xxxiv 6.
Tidak memerlukan lahan yang luas 7.
Budidaya jamur tiram putih tidak mengenal musim sehingga dapat menghasilkan keuntungan terus menerus sepanjang tahun
8. Jamur tiram putih merupakan pangan alternatif yang lezat, sehat, dan bergizi
tinggi 9.
Usaha jamur tiram putih tidak menimbulkan pencemaran lingkungan 10.
Kompos bekas media tanam dapat digunakan untuk pupuk kolam ikan, campuran pakan ikan, campuran pakan ternak, dan media memelihara cacing.
Adapun usaha jamur tiram putih dapat dilakukan secara parsial ataupun keseluruhan. Beberapa sub usaha yang bisa dilakukan diantaranya:
1. Produksi bibit kultur murniparental
2. Produksi bibit induk F1
3. Produksi bibit tebar F2
4. Produksi F3 baglog jamur
5. Produksi jamur segar
6. Produksi olahan jamur
7. Kompos dan pakan ternak dari sisa baglog afkir
8. Tempat wisata: wisata petik jamur
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu
Usaha jamur tiram putih sudah banyak dijalankan sehingga penelitian- penelitian mengenai jamur tiram putih sudah banyak dilakukan baik dari segi
budidaya maupun ekonominya. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan sistem tataniaga dari berbagai
tanaman hortikultura dilihat berdasarkan konsep saluran dan lembaga pemasaran, fungsi, marjin pemasaran, farmer’s share dan struktur pasar. Berikut adalah
beberapa hasil penelitian mengenai kondisi tataniaga dari berbagai tanaman hortikultura.
Hasniah 2005 melakukan penelitian tentang Analisa Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur kasus Desa Sukamaju, Kecamatan
Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pola pemasaran terdiri dari tiga
xxxv buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I Petani – Pedagang Pengumpul –
Pedagang grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen, saluran tataniaga II Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pengecer – Konsumen, saluran tataniaga III
Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen. Struktur pasar yang dihadapi petani pepaya sayur di Desa Sukamaju cenderung bersifat pasar persaingan sempurna.
Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah. Struktur
pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Sukamaju adalah oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi pedagang grosir adalah oligopoli. Struktur pasar yang
dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna dimana harga berdasarkan mekanisme pasar dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi
harga pasar. Selain itu, pedagang pengecer dapat dengan bebas keluar masuk pasar. Sakinah 2006, yaitu Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas
Damar Mata Kucing, di Desa Pahmungan terdapat tiga saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga 1 Petani – Penghadang – Pedagang Pengumpul Desa – Bandar –
Eksportir, saluran tataniaga II Petani – Pengumpul Desa – Bandar – Eksportir, dan saluran tataniaga III Petani – Bandar – Eksportir.
Perilaku pasar yang diamati dari praktek penjualan dan pembelian oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga berdasarkan mekanisme
pasar, sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga III menjadi alternatif yang efisien yang
dapat meningkatkan farmer’s share karena memiliki marjin yang terkecil yaitu Rp. 8.500kg 56,67 persen. Farmer’s share tertinggi juga terdapat pada saluran
tataniaga III sebesar 43,33 persen. Rasio keuntungan tertinggi di saluran III sebesar 2,32.
Vinifera 2006 menyatakan dalam Analisis Tataniaga Komoditi Kelapa Kopyor di Desa Ngagel, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdapat tiga saluran
pemasaran. Saluran tataniaga I Petani – Pedagang Pengumpul I – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen, saluran tataniaga II Petani – Pedagang
Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen, dan saluran tataniaga III Petani – Pedagang Pengumpul II – Bandar –
Pedagang Pengecer – Konsumen.
xxxvi Saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga kelapa koyor terpanjang
dan paling banyak digunakan oleh petani yaitu 11 orang petani 36,67 persen dari total responden petani. Alasan petani menjual hasil panen kepada pedagang
pengumpul 1 di tingkat desa karena petani tidak perlu melakukan kegiatan panen dan perbedaan keuntungan tidak terlalu besar. Sama halnya dengan saluran
tataniaga III, petani melakukan penjualan ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan sebanyak 36,67 persen dari total responden petani. Struktur pasar yang
dihadapi petani kelapa kopyor di Desa Ngagel cenderung mengarah ke pasar persaingan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani responden sebanyak
30 orang dengan jumlah pedagang sebanyak 11 orang yang terlibat sebagai lembaga tataniaga.
Perilaku pasar, penjualan dan pembelian antar lembaga tataniaga terjalin kerjasama cukup baik. Penentuan harga antara petani dengan pengumpul I dan
pengumpul II berdasarkan tawar menawar dan penentuan sepihak dari pedagang sedangkan petani sebagai price taker. Harga yang terbentuk berdasarkan
mekanisme pasar. Sedangkan sistem pembayaran dilakukan secara tunai, sistem panjer, dan sistem pembayaran kemudian.
Simamora 2007, meneliti tentang Analisis Sistem Tataniaga Pisang di Desa Suka Baru Buring, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan,
Provinsi Lampung. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa saluran tataniaga pisang yang terjadi terdapat empat saluran tataniaga yaitu; saluran I Petani - PPD - Grosir
I – Pedagang Pengecer - Konsumen, saluran II Petani – PPD – Grosir II – Pedagang Pengecer - Konsumen, saluran III Petani – PPD – Grosir I – Grosir II-
Pedagang Pengecer- Konsumen, saluran IV Petani – Konsumen lokal. Struktur pasar pada petani, PPD dan pedagang pengecer adalah oligopsoni, sedangkan untuk
grosir I dan pedagang grosir II adalah Oligopoli. Dalam penentuan harga antara petani dan pedagang sebagian dilakukan tawar-menawar dan sebagian lagi
langsung ditentukan oleh pedagang terhadap petani karena ada ikatan hutang piutang. Berdasarkan nilai marjin pemasarannya maka jalur III adalah saluran yang
mempunyai nilai marjin paling besar yaitu Rp 660 66,36 persen dan marjin paling kecil terdapat pada jalur I yaitu sebesar Rp 607.78 64,50 persen dan rasio
keuntungan yang didapatkan pada jalur I merupakan yang paling besar yaitu Rp
xxxvii 3.39 dan berada pada tingkat pengecer. Berdasarkan analisis efisiensi pemasaran
maka jalur I dikatakan lebih efisien dari jalur II dan III. Sedangkan keuntungan terbesar terjadi pada jalur pemasaran I sebesar Rp 422,79 atau 44,87 persen, lebih
tinggi jika dibandingkan pada jalur pemasaran II sebesar Rp 374,91 atau 38,02 persen, dan pada jalur pemasaran III sebesar Rp 293,60 atau sebesar 26,52 persen
dari harga jual pengecer. Rachma 2008 melakukan penelitian tentang Efisiensi Tataniaga Cabai
Merah Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis
saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran
tataniaga II terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul,
pedagang grosir dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga ke IV terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran V
terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I. Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani
kepada pedagang pengumpul. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV. Sedangkan marjin terkecil terdapat
pada saluran I dan V. Analisis keterpaduan tidak bisa dilakukan karena struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna.
Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.
2.3.Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya tantang analisis sistem tataniaga tanaman holtikultura telah dilakukan dan menghasilkan saluran yang efisien untuk
diterapkan di tingkat petani serta posisi tawar petani yang lemah berdampak pada perlunya perujukan terhadap farmer’s share. Penelitian ini melengkapi penelitian
sebelumnya dalam hal komoditas di lokasi yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk perbandingan dengan lokasi dan komoditas yang lain. Berdasarkan penelitian
terdahulu, dapat dilihat bahwa penelitian tentang analisis sistem tataniaga jamur tiram putih hanya terbatas pada sistem tataniaga, dan untuk menganalisis alternatif
xxxviii sistem tataniaga yang efisien. Metode yang digunakan adalah analisis struktur dan
perilaku pasar, analisis marjin pemasaran, analisis rasio keuntungan dan biaya serta analisis farmers’s share.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dijadikan referensi khususnya terkait dengan tataniaga jamur tiram putih, dapat disimpulkan bahwa hasil dan
pembahasan yang diperoleh oleh peneliti bersangkutan secara umum sudah mengacu kepada konsep tataniaga beserta alat ukur yang sesuai dengan topik
penelitian yang diambil oleh peneliti yang bersangkutan. Akan tetapi sebenarnya masih ada penggalian informasi yang masih dapat diperoleh jika meneliti tentang
analisis tataniaga agribisnis. Adapun output yang biasa dihasilkan dalam penelitian tataniaga terdahulu yaitu berupa besaran farmer’s share, marjin tataniaga, dan rasio
keuntungan dan biaya. Akan tetapi yang perlu diingat adalah efisiensi tataniaga tidak mutlak dilihat dari besarnya farmer’s share, marjin tataniaga, dan rasio
keuntungan dan biaya tetapi dipengaruhi juga oleh kekuatan lain seperti tingkat permintaan dan penawaran terhadap komoditas bersangkutan. Suatu saluran dapat
dikatakan efisien secara operasional, akan tetapi belum tentu tepat untuk digunakan. Hal ini terkait dengan efektifitas saluran tersebut dalam mencapai tujuan yang
diinginkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu menyangkut bagaimana produk didistribusikan dari produsen kepada konsumen sehingga
masing-masing lembaga dapat memperoleh keuntungan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bukan besar atau kecilnya farmer’s share, namun seberapa
besar penerimaan yang diperoleh. Penerimaan yang diterima harus dapat menutupi biaya yang dikeluarkan.
xxxix
Tabel 7. Hasil Penelitian Terdahulu.
No Nama Tahun Judul
Alat analisis
1 Hasniah
2005 Sistem dan Efisiensi
Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur
Analisis saluran tataniaga, fungsi-
fungsi tataniaga, struktur pasar serta
prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s
share
, serta rasio LiCi .
2 Sakinah 2006 Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga
Komoditas Damar Mata Kucing
Analisis saluran tataniaga, fungsi-
fungsi tataniaga, struktur pasar serta
prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s
share
, serta rasio LiCi.
xl 3 Vinifera 2006 Analisis
Tataniaga Komoditi Kelapa Kopyor
Analisis kualitatif saluran tataniaga,
struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga
Analisis kuantitatif marjin tataniaga,
farmer’s share
, biaya pemasaran serta rasio
LiCi. 4 Simamora
2007 Analisis Sistem
Tataniaga Pisang
Analisis kualitatif saluran tataniaga,
struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga
Analisis kuantitatif marjin tataniaga,
farmer’s share
, biaya pemasaran serta rasio
LiCi. 5
Rombert 2008
Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram
Putih Pleurotus ostreatus
Analisis kualitatif saluran tataniaga,
struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga
Analisis kuantitatif marjin tataniaga,
farmer’s share
, biaya pemasaran serta rasio
LiCi.
xli
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang
digunakan adalah sistem tataniaga, pasar, lembaga dan saluran pemasaran, fungsi- fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, farmer’s share,
marjin pemasaran serta rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran.
3.1.1 Sistem Tataniaga
Hammond dan Dahl 1977, menerangkan bahwa pemasaran atau tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakkan produk mulai
dari produsen utama hingga konsumen akhir. Sedangkan menurut Purcell 1979, menekankan pengertian pemasaran kepada adanya koordinasi dan merupakan suatu
prosessistem yang menjembatani atau menghubungkan gap antara apa yang diproduksi produsen dan apa yang diinginkan oleh konsumen.
Adiratma R, dkk. 19711972, mendefinisikan tataniaga sebagai proses yang mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan
hak milik dan fisik dari barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen dan memberi kepuasan yang lebih
tinggi bagi konsumen. Pendapat tersebut sejalan dengan Kohl dan Uhls 2002, yang mendefinisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua
aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi petani sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output
pertanian. Menurut purcell 1979, diacu dalam Asmarantaka 2009 untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Fungsi The Functional Approach; yang terdiri dari fungsi
pertukaran pembelian dan penjualan, fungsi fisik penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas standarisasi, pembiayaan, risiko dan
informasi pasar. 2.
Pendekatan Kelembagaan The Institutional Approach; yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang
memberikan fasilitas pemasaran.