UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kristal dengan ukuran yang lebih kecil dapat disitribusikan secara homogen selama pembentukan droplet organik pada emulsi. Obat hidrofilik cisplatin,
doxorubicin telah dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam enkapsulasi obat hidrofilik adalah kehilangan obat pada fase kontinyu eksternal
selama pembentukan mikropartikel. Adanya kehilangan obat pada fase eksternal menyebabkan sisa obat akan bermigrasi ke permukaan droplet sebelum proses
pemadatan. Untuk meminimalisisr masalah ini, droplet organik perlu dipadatkan menjadi mirkopartikel secepat mungkin Thies, 1992 dalam Muhaimin, 2013.
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan larutan organik polimer yang kental dan meningkatkan volume sekunder air sehingga dapat menarik pelarut organik
menuju fase encer dengan cepat. Setelah itu terbentuk mikropartikel dengan obat yang telah terenkapsulasi di dalamnya. Fase dispersi yang kental dapat
mengurangi volume pelarut organik, memfasilitasi penghilangan pelarut organik secara cepat dari droplet, juga dapat menghalangi partikelkristal obat padat untuk
berpindah ke permukaan. Hal ini mengakibatkan distribusi obat dalam partikel menjadi lebih homogen Muhaimin, 2013.
Alternatif lain untuk mengenkapsulasi obat hidrofilik adalah dengan menggunakan proses emulsi air-minyak-air gambar 4. Larutan encer obat
ditambahkan pada fase organik yang mengandung polimer dan pelarut organik dengan pengadukan untuk membentuk emulsi pertama yaitu emulsi minyak dalam
air. Emulsi ini kemudian didispersikan ke fase kontinyu yang mengandung surfaktan untuk membentuk emulsi kedua yaitu emulsi airminyakair. Beberapa
obat hidrofilik seperti peptida leuprolida asetat Okada, 1994; Toguchi, 1992, vaksin Azevedo et al., 2006; Feng et al., 2006; Little et al., 2005; OHagan et
al., 1991; Singh, 1995;, proteinpeptida dan molekul konvensional telah berhasil dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam tipe emulsi ini
terjadi ketika emulsi dalam tidak stabil sehingga menyebabkan kehilangan droplet encer yang mengandung obat menuju fase kontinyu. Pemilihan surfaktan yang
dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi terbatas pada material yang akan terlarut dalam pelarut organik. Biasanya ester asam lemak dari polioksietilen atau
sorbiton digunakan untuk obat dengan kelarutan tinggi pada pelarut organik dan memiliki kompatibilitas biologi yang baik Muhaimin, 2013.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.4. Skema empat proses utama pada proses penguapanekstraksi pelarut
AirMinyakAir
sumber : Muhaimin, 2013
2.3. Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut
Pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut memerlukan beberapa bahan dan kondisi agar mikropartikel yang dihasilkan
memiliki karakteristik yang ditargetkan.
2.3.1. Material
Material yang digunakan pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase dispersi dan fase kontinyu.
2.3.1.1. Fase Dispersi
Fase disperse pada metode ini terdiri dari polimer, pelarut dan komponen lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti agar mikropartikel yang terbentuk sesuai
dengan yang ditargetkan.
a. Polimer
Metode pembuatan mikropartikel adalah faktor penting dalam enkapsulasi dan pelepasan obat. Penyiapan bahan termasuk tipe polimer, berat polimer,
komposisi kopolimer, sifat eksipien yang ditambahkan pada formula mikropartikel, dan ukuran mikropartikel dapat berpengaruh besar pada kecepatan
penghantaran obat Muhaimin, 2013. Tipe dan mekanisme polimer degradasi dapat mempengaruhi kecepatan
pelepasan. Berdasarkan kecepatan terhidrolisis pada gugus fungsional, polimer dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu surface eroding pengikisan
permukaan dan bulk eroding pengikisan bulk Burkersroda et al., 2002; Kang et al., 2012; Kumar et al., 2002; Tabata et al., 1993; Tamada and Langer, 1993;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wagdare et al., 2011 dalam Muhaimin, 2013. Polimer tipe pengikisan bulk seperti PLG, dapat menyebar pada air kemudian menjadi matriks polimer dan
terdegradasi pada seluruh matriks mikropartikel. Berbeda dengan polimer pengikisan permukaan seperti polianhidrida yang mengandung monomer
hidrofobik dengan ikatan lemah. Tipe polimer ini mencegah agar air tidak berpenetrasi ke dalam polimer bulk, dimana akan terdegradasi secara cepat
menjadi oligomer dan monomer pada interfase polimerair melalui proses hidrolisis Saltzman, 2001 Muhaimin, 2013.
Mikropartikel polimer pengikisan bulk sering terjadi obat pecah sebesar 50 dari total obat yang terdapat dalam mikropartikel tersebut O’Donnell and
McGinity, 1997 dalam Muhaimin, 2013. Pelepasan obat terjadi selama inkubasi pada beberapa jam pertama, diikuti dengan difusi pelepasan obat terkontrol secara
pelan dan kadang-kadang fase ketiga dimana obat tersisa akan dilepaskan secara cepat. Hal ini terjadi akibat degradasi matriks polimer yang parah. Pada
mikropartikel yang mengandung polimer pengikisan permukaan, obat dilepaskan pada permukaan ketika polimer pecah. Erosi pada polimer ini umumnya terjadi
dengan kecepatan konstan Gopferich and Langer, 1993; Kanjickal et al., 2004 Muhaimin, 2013. Apabila obat yang diinginkan terdispersi secara homogen
dalam mikropartikel, kecepatan pelepasan yang tinggi akan terjadi pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, area permukaan sferis dan kecepatan pelepasan akan
menurun secara asimtomatis Muhaimin, 2013. Polimer dengan berat molekul besar dapat mempengaruhi degradasi
polimer dan kecepatan pelepasan obat. Peningkatan berat molekul dapat menurunkan kemampuan difusi dan mengurangi kecepatan pelepasan obat
Alonso et al., 1994; Katou et al., 2008; Le Corre et al., 1994; Liggins and Burt, 2001; Mabuchi et al., 1994; Yang et al., 2001dalam Muhaimin, 2013.
Mekanisme utama pelepasan obat adalah difusi melalui pori yang terisi air. Degradasi polimer menghasilkan monomer dan oligomer yang larut sehingga
dapat berdifusi keluar dari partikel. Produk yang lebih kecil akan dihasilkan oleh degradasi cepat dari polimer dengan berat molekul yang lebih rendah. Penurunan
kecepatan pelepasan yang sejalan dengan kenaikan berat molekul polimer digunakan untuk molekul kecil, peptida dan protein Blanco and Alonso, 1998;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mehta et al., 1996 dalam Muhaimin, 2013. Akan tetapi pada mikrosfer polianhidrida polimer tipe pengikisan permukaan, berat molekul hanya
memberikan efek kecil pada pelepasan obat Hanes et al., 1996; Tabata and Langer, 1993dalam Muhaimin, 2013. Rasio kopolimer pada berbagai kopolimer
juga dapat memberikan efek pada kecepatan pelepasan. Selain itu peningkatan bahan yang dapat mempercepat degradasi monomer dapat meningkatkan
kecepatan pelepasan Lin et al., 2000; Shen et al., 2002; Spenlehauer et al., 1989 dalam Muhaimin, 2013. Ketika pelepasan obat dikontrol dengan polimer
pengikis, kecepatan pelepasan dapat meningkat sejalan dengan tingginya konsentrasi monomer yang larut atau monomer yang lebih kecil Tabata and
Langer, 1993 dalam Muhaimin, 2013. Efek komposisi polimer dapat menjadi kompleks dengan adanya perbedaan fase polimer atau termodinamik obat yang
terenkapsulasi Kipper et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013.
b. Pelarut
Sifat pelarut yang sesuai digunakan dalam pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah dapat melarutkan polimer yang
digunakan, sedikit larut pada fase kontinyu, volatilitas tinggi, titik didih rendah, dan toksisitas rendah Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013
Sebelumnya kloroform sering digunakan, akan tetapi karena toksisitas dan tekanan uap yang rendah, pelarut ini digantikan oleh diklorometan. Diklorometan
metilen klorida adalah pelarut yang paling banyak digunakan untuk enkapsulasi menggunakan metode penguapan pelarut karena volatilitas yang tinggi, titik didih
rendah dan ketidakbercampuran dengan air yang tinggi Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013.
Selain itu etil asetat juga berpotensi digunakan karena memiliki toksisitas yang lebih rendah dari diklorometan. Akan tetapi kebercampuran parsial etil asetat
dalam air 4,5 kali lebih tinggi dari diklorometan, mikrosfer tidak dapat terbentuk apabila fase terdispersi dikenali secara langsung oleh fase kontinyu. Ekstraksi
mendadak etil asetat dari fase terdispersi menyebabkan polimer terpresipitasi menjadi serat seperti aglomerat Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013.
Guna menyelesaikan masalah ketercampuran pelarut dengan air dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan tiga metode,yaitu larutan encer dijenuhkan terlebih dahulu dengan pelarut Bahl and Sah, 2000 dalam Muhaimin, 2013. Metode kedua dengan
mengemulsifikasikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer. Setelah pembentukan droplet, emulsi ini dimasukan ke dalam larutan encer dalam jumlah
besar Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013. Metode terakhir adalah mengemulsikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer kemudian larutan
diagitasi dan pelarut menguap sehingga terjadi pemadatan mikrosfer Sah, 1997 dalam Muhaimin, 2013.
Kesimpulannya, pelarut dengan toksisitas rendah telah diuji dan menunjukan bahwa pelarut tersebut dapat digunakan untuk pembuatan
mikropartikel. Akan tetapi belum ada hasil yang cukup untuk membandingkan kualitas mikrosfer dengan pelarut yang berbeda. Diklorometan masih menjadi
pelarut yang paling banyak digunakan karena cepat menguap, efisiensi enkapsulasi obat tinggi, menghasilkan bentuk mikrosfer yang sferis dan lebih
seragam Muhaimin, 2013.
c. Komponen Lain
Pada beberapa kasus, bahan lain yang ditambahkan pada fase dispersi seperti kosolven dan generator penyerap Muhaimin, 2013. Kosolven digunakan
untuk melarutkan obat yang tidak larut dalam pelarut pada fase dispersi Graves et al., 2006; Hsu and Lin, 2005; Li et al., 2008; Luan et al., 2006; Reithmeier et
al., 2001 dalam Muhaimin, 2013. Generator penyerap atau yang disebut porosigen atau porogen digunakan
untuk menghasilkan pori di dalam mikropartikel sehingga dapat meningkatkan kecepatan degradasi polimer dan meningkatkan kecepatan pelepasan obat Li et
al, 2008 dalam Muhaimin, 2013. Pelarut organik seperti heksan yang tidak melarutkan poli asam laktat dan poli asam laktat koglikol dapat dicampurkan ke
dalam mikrosfer untuk membentuk pori Li et al., 2008; Spenlehauer et al, 1986 dalam Muhaimin, 2013. Penggabungan Sephadex sambung silang gel
dekstran dalam mikrosfer insulin-PLA dapat meningkatkan porositas mikrosfer secara signifikan Li et al, 2008; Watts et al, 1990 dalam Muhaimin, 2013.
Sejumlah n-heptan dengan volume tertentu ditambahkan pada emulsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etilselulosadiklorometan untuk enkapsulasi aspirin, juga untuk meningkatkan porositas obat. Akan tetapi pemberian n-heptan yang berlebihan menyebabkan
mikrosfer memiliki porositas tinggi sehingga menyebabkan efisiensi enkapsulasi obat rendah Li et al, 2008; Yang et al, 2000a dalam Muhaimin, 2013.
2.3.1.2. Fase Kontinyu a. Surfaktan
Surfaktan atau juga disebut agen tensioaktif sering digunakan untuk mendispersikan satu fase ke fase lain yang tidak bercampur dan menstablikan
emulsi. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan fase kontinyu, menghindari koalesen dan aglomerasi droplet dan menstabilkan emulsi. Surfaktan
yang sesuai dapat menghasilkan mikropartikel dengan ukuran umum dan distribusi ukuran partikel yang kecil. Selain itu surfaktan dapat menjamin
pelepasan obat untuk menjadi lebih terprediksi dan stabil. Sebelum memilih tipe dan konsentrasi surfaktan, perlu terlebih dahulu mengetahui polaritas kedua fase
tidak bercampur, ukuran mikropartikel yang diinginkan dan sferisitas mikropartikel. Surfaktan untuk emulsi bersifat ampifilik. Salah satu bagian
molekul memiliki afinitas untuk menjadi zat terlarut yang polar seperti air dan bagian lain memiliki afinitas menjadi zat tidak polar seperti hidrokarbon
hidrofobik. Ketika surfaktan dicampurkan dalam emulsi, surfaktan akan menutupi permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya dalam droplet dan
bagian hidrofilik terdapat dalam air Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013. Terdapat empat klasifikasi surfaktan berdasarkan bagian hidrofilik dalam
molekulnya, yaitu anionik, kationik, amfoterik, dan non ionik. Surfaktan anioik menghasilkan muatan negatif pada larutan kontinyu. Surfaktan ini memiliki HLB
atau hydrophilic-lipophile balance keseimbangan hidrofilikk-lipofilik tinggi karena surfaktan jenis ini memiliki kecenderungan bersifat hidrofil. Tipe kedua
adalah surfaktan kationik. Surfaktan ini memberikan muatan positif pada larutan encer. Tipe selanjutnya adalah surfaktan amfoterik. Surfaktan amfoterik bersifat
anionik pada pH basa dan bersifat kationik pada pH asam. Tipe terakhir adalah surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik tidak memiliki muatan Li et al., 2008
dalam Muhaimin, 2013