commit to user 48
suatu perkara, juga bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat non yudicial dalam bentuk memberi bantuan pada pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk mensosialisasikan pembaharuan hukum, termasuk Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini. Sosialisasi ini dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, yang biasa disebut dengan program Jaksa Masuk Desa. Daerah yang
dikunjungi adalah pedesaan yang rawan kejahatan. Sedangkan untuk daerah perkotaan dilakukanlah penerangan hukum.
Suatu asumsi yang dapat ditarik dalam kasus ini bahwa rasa keadilan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap ancaman pidana bagi pelaku
perkosaan di lingkungan rumah tangga telah dikendalikan secara mantap di bawah bimbingan dan pengawasan yang akurat. Akhirnya adalah suatu
kepuasan bagi Jaksa Penuntut Umum apabila tuntutannya sama atau tidak jauh berbeda dengan putusan Hakim, serta terdakwa maupun korban menyatakan
menerima putusan tersebut.
2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus Nomor
Perkara PDM-70KPJEN12-2005
Dan Nomor
Perkara PDM-
387KPNJEN05-2006.
Implikasi yurudis tentang, Tindakan kejahatan dalam rumah tangga, Merupakan pengaruh kombinasi dan interaksi dari faktor biologis, psikologis,
ekonomi, dan politik seperti riwayat kekerasan, kemiskinan dan konflik bersenjata. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor resiko dan protektif. KDRT
dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, baik di kalangan yang lemah ekonomi atau karena rendahnya pendidikan, maupun keluarga yang sudah
mapan. Sebagian besar KDRT disebabkan karena faktor ekonomi, baik dalam kondisi ekonomi yang sudah mapan atau kuat maupun ekonomi pas-pasan
bahkan lemah. Hal yang membedakan diantara keduanya bahwa dalam hal ekonomi
lemah permasalahannya lebih kepada karena ketidak cukupan penghasilan; sebaliknya dalam hal ekonomi yang sudah mapan atau kuat adalah justru
commit to user 49
karena implikasi dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena pelaku telah memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan. Secara
subjektif KDRT, yang paling banyak terjadi adalah konflik antara suami dan isteri ketimbang kasus orang tua dan anak, majikan dan pembantu, dan bentuk
kasus KDRT yang lain. Akibat yang harus diderita oleh korban KDRT, pada umumnya
mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma, takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila kasusnya
terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, dihukum, danatau memilih dengan perceraian pula.
Kendala-kendala dalam penaganan perkara KDRT : a. Kasus KDRT yang dilaporkan korban ke pihak Kepolisian acapkali ditarik
kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku,
KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga. Korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana.
b. Masih terdapat perbedaan pemahaman dalam penegak hukum terhadap KDRT.
c. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum, sehingga hasil visum menjadi kurang mendukung pembuktian pada proses hukum;
d. Masih lemahnya sosialisasi dan kurangnya penganggaran opresianal e. Masih lemahnya substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 44-Pasal 49 UU PKDDRT. Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan
hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain: a. KDRT merupakan hal yang lumrah terjadi dan merupakan suatu proses
pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak.
b. Adanya harapan KDRT akan berhenti sendiri karena ada rasa cinta dan komitmen pada pasangannya.
commit to user 50
c. Ketergantungan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketergantungan hidup.
d. Demi anak-anak, ini mengakibatkan seorang istri atau ibu enggan untuk melaporkan KDRT tersebut.
e. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman.
f. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Terobosan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang PKDRT tersebut tidak hanya dalam bentuk–bentuk tindak pidananya, tetapi juga dalam
proses beracaranya. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat
bukti petunjuk. Dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik.
Pemberian perlindungan hukum terhadap korban dan saksi telah diatur dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT ini. Juga mengatur sanksi
ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang
mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.
Hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Pasal 50 Undang-Undang tersebut
mengatur: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.” Korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya dapat memohon
penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh
commit to user 51
Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang
beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 tujuh hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut Pasal 28.
Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Pasal 29 Undang-Undang ini mengatur: Permohonan untuk memperoleh surat
perintah perlindungan dapat diajukan oleh: korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani.
Pengaturan perbuatan perkosaan biasa atau yang lebih dikenal dengan hubungan seksual dengan unsure pemaksaan dalam KUHP Indonesia
sangatlah panting, terutama mengenai sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk kasus - kasus perkosaan masih berdasarkan pada Pasal 285 Untuk Pasal 285
KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal perkosaan. Demikian juga untuk Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk pengaturan
incest. Sedangkan bagi Pasal 294 ayat 1 dan Pasal 295 ayat 1 butir 1 masih relevan untuk mengatur incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan
biasa, melainkan menyangkut juga kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi psikologi yang terbentuk.
Adapun implikasi yuridis terhadap perbuatan perkosaan biasa atau yang lebih dikenal dengan hubungan seksual dengan unsur pemaksaan dalam
KUHP Indonesia sangatlah panting, terutama mengenai sanksi–sanksinya. Pengaturan untuk kasus - kasus perkosaan masih berdasarkan pada Pasal 285
Untuk Pasal 285 KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal perkosaan. Demikian juga untuk Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk
pengaturan incest. Sedangkan bagi Pasal 294 ayat 1 dan Pasal 295 ayat 1 butir 1 masih relevan untuk mengatur incest. Kasus incest bukanlah kasus
perkosaan biasa , melainkan menyangkut juga kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi psikologi yang terbentuk.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika Undang-Undang Indonesia memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan biasa. Oleh
karena itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
commit to user 52
Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU PKDRT mengatur pula masalah incest ini yakni pada Pasal 8 huruf a Undang-Undang PKDRT, yang berbunyi :
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan tujuan tertentu
commit to user
53
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan