Diantara kain tenun ikat yang ada, hanya ulos yang memiliki arti mendalam dan sangat luas, dibedakan atas proses pembuatan gorgamotif beserta
coraknya, dan menjadi ukuran penentu bagi nilai dan harganya. Desain yang dikembangkan pada kain ulos merupakan hasil karya penggalian ornamen budaya
Batak yang diekspresikan dalam rancangan baru, dan masih terus digali dengan berbagai improvisasi.
3.2.1 Jenis – Jenis Ulos
Ulos sebagai sebentuk kain tenunan yang hidup dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba memiliki beragam jenis yang sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya, adalah :
1. Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot” atau “pinunsaan”. Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos
“homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” berupa lemari pada jaman dahulu. Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak
diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau dengan kata lain “naung gabe” orang tua yang sudah mempunyai cucu dari
anaknya laki-laki dan perempuan.
Gambar 2 Ulos Jugia
Sumber : penulis. Motif ulos jugia seperti yang terlihat digambar adalah bermotif polos di
sisi kanan dan kiri atau dalam istilah Batak disebut Ambi, dengan tambahan satu garis lurus berwarna putih di kedua sisinya. Pada bagian tengahnya atau dalam
istilah Batak disebut Tor terdapat motih garis-garis putih dibagaian tengah ulos yang berwarna hitam. Bagian kepala bawah dan atas atau Tinorpa ditenun dengan
motif yang rumit untuk menegaskan seberapa berharganya ulos ini. Simbol- simbol yang terdapat di dalam ulos ini menggambarkan pemakainya yang sudah
mencapai kesempurnaan dalam hidupnya karena sudah memiliki anak dan cucu dari setiap keturunannya.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Menurut penuturan
salah seorang informan, Op. E. Sinaga 70 tahun :
“Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nilainya sama dengan “sitoppi” emas yang dipakai oleh istri
raja pada waktu pesta yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dalam jumlah besar.”
Ulos Jugia dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dianggap sebagai sehelai kain tenun yang kelak akan diwariskan kepada sang anak sebagai sebentuk
materi pemberian dari orangtua kepada anak yang juga mengandung pesan untuk meneruskan perjalanan kehidupan.
2. Ulos Ragi Hidup
Ulos ini dalam penggunaannya berada setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat
ulos ini bisa dipakai dalam setiap upacara adat Batak. Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita
maupun upacara suka cita. Ulos ini juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi”
mengukuhkan semangat seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan tuan rumah. Ini yang membedakannya dengan suhut yang
lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu. Dalam sistem kekeluargaan orang Batak, kelompok satu marga dongan
tubu adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona
sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan
walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat suhut sihabolonan tetap diakui sebagai pengambil kata putus putusan terakhir.
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah. Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini
dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. L. boru Hutabarat 47 Tahun seorang
informan yang merupakan penenun ulos mengatakan bahwa : “Kedua sisi ulos kiri dan kanan ambi dikerjakan oleh dua orang.
Kepala ulos atas bawah tinorpa dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos tor dikerjakan satu
orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan diihot menjadi satu kesatuan
yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak kalender Batak. Bila dimulai Artia hari pertama selesai di Tula hari
tengah dua puluh. Bila seorang tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak
sulung sedangkan yang lainnya memakai ulos sibolang. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” Ulos Saur Matua kepada cucu dari
anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos Jugia. Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos
“Pansamot” untuk orang tua pengantin laki-laki dan ulos ini tidak bisa
diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Bahkan di daerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
Gambar 3 Ulos Ragi Hidup
Sumber : Penulis.
Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan tuan rumah. Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu”
disebut dongan tubu saudara kandung. Ulos ini terdiri atas tiga bagian
10
10 Motif dan pola ulos terbagi atas dua bentuk, yaitu bentuk pola tiga atau memiliki tiga pola motif pada sehelai ulos bagian atas, tengah dan bawah dan
pola lima atau memiliki lima pola pada sehelai ulos bagian atas, bawah, bagian tengah yang terbagi tiga; kiri, kanan dan pusat.
yaitu dua sisi yang ditenun sekaligus dan satu bagian tengah yang ditenun sendiri dengan motif yang sangat sulit. Motif
tersebut harus berkesan dilukiskan secara benar-benar hidup, sehingga dinamakan Ragidup dan diartikan sebagai lambang kehidupan. Setiap rumah tangga atau mau
berumah tangga akan punya dan diberi Ulos Ragidup karena lambang kehidupan dan juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan terutama dalam
mendapatkan keturunan.
3. Ragi Hotang