Merancang dan Membuat Kebijakan yang Sensitif Gender

3.6. Merancang dan Membuat Kebijakan yang Sensitif Gender

Memang secara normatif bahwa anggota parlemen adalah mereka yang berjuang demi kesejahteraan masyarakat pada umumnya, tanpa melihat jenis kelamin yang berbeda. Namun, saat ini keadilan dan kesetaraan dapat dikatakan belum tercapai diantara perbedaan jenis kelamin tersebut, terkhususnya pada perempuan. Maka dari itu, adanya perwakilan perempuan yang subtantif dalam parlemen, merupakan suatu kebutuhan khusus untuk memperjuangkannya. Berbeda dengan ”politics of presence”, yang menekankan hanya pada aspek kuota perempuan dalam parlemen, saat ini perlu adanya ide “politics of process” yang menekankan pada subtansi perwakilan perempuan itu sendiri. Politics of process berbicara tentang bagaimana implikasi dari hadirnya perempuan di parlemen itu dan bagaimana mengukur keberhasilan dari kehadiran perempuan di parlemen. Ide tersebut bertujuan bahwa representasi dari perempuan parlemen bukan hanya sebagai simbol, melainkan suatu substantive representative bagi kalangan perempuan itu sendiri. Representasi subtantif dari perempuan di parlemen merupakan metode yang lebih tepat untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan di luar parlemen melalui kebijakan-kebijakan strategis. Hal tersebut juga sebagai wujud rekonstruksi kesadaran masyarakat yang masih berpandangan patriarkhis, untuk dapat menerima dan mendukung perempuan mendapat kesempatan dalam ranah publik dalam bermasyarakat. Selain itu juga dapat membantu dalam Universitas Sumatera Utara pengembangan kebijakan-kebijakan yang ada untuk tidak bias gender ramah gender dan merugikan salah satu jenis kelamin terkhususnya perempuan. Kebijakan adalah penentu prioritas terhadap agenda legislatif. Badan pembuatan keputusan di parlemen sangat berpengaruh. Meski demikian perempuan masih kurang terwakili dalam kelompok ini. Kenyataannya, tidak semua lembaga politik baik itu parlemen dan partai politik mendorong kesetaraan gender atau menegakkan pernyataan mereka dan melaksanakannya dengan menempatkan perempuan dalam jabatan pembuatan keputusan tertinggi. Dukungan dari partai yang berkuasa merupakan faktor penting dalam penerapan dan pelaksanaan undang-undang terkait kepentingan perempuan. Terkadang anggota dewan memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengkaji isu kesetaraan gender karena disiplin partai. Biasanya, kebijakan partai menentukan kelompok partai di parlemen dan suaranya pada isu tertentu. Oleh karena itu tuntutan kepada anggota dewan sebaiknya realistis, di mana identitas partai sangat kuat, ruang untuk anggota parlemen dalam bertindak di luar garis kebijakan partai mungkin terbatas. Hal ini memperkuat pentingnya memastikan pemberdayaan perempuan dalam kebijakan partai dan kebijakan parlemen. Penulis menilai bahwa merancang dan membuat kebijakan yang sensitif gender merupakan tujuan utama dari pemberdayaan politik perempuan ataupun peningkatan kualitas perempuan di parlemen. Dari semua langkah-langkah yang dilakukan perempuan untuk meningkatkan kualitasnya seperti melakukan Universitas Sumatera Utara pelatihan, pendidikan politik, membentuk jaringan lintas partai, menjalin kerjasama dengan organisasi masyarakat, maupun menjalin kemitraan dengan partai politik itu seharusnya membantu dan mempermudah perempuan di parlemen untuk dapat merancang dan membuat kebijakan yang sensitif gender. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan