Peranan Balai Lelang Swasta pada Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan dalam penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)

(1)

PERANAN BALAI LELANG SWASTA PADA PELAKSANAAN

LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM

PENYELESAIAN KREDIT MACET

(Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)

TESIS

OLEH

MUHAMMAD IDRIS

107005011/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN BALAI LELANG SWASTA PADA PELAKSANAAN

LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM

PENYELESAIAN KREDIT MACET

(Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)

Diajkan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister

Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukuum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

TESIS

Oleh

MUHAMMAD IDRIS

107005011/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERANAN BALAI LELANG SWASTA PADA

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN DALAM PENYELESAIAN KRIDIT

MACET

(Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)

Nama Mahasiswa : Muhammad Idris

Nomor Pokok : 107005011

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui :

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Tan Kamello.,SH.,M.S

K e t u a

)

(Dr.Hasim Purba.,S.H.,M. Hum

A n g g o t a

) (Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

A n g g o t a

)

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.)

Tanggal Lulus : 31 Agustus 2012

Dekan,


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello.,S.H.,M.S

Anggota : 1. Dr. Hasim Purba.,S.H.,

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. 3. Dr. Didi Harianto.,S.H.,M. Hum 4. Dr. Utary Maharani.,S.H.,M. Hum


(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanallahu Wata’ala atas segala berkat dan rahmat-Nya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Peranan Balai Lelang Swasta Pada Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan dalam penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan dan tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat dan terpelajar Ibu Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., Bapak Dr. Hasyim Purba, S.H., M.Hum.dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. yang ditengah-tengah kesibukannya meluangkan waktu dan penuh perhatian memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan untuk kesempurnaan tesis ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang turut memberikan dukungan, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, M.Sc. (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang senantiasa membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Drs. Ali Amran Tanjung S.H.,M. Hum selaku Direktur Utama PT. Balai Lelang Sukses Mandiri (BALESMAN) Medan yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan pendapat sebagai bahan penyusunan tesis ini.

6. Seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah saling membantu terutama dalam penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan hati yang tulus, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, AbahAlm.Mukhtaruddin, SH dan Mamak Hj. Hamiah yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat serta doa untuk yang terbaik bagi masa depan penulis. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada istri tercinta Dewi Ratnasari beserta anak-anakku tersayang Rifat Zuhry Muhammad dan Syifa Fadhillahyang telah


(9)

mencurahkan perhatian, cinta dan kasih sayangnya serta doa kepada penulis sehingga menjadi semangat dan motivasi penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini.

Akhir kata, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama proses penyelesaian tesis ini. Selain itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini.Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Muhammad Idris

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 02 Juli 1976 Jeniss Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Metrologi Gg. AI Kautsar No.9 Medan II.Keluarga

Nama Ayah : Muktaruddin, SH, (Alm) Nama Ibu : Hj. Hamiah

Nama Istri : Dewi Ratnasari

Nama Anak : 1.Rifat Zuhry Muhammad 2. Syifa Fadhillah

III. Pendidikan

1. SD Negeri 1 Kec. Stabat, Kab. Langkat Tamat Tahun 1989

2. Madrasah Tsanawiyah Khalidiyah, Kec. Stabat, Kab. Langkat, Tamat Tahun 1991

3. Madrasah Aliah Negeri 2 Kec. Tanjung Pura, Kab. Langkat, Tamat Tahun 1994

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tamat Tahun 2002 5. S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Medan, Agustus 2012 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACCT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori ... 19

1.Kerangka Teori ... 19

2. Konsep ... 29

G. Metode Penelitian ... 32

1. Spesifikasi Penelitian ... 32

2. Sumber Data ... 33

3. Alat Pengumpulan Data ... 34

4. Analisa Data ... 35

BAB II PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BALAI LELANG SWASTA DALAM PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ... 37

A. Latar Belakang Lahirnya Balai Lelang Swasta ... 37

1.Sejarah Balai Lelang Swasta ... 37

2.Alasan di Perlukannya Balai Lelang ... 39

3.Kedudukan Hukum Balai Lelang Swasta ... 40

B. Peranan Balai Lelang Swasta Dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan ... 42

1.Tahap Pra Lelang ... 43

2. Tahap Lelang dan Pasca Lelang ... 48

C. Tanggung Jawab Balai Lelang Swasta Dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan ... 49

BAB III MEKANISME LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM MEYELESAIKAN KREDIT MACET MELALUI BALAI LELANG SWASTA PADA PT. BALAI LELANG SUKSES MANDIRI ... 56


(12)

A. Hak Tanggungan ... 56

1.Pengertia Hak Tanggungan ... 56

2.Objek Hak Tanggungan ... 63

3.Eksekusi Hak Tanggungan ... 68

B. Kredit Macet ... 74

1.Pengertia Kredit Macet ... 74

2.Upaya yang di Lakukan Bank Dalam Mengatasi Kredit Macet ... 77

a. Penyelesaian /Pelunasan Kredit Macet Secara Damai Atau Secara Administrasi Perkereditan ... 80

1). Pejadwalan Kembali Pelunasan Kredit (Reschedulling) ... 81

2). Penataan Kembali Persyaratan Kredit ... 81

3). Restrukturisasi Kredit ... 82

b. Prenyelesaian Kredit Macet Melalui Jalur Hukum ... 83

1). Penyelesaian kredit Macet Melalui Pengasilan ... 84

2). Penyelesaian Kredit Macet Melalui Balai Lelang Swasta ... 86

C. Mekanisme Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri ... 86

1.Tahap Pemeriksaan Legal Dokumen Dibitur yang Memiliki Kredit Macet ... 87

2.Pelaksanaan Lelang Oleh PT. Balai Lelang Sukses Mandiri.... 88

3.Layanan Pasca Lelang ... 96

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MELALUI BALIAI LELANG SWASTA PADA PT. BALAI LELANG SUKSES MANDIRI ... 98

A. Hambatan Yuridis dan Sosiologis ... 98

1. Hambatan Yuridis ... 98

2. Hambatan Sosiologis ... 101

B. Upaya mengatasi Hambatan ... 103

1. Upaya Mengatasi Hambatan Yuridis ... 103

2. Upaya Mengatasi Hambatan Sosiologis ... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 113 DAFTAR PUSTAKA


(13)

ABSTRAK

Keberadaan kredit macet dalam dunia perbankan merupakan suatu penyakit kronis yang sangat mengganggu dan menganeam sistem perbankan Indonesia harus diantisipasi oleh semua pihak, terlebih lagi keberadaan bank mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian Indonesia, Untuk itu berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 ten tang Hak Tanggungan, Bank selaku kreditur dapat melakukan eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan umum (lelang) dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itll, tanpa memerlukan persetujuan lagi dari debitur sebagaimana diatur didalanl Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Penjualan melalui Ielang seeara hukllm ditangani oleh kantor lelang negara, namun sebagai upaya untuk meningkatkan pendayagunaan lelang sebagai salah satu sarana perekonoian yang bersifat terbuka dan objektif, maka diberikanlah kesempatan kepada masyarakat khususnya dunia usaha untuk menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang penjualan barang seeara lelang melalui Balai Lelang Swasta, Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan dan tanggung jawab Balai Lelang Swasta dalam pelaksanaan Ie lang eksekusi hak tanggungan, bagaimana pula mekanismenya dan apa saja hambatan yang terjadi dalam penyelenggaran lelang tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris, Sumber data penelitian ini dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data melalui data primer melalui studi lapangan dengan mewawanearai pihak PT, Balai Lelang Sukses Mandiri dan data sekunder melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan peranan dan tanggung jawab Balai Lelang Swasta dalam pelaksanaan Ie lang eksekusi hak tanggungan berdasarkan teori kepastian hukum dan didllkung oleh teoei sistem hukum dan teori hukum pembangllnan masih sangat terbatas pada kegiatan usaha jasa pra dan pasea lelang seperti permeriksaan administrasi atau kelengkapan dokumen hllkum objek lelang, pemeriksaan pisik objek lelang, pemasaran, mengumpulkan peminatl peserta Ie lang, penyerahan risalah lelang dan serah terima barang. Berdasarkan hal itu, maka sangat dibutuhkan perubahan berbagai aturan menyangkut Balai Lelang Swasta, sehingga diharapkan bisa mewujudkan tujuan daei dibukanya kesempatan kepada masyarakat khusllsnya dunia usaha dalam proses penyelenggaran lelang yaitu untuk ュセョゥョァォ。エォ。ョ@ pendayagunaan lelang sebagai salah satu sarana perekonomian yang bersifat terbuka dan objektif disamping juga diharapkan Balai Lelang Swasta dap,at menjadi lembaga pilihan favorit dari beberapa alternatif upaya penyelesaian kredit bermasalah dan tentunya juga dapat menjadi salah satu kegiatan perekonomian bagi masyarakat.

