Organisasi Kemasyarakatan Sejarah Ulos

2.7. Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi Kemasyarakatan yang ada di Desa Parbubu II ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Organisasi kemasyarakatan ini juga dimanfaatkan oleh para janda-janda ini untuk tetap membina hubungan baik dengan masyarakat lain. Seperti dalam persatuan marga-marga yang ada di desa ini, para janda masuk ke dalam organisasi marga-marga ini untuk tetap mempererat hubungan dengan keluarganya atau dengan keluarga suaminya. Mengikuti perkumpulan marga ini, ia akan tetap dianggap ada oleh keluarga suaminya walaupun keberadaannya sekarang tidak begitu diperhatikan dibandingkan sewaktu suaminya masig hidup.

2.8. Sekilas Mata Pencaharian Bertenun

Masyarakat Desa Parbubu II mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani, dimana laki-laki dan perempuan berprofesi sebagai petani. Kaum perempuan masyarakat Desa Parbubu II mengisi waktu selain bertani dengan kegiatan menenun kain ulos. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Desa Parbubu II dikarenakan mendatangkan tambahan penghasilan selain mata pencaharian utamanya sebagai petani, mata pencaharian sebagai petani dalam hal ini bergantung kepada musim dan biaya produksi yang tinggi sehingga menenun menjadi satu-satunya pilihan mata pencaharian tambahan selain bertani. Mata pencaharian dengan menenun kain ulos yang dilakukan oleh kaum perempuan di Desa Parbubu II juga disebabkan oleh mata pencaharian dengan bertani yang dilakoni oleh mereka terkadang mengalami kegagalan gagal panen yang disebabkan oleh faktor musim, cuaca, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pendapatan yang tidak menentu yang diperoleh dengan cara bertani, kaum perempuan memilih untuk menenun kain ulos untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Tabel 13 Komposisi Kegiatan Kemasyarakatan Yang Ada Di Desa Parbubu II No Organisasi Kemasyarakatan Jumlah 1. Kelompok Tani 4 2. LKMD 1 3. Lembaga Partungkoan 1 4. Karang Taruna 2 5. Lembaga-lembaga Adat a. L.A.D.N b. Persatuan marga-marga - 4 6. Klub-klub olahraga - 7. Kelompok-kelompok seni - Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 20062007

2.8.1 Penduduk Yang Bertenun

Kota Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara memiliki jenis ulos yang berbeda dengan Kota Siantar dan Balige maupun daerah lainnya, para penenun di Kota Tarutung masih menggunakan alat tenun sebagai fungsi utama mendapatkan ulos yang kuat dan tebal, hal ini terletak pada benangnya. Mereka menyebut benang tersebut dengan sebutan benang ipahan, benang yang belum diolah menjadi ulos. Sebelum benang dijadikan kain makanya awal prosesnya adalah benang tersebut harus diberi kanji 5 Berbeda dengan yang digunakan para penenun Pematang Siantar dan Balige, mereka menggunakan mesin sebagai alat tenun. Harga alat tenun yang digunakan mencapai hingga jutaan rupiah, karena itu apabila menggunakan mesin maka hasil kain ulos yang didapat juga sangat tipis berbeda dengan ulos yang ditenun di wilayah Tarutung, dengan jenis kualitas kain yang ada maka harga ulos dulu kemudian dipintal. Hal ini bertujuan agar benang yang akan dijadikan kain akan lebih kuat dan teksturnya lebih halus. Alat tenun yang digunakan terbuat dari kayu yang bisa dibeli jadi atau dibuat sendiri karena bahannya juga mudah didapat masyarakat dari hutan yang tidak jauh dari perkampungan mereka. 5 Sejenis tepung yang dipergunakan untuk mengeraskan kain atau membuat sehelai kain terlihat kaku. pun bervariasi. Ada yang mahal dan ada yang murah semua tergantung dengan kebutuhan dan juga kondisi ekonomi si pemakai. Setelah kain ulos siap, mereka memberikannya pada toko langganan mereka yang biasa menampung hasil tenunan mereka. Khusus untuk mereka para penenun ulos dari Siantar harga perlembar ulos mereka bisa mencapai harga ratusan ribu rupiah. Setelah dari penampungan tersebut maka ulos kembali lagi disebarkan diseluruh daerah di Sumatera contohnya Balige, Pematang Siantar, Sidempuan, Tebing Tinggi dan sampai ke Kota Medan. Tetapi terkadang dengan adanya modernisasi maka ujung dari ulos mengalami perubahan dengan ditambahkannya berbagai jenis bordir dan juga payet. Permintaan tersebut bisa dilakukan oleh penenun juga tetapi dengan menaikkan harga dari biasanya tapi terkadang para penampung tersebut juga membuat sendiri tanpa bantuan dari penenun tersebut. Satu kain ulos biasa dikerjakan oleh penenun dalam tiga hari, sehingga dalam seminggu mereka bisa menghasilkan tiga lembar kain ulos. Tetapi terkadang apabila para masyarakat khususnya para pekerja penenun ulos sedang melakukan kegiatan panen disawah maka minat jual mereka kepada para toko langganan tempat para penenun menjual hasil ulos mereka pun menurun, karena dalam beberapa minggu mereka tidak melakukan aktivitas menenun melainkan sedang disawah memanen dan menjemur padi mereka untuk dijual. Mereka tidak hanya berharap dari hasil penjualan kain ulos, disinilah kesempatan para agen yang biasa menampung ulos mereka bertindak untuk menaikkan harga ulos dibanding dengan hari biasa mereka bertenun. Padahal para penenun tidak sedang melakukan kegiatan menenun ulos. Sedangkan apabila mereka tidak melakukan kegiatan memanen dan kembali untuk menenun ulos maka harga yang diberikan para agen penampung ulos relatif kecil. Ulos pun menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja, hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat Batak dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, misalnya • ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita, misalnya natoras tu ianakhon orang tua kepada anak. • ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos, misalnya ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela menantu laki-laki. Sedangkan menurut penggunaanya : • Siabithonon dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya. • Sihadanghononhon diletakan di bahu digunakan ulos sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya. • Sitalitalihononhon pengikat kepala digunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain. dalam Sitompul, 2003:53 Saat ini tidak dibutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat beraktifitas karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Ulos sudah menjadi lambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya Batak. Namun juga menjadi tantangan bagi budaya Batak di masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah keuangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya rajaparhata 6 Ulos bintang maratur, ulos ini merupakan ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa diantaranya yakni: kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru milik sendiri adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba, keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut di anggap merupakan suatu berkat dari . Keberagaman ulos juga memiliki jenis dan juga fungsi. Beberapa jenis dan fungsi ulos adalah ulos Antakantak, ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor menari. 