B. PEMBAHASAN
Dalam etnis Minangkabau, anak perempuan memiliki tanggung jawab untuk merawat orang tuanya. Hal ini dikarenakan rumah diprioritaskan untuk anak
perempuan dan orang tua juga sangat melindungi anak perempuannya. Terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam
perannya mengasuh orang tua lansia E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano dalam Matlin, 2008. Kelelahan tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti
intensitas merawat orang tua Miller, McFall, Montgomery; Mui dalam Belsky, 1997 serta jumlah peran tambahan lainnya, seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenek, yang
harus ditangani dalam satu waktu yang sama Franks Stephens dalam Belsky, 1997.
Kelelahan dan tingkat depresi yang meningkat bisa dialami oleh pengasuh saat keberfungsian orang tua yang lanjut usia menurun, serta banyak wanita menjadi
lebih depresi saat tugas kepengasuhannya meningkat. Wanita juga mengalami kesulitan saat harus mengkombinasikan peran ganda dengan baik sementara mereka
juga harus tetap memperhatikan diri mereka DeGenova, 2008. Namun, hal ini tidak terjadi pada partisipan I. Meskipun sebagai anak perempuan etnis Minangkabau
partisipan I harus mengurus sang ibu bersamaan melaksanakan berbagai perannya yang lain, tetapi ia tidak mengalami kesulitan oleh karenanya. Sebab, ia sudah
menjalankan berbagai peran gandanya selama 20 tahun, yaitu mengurus sang ibu, mengurus keluarga, dan juga bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan I juga tidak kesulitan untuk membagi waktu untuk satu tugas dengan tugasnya yang lain. Memang ia merasa lelah dengan berbagai tugasnya
tersebut tetapi ia akan beristirahat jika rasa lelah tersebut sudah muncul. Misalnya saja setelah pulang berjualan dari kantin sekolah, partisipan I memiliki waktu untuk
tidur siang. Karena adanya tuntutan adat Minang yang menyebabkan sang ibu tinggal bersama partisipan I, maka sang ibu yang menggantikan ia untuk berjualan di warung
yang terdapat di rumahnya. Hal ini juga dikarenakan sang ibu yang masih cukup sehat sehingga ia bisa membantu partisipan I berjualan.
Meskipun memiliki peran yang sama yang dengan partisipan I, namun partisipan II mengalami banyak kendala dari berbagai tugas yang dimilikinya. Ia
mengalami kesulitan untuk membagi waktu antara satu tugas dengan tugasnya yang lain. Hal ini menyebabkan adanya salah satu tugasnya yang menjadi terbengkalai.
Misalnya saja, karena sang ibu memiliki riwayat penyakit yang sudah komplikasi, partisipan II sering harus menemani ibunya yang sedang opname di rumah sakit dan
menyebabkan tugasnya yang lain, seperti menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, menjadi tidak bisa ia lakukan. Partisipan I juga merasa lelah saat harus
melakukan berbagai tugas yang dimilikinya dalam waktu yang bersamaan. Sama halnya seperti partisipan I, partisipan III juga tidak mengalami kesulitan
dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu dan ayah bersamaan dengan melaksanakan berbagai
tugasnya yang lain. Hal ini dikarenakan ia sudah merasa terbiasa dengan berbagai
Universitas Sumatera Utara
tugas yang dimilikinya tersebut. Karena tuntutan adat Minangkabau yang mengharuskannya untuk tinggal bersama dengan kedua orang tuanya, partisipan III
terkadang dibantu oleh orang tuanya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, atau pun membantu partisipan III untuk menjaga warung yang
terdapat di rumahnya. Memang partisipan III mengakui bahwa ia merasa lelah dengan berbagai tugas yang dimilikinya. Namun, meskipun begitu ia akan tetap
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus kedua orang tuanya, mengurus keluarga, dan juga bekerja. Sebab, ia
merasa ikhlas dengan berbagai tugas yang dimilikinya tersebut. Tidak selamanya peran sebagai seorang sandwich generation memberikan
dampak negatif saja. Berdasarkan temuan Kuuppelomaki; Ribeiro dan Paul dalam Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012 bahwa peran sebagai seorang
caregiver memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup.
Diener 1984 menyatakan bahwa individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya. Kepuasan hidup merupakan komponen dari subjective well-
being , yang merupakan istilah psikologis untuk kebahagiaan atau happiness. Istilah
subjective well-being mengacu kepada evaluasi individu terhadap kehidupannya,
yang terdiri dari kepuasan hidup dan evaluasi afektif mood dan emosi, seperti emosional positif dan negatif.
Campbell, Convers, dan Rodgers dalam Sipahutar, 2012 menyatakan bahwa komponen kognitif dari subjective well-being merupakan persepsi mengenai
Universitas Sumatera Utara
terpenuhi atau tidaknya kesenjangan antara hal yang diinginkan individu dengan kenyataan yang dimilikinya. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya sudah
memuaskan. Keluarga menjadi domain yang penting bagi Tante Nia. Apa yang ia harapkan dari keluarganya, seperti kekompakkan, sudah terwujud.
Selain itu, hal lainnya yang membuat partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya sudah memuaskan karena ia bisa mewujudkan keinginannya sebagai anak
perempuan etnis Minang untuk mengurus sang ibu, bersamaan dengan melakukan tugas-tugasnya yang lain, yakni mengurus keluarga dan juga bekerja. Dan meskipun
ada salah satu keinginannya yang belum terwujud karena belum memiliki cukup modal, yaitu membuka warung makan, tetapi hal ini tidak menyebabkan partisipan I
menilai hidupnya menjadi tidak memuaskan. Menurut Andrew dan Withey dalam Sipahutar, 2012 bahwa domain yang paling dekat dan mendesak dalam kehidupan
individu merupakan domain yang paling mempengaruhi subjective well-being individu tersebut.
Komponen berikutnya dari subjective well-being adalah evaluasi afektif, yang mencakup afek positif dan afek negatif. Diener dalam Sipahutar, 2012 menyatakan
bahwa individu bereaksi dengan afek positif saat mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada mereka, sedangkan individu bereaksi dengan afek negatif saat
menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Bagi partisipan I memiliki berbagai tugas dalam satu waktu bukanlah suatu masalah, mulai dari melaksanakan
tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus
Universitas Sumatera Utara
sang ibu, mengurus keluarga, dan juga bekerja. Ia tidak pernah merasa terbebani maupun bosan dengan berbagai tugasnya tersebut. Menurut partisipan I hal ini
dikarenakan ia ikhlas melaksanakan semua tugasnya, termasuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus
sang ibu, sehingga menjadi menyenangkan. Sementara itu, partisipan II menilai hidupnya belum memuaskan karena
keinginannya untuk memiliki rumah yang besar dan melihat semua anaknya bisa menamatkan pendidikannya sampai ke bangku kuliah belum terwujud. Meskipun ia
sudah memiliki dua buah rumah dan juga sebuah ruko, tetap saja partisipan II ingin memiliki rumah yang besar, dimana nantinya rumah tersebut bisa ditempati oleh
anak-anaknya jika sudah menikah. Keinginannya untuk memiliki rumah yang besar menjadi terhambat saat pengeluarannya menjadi bertambah karena harus membiayai
sang ibu berobat. Sebenarnya partisipan II merasa terbebani karena hal tersebut. Ia juga lebih sering merasakan afek negatif daripada afek positif dari berbagai tugas
yang dimilikinya. Partisipan II merasa jenuh dan terbebani dengan banyaknya tugas yang ia miliki sekaligus. Selain itu, ia juga merasa keberatan saat menemani sang ibu
yang opname di rumah sakit. Hal ini dikarenakan tugas-tugasnya yang lain, seperti menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya, menjadi tidak bisa ia kerjakan.
Tidak jauh berbeda dengan partisipan II, partisipan III juga menilai hidupnya belum memuaskan karena keinginannya untuk memiliki rumah pribadi,
melaksanakan ibadah haji, serta melihat anaknya yang sudah dewasa agar segera
Universitas Sumatera Utara
menikah, belum juga terwujud. Penghasilannya saat ini belum cukup untuk mewujudkan keinginannya memiliki rumah pribadi dan juga melaksanakan ibadah
haji. Terlebih lagi karena sebagai anak perempuan etnis Minangkabau ia harus mengurus dan memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya, disamping juga harus
memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menggunakan penghasilannya tersebut. Meskipun demikian, partisipan III mengakui bahwa ia merasakan afek positif maupun
afek negatif dari tugas-tugas yang dimilikinya. Partisipan III merasa kesal saat anak perempuannya tidak mau mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan sang ibulah yang mengerjakan pekerjaan tersebut. Ia juga mengakui bahwa merasa lelah dan jenuh dengan berbagai tugas yang dimilikinya
serta menjadi lebih mudah marah saat sedang lelah. Namun, semua afek negatif tersebut hanya sesekali ia rasakan. Dan semua afek negatif tersebut pun tidak menjadi
masalah bagi partisipan III. Sebab, ia ikhlas menjalankan tugas-tugasnya tersebut dan merasa bangga karena bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak
perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus kedua orang tuanya, bersamaan dengan tugasnya yang lain, yakni mengurus keluarga dan bekerja. Meskipun ada
keinginannya yang belum terwujud, baik partisipan II maupun partisipan III tetap bersyukur atas semua rejeki yang diberikan Allah pada mereka.
Terdapat beragam faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Faktor pertama adalah usia, dimana kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan
bertambahnya usia namun secara kontras afek positif menurun seiring dengan
Universitas Sumatera Utara
bertambahnya usia Butt dan Beiser; Inglehart; Veenhoven dalam Eddington Shuman, 2007. Namun, hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada partisipan I.
Meskipun usianya terus bertambah, partisipan I menilai bahwa ia tetap merasa senang dan puas dengan kehidupannya saat ini sama seperti yang sebelumnya. Hal ini
dikarenakan partisipan I sudah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu bersamaan dengan
melaksanakan tugas-tugasnya yang lain, yaitu mengurus keluarga dan juga bekerja, selama 20 tahun.
Pendidikan menjadi faktor berikutnya yang mempengaruhi subjective well- being
. Terdapat banyak hubungan antara pendidikan dengan subjective well-being, dimana pendidikan berhubungan dengan status pekerjaan dan juga pendapatan
Campbell; Witter dalam Eddington Shuman, 2007. Menurut Sousa dan Lyubomirsky 2001 bahwa ada hubungan antara pendidikan dan kepuasan hidup,
dimana terdapat fakta bahwa level pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan pendapatan yang lebih besar. Ketiga partisipan menilai bahwa penghasilan yang
mereka miliki dengan berdagang saat ini termasuk cukup besar untuk latar belakang pendidikan mereka, dimana latar belakang pendidikan mereka bertiga berbeda.
Dengan latar belakang pendidikan SMEA, partisipan I menilai bahwa penghasilan yang didapatkannya dengan berjualan termasuk cukup besar jika dibandingkan
dengan pendidikannya tersebut. Ia juga bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk kebutuhan sang ibu, menggunakan penghasilan yang dimilikinya saat ini.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang sama juga terjadi pada partisipan II. Meskipun ia adalah seorang sarjana ekonomi, tetapi partisipan II lebih memilih untuk berdagang daripada
melamar pekerjaan menggunakan gelar yang dimilikinya. Menurutnya, penghasilan yang didapatkannya dengan berdagang lebih besar jika dibandingkan dengan gaji
karyawan yang bekerja di kantor. Dengan penghasilannya tersebut ia juga bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk biaya berobat sang ibu. Begitu
juga dengan partisipan III yang menilai penghasilan yang didapatnya dengan berdagang termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan latar belakang
pendidikannya, yaitu SMP. Partisipan III bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk kebutuhan hidup kedua orang tuanya, dengan menggunakan
penghasilannya tersebut. Walaupun menilai penghasilan yang didapatkan dengan berdagang cukup
besar untuk latar belakang pendidikannya, namun sesekali penghasilan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga partisipan I, mulai dari kebutuhan
sang ibu atau pun keluarganya. Dan partisipan I tetap bisa menerimanya. Sebaliknya, partisipan I tetap bersyukur atas segala rejeki yang ia miliki saat ini. Hal ini tidak
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Eddington dan Shuman 2007 bahwa individu yang kaya lebih bahagia daripada individu yang miskin. Sedangkan bagi
partisipan II dan partisipan III, pendapatan mempengaruhi subjective well-being mereka. partisipan II dan partisipan III merasa belum puas dengan penghasilan yang
mereka miliki saat ini meskipun dengan penghasilan tersebut mereka bisa memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan hidup keluarganya, termasuk kebutuhan hidup orang tua mereka. Namun, baik partisipan II maupun partisipan III mengakui bahwa mereka tetap bersyukur atas
rejeki yang diberikan Allah pada mereka. Kepuasan kerja adalah faktor berikutnya yang mempengaruhi subjective well-
being . Pekerjaan dianggap berhubungan dengan subjective well-being karena
pekerjaan menawarkan level stimulasi optimal sehingga individu dapat menemukan kesenangan Csikszentmihalyi; Scitovsky dalam Eddington Shuman, 2007. Baik
partisipan I, partisipan II, maupun partisipan III merasa senang dengan pekerjaannya saat ini, dimana mereka bisa membantu sang suami untuk mencari nafkah dalam
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Dengan penghasilan yang didapatkan dengan berdagang, mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk
kebutuhan orang tua mereka, dan juga bisa memenuhi keinginannya tanpa perlu meminta uang dari suami.
Selain itu, pekerjaan juga memberikan hubungan sosial yang positif, dimana hal ini berhubungan dengan subjective well-being Eddington Shuman, 2007. Hal
ini ditemukan pada partisipan I, dimana berjualan bisa menjadi terapi baginya saat sedang menghadapi masalah. Sebab, berjumpa dengan berbagai orang saat berjualan
dirasakan bisa mengurangi beban masalah yang dimilikinya. Selain bekerja sama dengan suami untuk mencari nafkah, ketiga partisipan
mengakui bahwa mereka juga saling bekerja sama dalam berbagai hal. Misalnya saja,
Universitas Sumatera Utara
baik suami partisipan I, partisipan II, maupun partisipan III, bersedia untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga saat sang istri tidak bisa
mengerjakan pekerjaan tersebut karena banyaknya tugas yang mereka miliki. Para partisipan beserta dengan sang suami juga saling terbuka satu sama lain dalam
berbagai hal, termasuk saat sedang ada masalah. Ketiga partisipan mengakui bahwa merasa lebih lega setelah bertukar pikiran dengan suami mereka masing-masing.
Tidak hanya itu, para suami ketiga partisipan juga mendukung mereka untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau, yaitu
merawat orang tuanya. Banyak peneliti percaya bahwa pernikahan memberikan sebuah penyangga untuk melawan kesulitan hidup, menyediakan dukungan
emosional dan finansial, yang bisa menghasilkan keadaan well-being yang positif Coombs; Gove, Styles Hughes; Kessler Esser dalam Eddington Shuman,
2007. Baik partisipan I, partisipan II, dan partisipan III mengakui bahwa mereka merasa senang dan puas dengan pernikahannya saat ini.
Seiring dengan bertambahnya usia baik partisipan I, partisipan II, dan partisipan III memiliki suatu penyakit. Eddington dan Shuman 2007 menyatakan
bahwa kesehatan yang buruk dianggap mempengaruhi subjective well-being secara negatif karena mengganggu pencapaian tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dialami
oleh partisipan II, dimana ia mengakui bahwa semua aktivitasnya menjadi terganggu, misalnya berjualan, saat penyakit hipertensinya kambuh.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan partisipan II, partisipan I tetap bisa beraktivitas seperti biasa meskipun badannya menjadi lemas saat penyakit diabetesnya kambuh. Menurut
partisipan I, ia harus tetap semangat dalam menjalani hidupnya meskipun ia memiliki penyakit diabetes. Sebab, banyak hal yang harus diperjuangkan olehnya, yaitu
mengurus sang ibu dan juga keluarganya. Hal yang sama juga dialami oleh partisipan III yang tetap bisa beraktivitas seperti biasa meskipun penyakit asam uratnya
kambuh, yang menyebabkan kedua kakinya menjadi kebas. Partisipan III tetap bersyukur karena masih diberikan kesehatan oleh Allah sehingga ia bisa mengurus
keluarganya, menjalankan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus kedua orang tuanya, dan juga bekerja.
Disela-sela kesibukannya, baik partisipan I, partisipan II maupun partisipan III menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian. Terdapat banyak manfaat yang
mereka dapatkan dengan mengikuti pengajian, dimana Taylor dan Chatter menyatakan bahwa agama memberikan pemenuhan sosial yang didapatkan dari
paparan jaringan sosial melalui orang-orang yang memiliki nilai dan sikap yang sama dalam Eddington Shuman, 2007. Strawbridge, Shema, Cohen, Robert, dan
Kaplan dalam Eddington Shuman, 2007 juga menyatakan bahwa agama dapat mengurangi efek stressor dalam depresi. Meskipun mendapat banyak manfaat dengan
mengikuti pengajian, seperti jumlah teman dan ilmu agama mereka semakin bertambah, tetapi manfaat tersebut tidak berkaitan dengan peran ketiga partisipan
sebagai sandwich generation.
Universitas Sumatera Utara
Waktu luang juga merupakan faktor yang mempengaruhi subjective well- being
. Partisipan I tidak mempermasalahkan minimnya waktu luang yang ia miliki karena banyaknya tugas yang harus ia lakukan. Sebab, partisipan I masih bisa
menyempatkan diri untuk selalu tidur siang setelah pulang berjualan di sebuah kantin sekolah. Selama ia beristirahat, sang ibu dan anak tunggalnya yang akan
menggantikannya berjualan di warung yang terdapat di rumahnya. Sementara partisipan I memilih untuk mengisi waktu luangnya dengan beristirahat, Eddington
dan Shuman 2007 menyatakan bahwa kegiatan pengisi waktu luang terpopuler di dunia modern ini adalah menonton televisi dan juga berlibur, yang merupakan
sumber dari kebahagiaan dan relaksasi. Sama seperti partisipan I, partisipan II juga lebih memilih untuk beristirahat di
rumah daripada pergi jalan-jalan untuk mengisi waktu luangnya. Atau ia juga lebih senang mengisi waktu luangnya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti
menyetrika, yang tidak bisa ia kerjakan karena banyaknya tugas yang harus ia miliki, termasuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis
Minangkabau untuk mengurus sang ibu. Begitu juga dengan partisipan III yang selalu menyempatkan diri untuk tidur siang. Menurut partisipan III, ia harus tetap menjaga
kesehatannya meskipun memiliki banyak tugas yang harus ia kerjakan. Selain itu, partisipan III juga mengisi waktu luangnya dengan berkumpul bersama keluarganya,
seperti makan di restoran atau bahkan hanya menonton televisi bersama. Selain bisa
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan keharmonisan rumah tangga, berkumpul bersama keluarga juga bisa menghilangkan rasa lelah dan jenuh dari banyaknya tugas yang ia miliki
Faktor berikutnya yang mempengaruhi subjective well-being adalah kejadian hidup. Terdapat hubungan yang konsisten antara kejadian hidup dengan subjective
well-being meskipun hanya sedikit Kamman; Miller dalam Diener, 1984. Dimana
kejadian baik berhubungan dengan afek positif dan kejadian buruk berhubungan dengan afek negatif Reich Zautra; Warr et al., dalam Diener, 1984. Menurut
Larson dalam Eddington Shuman, 2007 bahwa mood yang lebih positif ditemukan pada individu saat bersama dengan temannya dibandingkan jika ia
sendirian atau bersama keluarganya, dan kebahagiaan juga berhubungan dengan jumlah teman, frekuensi jumpa dengan teman, pergi ke pesta dan menari, serta
termasuk ke dalam kelompok atau klub Argyle Lu dalam Eddington Shuman, 2007. Namun, pada kasus partisipan I dan partisipan III, yang menyebabkan
keduanya merasa senang karena mereka bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus orang tuanya, dan
sekaligus bisa mengurus keluarga serta bekerja. Sementara itu, menurut Scherer et al., dalam Eddington Shuman, 2007
bahwa kesuksesan bisa menjadi salah satu penyebab seseorang merasa senang. Bagi partisipan III, bisa belanja keperluan dagang ke Pulau Jawa adalah sebuah
pencapaian. Sebab, penghasilan yang didapatkannya menjadi lebih banyak jika dibandingkan saat ia belanja keperluan dagangnya masih di sekitar Kota Medan saja.
Universitas Sumatera Utara
Dan dengan penghasilan yang didapatkannya tersebut, partisipan III bisa memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya, termasuk biaya berobat sang ibu.
Dan faktor terakhir yang mempengaruhi subjective well-being adalah kompetensi, dimana kompetensi tersebut berhubungan dengan kecerdasan. Mirip
dengan pendidikan, kecerdasan dapat menghasilkan aspirasi yang mungkin tidak dapat dipenuhi sebelumnya. Jika aspirasi tersebut tidak terpenuhi, maka dapat
meningkatkan kesenjangan dalam pencapaian tujuan Eddington Shuman, 2007. Namun, kompetensi yang dimaksudkan dalam teori ini berbeda dengan kompetensi
yang dimiliki oleh para partisipan. Partisipan I menilai kompetensi yang ia miliki adalah memasak. Dan ia merasa senang dengan kompetensinya tersebut. Karena
selain bisa menyalurkan hobi, ia juga bisa menghasilkan uang dengan kompetensinya tersebut. Dimana penghasilan yang didapatkannya dengan berdagang bisa ia gunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk kebutuhan sang ibu. Sementara itu, partisipan II dan partisipan III juga merasa senang karena dengan
kompetensi yang mereka miliki, yaitu berdagang, mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1. Gambaran Subjective Well-Being pada Partisipan I
Bagan 2. Gambaran Subjective Well-Being pada Partisipan II
Subjective Well- Being
Penilaian Kognitif
Menilai secara keseluruhan hidupnya sebagai seorang sandwich generation
sudah memuaskan.
Evaluasi Afektif
─ Tidak merasa terbebani dengan berbagai
tugasnya, yaitu mengurus sang ibu, mengurus keluarga, dan bekerja.
─ Merasa senang dengan berbagai tugasnya
karena ikhlas menjalankannya.
Kepuasan Kerja
─ Puas dengan
pekerjaannya, yaitu berdagang.
─ Karena ia bisa membantu
sang suami untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya, termasuk kebutuhan sang
ibu, menggunakan penghasilan yang ia
dapatkan melalui berdagang.
Pernikahan
─ Sang suami mendukung
untuk mengurus ibunya. ─
Bekerja sama dalam berbagai hal, misal
mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau
mencari nafkah untuk keluarga.
─ Terbuka satu sama lain
dan selalu bersama-sama saat susah maupun
senang.
─ Senang dan puas dengan
pernikahannya.
Waktu Luang
─ Tidak masalah dengan
minimnya waktu luang yang ia miliki karena
berbagai tugasnya.
─ Sebab, ia masih bisa
istirahat, misal tidur siang, karena sang ibu
dan anaknya menggantikan dirinya
untuk berjualan di warung yang terdapat
di rumahnya.
Kejadian Hidup
Senang karena bisa melaksanakan tanggung
jawabnya sebagai anak perempuan etnis
Minang, yaitu mengurus sang ibu,
bersamaan dengan melaksanakan tugasnya
yang lain, yakni mengurus keluarga dan
bekerja.
Kompetensi
─ Merasa senang
dengan kompetensi yang dimilikinya,
yaitu memasak.
─ Karena dengan
kompetensi tersebut, ia bisa memiliki
penghasilan yang bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
termasuk kebutuhan sang ibu.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 3. Gambaran Subjective Well-Being pada Partisipan III
Subjective Well- Being
Penilaian Kognitif
Menilai secara keseluruhan hidupnya belum memuaskan. Karena ada keinginannya
belum terwujud yang disebabkan karena tugasnya sebagai seorang sandwich
generation .
Evaluasi Afektif
─ Keberatan karena biaya berobat sang ibu,
pengeluarannya bertambah. ─
Keberatan menemani sang ibu opname di rumah sakit karena tugasnya yang lain
terbengkalai. ─
Jenuh dan terbebani dengan banyaknya tugas yang ia miliki dalam satu waktu.
Kepuasan Kerja
─ Meskipun
merasakan afek negatif saat jual-
beli di pasar tidak lancar, tetap
senang dan puas dengan
pekerjaannya.
─ Karena bisa
membantu suami dalam memenuhi
kebutuhan keluarga, termasuk
sang ibu.
Pernikahan
─ Suami mendukung
untuk mengurus sang ibu.
─ Suami mau
mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, saat ia sibuk dengan tugasnya
yang lain.
─ Bersama-sama
mencari nafkah dengan suami.
─ Bahagia dengan
pernikahannya. Waktu Luang
─ Lebih senang
mengerjakan pekerjaan rumah
tangga yang terbengkalai
karena banyaknya tugas yang ia
miliki.
─ Memilih istirahat
di rumah setelah melaksanakan
berbagai tugasnya.
Kejadian Hidup
Senang saat jual beli di pasar lancar.
Sehingga penghasilannya yang
didapatkannya tersebut bisa untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
termasuk biaya berobat sang ibu.
Pendapatan
─ Selain memenuhi
kebutuhan keluarga, termasuk
sang ibu, bisa memenuhi
keinginannya menggunakan
penghasilannya sendiri.
─ Belum puas
dengan penghasilan saat
ini, tapi tetap bersyukur.
Kesehatan
Berbagai tugasnya
terganggu saat penyakit
hipertensinya kambuh.
Kompetensi
Senang dengan kompetensinya, yaitu berdagang. Karena bisa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, termasuk biaya berobat sang ibu.
Subjective Well- Being
Penilaian Kognitif
Menilai secara keseluruhan hidupnya belum memuaskan. Karena ada keinginannya
Evaluasi Afektif
─ Senang dan bangga bisa melaksanakan
berbagai tugasnya. ─
Kesal saat anak tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan ibunya yang mengerjakan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
186
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memaparkan mengenai kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, pada bab ini juga akan menguraikan tentang saran praktis dan
juga saran metodologis.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa yang dilakukan diketahui bahwa ketiga partisipan memiliki gambaran subjective well-being yang berbeda-beda sebagai seorang
sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan I menilai secara keseluruhan
hidupnya sudah memuaskan. Salah satu penyebabnya ialah karena ia bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk
mengurus sang ibu bersamaan dengan melaksanakan tugas-tugasnya yang lain, yakni mengurus keluarga dan juga bekerja. Sementara itu, partisipan II dan partisipan III
menilai secara keseluruhan bahwa hidupnya belum memuaskan. Sebab, ada beberapa keinginan mereka yang belum bisa terwujud karena mereka memiliki tanggung jawab
sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu atau pun ayah. Partisipan I dan partisipan III juga lebih sering merasakan afek positif
daripada afek negatif sebagai seorang sandwich generation etnis Minangkabau. Keduanya mengakui bahwa mereka ikhlas melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu maupun sang ayah. Hal
Universitas Sumatera Utara