faktor efisien dan ekonomis, karena pengujian dilakukan dengan mudah dengan waktu yang sedikit dan biaya yang lebih murah. Dan penggunaan kedua metode dilakukan untuk melihat perbandingan konsentrasi yang didapat, apakah kadar (konsentrasi) dengan penggunaan metode congo red mendekati kadar dengan menggunakan metode megazyme.


(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan :

1. Ekstraksi β-glukan dari jamur tiram putih dengan menggunakan Metode Yap & Ng (2001) menghasilkan serbuk kering sebesar 2,4004 g lebih sedikit jika dibandingkan dengan ekstra β-glukan yang di ekstraksi dari jamur shiitake dengan metode Yap & Ng (2001)

2. Hasil pengujian menggunakan spektrum FTIR menunjukkan posisi ikatan

1,3-β-D-glukosida yang merupakan ciri utama dari senyawa β-glukan terletak pada bilangan gelombang 895,57 cm-1. Ekstrak sampel padatan glukan yang didapat tidak murni karena masih mengandung proteoglikan.

3. Hasil pengujian dengan menggunakan metode enzimatis didapatkan kemurnian β-glukan sebesar 46,1428%. Sedangkan dengan menggunakan metode congo red didapatkan hasil sebesar 24100 ppm atau 167,94.

4. Berdasarkan hasil pengukuran kadar β-glugan, pengukuran dengan metode enzimatis lebih akurat dibandingkan dengan metode congo red.

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengujian bioaktifitas dari senyawa β-glukan yang terkandung dalam jamur tiram putih, agar dapat diketahui seberapa besar bioaktifitas dari senyawa β-glukan tersebut.


(1)

Lampiran 3. Perhitungan Kemurnian β-glukan dengan menggunakan Mega-Calc


(2)

Lampiran 4. Perhitungan Kemurnian β-glukan Secara Manual

Keterangan :

∆E : Selisih Absorban sampel dengan absorban blanko F : Faktor konversi absorban menjadi µg D-glukosa

100 (µg standar D-glukosa)

Absorban standar glukosa

100/0.1 : Faktor koreksi volum dari total glukan (yeast) 103 atau 1000 : Faktor koreksi volum untuk α-glukan

1/1000 : Konversi dari µg menjadi mg

100/W : Konversi kembali menjadi 100 mg sampel W : Berat sampel yang dianalisis


(3)

F = 100 = 100 = 92,8936 (1,063+1,090) / 2 1,0765

Jamur Tiram

Total glukan = ∆E x F x 100/0,1 x 1/1000 x 100/W x 162/180 = (0,6075-0,021) x 92,8936 x 100/101,9 x 0,9 = 0,5865 x 92,8936 x 100/101,9 x 0,9

= 48,1196

α-glukan = ∆E x F/W x 90

= (0,045-0,021) x 92,8936 / 101,5 x 90 = 0,024 x 0,915 x 90

= 1,9786

β-glukan = Total glukan – α-glukan = 48,1196 – 1,9786

= 46,1428

Yeast

Total glukan = ∆E x F x 100/0,1 x 1/1000 x 100/W x 162/180

= (0,6865-0,021) x 92,8936 x 100/101,5 x 0,9 = 0,6655 x 92,8936 x 100/101,5 x 0,9

= 54,8164


(4)

β-glukan = Total glukan – α-glukan = 54,8164 - 0,5155


(5)

Lampiran 5. Kurva Kalibrasi Standar Barley Uji Kemurnian Metode Congored

[beta glukan] (ppm) Absorbansi

5000 0,070 15000 0,158 35000 0,228 50000 0,302

Sampel A1 A2 A3 Arata-rata

Blanko 0 0 0 0

P1 0,182 0,192 0,184 0,186

P2 0,180 0,181 0,176 0,179

   


(6)

Lampiran 6. Perhitungan Konsentrasi β-glukan Dengan Metode Congo Red

Y = 5.10-6x + 0,062

P1

0,186 = 5.10-6x + 0,062 X = (0,186 – 0,062) / 5.10-6

= 0,124 / 5.10-6

= 24800 ppm

Konversi satuan ppm menjadi % w/w P1 = 0,0287g / 2mL

= 28,7 mg/ 2.10-3L = 14350 ppm % w/w = (24800/14350) x 100%

= 172,82%

P2

0,179 = 5.10-6x + 0,062 X = (0,179-0,062) / 5.10-6

= 0,117 / 5.10-6

= 23400 ppm

% w/w = (23400/14350) x 100%


Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Terhadap Berbagai Media Serbuk Kayu Dan Pemberian Pupuk NPK

5 81 121

Analisis Betaglukan Pada Persilangan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Dengan King Oyster (Pleurotus Eryngii) Menggunakan Ftir

0 15 50

Nano-Enkapsulasi Β-Glukan Dari Ekstrak Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Dengan Metode Ultrasonik

4 15 44

PROSES PEMBUATAN TEPUNG JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN PENGARUH LAMA WAKTU Proses Pembuatan Tepung Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Dengan Pengaruh Lama Waktu Perendaman dan Konsentrasi CaCO3.

0 2 12

PERTUMBUHAN dan PRODUKTIVITAS JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) PADA MEDIA DENGAN PENAMBAHAN Pertumbuhan Dan Produktivitas Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Media Dengan Penambahan Limbah Batang Dan Tongkol Jagung.

0 3 14

PERTUMBUHAN dan PRODUKTIVITAS JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) PADA MEDIA DENGAN PENAMBAHAN Pertumbuhan Dan Produktivitas Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Media Dengan Penambahan Limbah Pertanian Jerami Padi Dan Batang Jagung.

0 1 15

PERTUMBUHAN dan PRODUKTIVITAS JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) PADA MEDIA DENGAN PENAMBAHAN Pertumbuhan Dan Produktivitas Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Media Dengan Penambahan Limbah Pertanian Jerami Padi Dan Batang Jagung.

0 1 14

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ALKALOID YANG TERKANDUNG DALAM JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus).

1 32 72

ANALISA KANDUNGAN BETA-GLUKAN LARUT AIR DAN LARUT ALKALI DARI TUBUH BUAH JAMUR TIRAM (Pleurotus ostreatus) DAN SHIITAKE (Lentinus edodes)

1 0 10

PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Ostreatus) HASIL BIAKAN DARI LIMBAH AGROINDUSTRI

0 0 8