commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum
dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu
dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya, yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka hukum adalah sama.
Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disingkat
KUHAP, dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil
memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana.
Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak- tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah
satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang
diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT. Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus
perkosaan sudah memasuki tahap yang memprihatinkan. Betapa tidak, tindak
commit to user 2
pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama
dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari
berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.
Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah
menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi 14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan,
Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau
pemerintah bertindak The Jakarta post; Wednesday, March 9, 2005.
Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender
dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin seks mereka.
Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan
budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti
rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya, relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan
domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau individu lain dan negara.
Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan
peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan yang menimbulkan pandangan
dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
commit to user 3
Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi
tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan
aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini
dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum
pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah
dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia Ita F.Nadia;1998:2. Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan
terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani pihak luar karena dianggap sebagai urusan internal suatu
rumah tangga. Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan
rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup
hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara
melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Undang- Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik hukum pidana. Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga
di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang
Perkawinan, maka pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dapat dikenai
commit to user 4
hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang
mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke
pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa
karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan
terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik
tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah
pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan
hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan
praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang
telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak semata-mata
commit to user 5
merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata
menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang PKDRT. meski demikian lahirnya Undang-
Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan
keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih
menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka
pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam
masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota
masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat
berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala yang dihadapinya.
Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan
korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui
penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian
kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT,
seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan
hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih penyelesaian secara perdata karena prosesnya cepat.
commit to user 6
Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat kasus-
kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta, sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang
masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual
mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan
tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan
tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang
karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut. Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan
hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang
cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan
praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.
B. Rumusan Masalah