Teori Partisipasi Politik .1. Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik
ini telah berdampak meluas sehingga perempuan diperlakukan sama dengan laki- laki di dalam partai, dan pendapat mereka dipertimbangkan setara dengan mitra
mereka yang laki-laki.
6.2 Teori Partisipasi Politik 6.2.1. Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik
14
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum, mengadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan contatcting dengan
pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya
15
. Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan
secara aktif the active engage ment dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Herbert McClosky memberikan batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan kegiatan sukarela dari
warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum”. Huntington dan Nelson membuat batasan
14
Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 180-183-186
15
Miriam Budiharjo, 2008, dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama, hal 1-2
Universitas Sumatera Utara
partisipasi politik sebagai“kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi- pribadi, yang dimaksut sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau sepontan, mantap atau sporaecara damai atau kekerasan, legal atau illegal, e
fektif atau tidak efektif.” Rush dan Althoff memberikan batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan
dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik. Beberapa pandangan ahli tentang tipologi partisipasi politik. Roth dan Wilson membuat tripologi partisipasi politik
atas dasar piramida partisipasi. Pandangan Roth dan Wilson tentang piramida politik menujukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat aktivitas politik
seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya. Rush dan Althoff mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu
tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki yang
terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apatis secara total yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi
Hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang- orang, seperti yang diperhatikan oleh bagan hirarki partisipasi politik dimana garis
vertikal segitiga menujukan hierarki, sedangkan garis orizontalnya menujukan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.
Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu : 1.
Partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipsi politik yang
Universitas Sumatera Utara
normal dalam demokrasi modern. 2.
Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partosipasi politik yang tidak lezim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. 6.2.2. Partisipasi Politik Perempuan
Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana
mereka dapat
mempertahankan dan
mengembangkan kepentingan -
kepentingannya. Namun ideologi yang mapan yang berkembang menyebabkan perempuan dieksklufsikan dari dunia politik. Pamela Paxton dan Sheri Kunovich
dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa ideologi patriarkis ini bahkan lebih kuat pengaruhnya terhadap keterwakilan politik ketimbang sistem politiknya
sendiri
16
. Tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional, yaitu tuntutan
agar perempuan seharusnya berada dalam pembuatan keputusan sebanding dengan keanggotaan mereka dalam penduduk, sering kali dihadapkan dengan
pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingan-
kepentingan berbeda dari keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan. Keinginan ini sering pula dibenturkan dengan kenyataan bahwa perempuan itu
16
Joni Lovenduski, 2008, Politik Berparas Perempuan, Yogyakarta; Penerbit Kanisius, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
sendiri terdiri dari bermacam-macam perbedaan. Namun, mereka seolah lupa bahwa ada kepentingan yang semua perempuan dari kelas manapun pasti
merasakannya, yaitu seperti persoalan-persoalan terkait dengan fungsi reproduksi dan adanya hukum yang membakukan peran gender perempuan. Hukum
sebagai suatu norma umum tentunya berlaku bagi perempuan manapun tanpa terkecuali.
United Nation-Center for Social Development dan Humanitarians Affairs menjelaskan lima pendapat mendasar mengenai perlunya partisipasi politik yang
juga dijadikan sebagai dasar tuntutan penambahan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik, yaitu:
17
1. Demokrasi dan egaliterisme
Sedikitnya separuh dari penduduk adalah perempuan dan harus diwakili secara proporsional. Pengakuan akan hak-hak wanita menjadi warga negara
yang sepenuhnya harus tercermin dalam partisipasi efektif mereka pada tingkat-tingkat kehidupan politik yang bebeda-beda. Tidak ada demokrasi
yang sesungguhnya kalau perempuan dikeluarkan dari kedudukan politik. 2.
Legitimasi Rendahnya keterwakilan perempuan membahayakan legitimasi sistem
demokrasi karena menjauhkan para wakil terpilih dari pemilih perempuannya. Hasil keputusan politik tidak sama untuk laki -laki dan
17
Catherine Natalia, 2005, Peranan Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum dalam Meningkatkan keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Bakti 2004-2009, Tesis
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
perempuan sehingga dapat menimbulkan keraguan publik terhadap sistem perwakilan. Akibatnya, mungkin terjadi kaum perempuan menolak undang -
undang atau kebijakan yang telah dirumuskan tanpa partisipasi mereka seperti pada Declaration of Sentiment yang dibuat di Seneca Falls 1848, yang
menyatakan bahwa konstitusi AS tidak sah karena mereka tidak diikutsertakan dalam pembentukannya.
3. Perbedaan kepentingan
Perempuan dikondisikan memiliki peranan sosial, fungsi,dan nilai-nilai yang berbeda. Oleh karena itu, perempuan memiliki kebutuhan sendiri.
Komposisi yang berlaku sekarang membuat mereka tidak sanggup untuk menyuarakan dan membela kepentingan mereka.
4. Perubahan politik
Terdapat beberapa petunjuk bahwa politisi perempuan jika jumlahnya cukup dapat mengubah pusat perhatian politik. Keberadaan perempuan di
dunia politik menyebabkan meluasnya ruang lingkup politik. masalah - masalah seperti pemeliharaan anak, gender, dan perencanaan keluarga
yang semula dianggap lingkup pribadi sekarang dapat dianggap sebagai masalah politik.
5. Penggunaan sumber daya manusia yang lebih efisien
Pentingnya peran biologis dasar dan sosial perempuan sudah jelas, meskipun masukan mereka kadangkala tidak diakui, mereka adalah
menyumbang ekonomi nasional yang besar baik melalui tenaga yang
Universitas Sumatera Utara
dibayar maupun yang tidak dibayar. Mengecualikan perempuan dari jabatan- jabatan kekuasaan dan lembaga-lembaga perwakilan memperburuk kehidupan
publik dan membatasi perkembangan suatu masyarakat yang adil. Tanpa perwakilan sepenuhnya dari perempuan dalam pengambilan keputusan,
proses politik menjadi kurang efektif. Di samping itu, sebuah penelitian yang dilakukan Edward A. Koning juga
menunjukkan bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan, maka perempuan lain di luar itu pun akan merasa sebagai bagian dari parlemen. Dengan demikian,
internalisasi nilai patriarki pada perempuan akan berkurang, dan mereka semakin menyadari bahwa politik bukan hanya urusan laki-laki, tetapi juga perempuan
18
. Hal penting lain yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan terbukanya sistem
politik terhadap perempuan sama artinya dengan menaikkan peluang untuk mendapatkan politisi yang potensial menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, hal ini
juga dapat meningkatkan kualitas dari parlemen itu sendiri. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa tuntutan perwakilan deskriptif
akan mengarah pada suatu perwakilan substantif, dimana kehadiran perempuan dalam lembaga pembentuk kebijakan bukan hanya sebagai simbol dari salah satu
jenis kelamin, tetapi lebih dari itu keberadaan mereka adalah penting untuk mengubah budaya dan prioritas-prioritasnya dan terutama untuk meningkatkan
cakupan perhatiannya
19
.
18
Ibid, hal 21
19
Joni Lovenduski, op.cit., hal. 42
Universitas Sumatera Utara