BAB III DESKRIPSI ULOS
3.1. Sejarah Ulos
Perkembangan ulos tidak terlepas dari perjalanan sejarah yang senantiasa melekat padanya. Ulos yang sekarang pastilah berjalan linear dengan
perkembangan ulos pada masa lalu. Perkembangan ulos juga tidak terlepas dari folklore yang melekat padanya, yang bahkan hingga saat ini masih diyakini oleh
sebahagian masyarakat Batak. Beberapa ahli memperkirakan bahwa kerajinan ulos sudah masuk ke tanah
Batak sejak abad ke-14
7
7 Proses kerja lapangan yang penulis lakukan mendapatkan informasi bahwa kerajinan kain tenun adalah suatu bagian dari persebaran kebudayaan, hal ini
dibuktikan dengan diketemukannya beberapa kesamaan motif, pola hingga tata cara pembuatannya.
. Ulos ini pada awalnya adalah pakaian yang dipergunakan masyarakat Batak zaman dahulu dalam kehidupan sehari-hari
terutama untuk melindungi diri dari cuaca dingin karena pada umumnya suku Batak bertempat tinggal diwilayah pegunungan yang cuacanya sangat dingin
terutama ketika malam hari.
Ulos adalah kain tenun khas Batak yang berbentuk selendang. Benda ini dahulu dan sekarang bagi sebagian besar masyarakat Batak masih dianggap benda
sakral yang penafsiran dari benda ini adalah merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: Ijuk pangihot
ni hodong, Ulos pangihot ni holong, yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.
Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku
Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman
dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung,
demikian sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan
mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang, dari sinilah sejarah ulos bermula.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka
menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat
sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi.
Sesuai dengan hukum seleksi alam bahwa manusia selalu dipaksa oleh keadaan untuk berubah menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya karena dipaksa oleh
kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli
suku Batak. Secara historis, kain tradisional Batak yang disebut ulos menurut
Rudiyanto 2011:3 mulai dikenal dalam budaya Batak pada abad ke 14
8
Berdasarkan fungsi ulos keterangan informan Ibu L.Hutaurak, 50 tahun sebagai sarana melindungi tubuh dari rasa dingin maka sampai hari ini ulos
memiliki arti filosofis bagi masyarakat suku Batak yaitu ulos adalah sarana untuk , hal ini
dipengaruhi oleh masuknya alat tenun kain dari India yang juga mempengaruhi teknik pembuatan ulos namun secara lebih lanjut Rudiyanto 2011:3 juga
memberi catatan penting, bahwa sebelum abad ke 14 masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan ulos dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini
diperkuat dengan adanya cerita rakyat folklore mengenai keberadaan Si Raja Batak yang bertempat tinggal di Sianjur Mula-mula yang menggunakan ulos
sebagai kain pembalut tubuh dan juga memiliki simbol sebagai pengikat kekerabatan secara lebih lanjut dari Si Raja Batak.
8 Lihat juga Crawford 1820 dalam Reid 2011:102 yang mengatakan bahwa istilah-istilah bagi produksi kapas dan sutera sebagai bahan baku pembuatan
benang dan kegiatan bertenun berasal dari kata sansekerta, dimana keahlian bertenun masyarakat kepulauan di Asia Tenggara berawal dari pakaian yang
dibuat dari serat kayu, hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan bertenun adalah kegiatan yang telah ramai dilakukan sebelum kedatangan pedagang asing di
Nusantara.
menghangatkan sehingga pemberian ulos kepada orang lain merupakan sarana untuk membina tali silaturahmi dan menghangatkan perasaan atau hati.
