KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(1)

commit to user

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM- 670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DI KEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

INSAN PANDHU WIRAWAN NIM. E1106029

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Oleh

INSAN PANDHU WIRAWAN NIM. E1106029

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing I

Kristiyadi, S.H., M.Hum. NIP. 19581225198601111001

Surakarta, Maret 2011 Dosen Pembimbing II

Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. NIP. 198210082005011001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN

DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.

DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)

Disusun oleh :

INSAN PANDHU WIRAWAN NIM : E. 1106029

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Selasa

Tanggal : 26 April 2011 TIM PENGUJI

(1) Edy Herdyanto, S.H., M.H :……… Ketua

(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : ……… Sekretaris

(3) Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ... Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. NIP.196109301986011001


(4)

commit to user

iv

HALAMAN MOTO

Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Al-Baqarah :153)

Lupakan tentang konsekuensi dari kegagalan. Kegagalan hanya perubahan arah sementara untuk mengarahkan anda lurus kearah kesuksesan anda.

(Denis Waitley)

Winners see possibilities; Losers see problems. (Anonim)

Orang yang luar biasa hanya percaya pada hal yang mungkin. Orang yang luar biasa mampu menggambarkan dengan jelas banyak hal yang tidak mungkin,

kemudian mengubahnya menjadi mungkin. (Cherie Carterscoot)

What is now proved was once only imagined. (William Blake)

Kegagalan dan kekecewaan adalah sesuatu yang mengajarkan saya tentang kekuatan, optimisme, dan keyakinan untuk saya mampu dan berani mengambil

serta mendapatkan impian saya!. (penulis)


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini saya persembahkan kepada: Allah SWT, yang senantiasa memberikan kenikmatan pada umat-Nya; Bapak Ibu tercinta, adik, kakak saya yang selalu memberi do’a dan kasih sayang; keluarga besarku, dan keluarga besar Bapak Yusuf Sarno, yang selalu memberikan dukungan serta doa. Teman-temanku yang selalu setia; Almamaterku, fakultas hukum UNS


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, puji syukur kepada Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, ridho dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul. KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT

UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI

LINGKUNGAN RUMAH TANGGA (TELAAH PERBANDINGAN KASUS

NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR

PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI

KEPANJEN MALANG)

Penulisan hukum ini membahas mengenai kajian disparitas kontruksi jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntuntan khususnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang di tangani oleh Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama pada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara, dan Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.

3. Bapak Kristiyadi., S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing I Fakultas Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya skripsi ini.


(7)

commit to user

vii

4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II Dosen fakultas Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya skripsi ini.

5. Bapak Adi Sutanto, S.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen, yang telah bersedia memberikan semua bantuan dan arahan kepada saya , untuk menyelesaiakan skripsi ini.

6. Bapak Hayin Suhikto,.S.H., M.H. selaku KASIPIDUM Kejaksaan Negeri Kepanjen., yang telah bersedia memberikan data , informasi, dan atas semua bantuanya untuk menyelesaiakn skripsi ini.

7. Bapak Gaguk Safrudin, S.H., M.Hum selaku KASUBAGBIN Kejaksaan Negeri Kepanjen, yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.

9. Seluruh Staff Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas bantuannya.

10. Seluruh Staf, Karyawan, Kejaksaan Negeri Kepanjen, atas segala bantuanya. 11. Bapak dan Ibu Tercinta, Kakakku Dini, adikku Alya serta keluargaku, yang

telah memberikan segalanya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah Engkau berikan.

12. Mas Adi Dharma.,S.sos, terima kasih atas segala support , inspirasi serta dukungan yang telah diberikan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 13. Buat teman-temanku Irwan , Arip kriting, Doni, dan kopi lambada yang selalu

menjagaku untuk tetap tidak ngantuk, dan semua temanku yang memberi semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skirpsi ini.


