Putusan MA RI No. Reg. 15 KSip1957

3. Alasan pemaaf dan alasan pembenar yang diperbolehkan tersebut bersifat limitatif dengan pengertian bahwa selain yang disebutkan dalam KUHPerdata tidak dimungkinkan bagi debitor untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannya dari dalam hal debitor telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditor tidak menuntut pelaksanaan penggantian biaya, kerugian, dan bnga dari debitor yang telah cidera janji 4. Alasan pembenar yang diperbolehkan adalah suatu keadaan memakasa atau yang kejadian tidak disengaja yang mengakibatkan debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu pembuatan yang terlarang baginya. Keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja ini adalah suatu alasan yang bersifat objektif yang dalam pandangan setiap orang, tidak hanya semata-mata debitor pribadi dengan terjadinya peristiwa memaksa atau tidak terduga tersebut, tidak mungkin dapat melaksanakan perikatan yang telah ditetapkan 5. Alasan pemaaf yang dapat dijadikan alasan adalah terjadinya suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya selama tidak ada itikad buruk kepadanya. Dalam konteks alasan pemaaf ini, unsur tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitor memegang peranan yang sangat penting karena alasan ini semata-mata bergantung pada kemampuan subjektivitas dari debitor tersebut. Jadi jika debitor masih dapat dipertanggung jawabkan atas tidak dapat dipenuhinya kewajiban atau prestasi yang wajib olehnya tersebut, debitor berkewajiban untuk membayar ganti rugi, biaya, dan bunga. Atas alasan diatas maka debitor tidak dapat atau tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pengganti rugian kepada kreditor berupa biaya ataupun bunga berdasarkan pokokasal.

D. Yurispridensi dan Putusan MA Mengenai Force Majeure

1. Putusan MA RI No. Reg. 15 KSip1957

Dari Putusan MA RI No. Reg. 15 KSip1957 mengenai risiko dalam perjanjian sewa beli dapat dilihat bahwa menurut isi perjanjian sewa beli, si penyewabeli juga harus menanggung risiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa. Kondisi perang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan. Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Kondisi perang adalah rintangan yang tidak dapat diatasi debitur sehingga tidak perlu lagi melaksanakan prestasi atau dibebaskan dari risiko berupa kewajiban memenuhi prestasi. Hanya saja dalam putusan tersebut disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam force majeure harus dimasukkan dalam klausul perjanjian. Universitas Sumatera Utara Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding Jordan ditolak oleh Mahkamah Agung atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya menurut isi perjanjian sewa beli, risiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa dipikul si penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan. Maka keberatan pemohon kasasi tentang hal itu tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim kasasi. Dari Putusan MA RI No. Reg. 15 KSip1957 mengenai risiko dalam perjanjian sewa beli dapat dilihat hal-hal berikut. a. Pada satu sisi, hakim berpendapat bahwa kondisi perang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan. Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Kondisi perang adalah rintangan yang tidak dapat diatasi debitur sehingga debitur tidak perlu lagi melaksanakan prestasi atau dibebaskan dari risiko berupa kewajiban memenuhi prestasi. Akibatnya, perjanjian itu batal demi hukum. Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan. b. Di sisi lain, dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa risiko yangtermasuk dalam force majeure harus dimasukkan dalam klausul perjanjian. Hakim kasasi lebih melihat persoalan risiko dalam perjanjian sewa beli dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dan tidak melihat atau berpedoman pada KUH Perdata, terutama Pasal 1545 tentang Tukar-menukar. Pasal 1545 KUH Perdata meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan. Menurut hemat Universitas Sumatera Utara penulis, Pasal 1545 KUH Perdata ini lebih tepat dijadikan pedoman bagi perjanjian bertimbal balik seperti sewa beli, karena dianggap adil. Prof Subekti juga berpendapat bahwa apa yang telah ditetapkan dalam perjanjian tukar-menukar harus dipandang sebagai asas berlaku pada umumnya dalam perjanjian bertimbal balik. Selaras dengan Pasal 1545 KUH Perdata adalah Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa-menyewa. Pasal 1553 berbunyi ”Jika selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa- menyewa gugur demi hukum”. Dari perkataan gugur dapat disimpulkan bahwa masing- masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya. Dengan kata lain, risiko akibat kemusnahan barang dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.

2. Putusan MA RI No. Reg. 24 KSip1958