Selanjutnya menurut Ibu M. Simatupang 62 tahun hangat dalam bahasa Batak adalah “las“ dan sedangkan “hati atau perasaan” dalam bahasa Batak adalah
“roha” , jadi keadaan suatu hati yang hangat dalam bahasa Batak disebut dengan “las roha “ sehingga pemberian ulos kepada seseorang juga sebagai acara untuk
menghangatkan perasaan orang lain dengan harapan seseorang itu akan memperoleh rasa sukacita atau hangat hatinya, dan pemberian ulos kepada
seseorang menjadi salah satu bentuk ikatan kasih sayang antara yang memberi dan yang menerima, hal ini digambarkan dalam kata pepatah atau umpasa masyarakat
Batak yang berbunyi : “Ijuk Pengihot Ni Hodong, Ulos Pengihot Ni Holong”, artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang
diantara sesama. Mangulosi atau memberi ulos kepada seseorang pada masyarakat Batak merupakan suatu hal penting dan sakral karena dapat juga dianggap sebagai
suatu tindakan memberi kepercayaan, kehormatan dan status bagi seorang individu dalam lingkup kehidupan kebudayaan masyarakat Batak Toba.
Hal lain yang dikemukakan oleh Op. E. Sinaga, tiga warna Batak berdiri sama tinggi, bila dibuat sebagai bendera disebut hembang, yang terikat pada
masing-masing tiang. Ketiga warna tersebut diartikan sebagai roh dari Mulajadi Nabolon yang disebut sebagai Debata Natolu. Hitam, melambangkan harajaon
atau kepemimpinan, merah melambangkan kekuatan atau pengetahuan, dan putih sebagai lambang kesucian atau hamalimon. Ketiganya adalah roh yang harus
dimiliki manusia “sempurna” secara berimbang, itulah kepribadian.
Manusia harus memiliki kepemimpinan, dimulai dengan kemampuan mengendalikan diri, harus memiliki pengetahuan, untuk mempertegas
pengendalian dan dampak kepada sesama juga harus memiliki hati suci, sebagai pertimbangan antara dorongan nafsu kekuasaan dan kekuatan menjadi welas asih.
Maka, makna ketiga warna tersebut diabadikan dalam Gorga, warna ulos, Bonang Manalu, dan Tigabolit.
Pria Batak diharapkan menjadi perkasa, berbekal ilmu dan kemampuan mengatur diri sendiri, dan mengabdi untuk sesama. Memiliki kemampuan untuk
melakukan kegiatan dalam membangun kehidupan, menjadi pemimpin dan pelindung bagi komunitasnya. Di satu sisi, sejak remaja perempuan Batak sudah
dicekoki berbagai perilaku standar, yang diharapkan dapat menerapkan kesopanan tingkat awal. Perempuan Batak diperkenalkan pada tiga warna melalui untaian
benang yang dirangkai menjadi ulos. Hati bersih dan suci dimaknai oleh warna putih, harus welas asih untuk
bekal sebagai penyandang kata parbahulbahul nabolon, dengan warna merah nabara perempuan dididik menjadi cerdas dan kuat menjadi menara, serta
melaksanakan kehidupan yang langgeng dan berkesinambungan bagi keluarganya. Perempuan menjadi guru pertama kapada setiap generasi yang dilahirkan. Ia
diperkenalkan pada kepemimpinan melalui warna hitam. Tidak semua perempuan pelaku pembuatan ulos, namun mereka tetap
diperkenalkan makna penting dalam tekstil Batak ini. Mangunggas, mencerahkan dan mengubah kekusaman menjadi kilauan. Mangani, menata untaian panjang-
sedang kombinasi warna. Martonun, memadukan semua untaian yang sudah disatukan tersebut agar tidak bercerai berai.
Seorang informan peneliti yang bernama Op. E. Sinaga 70 tahun menceritakan kisah rakyat mengenai asal mula tenun bisa ada. Mengenal peran
perempuan dan pria Batak, tak lepas dari kisah Deak Parujar
9
Ulos adalah sebutan untuk kain yang dianggap bermakna, yang mewarisi arti yang selalu diharapkan terpatri dalam kepribadian manusia. Dibuat dari
benang yang berwarna hitam atau dengan relasi warna yang disebut itom. Warna merah yang berelasi dengan “bara”, dan putih sebagaimana aslinya. Motif ulos
dan alam penciptaan. Deak Parujar bersanding dengan Mulajadi Nabolon beserta yang
lainnya, yakni Debata Natolu, Batara Guru, Mangala Bulan, dan Bala Sori. Hadir pula Odap-Odap, Naga Padoha, dan Saniang Naga.
9 Kisah atau Tonggo-tonggo dalam kehidupan kebudayaan Batak mengenal Si Boru Deak Parujar sebagai perempuan yang memiliki peran sentral dalam
sejarah mitologi kebudayaan Batak. Kebudayaan Batak memberi peran besar pada perempuan tidak hanya sebagai pihak yang dapat memberikan keturunan
melainkan juga sebagai representasi kehadiran manusia di muka bumi sebagaimana yang terangkum dalam kisah asal mula terjadinya bumi dan
isinya. Secara umum masyarakat Batak Toba mengenal folklor mengenai penciptaan dunia oleh Si Boru Deak Parujar, yaitu : Deak Parujar adalah
seorang putri dari Batara Guru yang dijodohkan dengan Odap-Odap yang sangan buruk rupa. Dia menghindar dari perjodohan itu karena tidak merasa
cinta. Lalu memohon kepada Mulajadi Nabolon sang penguasa alam semesta untuk diberi ruang berkreasi. Inilah awal penolakan dari seorang perempuan
dari hal yang tidak diinginkannya. Mulajadi Nabolon memberikan sekepal tanah dengan keilahian dari alam penciptaan sebagai materi yang diharapkan
dapat dikreasikan oleh Si Boru Deak Parujar, selanjutnya, Si Boru Deak Parujar menghempaskan tanah itu ke ruang kosong serta merekat semua benda
yang dilintasinya. Sehingga semakin besar, yang kemudian disebut portibi. Setelah planet matahari menerangi, maka siklus perjalanan “hukum”nya
disebut hasiangan.
dipatrikan dari makna hidup alam sekitar. Adapun pengertian istilah Ragi lebih dekat dengan “motif”. Salah satu contoh, Ragi Hotang misalnya adalah motif
rotan. Rotan adalah tumbuhan menjalar melalui tanah dan melalui ranting pohon
lain, membelit berkeliling hingga kembali melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke asalnya. Suatu pemahaman bahwa hati yang
menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan layaknya kisah Deak Parujar dan Odap-Odap.
Inti dari perjalanan sejarah ulos adalah bahwa ulos dibuat bukan berdasarkan hasrat menenun saja. Tetapi ulos juga diciptakan untuk mengisahkan
nilai-nilai dan pesan moral untuk segenap umat manusia yang melihatnya. Setiap motif dan warna ulos memiliki arti dan nilainya tersendiri, itulah mengapa ulos
disebut juga sebagai kain yang bercerita. Bercerita tentang Batak dan ulos tentu tidak lengkap tanpa pemberian
ucapan umpasa kata-kata bijak ketika proses mangulosi atau menyelimuti seseorang dengan ulos berlangsung. Salah satu ungkapan atau umpasa yang
berkaitan dengan cerita awal terbentuknya kain tenun ulos dikemukakan oleh salah seorang informan Op. L. Tobing 75 Tahun berikut ini :
Deak Parujar
Sahat do turi-turian Tu jolma manias dihasiangan
Ue… tahe ise do na niaudi
Partonun dimanogot manghargai dobari Pangunggas dibodari mangharhari dimanogot
Cerita terbaca Seluruh insan ibu pertiwi
Wahai… siapakah gerangan nan jauh disana Penenun pagi hari, peluruh malam penggulung
Malam, peluruh pagi
Umpasa atau ungkapan tersebut menceritakan mengenai peran Siboru Deak Parujar sebagai mahluk yang berasal dari banua ginjang mengisi waktunya
dengan menenun kain yang kelak akan menghubungkan antara banua ginjang dengan banua tonga.
3.2. Kain Ulos