(8)

commit to user

viii

14. Gita, makasih banget atas semua apa yang telah kau berikan selama ini, yang telah mengajarkan arti kehidupan untuk saya menyelesaikan skripsi ini dan mimpi saya.

15. Buat teman kampus (Akbar, Wulung, Nusa, Heri, Pras) dan teman-teman lain Fakultas Hukum UNS angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, satpam GD1,2,3. atas bantuannya, dukungan kalian semua untuk saya menyelesaiakan skripsi ini,

16. Teman-temanku Kos El-TOROS. M. Setyo, M Ari, M Adi, Adit, Alim, Hendra, Andona. yang tak pernah malas dan selalu sabar menemani, mendengarkan keluh kesah juga selalu memberi dukungan dan motivasi. 17. Terima kasih buat Armada ku AE 3175 JU,yang selalu setia menghantarkan,

menemani, sewaktu kuliah, kemanapun saya pergi dan sampai sekarang,, jangan pernah lelah.

18. Terima Kasih buat Team Racing Jaran Gibas, buat semua bantuan dan pengalaman hidup.

19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu tersusunnya skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini. skripsi ini.

Surakarta, Maret 2011


(9)

commit to user

ix DAFTAR ISI

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR dan TABEL ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan Skripsi... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori` ... 13

1. Pengertian Kejaksaan ... 13

2. Pengertian Penuntutan ... 17


(10)

commit to user

x

4. Pengertian Rumah Tangga ... 29 B. Kerangka Pemikiran ... 31 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian. ... 34 B. Pembahasan. ... 43

1. Kontruksi Yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam Merumuskan Pasal yang Didakwakan pada Kasus Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga Nomor Perkara 670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara

PDM-387/KPNJEN/05-2006 ... 43 2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus

Nomor Perkara PDM-70/KPJEN/12-2005 Dan Nomor

Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006... 48

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 53 B. Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA... 59


(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR dan TABEL

Gambar Kerangka Pemikiran……… 31

Tabel 1 Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga….……. 43

Tabel 2 Tindak Pidana Perkosaan Biasa………..……. 45

Tabel 3 Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Perkosaan Biasa dan Perkosaan di lingkungan Rumah Tangga….. 46


(12)

commit to user

xii ABSTRAK

Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI

YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN

PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH

TANGGA(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA

PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR PERKARA

PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Skripsi jurusan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret 2011

Perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius, mengingat kasus ini dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama kehidupan kaum perempuan.

Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan Pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan yang didalam perkara Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.Penelitian hukum yang dilakukan penulis menggunakan metode Penelitian hukum masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Kajian Kontruksi Disparitas Hukum Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga Tahun 2004, itu sendiri meliputi dasar pertimbangan yuridis dan dasar pertimbangan sosiologis. Yang dimaksud dengan dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan yang berdasar pada ketentuan Undang-undang, yang meliputi pertimbangan yuridis secara formil dan pertimbangan yuridis secara materiil. Sedangkan dasar pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang berdasar pada perasaan dan hati nurani seorang jaksa untuk melakukan penuntutan demi mencerminkan keadilan.

Mengenai pertimbangan penuntutan yuridis secara formil mengacu pada ketentuan Pasal 183 Jo. 184 KUHAP mengenai pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sedangkan pertimbangan penuntutan yuridis secara materiil akan melihat pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam pemeriksaan di persidangan.Pertimbangan yuridis secara materiil, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku perkosaan di lingkungan rumah tangga pada kasus di atas adalah mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan untuk pertimbangan sosiologis meliputi sikap batin, perasaan dan penilaian Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa di muka persidangan. Kata Kunci : disparitas, kontruksi, hukum,yuridis, KDRT


(13)

commit to user

xiii ABSTRACT

Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 JURIDICIAL CONSTRUCTION OF

THE DISPARITY STUDY PUBLIC PROSECUTOR IN

ENVIRONMENTAL RAPE LAWSUIT HOUSEHOLD (CASE NO COMPARISON REVIEW PDM-387/KPNJEN/05-2006 ISSUES AND CASE NUMBER PDM-670/KPJEN/12-2005. STATE DIKEJAKSAAN KEPANJEN MALANG) majors Thesis Faculty of Law, University Eleven March 2011

Rape has become one of the types of sexual crimes that require serious attention, since these cases can lead to problems komplikatif (serious and diverse) in the life of society, especially the lives of women.

How yurisdis construction of prosecutors in the formulation of Article which indicted in the case of PDM-case No. 670 / KAPANJEN/12-2005 and case No. PDM-387/KEPANJEN/05-2006 and How Juridical implications of construction claims in case No. PDM-387 / KEPANJEN/05-2006 and Case Number PDM-670/KEPANJEN/12-2005. Legal research conducted legal research methods writers enter into doctrinal research because it is perskriptif scientific law which saw law as a social norm rather than social phenomena (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33). a process to find the rule of law, legal principles , as well as legal doctrine in order to answer the legal issues at hand.

The results of this study are as follows Disparity Study Construction Law prosecutor in the prosecution of using the draft Penal Code and the Elimination of Domestic Violence in 2004, itself covers basic considerations juridical and sociological considerations. The meaning of basic juridical considerations are considerations based on the provisions of the Act, including consideration of a formal juridical and legal considerations materially. While the basic sociological considerations are considerations based on the feelings and conscience of a prosecutor to conduct the prosecution in order to reflect justice.

Regarding consideration of a formal judicial prosecution refers to the provisions of Article 183 Jo. 184 Criminal Procedure Code regarding verification by at least two valid evidence. While juridical considerations materially prosecution will look at the elements of the offenses charged in the investigation at persidangan.Pertimbangan juridical materially, the Public Prosecutor in conducting criminal charges against perpetrators of rape in the household environment in case the above is referring to Act Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. As for the sociological considerations include inner attitudes, feelings and assessment of the Public Prosecutor against the accused in a court.


(14)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya, yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka hukum adalah sama.

Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana. Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.

Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT.

Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus perkosaan sudah memasuki tahap yang memprihatinkan. Betapa tidak, tindak


(15)

commit to user

pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.

Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi 14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan, Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau pemerintah bertindak (The Jakartapost; Wednesday, March 9, 2005).

Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka. Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya, relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau individu lain dan negara.

Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.


(16)

commit to user

Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (Ita F.Nadia;1998:2). Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu rumah tangga.

Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (hukum pidana).

Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan, maka pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dapat dikenai


(17)

commit to user

hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak semata-mata


(18)

commit to user

merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang PKDRT). meski demikian lahirnya Undang-Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala yang dihadapinya.

Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT, seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih penyelesaian secara perdata karena prosesnya cepat.


(19)

commit to user

Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat kasus-kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta, sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut.

Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.

B. Rumusan Masalah

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 ?


(20)

commit to user

2. Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan dalam perkara Nomor 387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Guna mengetahui prosedur penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses perkara pidana khususnya tindak pidana perkosaan di lingkungan rumah tangga.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pentingnya hal perumusan pasal bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci akurat dan aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara praktis berwujud aktual maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

a. Dapat mengembangkan penelitian tentang kajian disparitas jaksa penuntut umum pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti.

b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan sebagai salah satu sumber bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan telah ditetapkan.

b. Memberikan input atau bahan pertimbangan bagi lembaga kejaksaan khususnya Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil pemerintah yang bersifat


(21)

commit to user

signifikan dan konstruktif dalam memberikan tuntutan terhadap tersangka pemerkosaan dilingkungan rumah tangga, Di Kejaksaan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang.

E. Metode Penelitian

H.J van Eikema Homes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki menyatakan dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa yang dikemukakakan mengindentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud Marzuki,2006:11). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode antara lain sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:

a. Doctrinal Research. b. Reform-oriented Research. c. Theoretical Research.

d. Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki,2006:32-33).

Ketiga tipe Penelitian hukum yang dikemukakan Hutchison yaitu Doctrinal Research, Reform-oriented Research, dan Theoretical Research, menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32-33).

Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).


(22)

commit to user 2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum , konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,2006: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).

b. Pendekatan kasus (Case Approach).

c. Pendekatan Historis ( Historical Approach).

d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).

e. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki,2006: 93-94).

Berdasarkan kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case Approach). dan Pendekatan Perundang- undangan (Statute Approach).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis bahan hukum sebagai titik tolak peneliti adapun bahan hukum tersebut meliputi :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan tuntutan-tuntutan Jaksa. Penelitian hukum ini menggunakan kajian konstruksi disparitas hukum, jaksa penuntut umum dalam penuntutan kasus


(23)

commit to user

Perkosaan Dalam Rumah Tangga dengan bahan hukum dari Tuntutan Nomor Perkara: 387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT) di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas kajian kontruksi disparitas oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara nomor: PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. Dalam hal ini penulis mengunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal hukum dari dalam maupun luar negeri, hasil-hasil penelitian hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki,2006: 141).

5. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan teknik studi pustaka, studi literatur, yang terkait perkara Perkosaan Dalam Rumah Tangga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT). Dalam hal ini penulis melakukan penelitian pada perkara nomor: PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang. Selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Tehnik Analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan.


(24)

commit to user

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,2006: 47).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana (Requisitor), Tindak Pidana Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di Lingkungan Rumah Tangga dengan Undang-Undang penghapusan


(25)

commit to user

kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.


(26)

commit to user

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

a. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota, kabupaten, atau kotamadya.

Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana. Sedangkan di lingkungan kabupaten atau


(27)

commit to user

kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

b. Jaksa Penuntut Umum

Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.

Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah satu-satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya tergantung pada manusia pelaksana.

Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti dan terdakwa dapat dinyatakan bersalah.


(28)

commit to user

Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara

Pidana

Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, disebutkan:

Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: 1) Melakukan penuntutan;

2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;


(29)

commit to user

3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang :

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik:

3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:

4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum”

5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:

6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik”

7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

8) Membuat surat dakwaan;


(30)

commit to user

10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

11) Melakukan penuntutan;

12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;

13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

14) Melaksanakan penetapan hakim.

Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Tinjauan tentang Penuntutan

a. Pengertian Penuntutan

Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana Hukum Indonesia, seperti pendapat:


(31)

commit to user 1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan. 2) Wirjono Prodjodikoro (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

3) S.M Amin (Djoko Prakoso, 1988 : 25)

Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim. 4) Martiman Prodjo Hamidjojo (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri.

5) A. Karim Nasution (Djoko Prakoso, 1988 : 26)

Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di bidang penuntutan.

b. Asas-asas Dibidang Penuntutan

Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan, antara lain :

1) Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.


(32)

commit to user

2) Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar hukum, demi kepentingan umum.

Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”

Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.

Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi.


(33)

commit to user

c. Surat Tuntutan Pidana (Requisitor)

Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.

Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah.

Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana” secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana (requisitor).

Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang pengadilan.

Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan penuntut umum berarti mengalami kegagalan.

Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan pidana harus memperhatikan:

1) Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis,


(34)

commit to user

3) Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti,

4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.

Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan. Dalam Pasal 182 (1) a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut:

1) Pendahuluan

Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai.

2) Identitas Terdakwa

Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai berikut:

a) Nama lengkap. b) Tempat lahir.

c) Umur atau tanggal lahir. d) Jenis kelamin.

e) Kebangsaan; f) Tempat tinggal. g) Agama.

h) Pekerjaan.

Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang ditulis dalam surat dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru,


(35)

commit to user

apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan pembelaannya.

3) Surat Dakwaan

Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda.

4) Hasil Pembuktian

Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum, penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian hanya berbentuk alat bukti petunjuk.

5) Barang Bukti

Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan. Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

6) Analisis Fakta

Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan. Kemudian mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan alat


(36)

commit to user

bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti yang dapat menguatkan pembuktian.

7) Analisis Hukum

Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan.

8) Pembuktian Surat Dakwaan

Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain : a) Surat Dakwaan Tunggal

b) Surat Dakwaan Berlapis (Subsider) c) Surat Dakwaan Alternatif

d) Surat Dakwaan Kumulatif e) Surat Dakwaan Gabungan f) Surat Dakwaan Kombinasi

Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan.

Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya.


(37)

commit to user

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan

a. Pengertian Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.

Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40).

Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP

Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat penegak hukum untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan


(38)

commit to user

sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285 KUHP adalah :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut :

1) Perbuatannya : memaksa; 2) Caranya: (a) dengan kekerasan;

Caranya: (b) dengan ancaman kekerasan; 3) Seorang perempuan bukan isterinya;

4) Bersetubuh dengan dia (Adami Chazawi, 2005 : 63).

Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai berikut :

1) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri (Adami Chazawi, 2005 : 63). Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain” (Leden Marpaung, 1996 : 52). Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan


(39)

commit to user

hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.

2) Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah “suatu cara atau upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” (Adami Chazawi, 2005 : 65). Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku” (Adami Chazawi, 2005 : 65).

Antara kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ketidak berdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dalam tindak pidana perkosaan ini dapat terjadi.


(40)

commit to user

3) Mengenai perempuan bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan isterinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami dan isteri dalam perkawinan.

4) Menurut M.H. Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan (Leden Marpaung, 1996 : 53).

5) Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.

c. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan ada bermacam-macam, yaitu :

1) Fisik, seperti memukul.

2) Psikologis, seperti mengancam.

3) Seksual, seperti melakukan tindakan memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, baik dengan kekerasan fisik ataupun tidak.

4) Finansial, seperti mengambil uang korban.

5) Spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban.

Tindak pidana perkosaan dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri merupakan dimensi kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi : “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :


(41)

commit to user

a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu”.

Bunyi dari Pasal 5 itu sendiri adalah: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

1) Kekerasan fisik; 2) Kekerasan psikis; 3) Kekerasan seksual; atau 4) Penelantaran rumah tangga.

Sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang ini, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Mengenai lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 meliputi :

1) Suami, isteri, dan anak;

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada nomor (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

4) Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan di lingkungan rumah tangga tidak lain merupakan tindakan kekerasan seksual menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


(42)

commit to user

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk ketentuan pidananya, dapat dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Demikianlah bunyi Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4. Tinjauan Tentang Rumah Tangga

a. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Sosiologis

Rumah Tangga dalam kosa kata Bahasa Indonesia berarti keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga itu sendiri terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Dalam ilmu sosiologi, keluarga terbentuk karena adanya hasrat yang berdasar naluri (kehendak yang di luar pengawasan akal) dari semua manusia untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, dimana kehendak tersebut akan memaksa manusia untuk mencari pasangan (Hasan Shalidy, 1961 : 33). Sedangkan kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian rumah tangga dalam tinjauan sosiologis adalah kesatuan-kesatuan manusia yang


(43)

commit to user

hidup bersama dalam satu rumah karena adanya hubungan antara mereka, baik hubungan perkawinan antara suami dengan isteri maupun hubungan darah antara orang tua dengan anaknya.

b. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, di dalam Pasal 2 telah dijelaskan mengenai lingkup rumah tanggga. Jadi pengertian rumah tangga dalam tinjauan yuridis mengacu pada lingkup rumah tangga yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu meliputi :

1) Suami, isteri, dan anak;

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam nomor (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Dalam ketentuan Undang-undang ini, anak yang dimaksud pada nomor (1) di atas termasuk pula anak angkat dan anak tiri. Mengenai orang yang bekerja sebagaimana dimaksud nomor (3) dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.


(44)

commit to user

B. Kerangka pemikiran

Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran. Keterangan:

Ketika mendapat laporan adanya suatu tindak pidana dari masyarakat, Polisi Penyelidik mengadakan kegiatan penyelidikan berupa pencarian saksi-saksi dan pengumpulan barang bukti. Kemudian setelah jelas menemukan siapa pelaku sebagai calon tersangka dan barang bukti menunjukkan bahwa adanya perbuatan yang dilakukan, maka tindakan berikutnya dilakukanlah penyidikan.

Dalam tahap penyidikan, Polisi Penyidik melakukan upaya paksa berupa pemanggilan saksi dan terdakwa, mengeluarkan surat perintah penangkapan, penahanan, dan penyitaan barang-barang bukti dimana semua hasil pemeriksaan itu akan tertuang dalam Berita Acara sesuai dengan Pasal 75 KUHAP. Akhirnya

Tersangka kasus pemerkosaan dan

KDRT

Kepolisian

Kejaksaan Jaksa peneliti

Jaksa penuntut Umum

Pengadilan Disparitas

Nomor perkara PDM-670/ KEPANJEN/12-2005 Nomor perkara PDM- 387/KEPANJEN/05-2006


(45)

commit to user

hasil dari semua pemeriksaan itu dikumpulkan dalam satu berkas yaitu berkas perkara.

Untuk langkah selanjutnya berkas perkara tersebut dikirim ke Kejaksaan yang biasa disebut dengan tahap pra penuntutan. Sebagai tindakan lanjutan, Kepala Kejaksaan Negeri dengan menerima saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum menunjuk Jaksa Peneliti (disebut dengan formulir P-16) berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) dan berkas perkara yang diberikan oleh Polisi Penyidik. Akhirnya Jaksa Peneliti yang telah ditunjuk itulah yang akan melakukan penelitian berkas perkara. Hasil dari penelitian berkas perkara tersebut dapat menunjukkan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. Apabila berkas perkara dinyatakan telah lengkap (disebut dengan formulir P-21), Polisi Penyidik melakukan pelimpahan perkara dengan mengirimkan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan. Kemudian ditunjuklah Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Dalam hal ini, penentuan penunjukan Jaksa Peneliti tidaklah selalu menjadi Jaksa Penuntut Umum, hal ini tergantung dari kebijakan Kepala Kejaksaan Negeri.

Jadi, dapat diketahui bahwa prosedur pelimpahan perkara kepada Jaksa Penuntut Umum tidaklah ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu sendiri, namun melalui penunjukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum diwajibkan membuat pertimbangan atas rasa keadilan berdasarkan hati nuraninya sendiri, kemudian dikonsultasikan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) selaku penanggung jawab secara yudicial perkara pidana umum, selanjutnya diteruskan pada Kepala Kejaksaan


(46)

commit to user

Negeri Kepanjen sebagai atasan langsung, dan kemudian prosedur administrasinya dilanjutkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.


(47)

commit to user

34 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Berdasarkan studi kasus bahan hukum yang dilakukan peneliti, berikut ini merupakan paparan kasus posisi dan obyek yang diteliti.

1. Perkosaan Biasa (Pasal 285 KUHP)

Sebelum mengetahui dasar pertimbangan tuntutan jaksa dalam kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga, sebagai bahan perbandingan akan dipaparkan sebuah contoh kasus mengenai perkosaan biasa sesuai dengan Pasal 285 KUHP dengan berkas perkara NO. POL : BP/153/X/2005/POLRES yang telah diproses di Kejaksaan Negeri Kepanjen sebagai berikut:

Contoh Kasus :

1) Mbah Sardi, umur 65 tahun, beralamat di Dsn. Banuroto RT 22/06 Ds. Sempol Kec. Pagak Kabupaten Malang. Bahwa korban membuat laporan kepada pihak Kepolisian Resort Malang Sektor Pagak dengan Nomor. Pol : K/LP/43/X/2005/SERSE, tanggal 1 Oktober 2005 mengaku telah diperkosa oleh Paijo, berumur 44 tahun, pekerjaan buruh tani, beralamat di Dsn. Banduharjo RT 61/14 Ds. Sumber petung Kec. Pagak Kabupaten Malang.

2) Perkosaan ini terjadi pada hari Sabtu, tanggal 1 Oktober 2005 sekitar Pukul 22.00 WIB di kamar rumah korban Mbah Sardi. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku dengan cara tubuh korban dipeluk, kemudian leher korban dicekik dan mulutnya dibekap dengan menggunakan tangan. Kemudian tubuh korban dirobohkan ke lantai dan kepala korban dijepit diantara dipan dan lemari sampai akhirnya korban diperkosa hingga kemaluan tersangka mengeluarkan sperma.

3) Saat dilakukan perkosaan korban mengalami sakit pada kemaluannya hingga kemaluannya mengeluarkan darah. Karena usianya yang sudah tua, korban merasa tubuhnya sangat lemas atas peristiwa yang telah terjadi padanya.


(48)

commit to user

4) Pelaku melakukan perkosaan dengan kekerasan dan setelah puas pelaku melarikan diri sampai akhirnya berhasil ditangkap oleh petugas dari Polsek Pagak.

Dari kasus posisi di atas dapat diketahui bahwa pelaku Paijo telah melanggar Pasal 285 KUHP.

1) Pertimbangan Yuridis

Sebelum melakukan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum diharuskan membuat surat dakwaan. Untuk membuat surat dakwaan, seorang jaksa mengacu pada fakta di berkas perkara dari penyidik. Hal inilah yang membedakan surat dakwaan dengan surat tuntutan, karena dalam surat tuntutan seorang jaksa mengacu pada fakta di persidangan.

Pada kasus ini, Jaksa Penuntut Umum Nunung Nuraini membuat surat dakwaan dalam bentuk primair subsidair (berlapis). Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari tuntutan atau jeratan hukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam perkara ini, surat dakwaan dengan Nomor. Reg. Perkara : PDM-670/KPJEN/12.2005 menggunakan dakwaan primair subsidair, yaitu :

Dakwaan primair : Melanggar pasal 285 KUHP Dakwaan subsidair : Melanggar pasal 289 KUHP

Selanjutnya setelah melalui proses persidangan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan baik dari keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, keterangan terdakwa, petunjuk, bukti surat/keterangan dokter dalam Visum et Repertum dan dikaitkan pula dengan barang bukti, setelah dihubung-hubungkan dengan substansi peristiwanya, akhirnya dakwaan primair dinyatakan telah terbukti oleh Jaksa Penuntut Umum Nunung Nuraini, dimana unsur-unsur dari dakwaan primair itu sendiri adalah :

a) Perbuatannya : memaksa,

b) Caranya: (1) dengan kekerasan, Caranya: (2) ancaman kekerasan, c) Seorang perempuan bukan isterinya,


(1)

commit to user

53 BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kontruksi hukum penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum

dalam proses perkara kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga dan perkosaan biasa pada Nomor Perkara PDM-670/KPJEN/12-2005 Dan Nomor Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006. Untuk ancaman pidana antara pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Pasal 285 KUHP tetap memiliki kesamaan yaitu paling lama 12 tahun. Namun dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga dialternatifkan dengan pidana denda paling banyak Rp. 36.000.000,- sedangkan dalam KUHP tidak. Disinilah letak perbedaan kedua peraturan perundang-undangan di atas dalam hal pemidanaan. Meskipun dalam kenyataannya, menurut Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus ini untuk pidana denda ini belum pernah diterapkan kepada terdakwa kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga yang pernah ditangani di Kejaksaan Negeri Kepanjen dikarenakan alasan keadaan ekonomi terdakwa yang tidak memungkinkan untuk dikenakan pidana denda tersebut. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berpihak pada kelompok rentan khususnya kaum perempuan merupakan wujud dari pembaharuan hukum dalam menangani tindak pidana kesusilaan di lingkungan rumah tangga, sehingga sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, misalnya sesuai dengan kasus pada permasalahan di atas, KUHP hanya mengatur mengenai perkosaan,


(2)

commit to user

yang menetap di dalam satu rumah bersama pelaku.

2. Implikasi yuridis yang di akibatkan dalam kasus ini dengan menerapkan

sangsi hukum yang setimpal kepada pelaku sebagaimana yang dituntutkan jaksa penuntut umum pada kasus perkosaan biasa dan dilingkungan rumah tangga pada Nomor Perkara PDM-670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006. Dasar hukum kontruksi bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga meliputi pertimbangan yuridis baik secara formil maupun secara materiil dan pertimbangan sosiologis. Adapun pertimbangan yuridis secara formil, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan selalu mengacu kepada ketentuan Pasal 183 Jo. 184 KUHAP mengenai pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pertimbangan yuridis secara materiil, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku perkosaan di lingkungan rumah tangga pada kasus di atas adalah mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(3)

commit to user

B. Saran

Disamping dirumuskan simpulan, penulis memandang perlu menyampaikan saran berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas, yaitu :

1. Kepada Jaksa Penuntut Umum selaku wakil dari Pemerintah dalam melakukan

penuntutan diharapkan dapat benar-benar memperhatikan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Selain itu Sejak diundangkannya Undang-undang

No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Hal ini muncul karena di masa lalu, khususnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana, muncul berbagai kritikan terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia. Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak


(4)

commit to user

memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Dasar filosofis pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian sejauh mana perlindungan korban kejahatan di Indonesia telah diterapkan.

Adapun hak-hak korban yang harus diperhatikan dalam kasus perkosaan biasa dan kasus perkosaan di lingkungsn rumah tangga, korban berhak mendapatkan

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan pengadilan,

advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah dari pengadilan.

b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis.

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengankerahasian korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkatan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang undangan

e. Pelayanan bimbingan rohani. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang

dimaksud dengan:

1) Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban

kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis

2) Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang

meliputipelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.


(5)

commit to user

3) Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling terapi

psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani guna penguatan korban KDRT untuk menyelesaikan permasalahannya yang dihadapi.

4) kerjasama adalah cara sistematis dan terpadu antar penyelenggara

pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk pemulihan korban KDRT.

5) Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja

sosial, relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani.

6) Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di

bidang pemberdayaan perempuan.

2. Seharusnya pihak yang berwenang dalam kasus ini melakukan sosialisasi

terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga kepada seluruh lapisan masyarakat tentang pentingnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Apabila terjadi tindak pidana kekerasan di lingkungan rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, ataupun penelantaran rumah tangga untuk sesegera mungkin melaporkan kepada pihak yang berwajib.

3. Kepada pihak pemerintah pusat yang membuat peraturan

perundang-undangan, perlunya mengadakan evaluasi dan revisi mengenai amandemen Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya pada Pasal 46, 47 dan 48 menyangkut ancaman pidana denda yang bersifat alternatif, dimana sebaiknya ancaman pidana denda harus bersifat kumulatif. Sehingga kepada pelaku tindak kekerasan seksual dalam rumah tangga pada umumnya, dan tindak pidana perkosaan dalam rumah tangga pada khususnya, tidak hanya dikenakan pidana berupa kurungan badan akan tetapi juga kepadanya dibebankan denda yang diberikan kepada pihak korban.

4. Pentinganya memberikan perluasan makna mengenai definisi lingkup rumah

tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana disebutkan disana Suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan


(6)

commit to user

dalam rumah tangga; atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Tetapi tidak disebutkan apabila pelaku dan korban masih memiliki hubungan darah namun tidak tinggal dalam satu rumah, sehingga ketentuan ini tidak berlaku baginya karena lingkup rumah tangga yang didefinisikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 masih memiliki kekurangan.