Kata Klinei : Peranan Balai Lelang Swasta, Lelang Eksekusi Hak Tanggungan , Penyelesaian Kredit Macet


(14)

ABSTRACT

Bad debt is the banking word is a chronical problem which may endanger and threat the Indonesian banking system. Therefore, it must be anticipated by all parties because bank plays a strategic role in the Indonesian economic activities. Therefore, IInder Law Number 4 Year 1996 on Encumbrance Right, bank as a creditor can execute the Encumbrance right through an auction and collect the selliement of his receivables from the proceeds of such sale, without requiring an approval from the debitor as stipulated in Article 6 of Law on Encumbrance right. Sale through auction is legally handled by State A uction Office, but as an effort to inprove auction efficiency as one of open and objective business through a Private Auction Office. Research questions in this research are: What the role and responsibility of Private Auction Office in implementing encumbrance right auction execution? What is the mechanism? And what is the obstacle in implementing the auction?

To answers the research questions, a normative juridical research was conducted. supported by an emphirical research. Sources of data of his research were primary. secondary and ternery legal sources. The primary data was collected throught a field study by interviewing PT Balai Lelang Sukses Mandiri and secondary data was collected throught a literature study.

Findings of the research showed that the role of Private Auction Office in executing the security right based on legal certainly theory and was supported by legal system theory and development legal theory and was still very limited to provision of services pre dan post the auction such as auction object administrative or supporting document checking. auction object physical checking. marketing. collecting of auction participants. handover of auction leller and object handover. Therefore. a revision of various regulations related to Privated Auction Office is vital so that it is hoped that it can reach the objective of giving an opportunity to public. especialy business sector. in the implementation of auction process i.e. to ill prove auction effieciancy as on of open and objective economic facilities. It is also hoped that Private Auction Office can be a favorite institution among aother alternatives as an effort to solve abd loan and of course. can serve as on of economic acticvities for public.

Key Words: Tile Role of Private Auction Office, Encumbrance Rigllts Execution


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar.1

Sektor swasta sebagai salah satu pelaku dalam pembangunan ekonomi, banyak mengalami kendala dalam menjalankan usahanya, antara lain berupa kekurangan modal usaha (kekurangan dana), yang berakibat proses usaha menjadi terganggu. Upaya untuk memenuhi kebutuhan modal usaha, salah satunya dengan mengajukan permohonan kredit kepada lembaga perbankan. Kegiatan usaha bank menurut Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan antara lain adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Fungsi intermediasi bank ini memberikan manfaat kepada pengusaha melalui eksistensi perkreditan yang merupakan salah satu upaya bank guna memperoleh pemasukan melalui bunga yang ditetapkan masing-masing bank.

1

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara RI Tahun 1996 No. 42, Penjelasan Umum.


(16)

Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan merumuskan pengertian kredit sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini mencerminkan apa yang disebut dengan “The Five C of Credit”, yaitu character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral

(jaminan), dan condition of economic (prospek usaha debitur).2

Selain bank mempunyai keyakinan bahwa debitur sanggup untuk melunasi utangnya, bank juga memerlukan sebuah jaminan khusus untuk melindungi pihak bank, manakala debitur tidak sanggup lagi membayar utangnya, walaupun secara hukum telah diatur mengenai jaminan umum didalam Pasal 1131-1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai jaminan kebendaan debitur, namun belum cukup kuat untuk melindungi kepentingan pihak bank, bilamana semua kebendaan debitur telah habis untuk melunasi semua utangnya secara bersama-sama dengan kreditur lainnya. Namun demikian untuk mendapatkan pembayaran yang cukup dan aman, seorang kreditur dapat meminta kepada debitur untuk mengadakan perjanjian

2

Mariam Darus Badrulzaman, Arie Sukanti Hutagalung, Beberapa Permasalahan Hukum Jaminan, Transaksi Berjamin: (Secured transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 649.


(17)

tambahan yang merupakan perjanjian jaminan khusus yang menunjuk barang-barang tertentu milik debitur sebagai jaminan pelunasan utang.3

Suatu hak jaminan timbul karena adanya perjanjian pemberian jaminan yang mengikuti suatu perjanjian utang-piutang (antara bank dengan debitur). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian utang-piutang merupakan perjanjian pokok sedang perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian accesoir.4

1. Jaminan perorangan, adalah persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Penanggung utang (borghtocht) diatur didalam Pasal 1820-1850 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bila didalam Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia sudah diletakkan suatu kebendaan (kreditur memperoleh suatu hak atas benda-benda tertentu), maka dalam hal penanggungan ini baru tercipta suatu ikatan perorangan.

Jaminan sendiri dapat dibedakan menjadi 2 macam jaminan, yakni:

Adapun yang termasuk kedalam jaminan perorangan adalah: a) Personal guarantee.

b) Corporate guarantee. c) Bank guarantee.

3

R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,

(Bandung: Alumni, 1978), hal. 31.

4

Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 22-23.


(18)

2. Jaminan kebendaan, adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri: mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dipindahtangankan/ dialihkan. Jaminan kebendaan ini dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun jaminan milik pihak lain yang menjamin utang debitur.

Adapun yang termasuk kedalam jaminan kebendaan adalah:

a) Gadai (diatur dalam Bab 20 Buku II, Pasal 1150-1160 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.5

b) Hak Tanggungan (diatur didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) Adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,berikut atau tidak berikut

5


(19)

benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.6

c) Jaminan Fidusia (diatur didalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)

Adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.7 Sedangkan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.8

d) Hipotik (diatur didalam Pasal 1162-1232 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

Adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.9

6

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara RI Tahun 1996 No. 42, Pasal 1 angka 1

7

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 168, Pasal 1 angka 1

8

Ibid, Pasal 1 angka 2

9

Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Mengenai hipotik yang diatur di dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang


(20)

mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada saat ini untuk jaminan hipotik berlaku pada kapal laut, dan pesawat terbang.

Penyediaan jaminan berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak disesuaikan dengan besarnya nominal kredit yang diberikan oleh bank dan jenis pengikatannya. Pada umumnya jaminan dengan barang tidak bergerak jenis pengikatannya adalah pengikatan dengan Hak Tanggungan, sedangkan jaminan yang berupa barang bergerak jenis pengikatannya berupa gadai atau fidusia. Dengan sendirinya besar nominal pemberian kredit lebih kecil dibandingkan dengan jenis pengikatan Hak Tanggungan.

Namun pada umumnya jaminan yang paling banyak disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit berupa jaminan Hak Tanggungan, karena objek Hak Tanggungan berupa tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dipandang lebih menguntungkan, karena selain mudah dijual, juga harganya terus meningkat dan mempunyai bukti pemilikan hak atas tanahnya, dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan.10

Namun dengan berjalannya waktu terkadang usaha debitur banyak mengalami kesulitan yang mengakibatkan usaha debitur menjadi kurang lancar atau terhambat,

10

Effendi Perangin angin, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 9.


(21)

yang berdampak juga pada ketidakmampuan dan ketidakmauan debitur untuk membayar utangnya, baik membayar cicilan pokok maupun bunganya. Akibatnya kredit tersebut sudah tidak sehat lagi dan hanya menunggu untuk dikategorikan sebagai kredit macet.

Persoalan kredit macet selalu saja menjadi berita dalam berbagai harian lokal maupun nasional yang terbit di Indonesia. Keberadaan kredit macet dalam dunia perbankan merupakan suatu penyakit kronis yang sangat mengganggu dan mengancam sistem perbankan Indonesia yang harus diantisipasi oleh semua pihak terlebih lagi keberadaan bank mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian Indonesia.

Menurut hukum, pada dasarnya setiap penyelesaian utang atau kredit yang macet dengan melakukan lelang eksekusi Hak Tanggungan bertujuan akhir mengeksekusi jaminan utang harus melalui gugatan pengadilan, namun dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, kreditur dapat melakukan eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan umum (lelang) dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu, tanpa memerlukan persetujuan lagi dari debitur sebagaimana diatur didalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Ketentuan ini untuk melindungi pihak kreditur dan menunjukkan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur yang mempunyai kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya (kreditur preferance).


(22)

Kedudukan terhadap kreditur yang dilindungi melalui Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) tersebut juga ditegaskan kembali didalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) dan pasal 20 ayat (1) huruf a dan huruf b yang menegaskan pada sertifikat Hak Tanggungan tersebut memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Irah-irah tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).Namun demikian terdapat ketentuan juga didalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 93 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menegaskan apabila didalam pelaksanaan eksekusi tersebut terdapat gugatan/sengketa yang berasal dari pihak lain selain debitur/ suami atau istri debitur, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial yang memerlukan fiat eksekusi. Selanjutnya, dijelaskan dalam ayat (2) apabila terdapat gugatan sebagaimana tersebut diatas, maka permohonan pelaksanaan lelangnya dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan, sengketa dapat muncul karena didalam ketentuan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) hanya diatur mengenai jaminan tentang eksekusi Hak Tanggungan, tetapi tidak diatur mengenai tata cara, dan mengenai besarnya utang yang dijamin.

Eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan umum (lelang) dilakukan oleh suatu lembaga pemerintah dibawah naungan Kementrian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) melalui kantor operasionalnya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).Istilah Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang


(23)

Negara (KP2LN) telah diubah menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).Istilah tersebut berubah sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.06/2007.

Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)sama halnya denganbalai lelang swasta lahirberdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan, namun jika dilihat lebih jauh, dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan kedudukan balai lelang swasta lebih ditekankan pada tahap pra lelang.

Kedudukan Balai Lelang dalam lelang eksekusi hak tanggungan ini adalah merupakan pilihan yang dapat dilakukan oleh Bank dalam mengatasi kredit bermasalah pada bank tersebut. Sebagaimana disebutkan I Made Soewandi, “ Penjualan lelang ini dapat dilakukanmelalui Pengadilan Negeri, Kantor Pelayanan Piutang dan LelangNegara (KP2LN) (sekarang KPKNL) dan Balai Lelang, bagi bank-bank swasta dapatmelakukan parate eksekusi melalui Balai Lelang Swasta.” 11

11

I Made Soewandi, Kewenangan Balai Lelang Dalam Kredit Macet, (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2005), hal.19-20

Balai Lelang lahir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1996 tentang Balai Lelang. Adapun yang menjadi dasar dibentuknya balai lelang swasta adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang penjualan barang secara lelang dan juga untuk meningkatkan pendayagunaan lelang sebagai sarana perekonomian yang bersifat terbuka dan objektif.


(24)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1996 tentang Balai Lelang selajutnya diubah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229/KMK.01/1997 tentang Balai Lelang. Keputusan ini kemudian diubah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 339/KMK.01/2000 tentang Balai lelang, selanjutnya peraturan tersebut diubah kembali melalui Peraturan Menteri Keuangan 509/KMK.01/2000 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 339/KMK.01/ 2000 tentang Balai lelang. Selanjutnya dalam rangka terjadinya reorganisasi di Departeman Keuangan maka kembali dilakukan penyempurnaan peraturan tentang Balai Lelang dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 306/KMK.01/2002 tentang Balai Lelang. Ketentuan ini kemudian dicabut dan diganti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang, dan terakhir kali dalam rangka melaksanakan penyesuaian dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunnjuk Pelaksanaan Lelang, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang.

Balai Lelang adalah badan hukumnasional yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan usaha dibidang lelang. Pendirian Balai Lelang berdasarkan ijin dariDirektur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan.Balai lelang harus memiliki fasilitas kantor (bangunan perkantoran tidakdipersyaratkan), tempat pelelangan (boleh berpindah-pindah dari satu hotel kehotel lain, dari satu lokasi ke lokasi lain), fasilitas penyimpananbarang, juru taksir (appraisal), surat izin usaha perdagangan, dan modal


(25)

disetorminimal dua milyar lima ratus ribu rupiah. Pelelangan di balai lelang swasta berdasarkankesepakatan bersama dengan penjual barang, di negosiasikan harga barang atasdasar kesepakatan bersama.

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 menyatakan “Balai Lelang dapat didirikan oleh swasta nasional, patungan swasta nasional dengan asing, atau patungan BUMN/BUMD dengan swasta nasional/asing sesuai peraturan peraturan perundang-undangan”. Dalam menjalankan usahanya sesuai dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 menyebutkan bahwa kegiatan usaha balai lelang meliputi kegiatan jasa pralelang dan jasa pasca lelang untuk semua jenis lelang.

Peranan Balai Lelang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang hanya berperan dalam kegiatan pra dan pasca lelang sedangkan pelaksanaan lelangnya tetap melalui KPKNL sehingga peran Balai Lelang disini hanya sebagai perantara antara KPKNL dengan kreditur atau pemohon Lelang Hak Tanggungan terhadap obyek barang yang akan dilelang oleh bank selaku kreditur.

Pemerintah tidak memperkenankan balai lelang swasta melelang barangeksekusi pengadilan, barang milik BUMN/ BUMD, dan pegadaian. Dalam kasuskredit macet, agunan bisa dilelang oleh balai lelang swasta dengan syarat belummenyangkut eksekusi pengadilan. Aset pihak yang berhutang bisa dilelang gunamenutup hutangnya setelah terjadi kesepakatan antara pihak debitur dan krediturserta belum menjadi perkara di pengadilan. Dalam waktu satu tahun, Balai


(26)

Lelangharus melaksanakan lelang minimal dua kali, tidak termasuk lelang tidak adapeminat, lelang atas barang milik Balai Lelang sendiri dan lelang atas barangmilik pemegang saham, direksi atau pegawai Balai Lelang yang bersangkutan.

Balai Lelang yang berada di Medan dan telah menjalankan jasa pelaksanaan lelang diantaranya Kantor Perwakilan PT. Balai Lelang Star, Kantor Perwakilan Balai lelang Mandiri (Baleman), Kantor Perwakilan PT. Trimitra Lelang Mandiri dan PT Balai Lelang Sukses Mandiri (Balesman). Selanjutnya pelaksanaan penelitian ini ditentukan pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri (Balesman) berdasarkan penilaian peneliti (judgement sampling) bahwa dari seluruh balai lelang swasta yang ada di Medan. PT. Balai Lelang Sukses Mandiri (Balesman) bukan merupakan kantor perwakilan, oleh sebab itu paling baik untuk dijadikan sampel penelitian. Jadi, pemilihannya disebabkan domisili Kantor pusat Balesman yang terletak di Medan, sehingga memudah peneliti untuk menggali informasi, disamping juga keyakinan peneliti bahwa Balesman mempunyai informasi yang banyak dari balai lelang perwakilan lainnya yang ada di Medan terkait pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan akibat kredit macet di Medan.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan dan tanggung jawab balai lelang swasta dalam pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan akibat kredit macet dikaitkan


(27)

dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang?

2. Bagaimanakah mekanisme lelang eksekusi Hak Tanggungan dalam kredit macet melalui balai lelang swasta berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang?

3. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan melalui balai lelang swasta?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan dan tanggung jawab balai lelang swasta dalam pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan akibat kredit macet dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme lelang eksekusi Hak Tanggungan dalam kredit macet melalui balai lelang swasta berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang dihadapi dan memberikan solusi dalam pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan melalui balai lelang swasta.


(28)

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Secara teoritis diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang jaminan kredit dan lelang yang dilakukan balai lelang terhadap jaminan, sehingga memberikan pemahaman lebih tentang kewenagan daripada balai lelang swasta.

2. Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk menyusun peraturan pelaksanaan lelang dan penguatan fungsi balai lelang swasta dalam proses pelaksanaan lelang hak tanggungan.

Secara rinci kontribusi penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi pembuat undang-undang, sebagai bahan masukan untuk menyusun peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan lelang melalui balai lelang swasta serta penguatan fungsi balai lelang swasta dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan.

b. Bagi masyarakat agar mengetahui proses pelaksanaan lelang hak tanggungan melalui balai lelang swasta.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Peranan Balai Lelang Swasta pada Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak


(29)

Tanggungan dalam Penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukses Mandiri)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari tesis orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada tesis yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa penelitian yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi penelitian ini, yakni:

1. Intes Nurlina/037011062, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Lelang (Penelitian Pada Kantor Pelayanan Dan Piutang Negara Medan)”

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan eksekusi lelang pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Medan

b. Hambatan apa sajakah yang ditemui di dalam pelaksanaan eksekusi lelang pada KP2LN Medan

c. Upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi hambatan terhadap pelaksanaan eksekusi lelang di KP2LN Medan


(30)

2. Lamria Sianturi/037011044, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “Pelaksanaan Lelang Eksekusi Kejaksaan (Studi pada KPKNL Medan)”

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana eksekusi kejaksaan yang dapat mengakibatkan lelang

b. Hambatan yang ditemui dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan lelang eksekusi kejaksaan pada KPKNL Medan.

3. Margasa Manurung/017011038, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Lelang atas Jaminan Hutang Kebendaan yang Diikat dengan Hak Tanggungan”

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi PUPN/KP2LN dalam mengeksekusi lelang Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang PUPN

b. Apakah yang dapat dilakukan oleh PUPN/KP2LN dalam mengatasi hambatan dalam mengeksekusi lelang Hak Tanggungan

c. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pihak pemenang lelang dari agunan yang diikatkan Hak Tanggungan dalam kaitan dengan penyelesaian kredit macet.

4. Ahsein Lubis/992105034, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “Pengaruh Gugatan Debitur dan Pihak Ketiga terhadap


(31)

Pelaksanaan Pengurusan Piutang Negara pada Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara Medan”

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Apa faktor-faktor yang menyebabkan debitur dan pihak ketiga mengajukan gugatan terhadap KP3N

b. Bagaimana penanganan gugatan debitur dan pihak ketiga yang mengajukan gugatan terhadap KP3N

c. Apa hambatan yang timbul dengan adanya gugatan debitur dan pihak ketiga terhadap KP3N dan alternatif penanggulangannya

5. Purnama T Sianturi/992105030, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “ Tanggung Jawab Kantor Lelang Negara, Penjual, Pembeli, dan Balai Lelang dalam Penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Studi Kasus di Kantor Lelang Negara Medan Kurun waktu 1999-2000)

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan lelang aset BPPN di KLN Medan kurun waktu 1999-2000?

b. Bagaimana tanggung jawab KLN, Penjual, Pembeli, dan balai lelang dalam penjualan aset BPPN?

c. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam pelaksanaan lelang asset BPPN di KLN Medan dan upaya mengatasinya?


(32)

6. Mantayborbir Soleman/ 982105037, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “ Pertanggungjawaban Debitur/Penanggung Hutang Dalam Pengurusan Piutang Negara (Kredit Macet) pada Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) Medan ditinjau dari UU Nomor 49 Prp Tahun 1960.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang dipakai sebagai kriteria untuk menentukan suatu kredit itu macet?

b. Bagaimana pelaksanaan pengurusan piutang negara di Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) Medan?

c. Bagaimanakah pelaksanaan pertanggungjawaban debitur/penanggung hutang akibat dari adanya kredit macet?

7. Agus Hari Widodo/992105033, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tesis tentang “ Eksekusi lelang terhadap Barang jaminan tentang yang diikat Dengan Hak Tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 dalam kaitannya dengan Kredit macet pada Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara Medan.

Berdasarkan penelusuran tersebut, penelitian ini jelas memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian yang memiliki topik yang sama sebagaimana telah diuraikan di atas. Penelitian ini akan menitikberatkan pada eksistensi balai lelang swasta sebagai salah satu lembaga yang dapat terlibat dalam proses lelang hak


(33)

tanggungan yang berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan, hanya saja kedudukannya sebagai salah satu faktor pendukung pelaksanaan lelang dan sangat memiliki keterbatasan kewenangan dalam melakukan proses lelang. Oleh karenanya, melalui penelitian ini akan dipaparkan hambatan-hambatan yang dihadapi balai lelang swasta terkait dengan lemahnya kewenangan yang dimilikinya terkait dengan pelaksanaan lelang khususnya lelang hak tanggungan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.12 Selanjutnya kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.13

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.14

12

JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

13

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80.

14

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal 35.

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.


(34)

Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.15

Teoripositivisme hukum yang dikembangkan oleh JohnAustin dalam bukunya berjudul Province of jurisprudence, menyatakan law is command of the lawgiver

yang artinya yaitu hukum adalah perintah dari penguasa yaitu mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.16

Positivisme hukum ada dua bentuk yakni positivisme yuridis dan positivisme sosiologis. Dalam positivisme yuridis hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara alamiah. Tujuan positivisme ini adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab hukum dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum menjadi makin profesional. Hukum modern adalah ciptaan para ahli dibidang hukum. Dalam positivisme sosiologis hukum dipandang sebagai bagian kehidupan masyarakat. Prinsip-prinsip positivisme hukum dapat diringkas sebagai berikut:17

15

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002), hal. 55.

16

Lili Rasjidi, Dasar-dasar filsafat Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 61

17


(35)

a. Hukum adalah sama dengan undang-undang. Dasarnya ialah bahwa hukum muncul sebagai berkaitan dengan negara; hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

b. Tidak terdapat suatu hubungan mutlak antara hukum dan moral. Hukum tidak lain dari pada hasil karya para ahli dibidang hukum.

c. Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah suatu “closed logical system”. Peraturan-peraturan dapat diduksikan (disimpulkan secara logis) dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma sosial, politik dan moral. Tokoh-tokohnya adalah R. Von Jhering dan J.Austin (analitical jurisprudence).

David Dyzenhaus menyebutkan dalam positivisme tidak ada hubungan antara hukum dan moral sebagaimana yang ia berpendapat bahwa:18

18

David Dyzenhaus, The Genealogy of Legal Positivism. University of Toronto Oxford Journal of Legal Studies 2004 24(1):39-67; doi:10.1093/ojls/24.1.39, Oxford UniversityPress, http://ojls. oxford journals.org/cgi/content/abstract/24/1/39. Diakses tanggal 15Desember 2011.

“Legal positivism is best understood as a political tradition which rejects the separation thesis-the thesis that there is no necessary connection between law and morality. That tradition was committed for some time to eliminating the conceptual space in which the common law tradition and its style of reasoning operate.”

“Positivisme legal dipahami sebagai sebuah tradisi politik yang menolak pembagian tesis, yakni tesis mengenai tidak dibutuhkannya hubungan antara hukum dan moralitas. Tradisi ini dipegang teguh selama jangka waktu tertentu untuk menghilangkan ruang berpikir konseptual dimana tradisi dari hukum adat dan gayanya sangatlah beralasan untuk digunakan”.


(36)

Tidak jauh berbeda dengan David Dyzenhaus, David A.J. Richards bahwa juga menegaskan keterkaitan antara hukum dan moral sebagaimana pendapatnya bahwa:19

Esensi positivisme hukum menurut H.L.A. Hart adalah:

“Natural law theorists and legal positivists have long debated the separability of law and morals: whereas legal positivists maintain that law is separable from morals, natural law theorists claim that any such distinction is untenable. In contemporary jurisprudence, the leading expositor of positivism is Joseph Raz, who follows H.L.A. Hart in arguing that laws are to be understood as norms that can be distinguished from substantive ethical concepts. The opposite view, reflected in Ronald Dworkin's interpretive theory of law as a coherent system of principles, assumes that the construction of such a system cannot be undertaken in isolation from the elaboration and analysis of substantive ethical concepts.

”Para penganut hukum alam dan positivisme legal telah lama berdiskusi mengenai pemisahan hukum dan moral, dimana para penganut positivisme legal bersikukuh bahwa hukum harusnya terpisah dengan moral, sementara para penganut teori hukum alam mengungkapkan bahwa pemisahan seperti itu tidak memiliki kemanfaatan. Dalam yurisprudensi terkini, penganut positivisme yang sangat terkemuka adalah Joseph Raz yang mengikuti pemikiran H.L.A Hart yang berpendapat bahwa hukum terlalu dipahami sebagai sebuah norma yang dapat dipisahkan dari konsep etika asalnya. Pandangan yang berbeda, yang disampaikan oleh Roland Dworkin dengan pendangannya mengenai teori interpretasi hukum yang mengungkapkan bahwa sistem yang sejalan dengan berbagai prinsip, ia mengasumsikan bahwa struktur dari sebuah sistem tidak dapat dijalankan dengan isolasi dari pemaparan dan analisa dari konsep etika asalnya”.

20

a. Hukum adalah perintah.

19

David A.J. Richards, dkk. Jurisprudence At The Crossroads: Steering A Course Between Positivism And Natural Law ; Law, Norms And Authority. Harvard Law Review, Harv. L. Rev. 1214, Copyright 1984 by the Harvard Law Review Association; David A.J. Richards, http://web2.westlaw.com. Diakses tanggal 11 Desember 2011

20

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum; Study Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 97


(37)

b. Tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.

c. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi yang penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial.

d. Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya.

e. Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti. Sebagai pendukung teori utama penelitian ini diatas, maka penelitian ini juga didasarkan atas teori sistem hukum Lawrence M. Friedman. Beliau berpendapat dalam hubungannya dengan sistem hukum terdapat komponen unsur hukum sebagai berikut:21

1. Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah,

namunbagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dansetiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.

21

Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001,hal. 7-8.


(38)

2. Sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma, dan

polaperilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.

3. Sistem hukum mempunyai komponen budaya hukum, yaitu sikap

manusiaterhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri, seperti kepercayaan, nilai,pemikiran serta harapannya.

Sub sistem hukum tersebut merupakan pengikat sistem hukum itu di tengahkultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang menggunakan hukum, dan patuh atautidak terhadap hukum sangat tergantung kepada kultur hukumnya. Oleh karena itu,saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertahankan pola-pola hubungan sertakaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima sebagai konsep modern memilikifungsi untuk melakukan suatu perubahan sosial. Pengunaan teori ini sebagai pendukung teori kepastian hukum diatas dimaksudkan agar penelitian ini juga menganalisis berdasarkan keadaan-keadaan perkembangan yang ada terkait upaya-upaya untuk penguatan peranan Balai lelang swasta dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan.

Selanjutnya, teori pendukung lainnya adalah teori hukum pembangunan menurut Mochtar Kusumatmadja dalam bukunya yang berjudul Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan menyatakan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam


(39)

kenyataan.22Kemudian dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan.23

Indonesia sebagai Negara Hukum menganut asas dan konsep Pancasila yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:24

1. Asas ketuhanan mengamanatkan bahwa hukum tidak boleh ada produk hukum yang anti agama dan anti ajaran agama;

2. Asas kemanusiaan mengamanatkan bahwa hukum nasional harus menjamin, melindungi hak asasi manusia;

3. Asas kesatuan dan persatuan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, berfungsi sebagai pemersatu bangsa;

4. Asas demokrasi mengamanatkan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum yang adil dan demokrasi;

5. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua orang sama dihadapan hukum.

22

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional,

(Bandung: Bina Cipta, 1972),hal. 11.

23

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional,

(Bandung; Bina Cipta, 1975), hal. 15.

24

Abdul Wahid dan M Labib, Kejahatan Mayantara, (Bandung: Rafika Aditama, 2005),hal. 141


(40)

Asas dan kaidah ini menggambarkan hukum sebagai suatu gejala normatif sedangkan lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai suatu gejala sosial. Berdasarkan hal tersebut, maka hukum tidak boleh ketinggalan dalam proses pembangunan, sebab pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum yaitu keadilan menurut pancasila yaitu keadilan yang seimbang, artinya adanya keseimbangan diantara kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan penguasa.25

Keberadaan balai lelang swasta ini dikuatkan dalam peraturan hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yakni Keputusan Menteri Keuangan No. 47/KMK.01/1996 tanggal 25 Januari 1996 dan Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No.1/PN/1996. Pada perkembanngan

Penelitian ini menggunakan kerangka teori utama, yaitu aliran posistivisme atau teori kepastian hukum, yang kemudian didukung oleh teori sistem hukum dan teori hukum pembangunan dikarenakan keberadaan balai lelang swasta merupakan suatu terobosan hukum yang baru di Indonesia, sehingga keberadaan lembaga ini merupakan salah satu bentuk pembangunan hukum menuju ke arah yang lebih baik,dengan dibukanya partisipasi publik/ masyarakat dalam membuka usaha lelang ini juga berkonsekuensi agar aturan-aturan hukum menyangkut balai lelang bisa menjawab kebutuhan partsipasi masyarakat itu sendiri.

25

Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 159


(41)

selanjutnya peraturan yang mengatur tentang perizinan, kegiatan usaha dan pelaksanaan lelang Balai Lelang Swasta diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 November 2005 tentang Balai Lelang yang terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang. Adapun teknis pelaksanaan lelang yang dilakukan balai lelang swasta diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Berdasarkan hal-hal tersebut, jelaslah bahwa keberadaan balai lelang swasta merupakan suatu terobosan hukum dalam kerangka pembangunan hukum nasional khususnya dalam bidang pelaksanaan lelang di dunia perbankan.

Peranan Balai Lelang sebagaimana telah disebutkan di atas hanya berperan dalam pra dan pasca lelang sedangkan pelaksanaan lelangnya tetap melalui KPKNL sehingga peran Balai Lelang disini hanya sebagai perantara antara KPKNL dengan kreditur atau pemohon Lelang Hak Tanggungan terhadap obyek barang yang akan dilelang oleh bank. Hal ini tentunya memperlihatkan betapa lemahnya kedudukan balai lelang dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan. Oleh karenanya diperlukan sebuah pemikiran yang dapat tertuang dalam peraturan hukum positif tentang perlunya memberikan kedudukan yang kuat bagi balai lelang dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan.

Jika suatu hukum yang baik harus mengandung keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka peraturan perundang-undangan lelang yang ada kurang mengandung tujuan hukum dimaksud. Lelang sebagai suatu lembaga hukum harus


(42)

memuat aspek filosofis yaitu menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sesuai dengan perkembangan dalam pelaksanaan lelang tersebut.

Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati/ disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.26

Suatu perjanjianadalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.27

Memperjelas mengenai definisi perjanjian, M Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.28

26

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 59

27

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, Cet. 21, 2005), hal 1.

28


(43)

Dalam lelang, bentuk perjanjian kerjasamanya adalah merupakan suatu permufakatan atau persepakatan antara pihak-pihak yang mengadakannya, dimana masing pihak diikat oleh janji-janji yang telah diadakan antara masing-masing, kemudian berkembang menjadi satu kerjasama antara masing-masing pihak untuk secara bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu yang telah disepakati.

Hal yang penting dalam lelang adalah ditentukannya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus dilaksanakan, dimana antara hak dan kewajiban tersebut terdapat suatu keseimbangan. Lelang telah diikat dengan suatu ketentuan yang didasarkan oleh kata sepakat dan dituangkan dalam kesepakatan tertulis dengan tujuan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa lelang menyebabkan para pihak mempunyai kewajiban untuk memberikan kemanfaatan pada pihak lainnya dan sebaliknya, lawannya untuk menerima manfaat yang menguntungkan atau berguna bagi dirinya dari hubungan perjanjian tersebut.

2. Konsepsi

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai berikut:

a. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umumdengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yangsemakin meningkat


(44)

atau menurun untuk mencapai hargatertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.29

b. Balai Lelang Swasta atau Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk PerseroanTerbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatanusaha di bidang lelang. 30

c. Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturanperundang-undangan diberi wewenang khusus untukmelaksanakan penjualan barang secara lelang.31

d. Hak Tanggungan adalah hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.32 e. Tujuan lelang adalah untuk mendapatkan penawar yang profesional dan

berkualitas terhadap objek lelang, sedangkan tujuan utama lelang adalah untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap

29

Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

30

Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang

31

Lihat Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

32

Lihat Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.


(45)

memberi perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak dilaksanakan secara berlebihan.

f. Kredit adalah hutang nasabah bank swasta yang berdasarkan perjanjian kredit bank diwajibkan untuk dilunasi setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga

g. Eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, oleh karena itu eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum antara para pihak.

h. Lelang Eksekusi adalah lelang untuk

melaksanakanputusan/penetapanpengadilan, dokumen-dokumen lain yangdipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuandalam peraturan perundang-undangan.33

i. Kredit macet merupakan salah satu dampak negatif dari fasilitas pemberian kredit. Istilah kredit macet dipergunakan dalam lingkungan perbankan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 31/1477/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 Tentang Kualitas Aktiva Produktif, yakni kredit macet adalah terdapatnya tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari.

33

Lihat Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang


(46)

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian sebagaimana tersebut diatas, maka sifat penelitian yang sesuai adalah deskriptif eksplanatif. Penelitian deskriptif eksplanatif artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai peranan balai lelang swasta pada pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dalam penyelesaian kredit macet.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang didukung oleh penelitian empiris sebagai alat bantu untuk penelitian normatif.Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)34

34

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal 118.

. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif dan didukung oleh data lapangan dalam bentuk hasil wawancara.


(47)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang didukung oleh penelitian empiris yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.35

2. Sumber Data

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dan beberapa buku mengenai peranan balai lelang swasta pada pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan dalam penyelesaian kredit macet.

Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan normatif yang didukung oleh pendekatan empiris yang bersumber pada data primer dan data sekunder.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data primer dan data sekunder, data primer yakni dengan cara wawancara dan data sekunder yakni terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan

35

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal 57.


(48)

lainnya yang berkaitan.36

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Data dari pemerintah yang berupa dokumen-dokumen tertulis yang bersumber pada perundang-undangan, di antaranya:

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

3) Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 tahun1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

4) Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang. 5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, makalah, skripsi, tesis maupun disertasi.37

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan ensiklopedia. Selain itu juga buku mengenai metode penelitian dan penulisan hukum untuk memberikan penjelasan mengenai teknik penulisan tesis.38

3. Alat Pengumpulan Data

36

Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal 6.

37

Sri Mamuji, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: UI Press, 2006), hal 12.

38


(49)

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara:

a. Studi kepustakaan (Library Research)/ Studi dokumen, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan tesis ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, makalah ilmiah, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) tentang Peranan Balai Lelang Swasta pada Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan dalam Penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus Pada PT. Balai Lelang Sukes Mandiri) untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan cara wawancara dengan Pejabat/ Pegawai Balai Lelang Sukses Mandiri dan pihak yang menggunakan jasa balai lelang sukses mandiri dalam pelaksanaan lelang.


(50)

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.39

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa "proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.40

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan, selanjutnya akan dianalisis dengan pendekatan yuridis kualitatif. Analisis yuridis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yuridis yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Kemudian analisis itu akan dihubungkan dengan teori hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

39

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 103.

40


(51)

BAB II

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BALAI LELANG SWASTA DALAM PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

A. Latar Belakang Lahirnya Balai Lelang Swasta

1. Sejarah Balai Lelang Swasta

Tahun 1964 pelaksanaan lelang aset instansipemerintah yang belum dapat diurusi oleh kantor lelang negeri dapat dilakukanmelalui komisioner lelang. Komisioner lelang secara tegas tidak diatur dalamVendu Reglement maupun Vendu Instructie, tetapi hanya diatur secara eksplisitpada Pasal 76 KUHD. Adapun yang dimaksudkan komisioner dalam KUHD adalahseseorang yang dengan mendapat provisi melakukan usahanya untuk mengadakanpersetujuan atas nama sendiri atau atas nama perusahaan sendiri akan tetapi atasperintah dan tanggung jawab orang lain.

Selanjutnya, Komisioner ini dibedakan antara komisioner penjual dan komisionerpembeli, hal inisecara tidak langsung menimbulkan komisioner lelang. Komisionerlelang merupakan orang atau badan yang diberikan kuasa untuk menjual ataumembeli dalam lelang karena masyarakat belum begitu mengenal lelang danprosedur menjual melalui lelang. Perkembangan komisioner lelang menunjukkankemajuan sehingga saat itu diartikan sebagai kuasa menjual melalui lelang.

Komisioner lelang pada perkembangan berikutnya berganti istilah menjadi BalaiLelang. Namun pada perkembangannya Balai Lelang tersebut pernahdibubarkan/dihapus oleh Menteri Keuangan sesuai Surat Keputusan


(52)

NomorD.15/D.1/16-2 tanggal 2 Mei 1972, dengan pertimbangan bahwa pelelangan-pelelangantelah dapat dilaksanakan dan diselesaikan oleh kantor lelang negeridan kantor-kantor lelang kelas II. Pembubaran tersebut tidak serta merta mengurangi kebebasan Balai Lelanguntuk meneruskan perdagangan sebagai Balai Lelang biasa dengan mengindahkanperaturan-peraturan dalam Vendu Reglement.

Eksistensi Balai Lelang untuk pertama sekali dibuat berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1996tanggal 25 Januari 1996 tentang Balai Lelang yang kemudian diubah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229/KMK.01/1997 tentang Balai Lelang.Selanjutnya, ketentuan tentang balai lelang diganti berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 339/KMK.01/2000 tentang Balai Lelang,Keputusan ini kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 306/KMK.01/2002 yang diganti berdasarkanPeraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005tanggal 30 Nopember 2005 tentang Balai Lelang. Dan akhirnya, peraturan ini kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/ PMK.06/ 2010 tanggal 30 September 2010. Perubahan ketentuan tentang balai lelang ini, mengikuti perubahan dari peraturan lelang yang dikeluarkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Apabila di lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1996tanggal 25 Januari 1996 tentang Balai Lelang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ide dasar pembentukan balai lelang adalah untuk memberikan


(53)

kesempatan kepada swasta/ dunia usaha untuk menyelengarakan usaha dibidang jasa lelang, disamping juga untuk mendayagunakan lelang sebagai suatu bentuk kegiatan perekonomian yang bersifat terbuka dan objektif sehingga diharapkan dapat mewujudkan harga yang wajar. Begitupun, berbagai peraturan tentang balai lelang, hingga yang terakhir dikeluarkan diatas, tetap saja masih membatasi ruang Balai Lelang khusus terhadap lelang sukarela. Dalam perkembangannya, Balai lelang swasta lebih banyak mengurusi tahap pra lelang, dan hanya sebagai “panitia” untuk pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan.

2. Alasan Diperlukannya Balai Lelang Swasta

Sejarah kelembagaan lelang sudah cukup lama dikenal di Indonesia. Peraturan Lelang (Vendureglement) yang sampai saat ini masih berlaku merupakan bentukan pemerintah Hindia Belanda. Peraturan dimaksud tepatnya mulai diundangkan pada tanggal 1 April 1908.Untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat atau perkembangan ekonomi, Pemerintah terus berupaya melakukan terobosan atau deregulasi dalam bidang lelang. Deregulasi dimaksud, antara lain (i) dimungkinkannya Balai Lelang Swasta terlibat dalam kegiatan lelang; (ii) diperkenalkannya Pejabat Lelang Kelas II; serta (iii) terbukanya kesempatan bagi para kreditur untuk melakukan lelang langsung (direct auction) tanpa harus melibatkan pengadilan negeri.41

41

“Peraturan Lelang (Vendureglement) dan Kewenangan Notaris Membuat Risalah Lelang”,http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/peraturan-lelang-vendureglement-dan.html. Diakses tanggal 3 Agustus 2012.


(54)

Pejabat Lelang Kelas II dimaksud berasal dari kalangan swasta. Pejabat lelang ini berwenang menerbitkan risalah lelang, namun hanya dalam lelang yang bersifat sukarela (voluntary auction). Kemudian, lelang eksekusi langsung adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia. Dalam lelang jenis ini, Balai Lelang bertindak sebagai partner pelaksana dari kreditur.42

3. Kedudukan Hukum Balai Lelang Swasta

Ketiga contoh terobosan dan deregulasi di atas memberikan ruang yang semakin terbuka dan opsi yang semakin beragam bagi masyarakat. Untuk itulah Balai Lelang Swasta hadir di tengah masyarakat, khususnya kalangan usaha sebagai mitra baik dalam melakukan lelang sukarela maupun eksekusi.

Balai lelang dalam melaksanakan penjualan lelang secaraumum berdasarkan persetujuan dan kuasa yangdiberikan oleh pemilik barang. Apabila barang-barangyang dimaksud merupakan barang jaminan dari kreditmacet bank-bank swasta, maka persetujuan dan kuasa akandiperoleh dari lembaga tersebut. Atas dasar persetujuan dankuasa yang dimiliki tersebut, balai lelang akan melangkah lebihlanjut ketingkat persiapan penjualan lelang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 Pasal 15 yang menyatakan :

(1) Balai Lelang selaku kuasa pemilik barang dapat bertindak sebagaipemohon lelang atau Penjual hanya untuk jenis LelangNoneksekusi Sukarela, yaitu:

42


(55)

a. Lelang Barang Milik BUMN/D berbentuk Persero;

b. Lelang harta milik bank dalam likuidasi, kecuali ditentukan lainoleh peraturan perundang-undangan;

c. Lelang Barang Milik Perwakilan Negara Asing, dan;

d. Lelang barang milik swasta, perorangan atau badanhukum/badan usaha.

(2) Dalam pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Balai Lelang

mengajukan permohonan lelang kepada KepalaKPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II

Ketentuan ini selanjutnya ditegaskan dalam pasal 16 yang menyebutkan bahwa Balai Lelang memiliki kegiatan usaha jasa pra lelang dan pasca lelang untuk semua jenis lelang.Atasdasar hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa balai lelangadalah sebagai kuasa pihak pemilik hanya untuk lelang non eksekusi sukarela, sedang untuk lelang eksekusi, pelaksanaan lelangnya tetap dilakukan oleh KPKNL.

Dalam pelaksanaan lelang tersebut balai lelangbertanggung jawab atas:43 a. Pembayaran harga lelang kepada pemilik barang,menyerahkan barang yang

dilelang, berikut dokumen terkaitkepada pemenang lelang;

b. Bertanggung jawab pula atas kerugian atau tuntutan yangtimbul akibat kesalahan dan kelalaian dalammenyelenggarakan lelang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010, maka terdapat kewajiban-kewajiban balai lelang sejak perizinan sebagaimana diatur dalam pasal 4, pindah alamat atau kedudukan dalam pasal 5 dan 6, kewajiban memberitahukan kantor perwakilan, memberitahukan perubahan kepemilikan saham (pasal 11), kewajiban membuat buku, catatan dan dokumen terkait kegiatan usahanya. Selanjutnya dalam rangka pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Direktur

43


(56)

Jenderal Kekayaan Negara, dan khusus untuk pengawasan secara langsung diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang berada (pasal 27 ayat (1) ).

Seperti yang telah disebutkan diatas, dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan ini juga terdapat penegasan bahwa balai lelang swasta hanya memiliki kegiatan usaha yang meliputi kegiatan jasa sebelum dan sesudah pelaksanaan lelang. Hal ini disebutkan dalam pasal 16 yang menyebutkan “ Kegiatan usaha Balai Lelang meliputi kegiatan jasa pra lelang dan jasa pasca lelang untuk semua jenis lelang”.44

B. Peranan Balai Lelang Swasta dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak

Tanggungan

Ketentuan ini tentunya sangat berbeda dengan terdapatnya pihak kreditur, terutama bank yang menyerahkan objek jaminan hutang debitur yang telah diikat oleh hak tanggungan kepada balai lelang swasta.

Sebagaimana pengertian Balai Lelang Swasta dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/ PMK.06/2010 tentang Balai Lelang, maka Balai Lelang haruslah Badan Hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang ketika didirikan khusus untuk melakukan kegiatan usaha di bidang jasa pelelangan, namun pada kenyataannya, tidak semua jenis lelang bisa dilaksanakan oleh Balai Lelang secara langsung, dalam Lelang eksekusi Hak Tanggungan, Balai lelang lebih bersifat seperti perantara antara Kreditur (Bank) dengan Kantor Lelang Negara. Kondisi inilah disebabkan

44


(57)

dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang tersebut diatas menekankan peranan Balai Lelang swasta dalam pelaksanaan lelang pada tahap pra lelang.

1. Tahap Pra Lelang

Tahap Pra lelang(sebelum terjadinya transaksi pelelangan) merupakanpenanganan pesanan yang meliputi pengumpulan dan pencatatan barang,penilaian barang, dan pemasaran. Dalam persiapan pra lelang terdapatbeberapa hal yang harus dilaksanakan guna kelancaran pelaksanaanlelangnya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya sengketahukum di kemudian hari. Beberapa kegiatan antara lain persiapan-persiapan,kelengkapan dokumen, jadwal waktu pengumuman, persyaratan-persyaratanhukum sebagai dasar hukum pelaksanaan lelang itu sendiri dansebagainya.

Berikut secara rinci kegiatan jasa pra lelang oleh Balai Lelang meliputi:45 a. Meneliti kelengkapan dokumen persyaratan lelang dan dokumen barangyang

akan dilelang.

Dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan sebelum pelaksanaan lelang dilakukan, antara lain:

1) Dokumen persyaratan lelang yang bersifat umum:

a) Salinan/fotokopi Surat Keputusan Penunjukan Penjual; b) Syarat lelang dari Penjual (apabila ada); dan

c) Daftar barang yang akan dilelang.

45


(58)

2) Dokumen persyaratan lelang yang bersifat umum untuk lelang sukarela: a) Surat kuasa untuk menjual dari Pemilik, apabila bukan Pemilik; b) Surat pernyataan dari Pemilik bahwa barang tidak dalam sengketa; c) Surat pernyataan dari Penjual yang akan bertanggung jawab apabila

terjadi gugatan perdata atau tuntutan pidana; dan d) Asli/fotokopi bukti kepemilikan hak.

b. meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;

c. menerima, mengumpulkan, memilah, memberikan label, dan menyimpan barang yang akan dilelang;

d. menguji kualitas dan menilai harga barang; e. meningkatkan kualitas barang yang akan dilelang; f. mengatur asuransi barang yang akan dilelang;

g. memasarkan barang dengan cara-cara efektif, menarik, dan terarah, baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara pemasaran lainnya; dan/atau

h. menyiapkan/menyediakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan lelang. Pada prinsipnya, pengumuman lelang harus dilakukan melalui suratkabar harian, selebaran, atau tempelan yang mudah dibaca oleh umumdan/atau melalui media elektronik termasuk internet. Dalam hal tidak adasurat kabar harian, maka Pengumuman Lelang diumumkan dalam suratkabar harian yang sejauh mungkin pengumuman lelang tersebut dimuat disurat kabar harian yang memiliki peredaran


(59)

luas dan diperkirakan dibacaoleh kalangan bisnis.46

a. Agar dapat diketahui oleh masyarakat luas, sehingga bagi yang berminat dapat menghadiri pelaksanaan lelang (menghimpun peminat lelang/aspek publikasi). Adapun maksud diadakannya pengumuman lelang iniadalah:

b. Memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan sanggahan/verzet (aspek legalitas).

c. Sebagai shock therapy bagi masyarakat agar menimbulkan efek jera, sehingga diharapkan debitur yang tadinya bermalas-malasan memenuhi kewajibannya akan timbul kesadaran untuk melunasi kewajiban-kewajibannya karena takut barang miliknya bisa saja dilelang sebagai bagian pelunasan hutang-hutangnya.

Tata cara pengumuman lelang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang PetunjukPelaksanaan Lelang.

Pengumuman lelang sekurang-kurangnya memuat:47 a. identitas Penjual;

b. hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan; c. jenis dan jumlah barang;

d. lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;

e. spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;

46

Lihat lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pasal 43 ayat (1) dan (2).

47


(1)

dikosongkan, dan kadang dalam kondisi disewakan kepada pihak lain,sementara KPKNL atau Balai lelang swasta tidak mempunyaiwewenang untuk melakukan pengosongantersebut, karena menurut HIR kewenanganpengosongan ada pada Pengadilan Negeri. B. Saran

1. Peranan Balai Lelang Swasta dalam pelaksanaan Lelang eksekusi hak tanggungan yang terbatas pada pelaksanaan tahap pra lelang dan pasca lelang, dirasakan bertolak belakang dengan upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam kegiatan usaha jasa pelelangan, untuk itu diperlukan perluasan wewenang Balai Lelang Swasta agar dapat melaksanakan lelang, perluasan wewenang ini diharapkan bisa meningkatkan peran masyarakat (dunia usaha) dalam pendayagunaan lelang sebagai salah satu sarana perekonomian yang bersifat terbuka dan objektif, sehingga diharapkan dapat mewujudkan harga yang wajar.

2. Dalam pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan, Balai Lelang Swasta dapat berperan sebagai Pemandu Lelang, walaupun pemandu lelang tidak menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan lelang. Berdasarkan hal ini diharapkan kedepan Balai Lelang Swasta dapat langsung sebagai pihak yang melaksanakan lelang eksekusi hak tanggungan, sehingga ke depan Balai Lelang Swasta dapat menjadi lembaga pilihan favorit dari beberapa alternatif upaya penyelesaian kredit bermasalah. Disamping juga dapat menjadi kegiatan perekonomian bagi masyarakat.


(2)

3. Berbagai hambatan dalam pelaksanaan lelang dapat diselesaikan dengan sosialisasi tentang berbagai aturan yang menyangkut lelang maupun kelembagaan –kelembagan yang terkait dengan lelang dan agar pihak DJKN membuat aturan yang memberikan wewenang kepada Balai Lelang Swasta untuk melakukan penelitian formal dan materil dari dokumen dan objek lelang yang berguna bagi penyaringan awal terhadap penlitian kelengkapan dokumen yang nantinya juga akan dilakukan oleh KPKNL dan sebagai bahan informasi untuk disampaikan kepada calon pembeli lelang tentang permasalahan yang mungkin timbul dikemudian hari akibat pembelian dalam lelang sehigga pembeli lelang nantinya mendapatkan informasi yang cukup sebagai bahan pertimbangan dalam membeli objek lelang dan sebagai bentuk perlindungan bagi pembeli yang beriktikad baik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, Hutagalung, Arie Sukanti, Beberapa Permasalahan Hukum Jaminan, Transaksi Berjamin: (Secured transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000.

________,KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi kedua, Bandung: Alumni, 1996.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986.

________, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Gramedia, 1994.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1992.

Hutagalung, Arie S, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Ismaya, Sujana, Kamus Perbankan: Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, Bandung: Pustaka Grafika, 2006

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1972.

________, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bandung; Bina Cipta, 1975.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994. Mamuji, Sri, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006.


(4)

Mantayborbir, S dan Jauhari, Iman, Hukum Lelang Negara di Indonesia, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003

________, dan Widodo, Agus Hari, Hukum Piutang dan Lelang Negara, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002.

Masjehoen, Sri Soedewi, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty: Yogyakarta, 1975.

Masassya, Elvyn G, Kredit Bermasalah, Penyebab dan Upaya Mengatasinya, Bank dan Manajemen, November, 1994.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

________, Hak Tanggungan, Jakarta:Prenada Media, 2005.

_________, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Jakarta: Kencana, 2005. Mulyono, Eugenia Liliawati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Jakarta: Harvarindo, 2003.

Perangin Angin Effendi, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Sjahdeni, St. Remy, Hak Tanggungan, Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan, Bandung: Alumni, 1999.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984. Soemadiningrat, Otje Salman dan F.S, Anton, Teori Hukum Mengingat,

Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2004. Soewandi, I Made, Kewenangan Balai Lelang Dalam Kredit Macet, Yogyakarta:

Yayasan Gloria, 2005.

Subekti, R, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1978.


(5)

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003. Sutojo, Siswanto, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep, Teknik dan Kasus, Cet I,

Jakarta: PT Gramedia, 1997.

Tiong, Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Wahid, Abdul dan Labib, M, Kejahatan Mayantara, Bandung: Rafika Aditama, 2005. Widiyono, Try, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009.

Wuisman, JJ. M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting Hisyam, M, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Undang-undang tentang Hak Tanggungan, Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang.

Peraturaan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktiva, SK BI No.23/ 12/ BPPP tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktiva.


(6)

Karya Ilmiah

Koosmargono, RMJ,Penjualan Lelang Oleh Balai Lelang Swasta Untuk Mengatasi Kredit Bermasalah, Tesis, Semarang: UNDIP, 2000.

Internet

http://www.lelangsukses.com/page/1/aturan_lelang, Diakses tanggal 5 Agustus 2012. http://www.lelangsukses.com/profile/. Diakses tanggal 5 Agustus 2012.

Komisi Hukum Nasional,

“TeknisPenyelesaianKreditBermasalahMelaluiPendekatanHukum”, <http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=

Artikel&op=detail_artikel&id=28.> Diakses tanggal 25 Juli 2012

“Peraturan Lelang (Vendureglement) dan Kewenangan Notaris Membuat Risalah