bantuan biaya mereka sampai keluarga yang baru datang tersebut dapat hidup mandiri.
Kebiasaan saling mengangkat berakar dalam 2 dua hal yaitu: 1. Persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat, khususnya menyangkut
persepsi tentang keluarga sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah- pisahkan yang para anggotanya mempunyai kewajiban untuk saling
membantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar, namun meluas sampai pada ikatan-ikatan sesuku, sekampung halaman, atau sesama
orang Minangkabau. 2. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem matrilineal orang-
orang Minangkabau. Pada sistem tersebut saudara laki-laki dari ibu mamak berkewajiban untuk bertanggaung jawab terhadap nasib dan masa depan anak-
anak dari saudara perempuannya atau kemenakannya.
2.2 Komunitas
Komunitas adalah sekelompok manusia yang saling memiliki keterkaitan fisik dan non fisik, ruang dan non ruang. Kelompok manusia yang bermukim pada
suatu tempat atau ruang belumlah merupakan komunitas jika tidak ada keterikatan hubungan diantara mereka yang dapat terjadi secara sosial, budaya maupun
ekonomi. Salah satu ciri komunitas adalah adanya kegiatan yang disepakati dan dilakukan secara bersama diantara komunitas tersebut.
Menurut Tetuko 2001 dalam Nurmaidah 2006 bahwa komunitas memiliki makna dalam tiga hal yaitu:
1. Suatu kelompok yang mempunyai ruang tertentu.
2. Suatu kelompok yang mempunyai sifat sama. 3. Suatu kelompok yang dibatasi oleh identitas budaya yang sama dan dibentuk
dengan hubungan sosial yang kental. Menurut Cohen 1989 dalam Sativa 2005 bahwa di dalam sebuah
komunitas anggotanya mempunyai sesuatu yang secara bersama membedakan mereka dengan kelompok manusia lainnya. Oleh karena itu perbedaan karakter
menjadi penting untuk membedakan komunitas antara satu dengan lainnya. Lebih lanjut batas boundary menjadi penting untuk menunjukkan identitas sebuah
komunitas. Akan tetapi dalam hal ini batas tidak selalu harus berupa fisik seperti pagar, sungai atau batas wilayah, dapat juga batas tersebut berupa ras, bahasa,
religi atau merupakan konsep maknasimbol yang telah melekat pada komunitas tertentu.
2.3 Peranan Sosial Budaya Terhadap Ruang Permukiman
Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata-mata untuk memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau aktifitas
yang akan dilakukannya. Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah bagian dalam kehidupan pribadi. Pada
bagian lain dinyatakan bahwa rumah adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman sebagai jaringan pengikat dari rumah
tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan serangkaian hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia dan manusia dengan manusia.
Permukiman sebagai suatu tempat terjadinya interaksi dalam masyarakat, tentunya memiliki karakteristik yang khas dari masing-masing masyarakat yang
ada didalamnya. Hal tersebut sangat bergantung pada faktor-faktor pendukungnya, baik dari sosio-kultural masyarakat, maupun dari bentuk adaptasi
terhadap lingkungan di sekitar permukiman dan sejarah kawasan yang pernah muncul, sebagai awal terbentuknya suatu permukiman. Sistem sosial dan budaya
memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan tata ruang permukiman. Keadaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Rapoport 1990 dalam
Citrayati dkk 2008, bahwa terbentuknya lingkungan pemukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang
dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik sosial-budaya yang secara langsung
mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Sedangkan rona lingkungan akan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh
kondisi lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budaya Rapoport,1969 dalam Ardian http:www.p2kp.orgforumdetil.asp?mid=29827catid=23.
Masyarakat dalam menempati wilayah permukimannya, tentunya ada beberapa kebutuhan utama yang diharapkan didalamnya. Menurut Sujarto 1977
dalam Citrayati dkk 2008 ada tiga kebutuhan utama masyarakat di dalam permukimannya yaitu:
1. Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari alam sekitarnya. 2. Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna
menjamin eksistensi kehidupan. 3. Tempat-tempat yang dapat memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
Dalam pembentukan permukiman atau rumah kekerabatan dapat menjadi faktor penentu, karena sangat terkait dengan sebuah bentuk ikatan sosial, aturan-
aturan yang bernuansa budaya dan religi dan juga adanya kegiatan yang bersifat ekonomi Lowi dalam Mulyati, 1995. Hubungan antara kekerabatan dalam aspek
sosial-kultural dan permukiman sebagai perwujudan fisiknya, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Kelompok kekerabatan mempengaruhi lokasi dan tata lahanrumah sesuai dengan prinsip yang dianut.
2. Peran sosial antara kekerabatan mempengaruhi terbentuknya ruang-ruang yang menjadi sarana interaksi antara kerabat.
Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh, tetapi
tergantung kepada elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya. Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang
berubah mengikuti perkembangan zaman Rapoport, 1983 dalam Nuraini, 2004. Selanjutnya Rapoport 1969 dalam Nuraini 2004, mengemukakan bahwa sesuai
dengan kondisinya masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang
sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan
sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas. Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan adalah untuk
menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada
hakikatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap
tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik Papageorgiu, 1971 dalam Nuraini, 2004.
Permukiman merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat melakukan kegiatan yang menopang kehidupan penghuninya dan
merupakan wadah hidup bersama dalam menjalani suatu proses bermukim. Dalam menjalani proses tersebut, tentunya terjadi hubungan antara manusia dengan
manusia, antara manusia dengan alam sekitar dan demikian juga hubungan antara manusia dengan sang pencipta-Nya. Karena itu, permukiman merupakan cermin
dari pengaruh aspek sosial budaya masyarakatnya, faktor sejarah kepenghunian, konsep lokasi, etika dan religius pemukimnya Nuryanti dalam Mulyati, 1995.
Permukiman selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga mempunyai fungsi yang strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga,
persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang serta mengaktualisasikan jati diri. Perwujudan kesejahteraan rakyat dapat ditandai
dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
Koentjaraningrat dalam Mulyati 1995, permukiman memiliki bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, diantaranya
berupa sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberikan kontribusi fisik pada lingkungannya.
2.4 Permukiman Etnis Minangkabau di Tempat Asal