Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

CASSIA DIVINA L.M.

101301090

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

2

SKRIPSI

GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA

SANDWICH GENERATION ETNIS MINANGKABAU

Dipersiapkan dan disusun oleh: CASSIA DIVINA L.M.

101301090

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 16 Juli 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP: 195301311980032001

Dewan Penguji 1. Liza Marini, M.Psi, Psikolog Penguji I

NIP: 198105202005012003 Pembimbing ____________

2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog Penguji II

NIP: 196501122000032001 ___________

3. Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Penguji III

NIP: 196711273200002001 ____________


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian–bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 03 Juli 2014

Cassia Divina L.M. 101301090


(4)

4

Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau

Cassia Divina L.M. dan Liza Marini, M.Psi, Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan merupakan tiga orang wanita etnis Minangkabau dengan ciri-ciri mengurus ibu dan anak, memiliki suami, dan bekerja. Adapun pendekatan yang digunakan ialah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data utama. Teori yang digunakan adalah teori subjective well-being dari Eddington dan Shuman (2007). Istilah subjective well-being mengacu kepada evaluasi individu terhadap kehidupannya, terdiri dari penilaian kognitif dan evaluasi afektif, dimana terdapat beragam faktor yang mempengaruhi subjective

well-being.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga partisipan memiliki gambaran

subjective well-being yang berbeda sebagai sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya memuaskan dan lebih sering merasakan afek positif sebagai seorang sandwich generation. Partisipan II dan III menilai hidupnya belum memuaskan secara keseluruhan karena adanya keinginan yang belum terwujud yang dipengaruhi oleh peran mereka sebagai sandwich generation. Partisipan II lebih sering merasakan afek negatif sedangkan partisipan III lebih sering merasakan afek positif dari perannya sebagai sandwich generation. Meskipun demikian, subjective well-being ketiga partisipan sebagai sandwich generation dipengaruhi faktor-faktor yang sama, antara lain kepuasan kerja, pernikahan, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi. Sementara itu, faktor pendapatan juga mempengaruhi subjective well-being partisipan II dan III. Dan faktor kesehatan juga mempengaruhi subjective well-being responden II.

Kata kunci: subjective well-being, wanita, sandwich generation, etnis Minangkabau

ii


(5)

Subjective Well-Being on Sandwich Generation’s Women of Minangkabau Ethnic

Cassia Divina L.M. dan Liza Marini, M.Psi, Psikolog

ABSTRACT

This study aims to determine about subjective well-being on sandwich generation’s women of Minangkabau ethnic. There are three women of Minangkabau ethnic as participants who has characteristics include take care of mother, children, husband, and work. This study uses qualitative method by using in-depth interview, as the main data collection techniques. Theory that been used is subjective well-being theory by Eddington and Shuman (2007). The term subjective well-being refers to people’s evaluation of their lives, including cognitive judgments and affective evaluations, which are 11 factors that influence subjective well-being.

The results of this study shows that all participants has different subjective well-being as a sandwich generation. First participant assess her whole-life is satisfy as a sandwich generation and more often feel positive affect from her various tasks. Second and third participants assess their whole-life aren’t satisfy because their wishes haven’t come true, it caused by their role as sandwich generation. Second participants more often feel negative affect from her various tasks. Meanwhile, third participants more often feel positive affect from her various tasks. Factors that influencing subjective well-being of all participants are job satisfaction, marriage, leisure, life events, and competencies. Meanwhile, factor of income also influencing subjective well-being of second and third participants. Factor of health also influencing subjective well-being of second participants.


(6)

6

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan saya kesempatan dan kesehatan sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau”.

Tidak lupa pula penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, saran, maupun kritik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ayahanda tercinta Ir. Suhairi dan ibunda tersayang Ir. Nuril Mahda Rangkuti, MT, terima kasih buat semua kasih sayang dan perhatiannya yang telah diberikan kepada penulis selama ini, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Terima kasih banyak kepada Ibu Liza Marini, M.Psi, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, serta saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan Ibu dengan lebih baik lagi.

4. Tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen metodologi kualitatif, yakni Ibu Meutia Nauly, M.Si, dan Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, Psikolog, yang telah banyak memberikan masukan dan arahan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Terima kasih kepada Ibu Aprilia Fajar Pertiwi, M.Si dan Ibu Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak

iv


(7)

memberikan arahan dan masukan selama penulis menjalankan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

6. Terima kasih banyak pada adik-adikku tersayang, Rizka Faradiba dan Diva Trisha Venia, untuk segala kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan selama ini pada penulis.

7. Terima kasih banyak buat Ahmad Himawan Umna yang telah banyak memberikan bantuan serta motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kamu, skripsi ini tidak berarti apa-apa.

8. Buat Indah Kartika Dewi terima kasih banyak buat kebaikannya selama ini. Benar-benar teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga Tresyagati, Lydia Agustina, Anisah Gayatri, dan Ade Yunika atas motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta terima kasih buat teman-teman sejawat penulis, yang tidak bisa disebut namanya satu per satu, yang telah memberikan banyak masukan untuk skripsi ini.

9. Terima kasih juga buat Rafika Diaz atas dukungan dan bantuannya untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih buat Dian Puspita Sari, Indriyana Octavia, Yola Adhista, Ade Nur Fatimah, dan Sofiah Novitasari untuk semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

10.Terima kasih banyak buat seluruh responden dalam penelitian ini yang telah bersedia dan berlapang hati untuk meluangkan waktunya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Tanpa bantuan dan kelapangan hati kalian semua, skripsi ini tidak berarti apa-apa.

11.Yang terakhir, terima kasih untuk seluruh pihak yang terkait dan membantu dalam penelitian ini sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua, khususnya mengenai “Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita


(8)

8

Sandwich Generation etnis Minangkabau”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan banyak saran ataupun kritikan sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan, Juli 2014 Penulis,

Cassia Divina L.M.

vi


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 12

C. TUJUAN PENELITIAN ... 12

D. MANFAAT PENELITIAN ... 13

E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. ETNIS MINANGKABAU ... 15

1. Ciri-ciri Etnis Minangkabau ... 15

2. Sistem Sosial Etnis Minangkabau ... 16

3. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Etnis Minangkabau terhadap Orang Tua ... 18


(10)

10

1. Pengertian Sandwich Generation ... 20

2. Wanita dan Sandwich Generation ... 20

3. Hal Positif yang Dialami Wanita Sandwich Generation ... 21

4. Hal Negatif yang Dialami Wanita Sandwich Generation ... 22

C. MASA DEWASA MADYA ... 22

1. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya ... 23

2. Perkembangan Fisik Masa Dewasa Madya... 24

3. Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Madya ... 24

4. Perkembangan Psikososial Masa Dewasa Madya... 25

D. SUBJECTIVE WELL-BEING ... 25

1. Pengertian Subjective Well-Being ... 25

2. Komponen Subjective Well-Being... 26

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being ... 28

E. DINAMIKA GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA SANDWICH GENERATION ETNIS MINANGKABAU ... 37

F. PARADIGMA BERPIKIR ... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 43

A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 43

B. PARTISIPAN PENELITIAN ... 44

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 44

2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 46

3. Teknik Pengambilan Partisipan Penelitian... 47

4. Teknik Pengumpulan Data ... 48 viii


(11)

5. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 50

6. Kredibilitas Penelitian ... 52

7. Prosedur Penelitian... 54

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. HASIL ... 62

1. Partisipan I ... 62

2. Partisipan II ... 90

3. Partisipan III ... 122

B. PEMBAHASAN ... 160

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 177

A. KESIMPULAN ... 177

B. SARAN ... 179

1. Saran Praktis ... 179

2. Saran Metodologis ... 179


(12)

12

DAFTAR TABEL

TABEL 1 Gambaran Umum Partisipan I ... 64

TABEL 2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 65

TABEL 3 Rekapitulasi Analisa Komponen Subjective Well-Being ... 87

TABEL 4 Rekapitulasi Analisa Faktor-faktor Subjective Well-Being ... 88

TABEL 5 Gambaran Umum Partisipan II ... 91

TABEL 6 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 92

TABEL 7 Rekapitulasi Analisa Komponen Subjective Well-Being ... 120

TABEL 8 Rekapitulasi Analisa Faktor-faktor Subjective Well-Being ... 121

TABEL 9 Gambaran Umum Partisipan III ... 124

TABEL 10 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 125

TABEL 11 Rekapitulasi Analisa Komponen Subjective Well-Being ... 149

TABEL 12 Rekapitulasi Analisa Faktor-faktor Subjective Well-Being ... 150

TABEL 13 Analisa Banding Antar Partisipan ... 153

x


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Informed Consent


(14)

4

Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau

Cassia Divina L.M. dan Liza Marini, M.Psi, Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan merupakan tiga orang wanita etnis Minangkabau dengan ciri-ciri mengurus ibu dan anak, memiliki suami, dan bekerja. Adapun pendekatan yang digunakan ialah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data utama. Teori yang digunakan adalah teori subjective well-being dari Eddington dan Shuman (2007). Istilah subjective well-being mengacu kepada evaluasi individu terhadap kehidupannya, terdiri dari penilaian kognitif dan evaluasi afektif, dimana terdapat beragam faktor yang mempengaruhi subjective

well-being.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga partisipan memiliki gambaran

subjective well-being yang berbeda sebagai sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya memuaskan dan lebih sering merasakan afek positif sebagai seorang sandwich generation. Partisipan II dan III menilai hidupnya belum memuaskan secara keseluruhan karena adanya keinginan yang belum terwujud yang dipengaruhi oleh peran mereka sebagai sandwich generation. Partisipan II lebih sering merasakan afek negatif sedangkan partisipan III lebih sering merasakan afek positif dari perannya sebagai sandwich generation. Meskipun demikian, subjective well-being ketiga partisipan sebagai sandwich generation dipengaruhi faktor-faktor yang sama, antara lain kepuasan kerja, pernikahan, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi. Sementara itu, faktor pendapatan juga mempengaruhi subjective well-being partisipan II dan III. Dan faktor kesehatan juga mempengaruhi subjective well-being responden II.

Kata kunci: subjective well-being, wanita, sandwich generation, etnis Minangkabau

ii


(15)

Subjective Well-Being on Sandwich Generation’s Women of Minangkabau Ethnic

Cassia Divina L.M. dan Liza Marini, M.Psi, Psikolog

ABSTRACT

This study aims to determine about subjective well-being on sandwich generation’s women of Minangkabau ethnic. There are three women of Minangkabau ethnic as participants who has characteristics include take care of mother, children, husband, and work. This study uses qualitative method by using in-depth interview, as the main data collection techniques. Theory that been used is subjective well-being theory by Eddington and Shuman (2007). The term subjective well-being refers to people’s evaluation of their lives, including cognitive judgments and affective evaluations, which are 11 factors that influence subjective well-being.

The results of this study shows that all participants has different subjective well-being as a sandwich generation. First participant assess her whole-life is satisfy as a sandwich generation and more often feel positive affect from her various tasks. Second and third participants assess their whole-life aren’t satisfy because their wishes haven’t come true, it caused by their role as sandwich generation. Second participants more often feel negative affect from her various tasks. Meanwhile, third participants more often feel positive affect from her various tasks. Factors that influencing subjective well-being of all participants are job satisfaction, marriage, leisure, life events, and competencies. Meanwhile, factor of income also influencing subjective well-being of second and third participants. Factor of health also influencing subjective well-being of second participants.


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Struktur penduduk pada banyak negara telah mengalami perubahan dari penduduk berstruktur muda menjadi penduduk berstruktur tua (Dewi, Suratmi, Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010). Jumlah penduduk lanjut usia pada banyak negara, yakni usia 60 tahun ke atas, diperkirakan akan meningkat dari 8% di tahun 2005 menjadi 20% di tahun 2005-2050 (Ananta, Anwar, Suzenti; Beard dan Kunhariwibowo; PBB dalam Silalahi dan Meinarno, 2010). Keasberry (dalam Silalahi dan Meinarno, 2010) menyatakan bahwa Indonesia juga mengalami peningkatan dalam jumlah penduduk lansia. Pada tahun 1996, penduduk Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 6,3% dari total populasi penduduk Indonesia. Namun, diperkirakan hingga tahun 2025, jumlah penduduk lansia di Indonesia akan berjumlah 19,1% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.

Para lansia menghadapi konsekuensi menurunnya produktivitas dan kondisi kesehatan seiring dengan bertambahnya usia dan menurunnya kebugaran tubuh (Dewi, Suratmi, dan Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010). Lazimnya, para lansia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat mereka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Suratmi, dan Agustin (dalam Silalahi dan


(17)

Meinarno, 2010) diketahui bahwa yang menyediakan perawatan atau pendampingan bagi lansia yang sudah tidak sehat atau sakit-sakitan ialah anggota keluarga, seperti suami atau istri, anak, cucu, maupun buyut.

Sebuah asumsi kultural yang menyatakan bahwa mengasuh atau merawat adalah tugas dari seorang wanita. Hal ini menyebabkan anak perempuan yang paling diasumsikan memiliki tanggung jawab atas tugas tersebut (Antonucci; Mathews dalam Papalia, 2008). Sandwich generation merupakan sebutan bagi mereka yang terjebak dalam berbagai tuntutan akan kebutuhan ini dan mengalami keterbatasan dalam sumber daya waktu, uang, dan energi. Efek dari hal ini bisa menyebabkan

kelelahan sang pengasuh, ialah kelelahan secara fisik, mental, dan emosional saat merawat keluarga yang sudah berumur (Barnhart dalam Papalia, 2008). Sementara itu, menurut Boston Women’s Health Book Collective (dalam Matlin, 2008) istilah

sandwich generation mengacu kepada individu dewasa madya, khususnya wanita, yang menemukan bahwa dirinya bertanggung jawab atas anak yang bergantung padanya dan juga bertanggung jawab atas orang tuanya yang lansia.

Banyak peneliti yang menaksir bahwa tugas merawat orang tua lansia yang memiliki kesehatan buruk, tiga kali lebih besar kemungkinannya dilakukan oleh anak perempuan daripada anak laki-laki (Cruikshank; Hunter; Mosher & Danoff-Burg dalam Matlin, 2008). Namun, saat orang tua lansia yang disabled berjenis kelamin pria, maka anak laki-laki yang memiliki tanggung jawab lebih besar untuk merawat orang tua tersebut (Lee; Dwyer; Coward dalam Belsky, 1997). Tampaknya hal


(18)

3

tersebut agak berbeda dengan hasil sebuah studi yang melibatkan 114 partisipan lansia pada sebuah desa di Indonesia. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa para lansia pria lebih memilih untuk dirawat oleh istri atau anak perempuan saat mereka sakit. Sementara itu, para lansia wanita lebih memilih untuk dirawat oleh anak perempuan saat mereka sakit (Dewi, Suratmi, Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010).

Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan para lansia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya hal ini tercermin pada tanggung jawab yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal dan tinggal dalam sebuah keluarga luas memiliki tanggung jawab terhadap penyantunan terhadap para lansia (Nurti, 2007). Sistem matrilineal merupakan sistem yang menganggap ‘ayah sebagai tamu’ di dalam keluarga. Para antropolog menyatakan bahwa sistem tertua yang ada di dunia ialah sistem matrilineal, yang mana telah ada sebelum sistem patrilinealyang banyak muncul sekarang ini. Perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam adat Minangkabau, sehingga perempuan mendapat julukan bundo kanduang. Selain itu, pada tradisi adat Minangkabau garis keturunan diurut berdasarkan suku dari ibu. Hal ini yang menyebabkan pemberian suku pada orang Minangkabau bergantung pada suku yang dimiliki oleh ibu (Chalid dalam Stella, 2012).


(19)

Masyarakat Minangkabau tidak saja masyarakat yang sangat patuh dengan adatnya, tetapi juga sangat kuat dalam beragama, yakni agama Islam. Garis keturunan dalam adat Minangkabau, yakni matrilineal, memang bertolak belakang dengan garis keturunan menurut hukum Islam, yakni patrilineal. Demikian pula dengan hukum waris dalam masyarakat Minangkabau yang dilakukan secara kolektif, sedangkan hukum Islam melaksanakannya secara individual. Meskipun kelihatannya hukum kewarisan Islam pada masyarakat Minangkabau bertentangan satu sama lain, tetapi dalam pelaksanaan dan perkembangannya tidak demikian. Hal ini terutama karena adanya ketentuan hukum “Adat bersendi Syarak dan Syarak bersendi Kitabullah” (adat bersendi hukum Islam, hukum Islam bersendi Al-Qur’an), setelah masuknya agama Islam dalam masyarakat Minangkabau (Retnowulandari, 2000).

Retnowulandari (2000) menyatakan bahwa antara hukum adat dan hukum Islam tidak saling bertentangan, sebab masyarakat Minangkabau menempatkan hukum Islam yang ada dalam Al-Qur’an sebagai hukum yang lebih tinggi dari hukum adat. Maka, hukum kewarisan Minangkabau selalu dibedakan antara harta pusaka dan harta pencaharian, dimana harta pusaka diturunkan sesuai dengan ketentuan adat (menurut garis ibu secara kolektif), sedangkan harta pencaharian diturunkan sesuai dengan hukum Islam.

Setiap keluarga matrilineal merupakan kelompok keluarga luas (extended family) yang terdiri dari kesatuan keluarga yang lebih kecil sampai yang lebih luas, meliputi kelompok orang yang samande, saparuik, dan sapayuang. Kelompok


(20)

5

samande merupakan kelompok keluarga terkecil dalam sistem matrilineal, namun kelompok ini tidak sama dengan keluarga batih atau inti. Biasanya kelompok samande ini terdiri dari tiga generasi atau senenek (Van Reenen dalam Indrizal, 2005). Kelompok yang terdiri atas beberapa keluarga samande disebut saparuik (paruik), yang terdiri dari empat sampai lima generasi. Terakhir, sapayuang ialah kesatuan yang terdiri dari beberapa kelompok saparuik. Kelompok sapayuang ini merupakan orang yang secara komunal memiliki hak atas harta pusaka dan tanah pemakaman (Indrizal, 2005).

Kelompok kekerabatan yang dahulunya dianggap paling penting di Minangkabau ialah kelompok saparuik atau paruik. Namun, berdasarkan hasil penelitian Syahrizal dan Sri Meiyenti (2012) yang berjudul “Sistem Kekerabatan Minangkabau Kontemporer: Suatu Kajian Perubahan dan Keberlangsungan Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau”, ditemukan bahwa masyarakat Minangkabau tidak lagi tinggal dalam sebuah rumah bersama kelompok paruik melainkan bersama keluarga luas atau keluarga inti. Peranan keluarga Minangkabau yang menganut sistem matrilineal terhadap keberadaan perempuan lansia ialah bertanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sehingga para lansia tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisi keluarganya. Dijelaskan juga bahwa yang memiliki tanggung jawab atas tugas penyantunan ini ialah anak-anak dari perempuan lanjut usia tersebut (Nurti, 2007).


(21)

Menurut ketentuan adat Minangkabau, seorang anak laki-laki mempunyai kedudukan yang tidak jelas dalam keluarga, terutama bagi mereka yang belum menikah. Dia tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal dan juga tidak memiliki harta benda, tetapi ia berkewajiban untuk menjaga dan memelihara harta benda keluarganya. Hal ini disebabkan karena semua harta tersebut sudah dilimpahkan kepada saudara perempuannya. Dalam etnis Minangkabau, anak perempuan adalah penghias rumah gadang yang hidupnya hanya bekisar di sekitar rumah tersebut. Oleh karena itu, ia setiap hari dan setiap saat berhubungan dan bergaul dengan ibunya di rumah. Bagi seorang ibu, anak perempuan selalu menemani dan membantunya di rumah, baik dalam suka maupun duka (Witrianto, 2010). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa saat sang ibu sudah lanjut usia maka yang bertanggung jawab untuk mengurusnya adalah anak perempuannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Drs. Admar Jas Apt, M.Sc dan Bapak Midi, yang merupakan ninik mamak.

“..Anak perempuan di etnis Minangkabau itu sangat dilindungi dan diprioritaskan. Harta pusaka tinggi, seperti rumah, ladang, sawah, diprioritaskan untuk anak perempuan. Makanya, kalaupun anak perempuan tersebut sudah menikah, suaminya yang tinggal di rumah keluarga istri, tinggal sama orang tuanya istrinya juga. Ini karena anak perempuan itu sangat dilindungi. Karena rumah diprioritaskan untuk anak perempuan dan orang tua juga sangat melindungi anak perempuannya, jadi wajar secara naluri anak perempuan untuk merawat orang tuanya tersebut. Kalau anak perempuan tidak merawat orang tuanya yah kena norma sosial, jadi dikucilkan dan tidak ada yang mau berbesanan sama dia..”

(Komunikasi Personal, 23 Januari 2014) “..Bagaimanapun juga orang tua lebih suka dirawat sama anak perempuan, sekalipun anak perempuan tersebut suka ngelawan. Rumah orang tua nantinya


(22)

7

untuk anak perempuan, dia yang boleh tinggal disitu. Kalau anak laki-laki cuma numpang saja. Kalaupun sang anak perempuan mampu beli rumah, tetap saja nantinya orang tua tersebut tinggal di rumah anak perempuannya itu..”

(Komunikasi Personal, 12 Maret 2014) Saat orang tua yang lansia berada dalam kondisi sehat dan bugar, lazimnya beberapa wanita sandwich generation dapat bertahan dengan tugas kepengasuhan tersebut. Namun, saat orang tua yang lansia sudah tidak lagi berada dalam kondisi yang sehat atau menjadi lemah, beban dalam tugas kepengasuhan tersebut dapat muncul (Antonucci: Marcoen dalam Papalia, 2008). Banyak wanita sandwich generation yang merasa terbebani dengan tugas mengasuh orang tua yang lansia tersebut. Biasanya mereka terbebani secara fisik, emosional, dan juga keuangankhususnya jika sang anak memiliki kerjaan paruh waktu, memiliki sumber keuangan yang terbatas, dan kurang mendapatkan dukungan maupun bantuan dari orang yang berada di sekitarnya (Lund dalam Papalia, 2008).

Lund, Antonucci, Mui (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa wanita

sandwich generation mengalami ketegangan emosional saat merawat orang tua lansia. Hal ini tidak hanya berasal dari dalam diri wanita sandwich generation, tetapi ketegangan emosional tersebut dapat muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan tugas kepengasuhan tersebut dengan aspek lainnya yang ada dalam kehidupan wanita sandwich generation, misal hubungan perkawinan, tanggung jawab pekerjaan, kepentingan pribadi, aktivitas sosial, dan rencana perjalanan.


(23)

Terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam perannya mengasuh orang tua lansia. Ini dapat membuat wanita dewasa madya sering mengalami stress, sehingga menyebabkan efek kesehatan fisik dan mental yang buruk (E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano dalam Matlin, 2008). Kelelahan yang dirasakan oleh wanita dewasa madya tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti intensitas merawat orang tua (Miller, McFall, Montgomery; Mui dalam Belsky, 1997), serta jumlah peran tambahan lainnya, seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenekyang harus ditangani dalam waktu yang sama (Franks & Stephens dalam Belsky, 1997).

“Hal negatif dari banyak tugas yang saya jalankan, yah capek lah ya. Kalo capek dikit aja salah, kita bisa marah. Lebih sensiitif kalo lagi capek. Kalo udah capek kali, yang sebenarnya gak perlu diginiiin jadi mellow

(Komunikasi Personal, 10 Januari 2014) “..Rencananya anak saya mau saya masukkan les aja. Payah kalo gak dileskan dia gak belajar. Kalo ngarepin saya yang ngajarin dia belajar yah gak bisa. Kerjaan saya kan banyak, ngurusin orang tua, jualan..”

(Komunikasi Personal, 10 Januari 2014) Stress juga dapat mengarahkan kepada kesedihan atau depresi (Sarafino, 2011). Grunfeld menyatakan bahwa kelelahan dan tingkat depresi yang meningkat dapat dialami oleh pengasuh saat keberfungsian orang tua yang lanjut usia menurun, serta banyak wanita menjadi lebih depresi saat tugas kepengasuhannya meningkat (dalam DeGenova, 2008). Wanita juga mengalami kesulitan ketika harus mengkombinasikan peran ganda dengan baik sementara mereka juga harus tetap


(24)

9

memperhatikan diri mereka (DeGenova, 2008). Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh di Thailand (2012) diketahui bahwa selain mengalami stress psikologis yang lebih tinggi daripada individu non pengasuh, pengasuh melaporkan memiliki kesehatan mental positif yang lebih tinggi (seperti self-esteem dan puas dengan hidup), kapasitas mental positif yang lebih tinggi (seperti mengatasi krisis), dan kualitas mental positif yang lebih tinggi (seperti menolong orang lain).

Tingkat stress yang tinggi yang dialami oleh pengasuh dapat dijelaskan karena adanya tekanan secara fisik dan psikologis dari kegiatan sehari-harinya (Brown; Savage & Bailey; Treasure; Vitaliano dalam Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh 2012). Individu memiliki kemungkinan untuk berkembang melalui tantangan yang dimilikinya terkait dengan tugas merawat orang tua, yakni sebuah kesempatan untuk menemukan dan membentuk makna hidup, serta mengajarkan generasi mendatang pentingnya untuk menjaga generasi tua (Jensen, Ferrari, dan Cavanaugh dalam DeGenova, 2008). Bagaimana pun juga, individu yang memiliki tugas sebagai seorang pengasuh memiliki efek positif terhadap kesehatan mental saat menolong orang lain dan mengatasi krisis yang ia miliki. Hal ini juga sesuai dengan temuan Kuuppelomaki; Ribeiro dan Paul (Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012) bahwa peran sebagai pengasuh memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup. Diener (1984) menyatakan bahwa individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya.


(25)

“..Positifnya kita jadi lebih nerima kenyataan, jadi lebih pasrah. Yah emang ini harus dijalanin yah dijalanin. Sebenarnya kan kalo orang lain menjalani kayak saya ini bilangnya gak sanggup. Tapi, positifnya orang ngelihat saya sanggup. Jadi, kita kelihatannya lebih kuat..”

(Komunikasi Personal, 10 Januari 2014) Kepuasan hidup merupakan komponen dari subjective well-being atau

happiness atau kebahagiaan. Selain itu, subjective well-being juga memiliki komponen afektif, yakni seberapa sering individu mengalami perasaan positif dan negatif (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Diener (1984) menyatakan bahwa subjective well-being berfokus pada bagaimana dan mengapa individu merasakan kehidupannya dalam cara yang positif, dimana termasuk di dalamnya cognitive judgments (penilaian kognitif) dan affective reactions (reaksi afektif). Diener juga menyatakan bahwa

subjective well-being merupakan pengalaman dengan level emosi dan mood positif serta kepuasan hidup yang tinggi, serta level emosi dan mood negatif yang rendah.

Subjective well-being ini juga digunakan sebagai sinonim dari hedonic well-being (Kahneman, Diener, dan Schwarz dalam Gallagher; Lopez; dan Preacher, 2009). Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan pengertian McGillivray dan Clarke (dalam Conceicao dan Bandura, 2008) bahwa subjective well-being ialah evaluasi kehidupan yang multidimensional, dimana terdiri dari penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup serta evaluasi afektif mengenai emosi dan mood. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara subjective well-being dengan pendapatan (Diener; Sandvik; Seidlitz; dan Diener, 1993). Selain pendapatan, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being,


(26)

11

antara lain usia, pendidikan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi (Eddington & Shuman, 2007).

Setiap individu memiliki subjective well-being yang berbeda-beda, begitu pula halnya dengan individu sandwich generation etnis Minangkabau. Individu

sandwich generation, khususnya wanita, memiliki tanggung jawab untuk merawat orang tua mereka yang sudah lansia. Masyarakat Minangkabau memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi perempuan lansia sehingga para lansia tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisinya. Tanggung jawab untuk memberikan pelayanan pada perempuan lansia ini dimiliki oleh anak perempuan. Hal ini dikarenakan dalam adat Minangkabau, anak perempuan sangat dilindungi dan diprioritaskan. Rumah yang dimiliki oleh orang tua diprioritaskan bagi anak perempuan. Sehingga, meskipun anak perempuan telah menikah, maka sang suami yang akan pindah ke rumah orang tua sang istri. Hal ini menyebabkan wajar jika secara naluri, anak perempuan merawat orang tuanya karena sudah sangat dilindungi dan diprioritaskan.

Berdasarkan berbagai literatur diketahui bahwa tuntutan yang tinggi pada wanita sandwich generation ini dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif yang dapat dialami oleh wanita sandwich generation ialah terbebani secara fisik, emosi, dan keuangan. Hal ini juga dialami oleh salah seorang responden, dimana ia mengalami dampak negatif, yakni merasa capek dan menjadi lebih sensitive. Namun, wanita sandwich generation yang memiliki peran sebagai


(27)

caregiver bagi anak dan orang tua lansia juga memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan kepuasan hidup. Dimana, individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya. Kepuasan hidup merupakan salah satu komponen subjective well-being. Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau serta faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:

1. Bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation

etnis Minangkabau?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi subjective well-being pada wanita

sandwich generation etnis Minangkabau tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran

subjective well-being wanita sandwich generation etnis Minangkabau serta faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being tersebut.


(28)

13

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat teoritis: memberikan informasi tentang gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat praktis: (1) hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi

tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti hal yang berkaitan dengan penelitian mengenai subjective well-being pada wanita sandwich generation dan kaitannya dengan etnis Minangkabau, (2) untuk wanita

sandwich generation, khususnya etnis Minangkabau, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna dalam mencermati kehidupannya sebagai generasi sandwich generation sehingga dapat meningkatkan subjective well-beingnya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(29)

Bab II Landasan Teori

Bab ini menjelaskan tentang etnis Minangkabau, teori sandwich generation, teori masa dewasa madya, teori subjective well-being, serta dinamika gambaran

subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau. Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang jenis penelitian kualitatif yang digunakan, responden penelitian, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum responden penelitian, hasil penelitian, dan juga pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(30)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ETNIS MINANGKABAU

Minangkabau merupakan salah satu etnis yang terdapat di Indonesia. Faktor genealogi merupakan unsur pokok yang mengikat kesatuan masyarakat Minangkabau. Faktor genealogi yang dipakai oleh masyarakat Minangkabau dilihat dari keturunan ibu, biasa disebut dengan istilah matrilineal. Hal ini menyebabkan orang Minangkabau memiliki tata-susunan masyarakat berdasarkan hukum ibu dan hal inilah yang memegang peranan di dalam organisasi masyarakat Minangkabau (Anwar, 1997). Masyarakat Minangkabau sering disebut sebagai sebuah masyarakat matrilineal terbesar di dunia (Indrizal, 2005).

1. Ciri-ciri Etnis Minangkabau

Sidney Hardland (dalam Hasan, 1988) menyatakan bahwa terdapat delapan ciri dari sistem matrilineal, yakni:

a. Keturunan berdasarkan garis ibu b. Suku terbentuk menurut garis ibu c. Pernikahan harus keluar suku

d. Balas dendam merupakan kewajiban seluruh anggota kaum

e. Secara teoritis, kekuasaan berada di tangan ibu meskipun jarang dilaksanakan f. Yang berkuasa adalah mamak (paman)

g. Dalam pernikahan, suami tinggal di rumah keluarga istrinya


(31)

h. Warisan diturunkan dari mamak kepada anak dari saudara perempuannya atau kemanakannya

Selain matrilineal, yang menjadi ciri khas lainnya pada masyarakat Minangkabau ialah tradisi merantau. Masyarakat Minangkabau terkenal di antara kelompok suku bangsa di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara sebagai masyarakat dengan tradisi merantau yang kuat (Indrizal, 2005). Abdullah (dalam Hasan, 1988) menyatakan bahwa selain menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau, merantau juga dapat menopang kelanggengan sistem matrilineal. Sebab, merantau dapat mendorong orang Minangkabau untuk tetap mempertahankan identitasnya di tengah-tengah identitas lainnya.

2. Sistem Sosial Etnis Minangkabau

Masyarakat Minangkabau memiliki sistem sosial yang khas sesuai dengan susunan masyarakat yang berkaitan erat dengan kekerabatan matrilineal. Setiap anak yang dilahirkan dalam keluarga Minangkabau secara otomatis menjadi anggota dari keluarga kelompok kerabat ibunya atau keluarga matrilineal. Setiap keluarga matrilineal merupakan kelompok keluarga luas yang terdiri atas keluarga yang lebih kecil hingga yang lebih luas, yakni samande, saparuik, sapayuang, dan sasuku. Yang menjadi kesatuan keluarga matrilineal terkecil ialah kelompok samande, tetapi kelompok ini tidak sama dengan keluarga batih. Biasanya, kelompok samande terdiri dari tiga generasi atau senenek (Van Reenen dalam Indrizal, 2005).

Kelompok yang terdiri dari beberapa keluarga samande disebut saparuik atau paruik. Paruik merupakan suatu persekutuan hukum yang menjadi dasar dari


(32)

17

organisasi masyarakat Minang. Paruik ini memiliki arti sebagai satu keluarga besar. Istilah keluarga disini diartikan sebagai keluarga besar yang dihitung berdasarkan garis ibu, sedangkan suami-suami dari anggota paruik tidak termasuk ke dalamnya (Anwar, 1997). Kelompok saparuik ini terdiri dari empat sampai lima generasi. Rumah gadang merupakan rumah tradisional yang dimiliki secara komunal oleh keluarga luas yang terdiri dari beberapa keluarga inti. Biasanya, yang mendiami rumah gadang ini ialah kelompok-kelompok matrilineal yang memiliki hubungan samande atau saparuik (Indrizal, 2005). Namun, secara perlahan-lahan rumah gadang ini tidak lagi didiami secara komunal oleh masyarakat Minangkabau sejak tahun 70-an. Sekarang ini masyarakat Minangkabau tidak lagi tinggal dalam bentuk kelompok paruik melainkan dalam bentuk keluarga luas atau keluarga inti (Syahrizal & Meiyenti, 2012).

Sapayuang atau sakaum merupakan kelompok yang lebih besar, dimana terdiri dari beberapa kelompok saparuik. Kelompok sapayuang atau sakaum ini biasanya merupakan kelompok keluarga matrilineal dari orang-orang yang “saharato pusako dan sapandam pakuburan”, yakni orang-orang yang secara komunal memiliki hak atas harta pusaka dan tanah pemakaman. Sedangkan kelompok keluarga yang lebih luas atau kesatuan dari beberapa kelompok saparuik disebut dengan sasuku (Indrizal, 2005).


(33)

3. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Etnis Minangkabau terhadap Orang Tua

Masyarakat Minangkabau memiliki nilai-nilai dan norma yang mengharuskan mereka untuk selalu dapat memberikan pelayanan kepada orang tua. Nilai, norma, dan aturan ini tidak hanya berasal dari adat semata, tetapi dilengkapi dan disempurnakan oleh ajaran agama Islam. Terdapat dua bentuk tanggung jawab sosial yang diatur di dalam ajaran adat Minangkabau, salah satunya ialah tanggung jawab terhadap orang tua, dalam arti ayah dan ibu. Tanggung jawab sosial terhadap ayah dan ibu, tidak saja keharusan yang ditekankan dan diwajibkan oleh ajaran dan norma adat, tetapi juga diwajibkan di dalam agama. Selain karena diwajibkan oleh ajaran adat dan agama, tanggung jawab terhadap orang tua tidak dapat dilepaskan dari ikatan batin yang ada di antara mereka. Hubungan orang tua dengan anak-anaknya merupakan suatu bentuk hubungan keturunan (Afrida, 2004).

Indrizal (2005) menyatakan bahwa dalam tatanan masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga dan ikatan komunitas merupakan institusi paling penting dan fungsional sebagai jaminan sosial untuk orang lansia. Terdapat perasaan bersama atau solidaritas kelompok berdasarkan ikatan keluarga dan komunitas, yang ditujukan untuk menjamin kehidupan orang lansia agar tidak terabaikan.

Seorang ninik mamak, yaitu Drs. Admar Jas Apt, M.Sc., menyatakan bahwa yang memiliki tanggung jawab untuk menjamin kehidupan orang lansia tersebut adalah anak perempuannya. Hal ini dikarenakan dalam etnis Minangkabau, anak


(34)

19

perempuan sangat dilindungi dan diprioritaskan. Harta pusaka tinggi, seperti rumah, ladang, dan sawah, diprioritaskan untuk anak perempuan. Karena rumah diprioritaskan untuk anak perempuan dan orang tua juga sangat melindungi mereka, maka wajar jika secara naluri anak perempuan yang merawat orang tuanya tersebut.

Lebih lanjutnya lagi Saleh, Afrizal, Erwin, dan Indrizal (dalam Nurti, 2007) menyatakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, perempuan lansia memiliki kedudukan dan peranan penting serta terhormat sebagai orang yang diharapkan masih mampu berbuat banyak di dalam keluarga dan masyarakat. Lazimnya, perempuan lansia diharapkan dapat menjadi pembimbing dan penasehat karena memiliki pengalaman hidup yang panjang. Maka dari itu, perempuan lansia di dalam masyarakat matrilineal Minangkabau tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya. Akan menjadi aib malu anak-kemanakan, keluarga, kerabat, atau bahkan orang sekampung jika terdapat orang lanjut usia yang terlantar.

B. SANDWICH GENERATION 1. Pengertian Sandwich Generation

Shapiro (dalam Genovese, 1997) menyatakan bahwa sandwich generation

ialah individu dewasa madya yang menghadapi tanggung jawab simultan untuk merawat generasi yang paling muda dan generasi yang paling tua. Sementara itu, menurut Boston Women’s Health Book Collective (dalam Matlin, 2008) istilah

sandwich generation mengacu kepada individu dewasa madya, khususnya wanita, yang menemukan bahwa dirinya bertanggung jawab atas anak yang bergantung


(35)

padanya dan juga bertanggung jawab atas orang tuanya yang lansia. Masa dewasa madya atau middle adulthood merupakan periode perkembangan yang dimulai kira-kira usia 35-45 tahun hingga memasuk usia 60-an (Santrock, 1999).

Genovese (1997) menyatakan bahwa istilah sandwich generation akan lebih bermakna jika digunakan untuk merujuk pada individu dewasa madya yang mengalami tekanan dan tegangan dari tanggung jawabnya dalam merawat orang tua lansia dan anak, baik mereka tinggal serumah maupun tidak.

2. Wanita dan Sandwich Generation

Bianchi dan Casper (dalam Skogrand, Henderson, dan Higginbotham, 2006) menyatakan bahwa tugas merawat orang tua lansia sebanyak 75% dilakukan oleh wanita dan sisanya 25% dilakukan oleh pria. Sekitar setengah atau dua per tiga wanita dewasa madya akan merawat orang tua lansia atau mertua dalam kehidupan mereka (Family Caregiver Online dalam Skogrand, Henderson, dan Higginbotham, 2006). Mayoritas yang mengalami stress sebagai sandwich generation ialah wanita dibandingkan dengan pria (Skogrand, Henderson, dan Higginbotham, 2006).

3. Hal Positif yang Dialami Wanita Sandwich Generation

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh di Thailand (2012) diketahui bahwa selain mengalami stress psikologis yang lebih tinggi daripada individu non pengasuh, pengasuh (dalam hal ini wanita sandwich generation) melaporkan memiliki kesehatan mental positif yang lebih tinggi (seperti


(36)

21

mengatasi krisis), dan kualitas mental positif yang lebih tinggi (seperti menolong orang lain).

Tingkat stress yang tinggi yang dialami oleh wanita sandwich generation

dapat dijelaskan karena adanya tekanan secara fisik dan psikologis dari kegiatan sehari-harinya (Brown; Savage & Bailey; Treasure; Vitaliano dalam Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh 2012). Bagaimana pun juga, wanita

sandwich generation yang memiliki tugas sebagai seorang pengasuh memiliki efek positif terhadap kesehatan mental saat menolong orang lain dan mengatasi krisis yang ia miliki. Hal ini juga sesuai dengan temuan Kuuppelomaki; Ribeiro dan Paul (Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012) bahwa peran sebagai pengasuh memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup.

4. Hal Negatif yang Dialami Wanita Sandwich Generation

E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano (dalam Matlin, 2008) menyatakan terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan juga yang melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam perannya mengasuh orang tua yang lanjut usia. Ini dapat membuat wanita dewasa madya sering mengalami stress, dan ini dapat menyebabkan efek kesehatan fisik dan mental yang buruk. Kelelahan yang dirasakan oleh wanita dewasa madya tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti intensitas merawat orang tua (Miller, McFall, Montgomery; Mui dalam Belsky, 1997), serta jumlah peran tambahan lainnya, seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenekyang harus ditangani dalam waktu yang sama (Franks & Stephens dalam Belsky, 1997). Kelelahan dan tingkat depresi yang meningkat dapat dialami oleh wanita dewasa


(37)

madya saat keberfungsian orang tua yang lanjut usia menurun, serta banyak wanita menjadi lebih depresi saat tugas kepengasuhannya meningkat (Grunfeld dalam DeGenova, 2008). Wanita juga mengalami kesulitan ketika harus mengkombinasikan peran ganda dengan baik sementara mereka juga harus tetap memperhatikan diri mereka (DeGenova, 2008).

C. MASA DEWASA MADYA

Masa dewasa madya (middle adulthood) merupakan periode perkembangan yang dimulai kira-kira usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Bagi banyak orang, masa dewasa madya adalah masa menurunnya keterampilan fisik dan semakin besarnya tanggung jawab, suatu periode di mana orang menjadi semakin sadar akan polaritas mudatua dan semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam kehidupan, suatu titik ketika individu berusaha meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya, dan suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya (Santrock, 1999).

1. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya

Tugas perkembangan masa dewasa madya menurut Havighurst (dalam Lestari, 2010), antara lain:

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan tanggung jawab sebagai warga negara. b. Membangun dan menjaga standar ekonomi rumah tangga.

c. Membantu anak usia remaja menjadi bertanggung jawab dan memperoleh kebahagiaan.


(38)

23

d. Mengembangkan kegiatan di waktu luang.

e. Menghubungkan satu kepribadian dengan kepribadian pasangan sebagai individu.

f. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis pada masa dewasa madya.

g. Menyesuaikan diri menjadi orang tua lanjut usia.

2. Perkembangan Fisik Masa Dewasa Madya

Kebiasaan kesehatan dan gaya hidup pada masa dewasa madya dapat mempengaruhi apa yang akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya (Merill & Verbrugge; Whitbourne dalam Papalia, 2008). Individu dewasa madya yang memiliki kebiasaan tidak sehat di masa muda dapat meningkatkan kebugaran fisik mereka dengan mengubah perilakunya (Merill & Verbrugge dalam Papalia, 2008). Papalia (2008) menyatakan bahwa pikiran dan tubuh memiliki banyak cara untuk mengkompensasi perubahan yang benar-benar terjadi. Sebagian besar individu dewasa madya cukup realistis untuk dengan mudah perubahan penampilan, kinerja indra, motor, dan sistemik, dan dalam kapasitas reproduktif dan seksual, serta sebagian dari mereka mengalami puber kedua.

3. Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Madya

Secara kognitif, individu dewasa madya sedang berada dalam kondisi puncak (Papalia, 2008). Meskipun mengalami penurunan kemampuan perceptual yang dimulai pada usia 25 tahun dan kemampuan numerik mulai menurun pada usia sekitar 40 tahun, tetapi performa puncak dalam penalaran induktif, orientasi spasial,


(39)

kosakata, dan memori verbalterjadi pada pertengahan pada masa dewasa madya. Dalam bidang kemampuan tersebut, individu dewasa madya, khususnya wanita, berada di atas rata-rata dibandingkan saat mereka berusia 25 tahun. Orientasi spasial, kosakata, dan memori verbal pria mencapai puncak pada usia lima puluhan, sedangkan pada wanita, pada awal usia 60-an. Dengan kata lain, kecepatan perseptual wanita menurun lebih cepat dibandingkan pria (Wills & Schaie dalam Papalia, 2008).

4. Perkembangan Psikososial Masa Dewasa Madya

Masa dewasa madya dianggap sebagai periode yang relatif tenang (Whitbourne & Connolly dalam Papalia, 2008). Abraham Maslow dan Carl Rogers (dalam Papalia, 2008) memandang masa dewasa madya sebagai peluang bagi perubahan positif. Sementara itu, Carl Jung (dalam Papalia, 2008) berpendapat bahwa perkembangan dewasa madya yang sehat menuntut “individuasi”, yakni kemunculan diri sejati melalui pengintegrasian bagian kepribadian yang saling berlawanan, termasuk bagian-bagian yang sebelumnya diabaikan. Sampai sekitar usia 40 tahun, orang dewasa berkonsentrasi pada kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat serta mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang akan membantu mereka mencapai tujuan eksternal. Wanita menekankan ekspresivitas dan pengasuhan, sedangkan orientasi utama pria adalah prestasi. Pada masa dewasa madya, individu menggeser “keasyikan” mereka kepada batin dan spiritual (Carl Jung dalam Papalia, 2008).


(40)

25

D. SUBJECTIVE WELL-BEING 1. Pengertian Subjective Well-Being

Istilah subjective well-being mengacu kepada evaluasi individu terhadap kehidupannya, yang terdiri dari penilaian kognitif, seperti kepuasan hidup, dan evaluasi afektif (mood dan emosi), seperti perasaan emosional positif dan negatif. Individu yang puas dengan kondisi kehidupannya, sering mengalami emosi positif, dan jarang mengalami emosi negatif adalah individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi. Subjective well-being ini sendiri merupakan istilah psikologis untuk “happiness” atau kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2007).

2. Komponen Subjective Well-Being

Eddingtong & Shuman (2007) menyatakan terdapat beberapa komponen utama yang menyusun subjective well-being, antara lain kepuasan hidup global, puas dengan domain kehidupan spesifik, sering mengalami afek positif (mood dan emosi menyenangkan), dan relatif tidak adanya afek negatif (mood dan emosi tidak menyenangkan). Komponen-komponen ini kemudian diturunkan menjadi elemen yang lebih spesifik, seperti:

a. Penilaian kognitif

Penilaian kognitif meliputi kepuasan hidup, yakni penilaian subjektif mengenai kualitas kehidupan seseorang. Karena yang melekat ialah sebuah evaluasi, maka penilaian terhadap kepuasan hidup memiliki komponen kognitif yang besar (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Campbell, Converse, dan Rodgers (dalam Sipahutar, 2012) menyatakan bahwa komponen kognitif ini merupakan persepsi mengenai


(41)

terpenuhi atau tidaknya kesenjangan antara hal yang diinginkan individu dengan kenyataan yang dimilikinya.

Dimensi kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan atau

domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya (Diener dalam Sipahutar, 2012). Domain satisfaction ini misalnya kepuasan kerja, pernikahan, dan sebagainya (Diener, 1984). Andrew dan Withey (dalam Sipahutar, 2012) menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling mempengaruhi subjective well-being individu tersebut. Kepuasan hidup sebagai komponen kognitif dari subjective well-being ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi individu (Diener dalam Sipahutar, 2012).

b. Evaluasi afektif

Evaluasi afektif mencakup afek positif dan afek negatif. Afek positif terbagi menjadi suka cita, kegembiraan, kebanggaan, kepuasan, afeksi, kebahagiaan, dan kegembiraan yang luar biasa. Sedangkan afek negatif terbagi menjadi rasa bersalah dan malu, kesedihan, kecemasan dan khawatir, marah, stress, depresi, dan cemburu. Individu bereaksi dengan afek positif saat mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, sedangkan individu bereaksi dengan afek negatif saat menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Komponen afektif ini menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh individu ataupun hanya berdasarkan penilaiannya (Diener dalam Sipahutar, 2012).


(42)

27

Diener dan Lucas (dalam Sipahutar, 2012) menyatakan bahwa komponen afektif merupakan hal yang sentral untuk subjective well-being. Komponen afektif ini memiliki peranan dalam mengevaluasi subjective well-being, sebab komponen afektif memberi kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan pada dasar pengalaman personal continual. Baik afek positif maupun afek negatif berkaitan dengan evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh individu tersebut.

Kepuasan hidup dan banyaknya afek positif serta afek negatif dapat saling berkaitan. Hal ini disebabkan oleh penilaian individu terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Meskipun kedua hal ini berkaitan, tetapi keduanya berbeda. Kepuasan hidup merupakan penilaian individu mengenai kehidupannya secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan afek negatif terdiri dari reaksi-reaksi individu yang berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang ia alami.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being (Eddington & Shuman, 2007) ialah:

a. Usia

Sebuah penelitian internasional dengan sampel dari banyak negara mengindikasikan bahwa kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan usia (Butt & Beiser; Inglehart; Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2007). Secara kontras, afek menyenangkan menurun seiring dengan usia. Okma dan Veenhoven (dalam


(43)

Eddington & Shuman, 2007) juga tidak menemukan penurunan kepuasan hidup di sepanjang rentang kehidupan namun tampak sedikit penurunan dalam mood. Kurangnya penurunan signifikan dalam kepuasan hidup di sepanjang rentang kehidupan disebabkan karena individu mampu beradaptasi dengan kondisinya.

Kepuasan hidup tetap stabil meskipun penurunan dalam hal pernikahan dan pendapatan terjadi di semua kelompok usia setelah masa dewasa. Menurut beberapa peneliti, temuan ini membuktikan bahwa individu kembali menyesuaikan tujuan yang dimilikinya dengan usianya (Campbell et al.; Rapkin & Fischer dalam Eddington & Shuman, 2007). Hal ini juga sejalan dengan temuan Ryff (dalam Eddington & Shuman, 2007) bahwa orang dewasa yang lebih tua menunjukkan kesesuaian yang lebih dekat dalam hal persepsi diri ideal dengan persepsi diri aktual, jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda,

b. Pendidikan

Ditemukan hubungan yang kecil namun signifikan antara pendidikan dengan

subjective well-being (Campbell et al.; Cantril; Diener et al. dalam Eddington & Shuman, 2007). Pendidikan lebih berhubungan dengan well-being pada individu yang memiliki pendapatan lebih rendah (Campbell; Diener dalam Eddington & Shuman, 2007), dan juga pada negara yang miskin (Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2007). Melalui pendidikan, individu dengan pendapatan lebih rendah membentuk minat yang lebih luas terhadap waktu luang. Sementara pada negara miskin, status sosial dapat disampaikan melalui pendidikan. Terdapat banyak hubungan antara pendidikan dengan subjective well-being dimana pendidikan berhubungan dengan


(44)

29

status pekerjaan dan juga pendapatan (Campbell; Witter dalam Eddington & Shuman, 2007).

c. Pendapatan

Pendapatan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kebahagiaan bahkan saat menjelaskan tentang individu yang sangat kaya. Individu dengan pendapatan bersih lebih dari 125 juta dolar secara acak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berasal dari area geografis yang sama. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa rata-rata individu yang sangat kaya agak lebih bahagia daripada sampel nasional, namun terdapat tumpang tindih pada distribusi antara kelompok yang kaya dan kelompok yang tidak kaya (Diener, Horwitz, Emmons dalam Eddington & Shuman, 2007). Secara umum, individu yang kaya lebih bahagia daripada individu yang miskin. Namun, pengaruh antara kekayaan dan kebahagiaan ini adalah kecil. Tidak terdapat temuan mengenai hubungan sebab-akibat yang kuat antara pendapatan dan

subjective well-being. Individu yang kaya hanya agak lebih bahagia daripada individu yang miskin dalam negara yang kaya, meskipun tampaknya negara kaya lebih bahagia daripada negara miskin.

d. Pernikahan

Individu yang tidak pernah menikah atau bercerai, berpisah, atau janda menunjukkan kebahagiaan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan individu yang menikah (Kurdek; Mastekaasa dalam Eddington & Shuman, 2007). Menurut Glenn & Weaver serta Gove, Hughes, dan Style (dalam Eddington & Shuman, 2007), kebahagiaan secara signifikan berhubungan dengan well-being bahkan jika usia


(45)

ataupun pendapatan dikontrol. Lee, Seccombe, & Shehan (dalam Eddington & Shuman, 2007) menemukan bahwa wanita yang menikah secara konsisten lebih bahagia daripada wanita yang tidak menikah, begitu juga dengan pria yang menikah lebih bahagia daripada pria yang tidak menikah.

Pria mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pernikahan jika dibandingkan dengan wanita, namun tidak terdapat perbedaan dalam hal kepuasan hidup antara pria dan wanita yang menikah (Diener dalam Eddington & Shuman, 2007). Banyak peneliti percaya bahwa pernikahan memberikan sebuah penyangga untuk melawan kesulitan hidup, menyediakan dukungan emosional dan financial, yang dapat menghasilkan keadaan well-being yang positif (Coombs; Gove, Styles, & Hughes; Kessler & Esser dalam Eddington & Shuman, 2007).

e. Kepuasaan Kerja

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tait, Padgett, dan Baldwin (dalam Eddington & Shuman, 2007) ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan hidup pada wanita dalam beberapa dekade terakhir. Pekerjaan dianggap berhubungan dengan subjective well-being karena pekerjaan menawarkan level stimulasi optimal sehingga individu dapat menemukan kesenangan (Csikszentmihalyi; Scitovsky dalam Eddington & Shuman, 2007). Selain itu, pekerjaan juga memberikan hubungan sosial yang positif, dan rasa serta arti akan diri, dimana hal ini berhubungan dengan subjective well-being.

Penelitian mengenai karakteristik pekerjaan yang memuaskan telah dilakukan secara ekstensif; menurut Bretz dan Judge (dalam Eddington & Shuman, 2007),


(46)

31

secara umum kesesuaian antara individu dengan organisasi berhubungan dengan kepuasan kerja. Mottaz (dalam Eddington & Shuman, 2007) juga menambahkan bahwa reward intrinsic dan keuntungan sosial merupakan prediktor yang signifikan untuk kepuasan. Oswald; Platt dan Kreitman (dalam Eddington & Shuman, 2007) menyatakan bahwa individu yang pengangguran memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah, dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada individu yang bekerja. Oleh sebab itu, pengangguran menyebabkan

subjective well-being yang lebih rendah (Clark dalam Eddington & Shuman, 2007). f. Kesehatan

Individu menilai bahwa kesehatan yang baik merupakan hal yang paling penting dari domain kehidupan (Campbell et al. dalam Eddington & Shuman, 2007). George & Landerman (dalam Eddington & Shuman, 2007) menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well-being, yang diperoleh melalui self-report dari pengukuran kesehatan; dan bukan untuk rating kesehatan objektif yang dilakukan oleh dokter (Watten, Vassend, Myhrer, & Syversen dalam Eddington & Shuman, 2007). Oleh sebab itu, persepsi mengenai kesehatan tampaknya lebih berpengaruh terhadap subjective well-being daripada kesehatan objektif. Penjelasan untuk hal ini ialah individu dalam kondisi kesehatan yang buruk mengecilkan pentingnya kesehatan mereka saat mengevaluasi kepuasan hidup global, dan kedua, individu menggunakan strategi coping kognitif sehingga mendorong gambaran positif untuk kondisi kesehatannya. Kesehatan yang buruk dianggap


(47)

mempengaruhi subjective well-being secara negatif karena mengganggu pencapaian tujuan.

g. Agama

Ellison (dalam Eddington & Shuman, 2007) menyatakan bahwa meskipun tidak memiliki pengaruh yang besar, tetapi secara signifikan subjective well-being

berhubungan dengan agama, kekuatan hubungan seseorang dengan Tuhan (Pollner dalam Eddington & Shuman, 2007), pengalaman berdoa (Poloma & Pendleton dalam Eddington & Shuman, 2007), dan ketaatan serta partisipasi dari aspek keagamaan (Ellison, Gay, & Glass dalam Eddington & Shuman, 2007). Rasa akan makna dalam kehidupan sehari-hari (Pollner dalam Eddington & Shuman, 2007) dan juga rasa akan makna selama krisis utama kehidupan (Mclntosh, Silver, & Wortman dalam Eddington & Shuman, 2007), merupakan hal yang ditawarkan dari pengalaman keagamaan.

Selain itu, agama juga memberikan pemenuhan sosial yang diperoleh dari paparan jaringan sosial melalui orang-orang yang memiliki nilai dan sikap yang sama (Taylor & Chatter dalam Eddington & Shuman, 2007). Menurut Strawbridge, Shema, Cohen, Robert, dan Kaplan (dalam Eddington & Shuman, 2007), agama dapat mengurangi efek stressor dalam depresi, namun juga dapat memperburuk pengaruh terhadap stressor lainnya, seperti masalah pernikahan dan kekerasan.

h. Waktu Luang

Kebahagiaan berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dan juga level aktivitas waktu luang (Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2007). Berdasarkan


(48)

33

penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Glancy, Willits, dan Farrell (dalam Eddington dan Shuman, 2007), ditemukan bahwa subjective well-being meningkat karena adanya kepuasan akan waktu luang. Bukti yang kuat bahwa subjective well-being berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dapat dilihat dari pengaruh olah raga atau bentuk kegiatan lainnya. Olah raga dan latihan efektif sebagian karena menghasilkan endorphin, interaksi sosial dengan individu lain, dan mengalami kesuksesan atau self-efficacy. Menari dan music juga efektif dalam merangsang mood dan terdapat keuntungan sosial. Hal ini memungkinkan sejumlah kebutuhan sosial terpenuhi melalui beberapa aktivitas, termasuk intimasi, kerja sama, dan sebagainya (Argyle dalam Eddington & Shuman, 2007). Dewasa ini, bentuk kegiatan pengisi waktu luang yang paling populer di dunia modern ialah menonton televisi. Selain itu, berlibur juga merupakan sumber dari kebahagiaan dan relaksasi.

i. Kejadian Hidup

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lima negara Eropa ditemukan bahwa penyebab utama dari kegembiraan, yakni hubungan dengan teman, kepuasan yang bersifat dasar (makan, minum, dan seks), dan juga kesuksesan (Scherer et al., dalam Eddington & Shuman, 2007). Larson (dalam Eddington & Shuman, 2007) menyatakan bahwa mood yang lebih positif ditemukan pada individu saat bersama dengan temannya dibandingkan jika ia sendirian atau bersama keluarganya, dan kebahagiaan juga berhubungan dengan jumlah teman, frekuensi jumpa dengan teman, pergi ke pesta dan menari, dan termasuk ke dalam kelompok atau klub (Argyle dan Lu dalam Eddington & Shuman, 2007).


(49)

Headey, Holmstrom, dan Wearing (dalam Eddington & Shuman, 2007) menemukan bahwa kejadian menyenangkan dalam hal pertemanan dan pekerjaan diprediksikan dapat meningkatkan subjective well-being. Frekuensi melakukan hubungan seksual juga berhubungan dengan kebahagiaan, sebagaimana kepuasan terhadap kehidupan seksual, jatuh cinta, interaksi dengan pasangan, tetapi memiliki sikap seksual yang liberal memiliki hubungan yang negatif. Tempat-tempat yang bagus di luar rumah, seperti laut, matahari, pegunungan, dan sebagainya juga dapat menghasilkan pengaruh yang positif. Tingkat yang paling tinggi ialah jatuh cinta dan memberikan efek positif selama cinta tersebut berlangsung. Begitu juga dengan memiliki bayi. Namun, terkadang memiliki bayi juga dinilai sebagai suatu hal yang dapat menyebabkan stress.

j. Kompetensi

Terdapat hubungan positif antara kompetensi kecerdasan dan kebahagiaan meskipun hubungannya hanya sedikit. Mirip dengan pendidikan, kecerdasan dapat menghasilkan aspirasi yang mungkin tidak dapat dipenuhi. Jika aspirasi tersebut tidak terpenuhi maka dapat meningkatkan kesenjangan dalam pencapaian tujuan. Bagi perempuan, daya tarik fisik memiliki pengaruh yang kuat. Agnew (dalam Eddington & Shuman, 2007) menyatakab bahwa hal ini dapat menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar. Ini disebabkan karena daya tarik fisik dapat menghasilkan popularitas pada kalangan lawan jenis, guru dan pegawai, dan juga sebagai sumber mobilitas ke atas (Argyle dalam Eddington & Shuman, 2007). Hal ini mirip dengan efek tinggi pada pria, namun hal ini memiliki hubungan yang kecil dengan kebahagiaan.


(50)

35

Kemampuan sosial merupakan hal yang lebih penting dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya. Argyle dan Lu (dalam Eddington & Shuman, 2007) menemukan bahwa individu yang ekstovert memiliki kemampuan sosial yang lebih dan hal ini menjadi salah satu alasan dari kebahagiaan mereka; selain itu, mereka juga senang karena kemampuan asertifnya yang lebih baik, yang diperantarai oleh hubungan ekstraversi dan kebahagiaan.

Kemampuan sosial mengarahkan pada kebahagiaan karena hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan mencapai keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Secara kontras, individu yang tidak memiliki kompeten sosial cenderung ditolak secara sosial, dan menjadi terisolasi serta tidak memapu menemukan dukungan sosial atau persahabatan (Sarason dan Sarason dalam Eddington & Shuman, 2007). Argyle, Martin, dan Lu (dalam Eddington & Shuman, 2007) menemukan bahwa kebahagiaan juga berhubungan dengan kepemimpinan, bekerja sama, dan kemampuan heteroseksual.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa subjective well-being

ialah evaluasi individu terhadap kehidupannya, yang terdiri dari penilaian kognitif, seperti kepuasan hidup, dan evaluasi afektif (mood dan emosi), seperti perasaan emosional positif dan negatif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being ini ialah perbedaan sex, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi.


(51)

E. DINAMIKA GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA SANDWICH GENERATION ETNIS MINANGKABAU

Masyarakat Minangkabau memiliki nilai-nilai dan norma yang mengharuskan mereka untuk selalu dapat memberikan pelayanan kepada orang tua. Terdapat dua bentuk tanggung jawab sosial yang diatur di dalam ajaran adat Minangkabau, salah satunya adalah tanggung jawab terhadap orang tua, dalam arti ayah dan ibu (Afrida, 2004). Terlebih lagi, karena dalam adat Minangkabau yang memiliki kedudukan yang istimewa adalah perempuan, maka perempuan mendapatkan julukan bundo kanduang

(Chalid dalam Stella, 2012).

Keluarga Minangkabau yang menganut sistem matrilineal memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada perempuan lansia. Sehingga, para lansia tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisi keluarganya (Nurti, 2007). Hal ini dikarenakan perempuan lansia memiliki kedudukan dan peranan penting serta terhormat sebagai orang yang diharapkan masih mampu berbuat banyak di dalam keluarga dan masyarakat (Saleh, Afrizal, Erwin, dan Indrizal, dalam Nurti, 2007).

Tanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada perempuan lansia dimiliki oleh anak perempuan. Menurut seorang ninik mamak, yaitu Drs. Admar Jas Apt, M.Sc., anak perempuan sangat dilindungi dan diprioritaskan dalam adat Minangkabau. Harta pusaka tinggi, seperti rumah, diprioritaskan bagi anak perempuan. Jika anak perempuan tersebut menikah, maka sang suami yang akan pindah ke rumah orang tua dari istri. Karena anak perempuan


(52)

37

sudah sangat dilindungi dan diprioritaskan, maka wajar jika secara naluri anak perempuan tersebut merawat orang tuanya.

Selain itu, Witrianto (2010) juga menyatakan bahwa anak laki-laki mempunyai kedudukan yang tidak jelas dalam ketentuan adat Minang, terlebih lagi bagi yang belum menikah. Ia tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal atau pun harta benda, tetapi ia berkewajiban untuk menjaga dan memelihara harta benda keluarganya. Sebab, seluruh harta tersebut telah dilimpahkan kepada saudara perempuannya. Yang menjadi penghias rumah gadang, yang hidupnya hanya bekisar di sekitar rumah tersebut, adalah anak perempuan. Oleh karena itu, ia setiap hari dan setiap saat berhubungan dan bergaul dengan ibunya di rumah. Bagi seorang ibu, anak perempuan selalu menemani dan membantunya di rumah, baik dalam suka maupun duka.

Beberapa generasi dapat bertahan dengan tugas kepengasuhan jika orang tua lansia berada dalam kondisi sehat dan bugar. Sebaliknya, tugas mengasuh tersebut dapat menimbulkan beban jika orang tua lansia berada dalam kondisi tidak sehat dan lemah (Antonucci; Marcoen dalam Papalia, 2008). Terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam perannya mengasuh orang tua lansia. Ini dapat membuat wanita dewasa madya sering mengalami stress, sehingga menyebabkan efek kesehatan fisik dan mental yang buruk (E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano dalam Matlin, 2008). Kelelahan yang dirasakan oleh wanita dewasa madya tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti intensitas merawat orang tua (Miller, McFall, Montgomery; Mui dalam


(53)

Belsky, 1997), serta jumlah peran tambahan lainnya, seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenekyang harus ditangani dalam waktu yang sama (Franks & Stephens dalam Belsky, 1997).

Individu dewasa madya yang memiliki tanggung jawab simultan untuk merawat generasi yang paling muda dan generasi yang paling tua disebut sebagai

sandwich generation (Shapiro dalam Genovese, 1997). Santrock (1999) menyatakan bahwa masa dewasa madya merupakan periode perkembangan yang dimulai kira-kira usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Istilah sandwich generation akan lebih bermakna jika digunakan untuk merujuk pada individu dewasa madya yang mengalami tekanan dan tegangan dari berbagai tanggung jawabnya dalam merawat orang tua lansia dan anak, baik mereka tinggal serumah maupun tidak (Genovese, 1997).

Tetapi, tidak selamanya terdapat hal negatif dalam tugas merawat orang tua lansia. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Kuuppelomaki, Ribeiro, dan Paul (dalam Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012) bahwa individu yang menjadi

caregiver bagi anggota keluarganya, dalam hal ini orang tua lansia, memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup. Individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya (Diener, 1984). Kepuasan hidup merupakan salah satu komponen dari subjective well-being, dimana subjective well-being

merupakan istilah psikologis untuk happiness atau kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2007).


(54)

39

Eddington dan Shuman (2007) menyatakan bahwa subjective well-being

mengacu pada evaluasi individu terhadap kehidupannya, yang terdiri dari penilaian kognitif (misal kepuasan hidup) dan evaluasi afektif (mood dan emosi), seperti perasaan emosional positif dan negatif. Terdapat beragam faktor yang mempengaruhi

subjective well-being, antara lain usia, pendidikan, pendapatan, kepuasan kerja, pernikahan, agama, kesehatan, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi. Berdasarkan hasil penelitian oleh Taylor, Parker, Patten, dan Mottel (2013) ditemukan bahwa individu dewasa sebagai sandwich generation merasa bahagia dengan seluruh hidupnya, sama seperti individu dewasa lainnya. 31% diantaranya mengatakan sangat senang dengan kehidupannya, dan 52% mengatakan cukup senang dengan kehidupannya. Tingkat kebahagiaannya hampir sama dengan individu yang bukan sebagai sandwich generation, yaitu 28% sangat senang dan 51% cukup senang dengan kehidupannya.


(55)

F. PARADIGMA BERPIKIR Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau Peran sebagai ibu Peran sebagai anak Sistem Matrilineal Merawat dan membesarkan anak Anak bertanggung jawab merawat orang

tua lansia

Merawat orang tua yang lansia

Efek positif dan efek

negatif Tugas Anak

Perempuan

a. Perbedaan sex b. Usia

c. Pendidikan d. Pendapatan e. Pernikahan f. Kepuasan kerja g. Kesehatan h. Agama i. Waktu luang j. Kejadian hidup k. Kompetensi Komponen Afektif Subjective Well-Being Komponen Kognitif Keterangan: (memiliki atau dimiliki) (berhubungan) (mempengaruhi atau dipengaruhi)


(1)

Retnowulandari, Wahyuni. 2000. Hukum Waris Islam dalam Masyarakat Minangkabau. Universitas Trisakti, Jakarta.

Santoso, A. Guritnaningsih., & Royanto, R.M. Lucia. 2009. Teknik Penulisan Laporan Penelitian Kualitatif. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPS3), UI.

Santrock, W. John. 1999. Life-Span Development, Seventh Edition. United States: McGraw-Hill Companies.

Sarafino, P., Edward. 2011. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions 7th Ed. United States: John Wiley & Sons.

Silalahi, Karlinawati., & Meinarno, A., Eko. 2010. Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sipahutar, Rini. 2012. Gambaran Subjective Well-Being Mahasiswa Anggota Paduan Suara Mahasiswa Gerejawi (Skripsi). Universitas Sumatera Utara, Medan.

Skogrand, Linda., Henderson, Katie., & Higginbotham, Brian. 2006. Sandwich Generation. FR/Marriage/2006-01pr. Utah University, United States of America.

Sousa, Lorie., & Lyubomirsky, Sonja. 2001. Life Satisfaction. In J. Worell (Ed),

Encyclopedia of women and gender: Sex similarities and differences and the impact of society on gender, Vol. 2 pp. 667-676. San Diego, CA: Academic Press.

Stella, Monica. 2012. Keberlanjutan Sistem Matrilineal Keluarga Muda Minang di Era Globalisasi. Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012. Universitas Indonesia, Jakarta.


(2)

Syahrizal & Meiyenti, Sri. 2012. Sistem Kekerabatan Minangkabau Kontemporer: Suatu Kajian Perubahan dan Keberlangsungan Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau. Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”. Universitas Andalas, Padang.

Taylor, Paul., Parker, Kim., Patten, Eileen., & Motel, Seth. 2013. The Sandwich Generation: Rising Financials Burdens for Middle-Aged Americans. Washington, D.C.: Pew Social & Demographic Trends.

Ulfah, Nst. Dewina. 2010. Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama (Skripsi). Universitas Sumatera Utara, Medan.

Yiengprugsawan, Vasoontara., et al. 2012. Psychological Distress and Mental Health of Thai Caregivers. Psychology of Well-Being: Theory, Research and Practice, 2:4. A Springer Open Journal, diunduh dari www.psywb.com/content/2/1/4.

http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/13/hubungan-orangtua-dengan-anak-dalam-keluarga-di-minangkabau/ diunduh pada 19 Juni 2014.


(3)

LAMPIRAN 1

PEDOMAN WAWANCARA

1. Pertanyaan seputar identitas partisipan

a. Nama, usia, jumlah anak, lama pernikahan, dan pekerjaan partisipan.

b. Sudah berapa lama tinggal bersama atau mengurus orang tua (ibu), usia orang tua (ibu) saat ini, kondisi kesehatan orang tua (ibu), serta alasan tinggal bersama atau mengurus orang tua (ibu).

2. Apa saja kegiatan sehari-hari partisipan.

3. Apa saja bentuk perawatan yang diberikan partisipan kepada orang tua (ibu), anak, dan suami.

4. Bagaimana cara partisipan membagi waktu antara satu tugas dengan tugasnya yang lain.

5. Apakah pernah terbebani atau merasa kesulitan untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai anak perempuan etnis Minangkabau, yaitu mengurus orang tua (ibu), sekaligus melaksanakan tugas-tugas yang lainnya.

6. Kalau pernah atau tidak pernah, apa alasannya dan bagaimana cara partisipan untuk menghadapi kesulitan atau perasaan terbebani tersebut.


(4)

a. Apakah partisipan menilai secara keseluruhan hidupnya sudah memuaskan dengan adanya tanggung jawab sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus orang tua (ibu) sekaligus melaksanakan tugas-tugasnya yang lain. Jika sudah atau belum, apa alasan partisipan.

b. Apakah pernah merasakan afek positif saat melaksanakan tanggung jawab sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk merawat orang tua (ibu) sekaligus melaksanakan berbagai tugas yang lain. Lalu bagaimana dengan afek negatif. Dan pada saat kapan saja partisipan merasakan afek positif atau afek negatif tersebut.

c. Partisipan lebih sering merasakan afek positif atau afek negatif dari tugasnya untuk merawat orang tua (ibu) sekaligus melaksanakan tugas-tugasnya yang lain.

8. Faktor-faktor subjective well-being

a. Seiring dengan bertambahnya usia, apakah partisipan menilai secara keseluruhan hidupnya lebih memuaskan saat ini atau sebelumnya dengan adanya berbagai tanggung jawab yang ia miliki. Dan apa alasannya.

b. Bagaimana pendapat partisipan mengenai latar belakang pendidikannya dan kaitannya dengan pekerjaan dan pendapatannya saat ini.

c. Bagaimana pendapat partisipan mengenai pendapatannya saat ini. Apakah sudah cukup untuk membiayai orang tua (ibu) sekaligus untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.


(5)

d. Bagaimana pendapat partisipan mengenai pernikahannya saat ini. Apakah sang suami mendukungnya untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus orang tua (ibu). Apakah sang suami pernah membantunya untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

e. Apakah partisipan sudah puas dengan pekerjaannya saat ini dan apa alasannya. Apa manfaat yang didapatkan partisipan dengan bekerja.

f. Apakah partisipan memiliki riwayat penyakit tertentu. Jika punya, apa dampak yang muncul dari penyakit tersebut. Apakah menghalangi partisipan untuk melaksanakan tanggung jawabnya mengurus orang tua (ibu), mengurus keluarga, dan juga bekerja.

g. Kegiatan agama apa saja yang dilakukan oleh partisipan. Apakah partisipan mendapatkan manfaat dengan melakukan kegiatan agama tersebut. Jika ada, adakah kaitannya dengan tanggung jawabnya untuk mengurus orang tua (ibu), mengurus keluarga, dan bekerja.

h. Bagaimana partisipan mengisi waktu luangnya. Apakah cukup waktu luang yang ia miliki saat ini. Apa manfaat yang didapatkan dengan mengisi waktu luang tersebut. Dan adakah kaitannya dengan tanggung jawabnya mengurus orang tua (ibu), mengurus keluarga, dan bekerja.

i. Apa saja kejadian hidup yang membuat partisipan merasakan afek positif. j. Apa saja kompetensi yang dimiliki partisipan dan apa pendapatnya mengenai


(6)

LAMPIRAN 2 INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Sandwich Generation Etnis Minangkabau

Peneliti : Cassia Divina L.M.

NIM : 101301090

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun, bersedia untuk berperan serta dalam penelitian ini. Saya telah diminta dan menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai “Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita

Sandwich Generation Etnis Minangkabau”.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 2014