6 Rajaparhata adalah orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir. Tuhan yang maha Esa yang di sertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira. Orang Batak yang tinggal dan menetap di berbagai puakhorja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula, walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun, oleh karena itu pemberian ulos bintang maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru. Secara khusus di daerah Toba ulos ini diberikan waktu acara selamatan usia kehamilan tujuh bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga di berikan kepada pahompu cucu yang baru lahir sebagai parompa gendongan yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu cucu yang baru mendapat baptisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang. Ulos mangiring, ulos ini dipakai sebagai selendang. Ulos ini juga diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai parompa alat gendong untuk anak. Sedangkan ulos pinuncaan merupakan kain ulos uang terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian di satukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ulos memiliki beberapa kegunaan, antara lain: • Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai disandang oleh raja-raja adat. • Dipakai oleh rakyat biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon hasuhuton tuan rumah. • Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran kelompok istri dari golongan hulahula, ulos ini juga di pakaidililit sebagai kain atau hohophohop oleh keluarga hasuhuton tuan rumah. • Ulos ini juga berfungsi sebagai ulos passamot pada acara perkawinan. Ulos passamot di berikan oleh orang tua pengantin perempuan hulahula kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki pangoli. Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat. Ulos ragi hotang merupakan ulos yang diberikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama ulos hela. Pemberian ulos hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui put rinya dipersunting atau di peristri oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “hela” menantu. Pemberian ulos ini selalu disertai dengan memberikan mandar hela sarung menantu yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua, dan sarung tersebut dipakai dan dibawa untuk kegiatan-kegiatan adat. Ulos ragi huting. Ulos ini sekarang sudah jarang dipakai, konon pada jaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan gadis-gadis memakai ulos ragi huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada hobahoba yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri gadis perawan Batak Toba yang beradat. Seiring dengan berjalannya waktu ada juga ulos yang jarang dipakai dalam berbagai acara adat batak. Hal ini karena ulos sudah tidak diproduksi lagi, seperti ulos raja, ulos ragi botik, ulos gobar, ulos saput ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah, dan ulos sibolang. Berdasarkan pengamatan lapangan, dimana mata pencaharian masyarakat Desa Parbubu II sebagai penenun kain ulos, terdapat 83 orang yang menjadi penenun ulos dimana 10 diantaranya bekerja pada kilang ulos di Desa Parbubu II yang menjadi informan penelitian ini. Kaum perempuan yang menenun kain ulos di Desa Parbubu II merupakan salah satu keahlian yang diperoleh secara turun-temurun, hal ini juga didukung oleh pola motif dan persebaran ulos yang secara adat dibawa oleh pihak perempuan sehingga pola dan motif ulos berkembang seiring dengan perjalanan keturunan pihak perempuan. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa pengetahuan menenun ulos selain diperoleh secara turun-temurun juga dapat diperoleh melalui mengikuti kegiatan ulos yang banyak dilakukan pada kilang pembuatan ulos, pada umumnya ini dilakukan oleh kaum perempuan yang tidak mendapatkan pengetahuan menenun ulos secara turun-temurun. Berkaitan dengan pengetahuan pembuatan kain ulos, kaum perempuan partonun ulos di Desa Parbubu II hanya mengenal sedikit pola dan motif ulos sebagaimana pengetahuan yang diperoleh oleh kaum perempuan sebelum mereka nenek, ibu sehingga pada perkembangannya saat ini pola dan motif ulos yang ditenun kaum perempuan di Desa Parbubu II terbatas pada pola dan motif Ulos Parompa, Ulos Sadum, Ulos Suri-suri Ganjang, dan Ragi Hidup

BAB III DESKRIPSI ULOS

3.1. Sejarah Ulos

Perkembangan ulos tidak terlepas dari perjalanan sejarah yang senantiasa melekat padanya. Ulos yang sekarang pastilah berjalan linear dengan perkembangan ulos pada masa lalu. Perkembangan ulos juga tidak terlepas dari folklore yang melekat padanya, yang bahkan hingga saat ini masih diyakini oleh sebahagian masyarakat Batak. Beberapa ahli memperkirakan bahwa kerajinan ulos sudah masuk ke tanah Batak sejak abad ke-14 7 7 Proses kerja lapangan yang penulis lakukan mendapatkan informasi bahwa kerajinan kain tenun adalah suatu bagian dari persebaran kebudayaan, hal ini dibuktikan dengan diketemukannya beberapa kesamaan motif, pola hingga tata cara pembuatannya. . Ulos ini pada awalnya adalah pakaian yang dipergunakan masyarakat Batak zaman dahulu dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk melindungi diri dari cuaca dingin karena pada umumnya suku Batak bertempat tinggal diwilayah pegunungan yang cuacanya sangat dingin terutama ketika malam hari. Ulos adalah kain tenun khas Batak yang berbentuk selendang. Benda ini dahulu dan sekarang bagi sebagian besar masyarakat Batak masih dianggap benda sakral yang penafsiran dari benda ini adalah merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong, yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama. Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang, dari sinilah sejarah ulos bermula. Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Sesuai dengan hukum seleksi alam bahwa manusia selalu dipaksa oleh keadaan untuk berubah menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak. Secara historis, kain tradisional Batak yang disebut ulos menurut Rudiyanto 2011:3 mulai dikenal dalam budaya Batak pada abad ke 14 8 Berdasarkan fungsi ulos keterangan informan Ibu L.Hutaurak, 50 tahun sebagai sarana melindungi tubuh dari rasa dingin maka sampai hari ini ulos memiliki arti filosofis bagi masyarakat suku Batak yaitu ulos adalah sarana untuk , hal ini dipengaruhi oleh masuknya alat tenun kain dari India yang juga mempengaruhi teknik pembuatan ulos namun secara lebih lanjut Rudiyanto 2011:3 juga memberi catatan penting, bahwa sebelum abad ke 14 masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan ulos dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini diperkuat dengan adanya cerita rakyat folklore mengenai keberadaan Si Raja Batak yang bertempat tinggal di Sianjur Mula-mula yang menggunakan ulos sebagai kain pembalut tubuh dan juga memiliki simbol sebagai pengikat kekerabatan secara lebih lanjut dari Si Raja Batak. 8 Lihat juga Crawford 1820 dalam Reid 2011:102 yang mengatakan bahwa istilah-istilah bagi produksi kapas dan sutera sebagai bahan baku pembuatan benang dan kegiatan bertenun berasal dari kata sansekerta, dimana keahlian bertenun masyarakat kepulauan di Asia Tenggara berawal dari pakaian yang dibuat dari serat kayu, hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan bertenun adalah kegiatan yang telah ramai dilakukan sebelum kedatangan pedagang asing di Nusantara. menghangatkan sehingga pemberian ulos kepada orang lain merupakan sarana untuk membina tali silaturahmi dan menghangatkan perasaan atau hati. Selanjutnya menurut Ibu M. Simatupang 62 tahun hangat dalam bahasa Batak adalah “las“ dan sedangkan “hati atau perasaan” dalam bahasa Batak adalah “roha” , jadi keadaan suatu hati yang hangat dalam bahasa Batak disebut dengan “las roha “ sehingga pemberian ulos kepada seseorang juga sebagai acara untuk menghangatkan perasaan orang lain dengan harapan seseorang itu akan memperoleh rasa sukacita atau hangat hatinya, dan pemberian ulos kepada seseorang menjadi salah satu bentuk ikatan kasih sayang antara yang memberi dan yang menerima, hal ini digambarkan dalam kata pepatah atau umpasa masyarakat Batak yang berbunyi : “Ijuk Pengihot Ni Hodong, Ulos Pengihot Ni Holong”, artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama. Mangulosi atau memberi ulos kepada seseorang pada masyarakat Batak merupakan suatu hal penting dan sakral karena dapat juga dianggap sebagai suatu tindakan memberi kepercayaan, kehormatan dan status bagi seorang individu dalam lingkup kehidupan kebudayaan masyarakat Batak Toba. Hal lain yang dikemukakan oleh Op. E. Sinaga, tiga warna Batak berdiri sama tinggi, bila dibuat sebagai bendera disebut hembang, yang terikat pada masing-masing tiang. Ketiga warna tersebut diartikan sebagai roh dari Mulajadi Nabolon yang disebut sebagai Debata Natolu. Hitam, melambangkan harajaon atau kepemimpinan, merah melambangkan kekuatan atau pengetahuan, dan putih sebagai lambang kesucian atau hamalimon. Ketiganya adalah roh yang harus dimiliki manusia “sempurna” secara berimbang, itulah kepribadian. Manusia harus memiliki kepemimpinan, dimulai dengan kemampuan mengendalikan diri, harus memiliki pengetahuan, untuk mempertegas pengendalian dan dampak kepada sesama juga harus memiliki hati suci, sebagai pertimbangan antara dorongan nafsu kekuasaan dan kekuatan menjadi welas asih. Maka, makna ketiga warna tersebut diabadikan dalam Gorga, warna ulos, Bonang Manalu, dan Tigabolit. Pria Batak diharapkan menjadi perkasa, berbekal ilmu dan kemampuan mengatur diri sendiri, dan mengabdi untuk sesama. Memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan dalam membangun kehidupan, menjadi pemimpin dan pelindung bagi komunitasnya. Di satu sisi, sejak remaja perempuan Batak sudah dicekoki berbagai perilaku standar, yang diharapkan dapat menerapkan kesopanan tingkat awal. Perempuan Batak diperkenalkan pada tiga warna melalui untaian benang yang dirangkai menjadi ulos. Hati bersih dan suci dimaknai oleh warna putih, harus welas asih untuk bekal sebagai penyandang kata parbahulbahul nabolon, dengan warna merah nabara perempuan dididik menjadi cerdas dan kuat menjadi menara, serta melaksanakan kehidupan yang langgeng dan berkesinambungan bagi keluarganya. Perempuan menjadi guru pertama kapada setiap generasi yang dilahirkan. Ia diperkenalkan pada kepemimpinan melalui warna hitam. Tidak semua perempuan pelaku pembuatan ulos, namun mereka tetap diperkenalkan makna penting dalam tekstil Batak ini. Mangunggas, mencerahkan dan mengubah kekusaman menjadi kilauan. Mangani, menata untaian panjang- sedang kombinasi warna. Martonun, memadukan semua untaian yang sudah disatukan tersebut agar tidak bercerai berai. Seorang informan peneliti yang bernama Op. E. Sinaga 70 tahun menceritakan kisah rakyat mengenai asal mula tenun bisa ada. Mengenal peran perempuan dan pria Batak, tak lepas dari kisah Deak Parujar 9 Ulos adalah sebutan untuk kain yang dianggap bermakna, yang mewarisi arti yang selalu diharapkan terpatri dalam kepribadian manusia. Dibuat dari benang yang berwarna hitam atau dengan relasi warna yang disebut itom. Warna merah yang berelasi dengan “bara”, dan putih sebagaimana aslinya. Motif ulos dan alam penciptaan. Deak Parujar bersanding dengan Mulajadi Nabolon beserta yang lainnya, yakni Debata Natolu, Batara Guru, Mangala Bulan, dan Bala Sori. Hadir pula Odap-Odap, Naga Padoha, dan Saniang Naga. 9 Kisah atau Tonggo-tonggo dalam kehidupan kebudayaan Batak mengenal Si Boru Deak Parujar sebagai perempuan yang memiliki peran sentral dalam sejarah mitologi kebudayaan Batak. Kebudayaan Batak memberi peran besar pada perempuan tidak hanya sebagai pihak yang dapat memberikan keturunan melainkan juga sebagai representasi kehadiran manusia di muka bumi sebagaimana yang terangkum dalam kisah asal mula terjadinya bumi dan isinya. Secara umum masyarakat Batak Toba mengenal folklor mengenai penciptaan dunia oleh Si Boru Deak Parujar, yaitu : Deak Parujar adalah seorang putri dari Batara Guru yang dijodohkan dengan Odap-Odap yang sangan buruk rupa. Dia menghindar dari perjodohan itu karena tidak merasa cinta. Lalu memohon kepada Mulajadi Nabolon sang penguasa alam semesta untuk diberi ruang berkreasi. Inilah awal penolakan dari seorang perempuan dari hal yang tidak diinginkannya. Mulajadi Nabolon memberikan sekepal tanah dengan keilahian dari alam penciptaan sebagai materi yang diharapkan dapat dikreasikan oleh Si Boru Deak Parujar, selanjutnya, Si Boru Deak Parujar menghempaskan tanah itu ke ruang kosong serta merekat semua benda yang dilintasinya. Sehingga semakin besar, yang kemudian disebut portibi. Setelah planet matahari menerangi, maka siklus perjalanan “hukum”nya disebut hasiangan. dipatrikan dari makna hidup alam sekitar. Adapun pengertian istilah Ragi lebih dekat dengan “motif”. Salah satu contoh, Ragi Hotang misalnya adalah motif rotan. Rotan adalah tumbuhan menjalar melalui tanah dan melalui ranting pohon lain, membelit berkeliling hingga kembali melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke asalnya. Suatu pemahaman bahwa hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan layaknya kisah Deak Parujar dan Odap-Odap. Inti dari perjalanan sejarah ulos adalah bahwa ulos dibuat bukan berdasarkan hasrat menenun saja. Tetapi ulos juga diciptakan untuk mengisahkan nilai-nilai dan pesan moral untuk segenap umat manusia yang melihatnya. Setiap motif dan warna ulos memiliki arti dan nilainya tersendiri, itulah mengapa ulos disebut juga sebagai kain yang bercerita. Bercerita tentang Batak dan ulos tentu tidak lengkap tanpa pemberian ucapan umpasa kata-kata bijak ketika proses mangulosi atau menyelimuti seseorang dengan ulos berlangsung. Salah satu ungkapan atau umpasa yang berkaitan dengan cerita awal terbentuknya kain tenun ulos dikemukakan oleh salah seorang informan Op. L. Tobing 75 Tahun berikut ini : Deak Parujar Sahat do turi-turian Tu jolma manias dihasiangan Ue… tahe ise do na niaudi Partonun dimanogot manghargai dobari Pangunggas dibodari mangharhari dimanogot Cerita terbaca Seluruh insan ibu pertiwi Wahai… siapakah gerangan nan jauh disana Penenun pagi hari, peluruh malam penggulung Malam, peluruh pagi Umpasa atau ungkapan tersebut menceritakan mengenai peran Siboru Deak Parujar sebagai mahluk yang berasal dari banua ginjang mengisi waktunya dengan menenun kain yang kelak akan menghubungkan antara banua ginjang dengan banua tonga.

3.2. Kain Ulos