Modifikasi Fungsi dan Bentuk Ulos

memakainya tanpa memperhatikan lagi makna dan aturan yang terkandung didalam ulos tersebut. Seiring perkembangan zaman, peran dan fungsi ulos ini juga mengalami perubahan misalnya pada zaman dahulu ulos dipergunakan oleh masyarakat Batak sebagai pakaian sehari-sehari, dimana ketika itu perempuan masyarakat suku Batak yang belum menikah biasanya melilitkannya diatas dada, sedangkan perempuan yang belum menikah melilitkannya dibawah dada. Selain menjadi pakaian ulos juga berfungsi sebagai sarana menggendong anak parompa dan selendang sampe-sampe untuk menghangatkan badan. Mengutip Jakobson dalam Marcus dan Myers, 1995:13 adalah mengenai suatu hal yang dapat memiliki nilai akibat dari proses pencampuran dalam kehidupan, sehingga dalam hal ini ulos merupakan benda materi yang memiliki fungsi yang ditimbulkan oleh akibat penggunaan, dan secara singkat tanpa adanya penggunaan maka fungsi dari materi tersebut tidak akan muncul.

4.2. Modifikasi Fungsi dan Bentuk Ulos

Perubahan fungsi dan bentuk ulos yang terjadi saat ini adalah bentuk perubahan yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini dengan tetap berada pada jalur pelestarian kain tenun tradisional Batak Toba. Ulos modifikasi adalah ulos yang pengerjaannya dipadu dengan hiasan lainnya sehingga tidak lagi murni tenunan. Ulos sendiri umumnya berupa tenunan biasa saja dan bahkan rumbai-rumbainya terkadang masih ada yang tidak beraturan sehingga perlu bagi kita untuk memotongnya sendiri. Ulos yang sudah dimodifikasi umumnya memiliki hiasan berupa bordiran, tambahan renda, sulaman, manik-manik, roncean mote dan lain sebagainya, sehingga hasil pekerjaan ulos tersebut tidaklah murni dengan tenun alat saja. Ulos modifikasi ini dipercaya akan lebih menarik minat kawula muda untuk mengenakan ulos sehingga kekayaan budaya batak tidak hilang begitu saja di generasi muda. Beberapa Ulos memiliki motif yang teramat rumit san tidak dijual kepada umum. Ulos tersebut hanya untuk dipajang semata karena motifnya terlalu sukar dan belum ada penenun dari generasi sekarang yang mampu mengikuti motif tenunan tersebut. Secara historis pembuatan ulos oleh remaja putri merupakan mengawali pembelajaran menenun selalu diberi peluang untuk berkreasi menguntai motif, sesuai dengan selera muda mereka. Hasil awal tenunan mereka tidak selalu bisa diandalkan menjadi ulos yang bermakna dalam proses belajar tersebut mereka berkreasi dengan ceria, yang disebut sengka. Sengka-sengka adalah tenunan yang sayang kalau dibuang. Para remaja putri selalu bangga menggunakan hasil kreasi mereka yang baik. Dengan masuknya bahan kimia, warna benang pun semakin bercahaya dan banyak pilihan. Sehingga, sengka semakin “norak” penampilannya. Ulos Si Bunga Ni Ambasang dan Ulos Bintang Maratur sering menjadi tiruan awal pembuatan sengka. Selanjutnya, masuk motif Sadum dan Angkola, selain juga paduan motif Punsa. Menurut Informan kunci peneliti, Merdi Sihombing menuturkan pengalamannya melihat perkembangan ulos dari mata kepalanya sendiri, Merdi pun akhirnya berkelana ke daerah sentra tenun yang terisolir, yaitu di daerah Panamean. Merdi memesan tenunan ulos asli, memakai benang pilhan baru yang halus. Perlu diketahui bahwa penenun tradisional membutuhkan waktu adaptasi dengan bahan baru, yang tak lazim mereka gunakan. Dengan bahan benang yang lebih baik, jadilah ulos tradisional versi benang baru itu. Para penenun mendapatkan manfaat lebih dari kerja sama tersebut. Menurut Merdi, manfaatnya adalah kesetiaan mereka menekuni kerajinan tenun yang diwariskan secara turun-temurun. Tenun tradisi harus terus berlangsung serta menjadi sumber hidup yang baik bagi pemiliknya, target yang ingin dicapainya adalah pengembangan motif dan warna. Namun, ulos asli harus tetap dipertahankan dengan kualitas benang yang ditingkatkan.

4.2.1. Modifikasi Ulos Secara Internal

Proses modifikasi terhadap kain tenun ulos secara internal merupakan proses perubahan ulos terhadap keberadaan kain ulos dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, secara umum masyarakat Batak Toba memandang proses modifikasi ulos dengan terbelah pada dua golongan, yakni : golongan yang menolak dan golongan yang mendukung. Golongan yang menolak berpendapat bahwa modifikasi terhadap ulos merupakan suatu bentuk perusakan terhadap nilai-nilai sakral dan kultural yang terdapat pada sehelai kain ulos, sedangkan bagi golongan yang mendukung berpendapat bahwa proses modifikasi ulos merupakan suatu cara untuk tetap mempertahankan penggunaan ulos dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini, masyarakat yang ditemui di lapangan secara umum memandang proses modifikasi terhadap ulos yang kini terjadi adalah bentuk mempopulerkan penggunaan ulos yang tidak hanya terbatas pada orangtua melainkan juga menyentuh generasi muda, selain itu proses modifikasi terhadap ulos juga sebagai proses bagi kain ulos untuk masuk dalam percaturan kain dalam ranah yang lebih luas global.

4.2.2. Modifikasi Ulos Secara Eksternal

Proses modifikasi ulos secara eksternal merupakan usaha mendorong ulos menjadi kain bernilai dalam kehidupan global dengan tidak hanya berupa materi selembar kain, melainkan mengembangkan setiap kemungkinan yang terdapat dalam usaha modifikasi ulos tersebut. Modifikasi ulos secara eksternal bertujuan untuk proses pengembangan ulos pada tahapan yang lebih lanjut, seperti penggunaan motif ulos pada beberapa bentuk materi lain menjadi tas, jas, kemeja, dasi. Tabel 16 Modifikasi Ulos Bentuk Ulos awal Modifikasi Ulos Keterangan Ulos Tumtuman merupakan ulos yang dipergunakan oleh golongan raja dan dipakai dengan cara dililitkan dikepala, pada proses modifikasi ulos Tumtuman dijadikan sebagai syal Ulos Runjat adalah kain ulos yang lazim dipergunakan dalam acara suka cita dan juga merupakan ulos yang dipergunakan oleh status sosial tertentu, dalam modifikasi ulos runjat dijadikan jas. Sumber : Merdi Sihombing – 2010. Proses modifikasi ulos secara eksternal yang dilakukan oleh Merdi Sihombing merupakan pengembangan dan perubahan fungsi, bentuk ulos menjadi materi lain dalam lingkup memperkenalkan keberagaman kain tenun ulos dan juga menjaga keberlangsungan ulos dengan melakukan modifikasi menjadi bentuk yang dapat dipergunakan oleh masyarakat luas dan juga tidak terikat pada ritual. Modifikasi ulos juga dilakukan dengan kembali mempergunakan pewarnaan alam sebagai warna kain ulos, hal ini dilakukan sebagai upaya menguatkan kembali nilai tradisi masyarakat Batak Toba yang melakukan pewarnaan ulos dengan menggunakan akar, daun, kulit pohon sebagai warna dan yang didapat dari lingkungan sekitar tempat tinggal. Selain itu modifikasi pewarnaan ulos juga sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian alam. Merdi Sihombing mengatakan bahwa : “. . . pewarnaan alami merupakan warisan nenek moyang yang telah lama menghilang dikarenakan penggunaan benang jadi yang diimport, sudah saatnya kita kembali mempergunakan dan mengembangkan pengetahuan tradisi yang telah ada sebelumnya dalam mengolah alam menjadi warna dan diterapkan pada pewarnaan ulos.” Gambar 15 Benang Melalui Proses Tradisional Bahan Baku Pembuatan Ulos Sumber : Perjalanan Ulos - Merdi Sihombing, 2014. Gambar 16 Hasil Benang Dari Proses Modern Sumber : Perjalanan Ulos - Merdi Sihombing, 2014. Modifikasi bahan benang itulah yang dilakukan Merdi pada tenunan ulos asli. Apabila peningkatan kualitas ulos ini terus dilakukan, nilai ulos dengan makna spiritualnya tidak akan hilang. Sebagaimana tetap maraknya sengka yang lebih dipopulerkan dengan sebutan “songket Batak” itu. Motif tenunan asli menjadi sumber inovasi Merdi untuk karya songket secara massal. Dalam kategori sengka, warna semakin beranekaragam karena diperuntukan untuk fesyen. Lazimnya sejak zaman dulu, para perempuan remaja Batak menggunakannya sebagai pakaian sehari-hari. Lainnya, digunakan sebagai hiasan dinding dan penutup meja. Para pendahulu karya ulos melakukan pewarnaan alami yang diungkapkan dalam disop asa rara, dituba asa bilong. Benang ulos aslinya dipintal dari kapas yang awalnya berwarna putih. Untuk mendapatkan warna merah disebut manubar dan warna hitam disebut mansop. Atau, ditubar untuk pembuatan warna merah nabara, disop untuk pembuatan warna hitam naitom. Bahan pewarna ini terbuat dari berbagai jenis dedaunan yang difermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki. Bahan tambahaan pewarnaan dari proses fermentasi disebut itom, pada era tahun 60-an bahan ini masih ditemukan di pasar Toba. Seluruh proses ini disebut marsigira, orang yang melakukan pewarnaan benang ini disebut parsigira. Perubahan simbol ulos sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda dimana masuknya teknologi pengganti bahan-bahan pembuatan ulos. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan ipon-ipon yang serupa biji manik-manik di tubuh ulos yang pada zaman dahulu menggunakan batu permata kini telah berganti dengan manik- manik dari plastik. Gambar 17 Ipon-Ipon Dari Permata Sumber : Perjalanan Ulos - Merdi Sihombing, 2014 Gambar 18 Ipon-Ipon Terbuat Dari Plastik Sumber : Perjalanan Ulos - Merdi Sihombing, 2014. Hal ini memang tidak terlepas dari keadaan dimana pada saat ini sudah sangat sulit untuk menemukan batu permata untuk dijadikan bahan pembuatan ulos. Merdi mengatakan : “perubahan bahan ipon-ipon memang harus terjadi karena bila penggunaan permata masih tetap disertakan maka hanya ada sedikit orang yang bisa memiliki ulos.” Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan. Ukuran panjang lebar harus cermat dan teliti, tidak boleh menyimpang dari ketentuan. Selama proses membuat ulos atau bertenun ada larangan-larangan dan pantangan. Sebagai contoh, seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampung membawa ulos yang masih setengah jadi dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain. Jika aturan ini dilanggar, tondi atau roh kain tenun itu akan hilang. Pergeseran makna ulos dimulai ketika kebudayaan modern masuk ke Tanah Batak, yakni dengan kehadiran para misionaris dan pegawai pemerintah kolonial Belanda. Leluhur Batak mulai mencontoh cara berpakaian orang Eropa, kemeja, jas, celana, rok, dan “baju atasan” wanita. Ulos yang tadinya digunakan sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang digunakan, lebih banyak disimpan, hanya digunakan pada saat tertentu sebagai sarana pelaksana adat. Mama Loise Situmorang 63 Tahun salah seorang informan yang juga seorang partonun menuturkan bahwa : “ulos sekarang ini bukan untuk adat saja, tapi udah dibuat jadi bermacam bentuk, sama orang lain kadang kerjaan kami ini dianggap merusak nilai ulos, sebenarnya kami melestarikan ulos dengan jalan membuat bentuk yang banyak digunakan.” Pemerintah kolonial Belanda juga berusaha untuk menghapus kekuasaan Raja-raja Batak. Perlahan semua atribut yang identik dengan mereka juga hilang. Termasuk ulos, seperti beberapa jenis ulos yang biasanya identik dengan keluarga Raja-raja Batak, para istri, dan putra-putrinya, serta para orang kaya dan terpandang. Kini tinggal beberapa jenis ulos utama, terutama berkaitan dengan upacara-upacara adat yang masih dikenal baik oleh masyarakat Batak. Ulos akhirnya dibuat secara kodian dan berharga murah, karena hanya untuk keperluan adat. Perubahan pada ragi motif juga terjadi pada perjalanan ulos. Dahulu ulos hanya bermotif tumbuh-tumbuhan dan juga bintang jatuh seperti pada Ulos Bintang Maratur. Namun karena rasa ingin mengeksplorasi lebih dalam banyak para penenun yang mencoba mencari motif lain yang ada di alam sekitar. Namun, sayangnya pencarian motif itu mengalami kebuntuan ketika tidak ada satupun tumbuhan atau benda-benda dialam yang bisa mewakili nilai dan bercerita ketika ditenun menjadi ulos. Sampai pada akhirnya pilihan motif jatuh pada motif gorga yakni ornamen pahatan pada rumah tradisional Batak dan juga Pustaha Batak yang merupakan kitab aksara orang Batak. Gorga Batak Toba adalah kesenian ukir ataupun pahat yang biasanya terdapat pada bagian luar eksterior rumah adat Batak Toba dan alat kesenian gendang, serunai, kecapi, dan lain sebagainya. Gorga dapat disebut sebagai corak atau motif yang tidak hanya dipahatdiukir tapi juga dilukis, dan pada umumnya gorga Batak hanya menggunakan cat tiga warna : merah, hitam, dan putih. Gorga adalah dekorasi atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu, namun sekarang ini sudah sebagian di relief dengan semen pada rumah-rumah Batak permanen dan kemudian mencatnya dengan tiga macam warna. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit. Bahan-bahan untuk gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorekdipahat. Biasanya para orang- orang tua orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul. Kayu ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusaklapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapalperahu di Danau Toba. Merdi Sihombing mengatakan : “Pengaplikasian gorga kedalam motif tenun ulos ini dimulai sejak tahun 2000-an dengan mengadopsi tiga warna mereah, putih dan hitam. Namun ulos yang bermotif gorga ini tidak dapat dipakai ke dalam pesta adat karena nilai dan fungsinya didalam pesta adat tidak ada. Sebab semua motif ulos lama telah memiliki posisinya masing-masingg dalam pelaksanaan adat.” Sementara itu motif baru lainnya yang terdapat pada ulos adalah pustaha Batak. Pustaha adalah sebuah buku atau surat dalam budaya Batak yang berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, keterangan tentang cara menolak hal-hal yang jahat poda, mantra, ramalan-ramalan baik yang baik maupun yang buruk, serta ramalan mimpi. Buku ini biasa ditulis dengan aksara Batak. Secara fisik, pustaha terdiri dari lampak sampul dan laklak kulit kayu sebagai media penulisan. Sampul buku ini sering dihiasi dengan motif Ilik, seekor kadal yang melambangkan dewa Boraspati ni Tano. Pada dasarnya ilmu pengetahuan yang tertulis di dalam pustaha dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu ilmu yang menyambung hidup, ilmu yang menghancurkan hidup dan ilmu nujum. Pustaha digunakan oleh seorang datu atau seorang murid yang belajar untuk menjadi seorang datu. Pustaha 14 biasa dibuat dari kayu atau kulit kayu pohon alim Aquilaria malaccensis yang dikupas. Panjang kulit kayu bisa mencapai 7 meter dan lebar 60 cm. Gambar 19 Motif Lak-Lak Pada Kain Lalu Dijadikan Ulos dan Pakaian Sumber : Perjalanan Ulos - Merdi Sihombing, 2014. Bentuk ulos juga memiliki perubahan bentuk yakni jika pada zaman dahulu semua Ulos Jungkit atau tali-tali benang hiasan yang terletak diujung ulos 14 Sebuah pustaha yang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden memiliki panjang hingga 15 meter lebih. Selain dari kulit kayu, terdapat juga pustaha yang dibuat dari bambu atau bahan lainnya. terurai ke bawah maka semenjak masuknya budaya kolonial Belanda masyarakat tidak lagi menguraikannya, tetapi menyulamnya menjadi senyawa. Hal tersebut terjadi karena pergaulan perempuan-perempuan batak dengan bangsa Eropa terlebih kaum perempuannya yang suka menyulam benang menjadi sapu tangan, selimut ataupun pakaian. Hal inilah yang kemudian ditularkan kepada perempuan-perempuan batak yang kemudian berpengaruh pada perubahan bentuk ulos tersebut. Merdi Sihombing salah seorang informan penelitian mengatakan : “Masuknya pengaruh sulam-menyulam kain ulos disebabkan adanya pengaruh misionaris, dulunya terdapat sekolah misionaris khusus perempuan di Tanah Batak salah satu pelajarannya menyulam pengaruh Eropa, hal ini kemudian masuk dalam perkembangan ulos masa itu yang bagian jungkitnya disulam.

4.3. Ulos Dan Ekonomi Kreatif