1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Struktur penduduk pada banyak negara telah mengalami perubahan dari penduduk berstruktur muda menjadi penduduk berstruktur tua Dewi, Suratmi,
Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010. Jumlah penduduk lanjut usia pada banyak negara, yakni usia 60 tahun ke atas, diperkirakan akan meningkat dari 8 di
tahun 2005 menjadi 20 di tahun 2005-2050 Ananta, Anwar, Suzenti; Beard dan Kunhariwibowo; PBB dalam Silalahi dan Meinarno, 2010. Keasberry dalam
Silalahi dan Meinarno, 2010 menyatakan bahwa Indonesia juga mengalami peningkatan dalam jumlah penduduk lansia. Pada tahun 1996, penduduk Indonesia
yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 6,3 dari total populasi penduduk Indonesia. Namun, diperkirakan hingga tahun 2025, jumlah penduduk lansia di
Indonesia akan berjumlah 19,1 dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Para lansia menghadapi konsekuensi menurunnya produktivitas dan kondisi
kesehatan seiring dengan bertambahnya usia dan menurunnya kebugaran tubuh Dewi, Suratmi, dan Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010. Lazimnya, para
lansia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat mereka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Suratmi, dan Agustin dalam Silalahi dan
Universitas Sumatera Utara
Meinarno, 2010 diketahui bahwa yang menyediakan perawatan atau pendampingan bagi lansia yang sudah tidak sehat atau sakit-sakitan ialah anggota keluarga, seperti
suami atau istri, anak, cucu, maupun buyut. Sebuah asumsi kultural yang menyatakan bahwa mengasuh atau merawat
adalah tugas dari seorang wanita. Hal ini menyebabkan anak perempuan yang paling diasumsikan memiliki tanggung jawab atas tugas tersebut Antonucci; Mathews
dalam Papalia, 2008. Sandwich generation merupakan sebutan bagi mereka yang terjebak dalam berbagai tuntutan akan kebutuhan ini dan mengalami keterbatasan
dalam sumber daya waktu, uang, dan energi. Efek dari hal ini bisa menyebabkan kelelahan sang pengasuh
, ialah kelelahan secara fisik, mental, dan emosional saat merawat keluarga yang sudah berumur Barnhart dalam Papalia, 2008. Sementara
itu, menurut Boston Women’s Health Book Collective dalam Matlin, 2008 istilah sandwich generation
mengacu kepada individu dewasa madya, khususnya wanita, yang menemukan bahwa dirinya bertanggung jawab atas anak yang bergantung
padanya dan juga bertanggung jawab atas orang tuanya yang lansia. Banyak peneliti yang menaksir bahwa tugas merawat orang tua lansia yang
memiliki kesehatan buruk, tiga kali lebih besar kemungkinannya dilakukan oleh anak perempuan daripada anak laki-laki Cruikshank; Hunter; Mosher Danoff-Burg
dalam Matlin, 2008. Namun, saat orang tua lansia yang disabled berjenis kelamin pria, maka anak laki-laki yang memiliki tanggung jawab lebih besar untuk merawat
orang tua tersebut Lee; Dwyer; Coward dalam Belsky, 1997. Tampaknya hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut agak berbeda dengan hasil sebuah studi yang melibatkan 114 partisipan lansia pada sebuah desa di Indonesia. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa para
lansia pria lebih memilih untuk dirawat oleh istri atau anak perempuan saat mereka sakit. Sementara itu, para lansia wanita lebih memilih untuk dirawat oleh anak
perempuan saat mereka sakit Dewi, Suratmi, Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010.
Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan para lansia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat.
Salah satunya hal ini tercermin pada tanggung jawab yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal dan
tinggal dalam sebuah keluarga luas memiliki tanggung jawab terhadap penyantunan terhadap para lansia Nurti, 2007. Sistem matrilineal merupakan sistem yang
menganggap ‘ayah sebagai tamu’ di dalam keluarga. Para antropolog menyatakan bahwa sistem tertua yang ada di dunia ialah sistem matrilineal, yang mana telah ada
sebelum sistem patrilineal─yang banyak muncul sekarang ini. Perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam adat Minangkabau, sehingga perempuan mendapat
julukan bundo kanduang. Selain itu, pada tradisi adat Minangkabau garis keturunan diurut berdasarkan suku dari ibu. Hal ini yang menyebabkan pemberian suku pada
orang Minangkabau bergantung pada suku yang dimiliki oleh ibu Chalid dalam Stella, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Minangkabau tidak saja masyarakat yang sangat patuh dengan adatnya, tetapi juga sangat kuat dalam beragama, yakni agama Islam. Garis keturunan
dalam adat Minangkabau, yakni matrilineal, memang bertolak belakang dengan garis keturunan menurut hukum Islam, yakni patrilineal. Demikian pula dengan hukum
waris dalam masyarakat Minangkabau yang dilakukan secara kolektif, sedangkan hukum Islam melaksanakannya secara individual. Meskipun kelihatannya hukum
kewarisan Islam pada masyarakat Minangkabau bertentangan satu sama lain, tetapi dalam pelaksanaan dan perkembangannya tidak demikian. Hal ini terutama karena
adanya ketentuan hukum “Adat bersendi Syarak dan Syarak bersendi Kitabullah” adat bersendi hukum Islam, hukum Islam bersendi Al-Qur’an, setelah masuknya
agama Islam dalam masyarakat Minangkabau Retnowulandari, 2000. Retnowulandari 2000 menyatakan bahwa antara hukum adat dan hukum
Islam tidak saling bertentangan, sebab masyarakat Minangkabau menempatkan hukum Islam yang ada dalam Al-Qur’an sebagai hukum yang lebih tinggi dari hukum
adat. Maka, hukum kewarisan Minangkabau selalu dibedakan antara harta pusaka dan harta pencaharian, dimana harta pusaka diturunkan sesuai dengan ketentuan adat
menurut garis ibu secara kolektif, sedangkan harta pencaharian diturunkan sesuai dengan hukum Islam.
Setiap keluarga matrilineal merupakan kelompok keluarga luas extended family
yang terdiri dari kesatuan keluarga yang lebih kecil sampai yang lebih luas, meliputi kelompok orang yang samande, saparuik, dan sapayuang. Kelompok
Universitas Sumatera Utara
samande merupakan kelompok keluarga terkecil dalam sistem matrilineal, namun kelompok ini tidak sama dengan keluarga batih atau inti. Biasanya kelompok
samande ini terdiri dari tiga generasi atau senenek Van Reenen dalam Indrizal, 2005. Kelompok yang terdiri atas beberapa keluarga samande disebut saparuik
paruik, yang terdiri dari empat sampai lima generasi. Terakhir, sapayuang ialah kesatuan yang terdiri dari beberapa kelompok saparuik. Kelompok sapayuang ini
merupakan orang yang secara komunal memiliki hak atas harta pusaka dan tanah pemakaman Indrizal, 2005.
Kelompok kekerabatan yang dahulunya dianggap paling penting di Minangkabau ialah kelompok saparuik atau paruik. Namun, berdasarkan hasil
penelitian Syahrizal dan Sri Meiyenti 2012 yang berjudul “Sistem Kekerabatan Minangkabau Kontemporer: Suatu Kajian Perubahan dan Keberlangsungan Sistem
Kekerabatan Matrilineal Minangkabau ”, ditemukan bahwa masyarakat Minangkabau
tidak lagi tinggal dalam sebuah rumah bersama kelompok paruik melainkan bersama keluarga luas atau keluarga inti. Peranan keluarga Minangkabau yang menganut
sistem matrilineal terhadap keberadaan perempuan lansia ialah bertanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sehingga para lansia
tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisi keluarganya. Dijelaskan juga bahwa yang memiliki tanggung jawab atas tugas penyantunan ini ialah anak-
anak dari perempuan lanjut usia tersebut Nurti, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Menurut ketentuan adat Minangkabau, seorang anak laki-laki mempunyai kedudukan yang tidak jelas dalam keluarga, terutama bagi mereka yang belum
menikah. Dia tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal dan juga tidak memiliki harta benda, tetapi ia berkewajiban untuk menjaga dan memelihara harta benda
keluarganya. Hal ini disebabkan karena semua harta tersebut sudah dilimpahkan kepada saudara perempuannya. Dalam etnis Minangkabau, anak perempuan adalah
penghias rumah gadang yang hidupnya hanya bekisar di sekitar rumah tersebut. Oleh karena itu, ia setiap hari dan setiap saat berhubungan dan bergaul dengan ibunya di
rumah. Bagi seorang ibu, anak perempuan selalu menemani dan membantunya di rumah, baik dalam suka maupun duka Witrianto, 2010. Berdasarkan hal tersebut
dapat dikatakan bahwa saat sang ibu sudah lanjut usia maka yang bertanggung jawab untuk mengurusnya adalah anak perempuannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Drs. Admar Jas Apt, M.Sc dan Bapak Midi, yang merupakan ninik mamak. “..Anak perempuan di etnis Minangkabau itu sangat dilindungi dan
diprioritaskan. Harta pusaka tinggi, seperti rumah, ladang, sawah, diprioritaskan untuk anak perempuan. Makanya, kalaupun anak perempuan
tersebut sudah menikah, suaminya yang tinggal di rumah keluarga istri, tinggal sama orang tuanya istrinya juga. Ini karena anak perempuan itu sangat
dilindungi. Karena rumah diprioritaskan untuk anak perempuan dan orang tua juga sangat melindungi anak perempuannya, jadi wajar secara naluri anak
perempuan untuk merawat orang tuanya tersebut. Kalau anak perempuan tidak merawat orang tuanya yah kena norma sosial, jadi dikucilkan dan tidak ada
yang mau berbesanan sama dia..”
Komunikasi Personal, 23 Januari 2014 “..Bagaimanapun juga orang tua lebih suka dirawat sama anak perempuan,
sekalipun anak perempuan tersebut suka ngelawan. Rumah orang tua nantinya
Universitas Sumatera Utara
untuk anak perempuan, dia yang boleh tinggal disitu. Kalau anak laki-laki cuma numpang saja. Kalaupun sang anak perempuan mampu beli rumah, tetap
saja nantinya orang tua tersebut tinggal di rumah anak perempuannya itu..”
Komunikasi Personal, 12 Maret 2014 Saat orang tua yang lansia berada dalam kondisi sehat dan bugar, lazimnya
beberapa wanita sandwich generation dapat bertahan dengan tugas kepengasuhan tersebut. Namun, saat orang tua yang lansia sudah tidak lagi berada dalam kondisi
yang sehat atau menjadi lemah, beban dalam tugas kepengasuhan tersebut dapat muncul Antonucci: Marcoen dalam Papalia, 2008. Banyak wanita sandwich
generation yang merasa terbebani dengan tugas mengasuh orang tua yang lansia
tersebut. Biasanya mereka terbebani secara fisik, emosional, dan juga keuangan─khususnya jika sang anak memiliki kerjaan paruh waktu, memiliki sumber
keuangan yang terbatas, dan kurang mendapatkan dukungan maupun bantuan dari orang yang berada di sekitarnya Lund dalam Papalia, 2008.
Lund, Antonucci, Mui dalam Papalia, 2008 menyatakan bahwa wanita sandwich generation
mengalami ketegangan emosional saat merawat orang tua lansia. Hal ini tidak hanya berasal dari dalam diri wanita sandwich generation, tetapi
ketegangan emosional tersebut dapat muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan tugas kepengasuhan tersebut dengan aspek lainnya yang ada dalam
kehidupan wanita sandwich generation, misal hubungan perkawinan, tanggung jawab pekerjaan, kepentingan pribadi, aktivitas sosial, dan rencana perjalanan.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam perannya mengasuh orang tua lansia. Ini dapat membuat wanita dewasa
madya sering mengalami stress, sehingga menyebabkan efek kesehatan fisik dan mental yang buruk E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano dalam Matlin, 2008.
Kelelahan yang dirasakan oleh wanita dewasa madya tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti intensitas merawat orang tua Miller, McFall, Montgomery;
Mui dalam Belsky, 1997, serta jumlah peran tambahan lainnya, seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenek─yang harus ditangani dalam waktu yang sama Franks
Stephens dalam Belsky, 1997. “Hal negatif dari banyak tugas yang saya jalankan, yah capek lah ya. Kalo
capek dikit aja salah, kita bisa marah. Lebih sensiitif kalo lagi capek. Kalo udah capek kali, yang sebenarnya gak perlu diginiiin jadi mellow”
Komunikasi Personal, 10 Januari 2014 “..Rencananya anak saya mau saya masukkan les aja. Payah kalo gak dileskan
dia gak belajar. Kalo ngarepin saya yang ngajarin dia belajar yah gak bisa. Kerjaan saya kan banyak, ngurusin orang tua, jualan..”
Komunikasi Personal, 10 Januari 2014 Stress juga dapat mengarahkan kepada kesedihan atau depresi Sarafino,
2011. Grunfeld menyatakan bahwa kelelahan dan tingkat depresi yang meningkat dapat dialami oleh pengasuh saat keberfungsian orang tua yang lanjut usia menurun,
serta banyak wanita menjadi lebih depresi saat tugas kepengasuhannya meningkat dalam DeGenova, 2008. Wanita juga mengalami kesulitan ketika harus
mengkombinasikan peran ganda dengan baik sementara mereka juga harus tetap
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan diri mereka DeGenova, 2008. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh di Thailand 2012
diketahui bahwa selain mengalami stress psikologis yang lebih tinggi daripada individu non pengasuh, pengasuh melaporkan memiliki kesehatan mental positif yang
lebih tinggi seperti self-esteem dan puas dengan hidup, kapasitas mental positif yang lebih tinggi seperti mengatasi krisis, dan kualitas mental positif yang lebih tinggi
seperti menolong orang lain. Tingkat stress yang tinggi yang dialami oleh pengasuh dapat dijelaskan karena
adanya tekanan secara fisik dan psikologis dari kegiatan sehari-harinya Brown; Savage Bailey; Treasure; Vitaliano dalam Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh
2012. Individu memiliki kemungkinan untuk berkembang melalui tantangan yang dimilikinya terkait dengan tugas merawat orang tua, yakni sebuah kesempatan untuk
menemukan dan membentuk makna hidup, serta mengajarkan generasi mendatang pentingnya untuk menjaga generasi tua Jensen, Ferrari, dan Cavanaugh dalam
DeGenova, 2008. Bagaimana pun juga, individu yang memiliki tugas sebagai seorang pengasuh memiliki efek positif terhadap kesehatan mental saat menolong
orang lain dan mengatasi krisis yang ia miliki. Hal ini juga sesuai dengan temuan Kuuppelomaki; Ribeiro dan Paul Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012
bahwa peran sebagai pengasuh memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup. Diener 1984 menyatakan bahwa individu harus memiliki self-
esteem agar puas dengan kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
“..Positifnya kita jadi lebih nerima kenyataan, jadi lebih pasrah. Yah emang ini harus dijalanin yah dijalanin. Sebenarnya kan kalo orang lain menjalani
kayak saya ini bilangnya gak sanggup. Tapi, positifnya orang ngelihat saya sanggup. Jadi, kita kelihatannya lebih kuat..”
Komunikasi Personal, 10 Januari 2014 Kepuasan hidup merupakan komponen dari subjective well-being atau
happiness atau kebahagiaan. Selain itu, subjective well-being juga memiliki
komponen afektif, yakni seberapa sering individu mengalami perasaan positif dan negatif Sousa Lyubomirsky, 2001. Diener 1984 menyatakan bahwa subjective
well-being berfokus pada bagaimana dan mengapa individu merasakan kehidupannya
dalam cara yang positif, dimana termasuk di dalamnya cognitive judgments penilaian kognitif dan affective reactions reaksi afektif. Diener juga menyatakan bahwa
subjective well-being merupakan pengalaman dengan level emosi dan mood positif
serta kepuasan hidup yang tinggi, serta level emosi dan mood negatif yang rendah. Subjective well-being
ini juga digunakan sebagai sinonim dari hedonic well- being
Kahneman, Diener, dan Schwarz dalam Gallagher; Lopez; dan Preacher, 2009. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan pengertian McGillivray dan Clarke
dalam Conceicao dan Bandura, 2008 bahwa subjective well-being ialah evaluasi kehidupan yang multidimensional, dimana terdiri dari penilaian kognitif mengenai
kepuasan hidup serta evaluasi afektif mengenai emosi dan mood. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara subjective
well-being dengan pendapatan Diener; Sandvik; Seidlitz; dan Diener, 1993. Selain
pendapatan, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being,
Universitas Sumatera Utara
antara lain usia, pendidikan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi Eddington Shuman, 2007.
Setiap individu memiliki subjective well-being yang berbeda-beda, begitu pula halnya dengan individu sandwich generation etnis Minangkabau. Individu
sandwich generation , khususnya wanita, memiliki tanggung jawab untuk merawat
orang tua mereka yang sudah lansia. Masyarakat Minangkabau memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi perempuan
lansia sehingga para lansia tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisinya. Tanggung jawab untuk memberikan pelayanan pada perempuan lansia ini
dimiliki oleh anak perempuan. Hal ini dikarenakan dalam adat Minangkabau, anak perempuan sangat dilindungi dan diprioritaskan. Rumah yang dimiliki oleh orang tua
diprioritaskan bagi anak perempuan. Sehingga, meskipun anak perempuan telah menikah, maka sang suami yang akan pindah ke rumah orang tua sang istri. Hal ini
menyebabkan wajar jika secara naluri, anak perempuan merawat orang tuanya karena sudah sangat dilindungi dan diprioritaskan.
Berdasarkan berbagai literatur diketahui bahwa tuntutan yang tinggi pada wanita sandwich generation ini dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak
positif. Dampak negatif yang dapat dialami oleh wanita sandwich generation ialah terbebani secara fisik, emosi, dan keuangan. Hal ini juga dialami oleh salah seorang
responden, dimana ia mengalami dampak negatif, yakni merasa capek dan menjadi lebih sensitive. Namun, wanita sandwich generation yang memiliki peran sebagai
Universitas Sumatera Utara
caregiver bagi anak dan orang tua lansia juga memiliki dampak positif terhadap self-
esteem dan kepuasan hidup. Dimana, individu harus memiliki self-esteem agar puas
dengan kehidupannya. Kepuasan hidup merupakan salah satu komponen subjective well-being
. Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau
serta faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH