Sistematika Penulisan Hukum Kerangka pemikiran

commit to user 11 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion Peter Mahmud Marzuki,2006: 47.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan Hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana Requisitor, Tindak Pidana Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di Lingkungan Rumah Tangga dengan Undang-Undang penghapusan commit to user 12 kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA commit to user 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

a. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota, kabupaten, atau kotamadya. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana. Sedangkan di lingkungan kabupaten atau commit to user 14 kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

b. Jaksa Penuntut Umum

Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan. Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah satu- satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya tergantung pada manusia pelaksana. Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti dan terdakwa dapat dinyatakan bersalah. commit to user 15 Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara

Pidana Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan Undang- undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, disebutkan: Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: 1 Melakukan penuntutan; 2 Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; commit to user 16 3 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4 Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5 Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang : 1 Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2 Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik: 3 Pasal 110 ayat 3 berbunyi: 4 “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum” 5 Pasal 110 ayat 4 berbunyi: 6 “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik” 7 Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 8 Membuat surat dakwaan; 9 Melimpahkan perkara ke pengadilan; commit to user 17 10 Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 11 Melakukan penuntutan; 12 Menutup perkara demi kepentingan hukum; 13 Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; 14 Melaksanakan penetapan hakim. Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Tinjauan tentang Penuntutan

a. Pengertian Penuntutan

Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana Hukum Indonesia, seperti pendapat: commit to user 18 1 Sudarto Djoko Prakoso, 1988 : 25 Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan. 2 Wirjono Prodjodikoro Djoko Prakoso, 1988 : 25 Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. 3 S.M Amin Djoko Prakoso, 1988 : 25 Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim. 4 Martiman Prodjo Hamidjojo Djoko Prakoso, 1988 : 26 Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri. 5 A. Karim Nasution Djoko Prakoso, 1988 : 26 Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk mengajukan tuntutan hukum. Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di bidang penuntutan.

b. Asas-asas Dibidang Penuntutan

Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan, antara lain : 1 Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. commit to user 19 2 Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar hukum, demi kepentingan umum. Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi. Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi. commit to user 20

c. Surat Tuntutan Pidana Requisitor

Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah. Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana” secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana requisitor. Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang pengadilan. Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan penuntut umum berarti mengalami kegagalan. Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan pidana harus memperhatikan: 1 Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis, 2 Harus menggunakan susunan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. commit to user 21 3 Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti, 4 Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya. Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan. Dalam Pasal 182 1 a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut: 1 Pendahuluan Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai. 2 Identitas Terdakwa Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat 2 a KUHAP dengan urutan sebagai berikut: a Nama lengkap. b Tempat lahir. c Umur atau tanggal lahir. d Jenis kelamin. e Kebangsaan; f Tempat tinggal. g Agama. h Pekerjaan. Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang ditulis dalam surat dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru, commit to user 22 apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan pembelaannya. 3 Surat Dakwaan Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda. 4 Hasil Pembuktian Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum, penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian hanya berbentuk alat bukti petunjuk. 5 Barang Bukti Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan. Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 6 Analisis Fakta Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan. Kemudian mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan alat commit to user 23 bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti yang dapat menguatkan pembuktian. 7 Analisis Hukum Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan. 8 Pembuktian Surat Dakwaan Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain : a Surat Dakwaan Tunggal b Surat Dakwaan Berlapis Subsider c Surat Dakwaan Alternatif d Surat Dakwaan Kumulatif e Surat Dakwaan Gabungan f Surat Dakwaan Kombinasi Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan. Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya. commit to user 24

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan

a. Pengertian Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya. Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40. Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP

Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat penegak hukum untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan commit to user 25 sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285 KUHP adalah : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut : 1 Perbuatannya : memaksa; 2 Caranya: a dengan kekerasan; Caranya: b dengan ancaman kekerasan; 3 Seorang perempuan bukan isterinya; 4 Bersetubuh dengan dia Adami Chazawi, 2005 : 63. Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai berikut : 1 Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa dwingen adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri Adami Chazawi, 2005 : 63. Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain” Leden Marpaung, 1996 : 52. Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan commit to user 26 hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri. 2 Kekerasan geweld merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah “suatu cara atau upaya berbuat sifatnya abstrak yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” Adami Chazawi, 2005 : 65. Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan bedreiging met geweld, menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku” Adami Chazawi, 2005 : 65. Antara kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ketidak berdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dalam tindak pidana perkosaan ini dapat terjadi. commit to user 27 3 Mengenai perempuan bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan isterinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami dan isteri dalam perkawinan. 4 Menurut M.H. Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan Leden Marpaung, 1996 : 53. 5 Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.

c. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan ada bermacam-macam, yaitu : 1 Fisik, seperti memukul. 2 Psikologis, seperti mengancam. 3 Seksual, seperti melakukan tindakan memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, baik dengan kekerasan fisik ataupun tidak. 4 Finansial, seperti mengambil uang korban. 5 Spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban. Tindak pidana perkosaan dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri merupakan dimensi kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi : “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : commit to user 28 a Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu”. Bunyi dari Pasal 5 itu sendiri adalah: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : 1 Kekerasan fisik; 2 Kekerasan psikis; 3 Kekerasan seksual; atau 4 Penelantaran rumah tangga. Sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang ini, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Mengenai lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 meliputi : 1 Suami, isteri, dan anak; 2 Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada nomor 1 karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. 3 Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 4 Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan di lingkungan rumah tangga tidak lain merupakan tindakan kekerasan seksual menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan commit to user 29 Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk ketentuan pidananya, dapat dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 tiga puluh enam juta rupiah”. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 empat minggu terus-menerus atau 1 satu tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Demikianlah bunyi Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4. Tinjauan Tentang Rumah Tangga

a. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Sosiologis

Rumah Tangga dalam kosa kata Bahasa Indonesia berarti keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga itu sendiri terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Dalam ilmu sosiologi, keluarga terbentuk karena adanya hasrat yang berdasar naluri kehendak yang di luar pengawasan akal dari semua manusia untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, dimana kehendak tersebut akan memaksa manusia untuk mencari pasangan Hasan Shalidy, 1961 : 33. Sedangkan kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian rumah tangga dalam tinjauan sosiologis adalah kesatuan-kesatuan manusia yang commit to user 30 hidup bersama dalam satu rumah karena adanya hubungan antara mereka, baik hubungan perkawinan antara suami dengan isteri maupun hubungan darah antara orang tua dengan anaknya.

b. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, di dalam Pasal 2 telah dijelaskan mengenai lingkup rumah tanggga. Jadi pengertian rumah tangga dalam tinjauan yuridis mengacu pada lingkup rumah tangga yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu meliputi : 1 Suami, isteri, dan anak; 2 Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam nomor 1 karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau 3 Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dalam ketentuan Undang-undang ini, anak yang dimaksud pada nomor 1 di atas termasuk pula anak angkat dan anak tiri. Mengenai orang yang bekerja sebagaimana dimaksud nomor 3 dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. commit to user 31

B. Kerangka pemikiran

Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran. Keterangan: Ketika mendapat laporan adanya suatu tindak pidana dari masyarakat, Polisi Penyelidik mengadakan kegiatan penyelidikan berupa pencarian saksi-saksi dan pengumpulan barang bukti. Kemudian setelah jelas menemukan siapa pelaku sebagai calon tersangka dan barang bukti menunjukkan bahwa adanya perbuatan yang dilakukan, maka tindakan berikutnya dilakukanlah penyidikan. Dalam tahap penyidikan, Polisi Penyidik melakukan upaya paksa berupa pemanggilan saksi dan terdakwa, mengeluarkan surat perintah penangkapan, penahanan, dan penyitaan barang-barang bukti dimana semua hasil pemeriksaan itu akan tertuang dalam Berita Acara sesuai dengan Pasal 75 KUHAP. Akhirnya Tersangka kasus pemerkosaan dan KDRT Kepolisian Kejaksaan Jaksa peneliti Jaksa penuntut Umum Pengadilan Disparitas Nomor perkara PDM-670 KEPANJEN12-2005 Nomor perkara PDM- 387KEPANJEN05-2006 commit to user 32 hasil dari semua pemeriksaan itu dikumpulkan dalam satu berkas yaitu berkas perkara. Untuk langkah selanjutnya berkas perkara tersebut dikirim ke Kejaksaan yang biasa disebut dengan tahap pra penuntutan. Sebagai tindakan lanjutan, Kepala Kejaksaan Negeri dengan menerima saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum menunjuk Jaksa Peneliti disebut dengan formulir P-16 berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan SPDP dan berkas perkara yang diberikan oleh Polisi Penyidik. Akhirnya Jaksa Peneliti yang telah ditunjuk itulah yang akan melakukan penelitian berkas perkara. Hasil dari penelitian berkas perkara tersebut dapat menunjukkan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. Apabila berkas perkara dinyatakan telah lengkap disebut dengan formulir P-21, Polisi Penyidik melakukan pelimpahan perkara dengan mengirimkan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan. Kemudian ditunjuklah Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Dalam hal ini, penentuan penunjukan Jaksa Peneliti tidaklah selalu menjadi Jaksa Penuntut Umum, hal ini tergantung dari kebijakan Kepala Kejaksaan Negeri. Jadi, dapat diketahui bahwa prosedur pelimpahan perkara kepada Jaksa Penuntut Umum tidaklah ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu sendiri, namun melalui penunjukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum diwajibkan membuat pertimbangan atas rasa keadilan berdasarkan hati nuraninya sendiri, kemudian dikonsultasikan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kasi Pidum selaku penanggung jawab secara yudicial perkara pidana umum, selanjutnya diteruskan pada Kepala Kejaksaan commit to user 33 Negeri Kepanjen sebagai atasan langsung, dan kemudian prosedur administrasinya dilanjutkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya. commit to user 34 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian