Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen (Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)

(1)

PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN

(STUDI KASUS : FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN

LABUHANBATU PERIODE 2014-2019)

SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA

100906067

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)

PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN (STUDI KASUS: FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN LABUHANBATU PERIODE 2014-2019).

RINCIAN ISI SKRIPSI, 100 HALAMAN, 14 BUKU, 6 TABEL, 2 JURNAL, 4 ARTIKEL, 3 SITUS INTERNET. (KISARAN BUKU DARI TAHUN 1987-2011).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang kemudian dihubungkan dengan langkah-langkah strategis peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. 30% komposisi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan, tetapi tidak satupun kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan berhasil dikeluarkan oleh DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Dengan melihat besarnya angka keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu tetapi tidak sejalan dengan lahirnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan menunjukkan rendahnya kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sebagai wakil perempuan di luar parlemen (representative subtantive). Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis yang diperoleh.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori partisipasi politik perempuan Joni Lovenduski, konsep pemberdayaan perempuan Sara H. Longwee, konsep pemberdayaan perempuan dalam bidang politik Sabar Marniyati, konsep pemberdayaan perempuan di parlemen Julie Ballington. Teori tersebut digunakan untuk melihat lebih jelas bahwa perempuan di parlemen juga mewakilkan kepentingan perempuan di luar parlemen. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama dalam pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)

IMPROVING THE QUALITY OF WOMEN IN PARLIAMENT (CASE STUDY: LABUHAN BATU REGENCY FROM GOLKAR FACTION OF LEGISLATIVE PERIOD 2014-2019).

DETAILS OF THE CONTENTS OF THE THESIS, 100 PAGES, 14 BOOKS, 6 TABLES, 2 JOURNALS, 4 ARTICLES, 3 INTERNET SITES. (The RANGE OF THE BOOK FROM 1987-2011).

ABSTRACT

This research aims to elaborate on the problems of the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency which is then linked with strategic measures to improve the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency. 30% of Labuhan Batu Regency in the composition of the REPRESENTATIVES are women, but none of the policies that are sensitive to the interests of women successfully issued by the DPRD Labuhan Batu Regency. By looking at the magnitude of the numbers of female representation in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency but not in line with the inception of the policy that is sensitive to the interests of women shows poor quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu District as a representative of women outside the Parliament (representative subtantive). Therefore, researchers are using design case study and interview methods as a primary data collection techniques and research rely on analysis results obtained.

The theory used to explain these problems is a theory of political participation of women Joni Lovenduski, concepts of women's empowerment Sara h. Longwee, the concept of empowerment of women in the political sphere Patient Marniyati, the concept of empowerment of women in Parliament, Julie Ballington. The theory used to see more clearly that women in Parliament also represents the interests of women outside the Parliament. Using design case study and interview methods as a major technique in data collection, this research relied on the results of the analysis of the data obtained and interviews its relevance with the theory used.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Penguji Skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dilaksanakan Pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji: Ketua :

( )

Nip.

Anggota I :

( )

Nip.

Anggota II :

( )


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Sholihin Anwar Muda Ritonga

NIM : 100906067 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen (Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)

Menyetujui :

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing,

(Dra.T.Irmayani,M.Si) (Dra. Evi Novida Ginting, M.SP) NIP. 196806301994032001 NIP. 196611111994032004

Mengetahui: Dekan FISIP USU,

(Prof.Dr.Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(6)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda saya tercinta Mulyati Hasibuan dan Ayahanda Muhammad Anwar Ritonga


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Usaha diiringi doa serta bantuan orang-orang sekitar merupakan hal-hal yang memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen

(Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Ilmu Politik pada jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan yang sedikit banyak mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namum kesulitan-kesulitan yang dihadapi juga bisa dijadikan motivasi. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Badarudin M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan

2. Ibu Dra. T Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen S-1 Ilmu Politik, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan


(8)

3. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.SP selaku Dosen pembimbing, yang sudah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak/Ibu Dosen departemen Ilmu Politik S-1 Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Orang tua penulis yaitu, Bapak M. Anwar Ritonga dan Ibu Mulyati Hasibuan, yang selalu mendoakan dan mendukung agar penulis selalu sehat dan semangat, dan telah banyak memberikan dukungan moral dan material yang tidak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, menyelesaikan perkuliahan dan mendapatkan gelar sarjana seperti yang telah di cita-citakan.

6. Kepada adik-adik penulis, Anggi, Ricsa, dan Azmal yang telah mendukung dan memotivasi penulis.

7. Kepada keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, Nenek Hj. Nuraisyah Khan, Tante Jenab, Tante Lia, Tante Ningsih, Tulang Aman, dan seluruh keluarga besar lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu.

8. Kepada Rahmi Milasari Tanjung S.Pd yang selalu memberi dan menjadi motivasi bagi penulis.


(9)

9. Kepada teman-teman penulis di departemen Ilmu Politik stambuk 2010, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, semoga pertemanan kita dapat terus berlanjut dan tidak terbatas hanya dalam perkuliahan.

10. Kepada kakak-kakak senior dan adik-adik junior di departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

11. Kepada kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bung Kosner, Bung Irfan, Bung Rahmad, Bung Josef, Bung Tariq, Bung Amar, Bung Putra, Bung Janter, Bung Jeki, Bung Halim, Bung Hugo, Bung Novjel, Bung Ludin, Bung Julius, Bung Hendra dan kawan-kawan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

12. Kepada para narasumber, Ibu Hj. Ellya Rosa, Ibu Hj. Meika Rianti, dan Bapak H. Fahrinsal Siregar yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Banyak Kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, isi dari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa mendatang

Medan, 4 Agustus 2015


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Persetujuan ... iv

Lembar Persembahan ... v

Kata Pengatar ... vi

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xi

BAB I Pendahuluan ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 10

3. Pembatasan Masalah ... 10

4. Tujuan Masalah ... 11

5. Manfaat Penelitian ... 11

6. Kerangka Teori ... 12

6.1Konsep Pemberdayaan Perempuan ... 12

6.1.1 Gambaran Umum Pemberdayaan Perempuan ... 12

6.1.2 Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik ... 15

6.1.3 Pemberdayaan Perempuan di Parlemen ... 20

6.2Teori Partisipasi Politik ... 27

6.2.1 Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik ... 27

6.2.2 Partisipasi Politik Perempuan ... 29

7. Metodologi Penelitian ... 33

7.1Jenis Penelitian ... 33

7.2Lokasi Penelitian ... 34

7.3Teknik Pengumpulan Data ... 34

7.4Teknik Analisis Data ... 35


(11)

BAB II Gambaran Umum Lokasi Penelitian 38

1. Sejarah Labuhanbatu ... 38

1.1Sebelum Zaman Penjajahan Belanda ... 38

1.2Zaman Penjajahan Belanda ... 39

1.3Zaman Penjajahan Jepang ... 40

1.4Setelah Proklamasi ... 41

2. Pemekaran Labuhanbatu ... 48

3. Letak dan Geografis Labuhanbatu ... 49

4. Populasi Penduduk ... 50

5. Gambaran Umum DPRD Kabupaten Labuhanbatu ... 53

5.1Dinamika DPRD Kabupaten Labuhanbatu ... 53

5.2Fraksi-Fraksi ... 53

5.3Alat Kelengkapan DPRD ... 55

5.4Pimpinan DPRD ... 56

5.5Komisi-Komisi ... 57

5.6Badan-Badan ... 60

5.7Panitia-Panitia ... 64

5.8Kegiatan Komisi-Komisi ... 64

BAB III Penyajian dan Analisis Data ... 65

1. Gambaran Umum Perempuan di DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 65

2. Partisipasi Perempuan di Fraksi Golkar DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 69

3. Peningkatan Kualitas Perempuan di DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 78

3.1Mengikuti Pelatihan dan Pendidikan Politik ... 79

3.2Mengubah Budaya di Parlemen ... 82

3.3Membentuk Jaringan Lintas Partai yang Terdiri dari Perempuan di Parlemen ... 83

3.4Menjalin Kerjasama dengan Organisasi Masyarakat ... 84

3.5Menjalin Kerjasama dengan Partai Politik ... 86

3.6Merancang dan Membuat Kebijakan yang Sensitif Gender ... 92

BAB IV Penutup ... 95

1. Kesimpulan ... 95

2. Saran ... 97


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Presentase Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan ... 50 Tabel 2 Presentase Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin

di Kabupaten Labuhanbatu ... 51 Tabel 3 Presentase Penduduk Menurut Agama per Kecamatan ... 52 Tabel 4 Nama-Nama Anggota DPRD TK II Kabupaten

Labuhanbatu Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67 Tabel 5 Komposisi Fraksi Golkar DPRD TK II Kabupaten

Labuhanbatu ... 72 Tabel 6 Tingkat Pendidikan Anggota Fraksi Golkar DPRD TK II


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)

PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN (STUDI KASUS: FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN LABUHANBATU PERIODE 2014-2019).

RINCIAN ISI SKRIPSI, 100 HALAMAN, 14 BUKU, 6 TABEL, 2 JURNAL, 4 ARTIKEL, 3 SITUS INTERNET. (KISARAN BUKU DARI TAHUN 1987-2011).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang kemudian dihubungkan dengan langkah-langkah strategis peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. 30% komposisi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan, tetapi tidak satupun kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan berhasil dikeluarkan oleh DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Dengan melihat besarnya angka keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu tetapi tidak sejalan dengan lahirnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan menunjukkan rendahnya kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sebagai wakil perempuan di luar parlemen (representative subtantive). Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis yang diperoleh.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori partisipasi politik perempuan Joni Lovenduski, konsep pemberdayaan perempuan Sara H. Longwee, konsep pemberdayaan perempuan dalam bidang politik Sabar Marniyati, konsep pemberdayaan perempuan di parlemen Julie Ballington. Teori tersebut digunakan untuk melihat lebih jelas bahwa perempuan di parlemen juga mewakilkan kepentingan perempuan di luar parlemen. Dengan menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama dalam pengumpulan data, penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data wawancara yang diperoleh dan relevansinya dengan teori yang digunakan.


(14)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)

IMPROVING THE QUALITY OF WOMEN IN PARLIAMENT (CASE STUDY: LABUHAN BATU REGENCY FROM GOLKAR FACTION OF LEGISLATIVE PERIOD 2014-2019).

DETAILS OF THE CONTENTS OF THE THESIS, 100 PAGES, 14 BOOKS, 6 TABLES, 2 JOURNALS, 4 ARTICLES, 3 INTERNET SITES. (The RANGE OF THE BOOK FROM 1987-2011).

ABSTRACT

This research aims to elaborate on the problems of the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency which is then linked with strategic measures to improve the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency. 30% of Labuhan Batu Regency in the composition of the REPRESENTATIVES are women, but none of the policies that are sensitive to the interests of women successfully issued by the DPRD Labuhan Batu Regency. By looking at the magnitude of the numbers of female representation in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency but not in line with the inception of the policy that is sensitive to the interests of women shows poor quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu District as a representative of women outside the Parliament (representative subtantive). Therefore, researchers are using design case study and interview methods as a primary data collection techniques and research rely on analysis results obtained.

The theory used to explain these problems is a theory of political participation of women Joni Lovenduski, concepts of women's empowerment Sara h. Longwee, the concept of empowerment of women in the political sphere Patient Marniyati, the concept of empowerment of women in Parliament, Julie Ballington. The theory used to see more clearly that women in Parliament also represents the interests of women outside the Parliament. Using design case study and interview methods as a major technique in data collection, this research relied on the results of the analysis of the data obtained and interviews its relevance with the theory used.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Parlemen merupakan lembaga yang sangat strategis bagi suatu negara demokratis, karena disinilah ditentukan kebijakan yang menyangkut masyarakat, khususnya keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan keseteraan gender adalah suatu bentuk upaya perjuangan bahwa tidak adanya perbedaan hak maupun kewajiban antara dualitas gender yang ada, yakni maskulin (laki-laki) dengan feminis (perempuan) di dalam bermasyarakat dan bernegara1.

Hadirnya perempuan di dalam parlemen merupakan indikator bahwa negara demokrasi tersebut memiliki demokratisasi yang esensial, dimana bukan hanya jargon semata. Ide tentang perlunya kehadiran perempuan di parlemen inilah yang pada akhirnya dapat menentukan bahwa perempuan dapat diperlakukan secara adil dan setara. Adil dan setara yang dimaksud bukan hanya dalam ranah publik saja, setidaknya dalam ranah domestik juga mereka tidak mendapat suatu perlakuan yang diskriminatif maupun eksploitatif melalui aturan hukum yang dibentuk nantinya dalam parlemen.

Permasalahan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi

1

Wahidah Zein Siregar, 2005, Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A Quota, Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS)vol. 11, no. 3, hal. 37


(16)

sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jam kerja yang tidak memihak terhadap pekerja perempuan, permasalahan reproduksi seperti tidak ada jaminan terhadap ibu hamil dan ibu yang hendak melahirkan menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang perempuan menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang2.

Pada dasarnya ketidakadilan yang dipermasalahkan dari perempuan adalah minimnya aksesbilitas mereka untuk terlibat dalam ranah publik. Kekhasan ranah publik yang sangat patriarkhis atau maskulin memang mengkonstruksi kesadaran masyarakat bahwa ranah tersebut tidaklah relevan untuk perempuan. Padahal ranah publik adalah satu-satunya ruang yang dapat menciptakan suatu aturan yang adil dan setara terhadap perempuan di dalam bermasyarakat. Salah satu contoh ranah publik tersebut adalah parlemen yakni lembaga yang memiliki hak membentuk aturan dalam masyarakat.

Kehadiran perempuan di parlemen harusnya menjadi angin segar atas kondisi objektif yang telah dirasakan perempuan saat ini. Semestinya perempuan dapat menggantungkan asanya kepada perempuan di parlemen atas perlindungan

2


(17)

secara hukum terkait kondisi dan permasalahan objektif perempuan, karena dapat dikatakan bahwa perempuan di parlemen menjadi tolak ukur bagaimana keadilan dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang yang dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa perempuan di parlemen inilah yang menjadi pionir bagi perempuan-perempuan di luar parlemen (dalam masyarakat). Namun adanya fakta buruk akan perempuan di parlemen dapat membuat masyarakat menjadi acuh kembali akan representasi perempuan di parlemen tersebut. Fakta-fakta yang disebutkan disini adalah dimana adanya perempuan di parlemen yang melakukan tindakan korupsi, pecitraan semu dan kurangnya partisipasi aktif dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

Korupsi yang terjadi di kalangan perempuan di parlemen menjadi suatu keresahan masyarakat di atas ekpektasi mereka yang meyakini bahwa perempuan dapat lebih baik dalam parlemen sebagaimana penelitian yang dilakukan Women Research Institute (WRI)3. Penelitian WRI melakukan data survei sekitar 71% masyarakat lebih percaya anggota parlemen perempuan dibandingkan laki-laki. Namun ketika dihadapkan dengan realitas seperti korupsi yang dilakukan oleh perempuan di parlemen salah satunya seperti Angelina Sondakh, maka inilah yang akan berdampak buruk, karena akan terjadi stereotyping oleh masyarakat terhadap perempuan yang ingin mencalonkan diri menjadi perempuan parlemen.

3Kharina Triandana, “

Riset: Masyarakat Lebih Percaya Anggota DPR Perempuan ,” beritasatu.com, diakses pada tanggal 28 April 2015, http://beritasatu.com/nasional/160982-riset-masyarakat-lebih -percaya-anggota-dpr-perempuan.html


(18)

Korupsi yang di lakukan perempuan di parlemen merupakan suatu hambatan dalam perjuangan perempuan di dalam sektor publik khususnya politik. Selain korupsi, pecitraan semu dan kurangnya signifikasi partisipasi aktif perempuan dalam parlemen juga menjadi faktor pendukung yang menghambat perempuan untuk menjadi figur yang dikatakan cocok dalam parlemen. Melalui ketiga hambatan yang terjadi demikian diyakini bahwa metode substantive representative perempuan dalam parlemen belumlah tercapai di Indonesia. Hanya dengan memperhatikan suatu jumlah kuota yang semata-mata dikatakan adil dan setara tidaklah cukup, harus ada upaya peningkatan kualitas yang signifikan. Jika ketiga hal tersebut terus terjadi dan tidak adanya upaya rekonstruksi kapabilitas perempuan, dapat diyakini bahwa keadilan dan kesetaraan pada perempuan tidak dapat tercapai.

Memang penting adanya upaya kuota perempuan dalam parlemen sebagai bentuk hutang peradaban terhadap perempuan. Julie Ballington menjelaskan bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya semakin banyak perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu perempuan dan mengubah dinamika gender di kamar parlemen4. Dengan kata lain, semakin banyak jumlah perempuan di parlemen maka akan semakin banyak juga isu tentang perempuan diperdebatkan.

4

Julie Ballington, 2011, Pemberdayaan Perempuan Untuk Partai Politik yang Lebih Kuat (Panduan Praktek Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan), Graphics service Bureau, Hal. 37


(19)

Sampai sekarang pro dan kontra terhadap peranan perempuan dalam parlemen masih saja berlangsung. Pro dan kontra disini berangkat dari permasalahan apakah keterwakilan perempuan dapat menjadi figur yang mumpuni dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadilan dan kesetaraan gender pada khususnya. Oleh karena itu memang perlu adaya suatu politik pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas perempuan, yang mau tak mau harus dilakukan sebagai upaya konkrit menjamin representasi perempuan di dalam parlemen.

Pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas perempuan di ruang politik bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya dengan membuka jalan atau ruang publik begitu saja terhadap perempuan. Perlu adanya strategi yang komperensif mulai dari hulu hingga ke hilir kepada perempuan5. Hulu yang patut dibentuk untuk memberdayakan perempuan pada dasarnya dimulai dari metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi figur publik, bekerjasama dengan basis dukungannya sehingga dapat pola hubungan timbal balik yang membangun, hingga pembentukan lingkungan yang ramah gender sebagai bekal perpektif perempuan. Sedangkan hilir yang dimaksudkan adalah menciptakan suatu produk-produk legislasi dan implementasi kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara.

5

Nur Iman Subono, 2013, Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan, Jurnal Perempuanvol. 18, no. 4, hal 56


(20)

Salah satu indikator kualitas adalah pendidikan, baik itu jenjang pendidikan secara formal maupun nonformal. Pendidikan perempuan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya perempuan agar mereka mampu berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses pembangunan6. Selain pendidikan secara umum, pendidikan politik adalah sebuah keharusan untuk dikonsumsi oleh perempuan terutama politisi perempuam. Sehingga berbagai macam perangkat politik baik itu partai politik, LSM, maupun pemerintah harus memberikan pendidikan politik yang benar-benar berkualitas bagi perempuan yang terlibat di dalam partai politik dan pertarungan politik di dalam pemilu. Pendidikan politik memang telah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri, terlebih pada saat ini ketika kesadaran bahwa gerakan perempuan mempunyai potensi gerakan yang semakin meluas maka gerakan untuk membangun kekuatan politik perempuan sudah tidak bisa ditunda lagi dan diharapkan ini akan menjadi salah satu alternatif dalam mencari penyelesaian untuk beragam permasalahan yang dihadapi oleh bangsa, terutama yang berdampak sangat besar terhadap perempuan seperti kenaikan harga yang membuat perempuan harus lebih bekerja keras, memutar otak untuk tetap melanjutkan hidupnya dan keluarganya.

Keberadaan organisasi-organisasi perempuan juga mendukung atas peningkatan kualitas perempuan. Partai-partai politik seharusnya mendirikan dan mengembangkan organisasi-organisasi sayap yang fokus terhadap isu perempuan guna menjadi wadah bagi perempuan atas kepentingan mereka di dunia politik.

6

Kata sambutan Jendral Pendidikan Luar Sekolah dalam modul yang berjudul “Modul Pendidikan Perempuan Untuk Berpolitik”


(21)

Organisasi-organisasi yang fokus terhadap perempuan yang didirikan partai politik sebaiknya tidak sekedar tempat perkumpulan kaum perempuan saja, melainkan juga harus memberikan edukasi atau pendidikan politik sehingga melahirkan perempuan-perempuan yang berkualitas.

Melalui pemberdayaan hulu dan hilir perempuan di parlemen dan peranan partai politik yang meliputi rekrutmen dan pendidikan politik tersebut, bisa berimplikasi pada peningkatan kapabilitias perempuan dalam parlemen yang mampu setara dalam politik maskulin yang eksis saat ini. Hal itu juga berarti pada adanya peningkatan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan negara. Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan dalam Beijing Platform bahwa tanpa partisipasi aktif perempuan dan melibatkan perspektif perempuan dalam setiap tingkatan pengambilan kebijakan, tujuan dari kesetaraan, pembangunan dan perdamaian tidak akan bisa tercapai7.

Di saat perempuan di berbagai daerah dipusingkan dengan kecilnya jumlah mereka ke parlemen, perempuan di Kabupaten Labuhanbatu sudah mencoba untuk mendominasi akses ke parlemen daerah. Kabupaten yang parlemennya pernah dipimpin oleh sosok perempuan ini kembali menghadirkan fenomena yang menarik. Terdapat 14 perempuan dari 45 orang yang terpilih menduduki kursi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, dengan persentase melebihi angka 30%. Hasil ini mengalami peningkatan yang signifikan dari hasil pemilu

7

United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York: UNDP, hal 12


(22)

sebelumnya yang hanya melibatkan 5 perempuan dari 50 jatah kursi di legislatif atau hanya mencapai angka 2,5 persen saja. Yang paling menarik adalah apa yang terjadi di Partai Golkar, 80% wakil mereka di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan atau berdasarkan jumlah, 4 dari 5 wakil Partai Golkar di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan. Nama-nama keempat perempuan tersebut adalah Hj. Ellya Rosa Siregar, S.Pd, Trully Simanjuntak, SMIP, Hj. Meika Rianti Siregar, SH, Hj. Nurmaya Shofa tanjung, dan Hj. Meika Rianti Siregar, SH.

Representasi perempuan di DPRD TK II Kabupaten Labuhanbatu secara kuota ini dapat dikatakan sebagai langkah awal yang luar biasa terhadap perjuangan perempuan dalam haknya di dalam dunia politik. Harapan akan munculnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan pun meninggi, paling tidak akan semakin banyak perdebatan-perdebatan yang terjadi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu terkait dengan isu kepentingan perempuan. Tetapi dari investigasi yang dilakukan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, selama setahun berjalannya parlemen di Kabupaten Labuhanbatu belum ada kebijakan yang dikeluarkan terkait isu kepentingan perempuan. Bahkan hingga saat ini kebijakan tentang isu perempuan baru satu kali di perdebatkan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu dan perdebatan itu pun tidak bisa diformulasikan menjadi sebuah kebijakan.


(23)

Fenomena belum adanya kebijakan yang dikeluarkan terkait isu kepentingan perempuan bahkan hingga saat ini kebijakan tentang isu perempuan baru satu kali di perdebatkan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu padahal jumlah perempuan di DPRD Labuhanbatu sudah cukup banyak semakin menggambarkan bahwa kuantitas perempuan yang ada belum bisa menjamin kualitasnya di dalam parlemen, khususnya sebagai wakil/representasi perempuan di luar parlemen. Untuk itu perlu adanya strategi untuk meningkatkan kualitas perempuan di parlemen, sehingga mereka mampu mengemban fungsi sebagai penyuara dan pejuang kepentingan perempuan.

Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Dalam penelitian ini, peniliti akan memfokuskan objek penelitian terhadap Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu karena Fraksi Golkar DPRD Labuhanbatu merupakan fraksi yang paling banyak diisi oleh perempuan. Dalam mengkaji fenomena ini, sajian akan diawali dengan eksplorasi gambaran umum perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang meliputi jenjang pendidikan, pengalaman kerja politik, dan analisis terhadap akses fungsional struktural perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Kemudian penyajian akan diakhiri dengan strategi meningkatkan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

2. Perumusan Masalah


(24)

peneliti merupakan unsur yang sangat penting. Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah yang menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya.8 Masalah penelitian harus tampak dan dirasakan sebagai suatu tantangan bagi peneliti untuk dipecahkan dengan mempergunakan keahlian atau kemapuan profesonalnya, yang tidak mungkin diselesaikan oleh semua orang, khususnya orang-orang diluar disiplin ilmu yang berkenaan dengan masalah tersebut.9

Oleh sebab itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“bagaimana peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu?”

3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang masuk dalam ruang penelitian dan faktor yang mana yang tidak masuk dalam ruang penelitian, dan yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah objek

8

Husni Usman dan Pramono, 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara. Hal.26

9

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.24.


(25)

penelitian fokus kepada peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai atau didapatkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peningkatkan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

5. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai penambah referensi

bagi para mahasiswa, khususnya Departemen Ilmu Politik – FISIP USU 2. Bagi penulis penelitian ini sangat bermanfaat dalam mengembangkan

kemampuan berfikir dan menulis karya ilmiah di bidang politik dengan melihat fenomena politik yang terjadi.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi perempuan di parlemen yang merekomendasikan langkah-langkah dalam meningkatkan kualitas perempuan di parlemen.


(26)

6. Kerangka Teori

Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sendiri digunakan sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai berikut:

6.1 Konsep Pemberdayaan Perempuan

6.1.1 Gambaran Umum Pemberdayaan Perempuan10

Pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Pemberdayaan perempuan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya.

10

http://masriyanikhram.blogspot.com/2014/03/pemberdayaan-perempuan-sebagai-upaya.html, diakses pada tanggal 10 april 2015


(27)

Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan atau persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Sara H. Longwee mengembangkan teknik analisis gender yang dikenal dengan kerangka pemampuan perempuan. Metode Sara H. Longwee mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai kesetaraan gender. Kriteria analisis yang digunakan dalam metode ini adalah (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3) tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan (5) tingkat penguasaan (kontrol). Pemahaman akses (peluang) dan kontrol (penguasaan) disini perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya tersebut, dan sebaliknya.


(28)

Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan nonmateri yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun diantara masyarakat. Di Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat perempuan bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan.

Strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari laki-laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas

perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Yang

diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak mereka untuk menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan nonmaterial yang penting.

Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan. Tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender,


(29)

Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan

kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang.

6.1.2 Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik

Harus diakui meskipun saat ini emasipasi perempuan telah dibuka lebar, tetapi masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam


(30)

bidang politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan-urusan keluarga, atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau pelaksana.

Dalam konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa) karena akan patah tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu untuk meluruskan perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik (disarikan dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).

Dengan demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan dilindungi, hal ini dikarenakan perempuan merniliki berbagai sifat yang menjadi kelemahannya, yaitu; hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih menyukai harta, suka bertipu daya, dan senang dirayu. Sisi kelemahan lainnya dan perempuan menunut S.C., Utami Munandar adalah11:

1. Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi mengambil keputusan yang menentukan.

2. Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.

11

Utami Munandar, 1985, Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis, Jakarta:UI Pres, hal. 35


(31)

3. Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.

4. Menginginkan atensi, afeksi dan kasih sayang dan orang lain.

Melihat kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dan para pakar tersebut, maka sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik, adalah sebagai berikut12:

1. Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penga mbilan keputusan pada tingkat lokal

Banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan pada tingkat nasioanal, daaerah, kabupaten/kota sampai tingkat desa/kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, peran perempuan dalam

12

Sabar Marniyati, 2011, Pemberdayaan Perempuan (Transformasi Menuju Partisipasi Politik), Surakarta: Responbilitas volume 3, hal 21-25


(32)

proses pengambilan keputusan hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan belum mampu memasukkan agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala yang berkaitan dengan perenca-naan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh Karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses pengambilan keputusan dengan mem-berikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.

2. Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun nasional

Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden, gubernur dan bupati serta kepala desa secara langsung membuka peluang bagi perempuan untuk menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun tidak banyak perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan politik karena arena politik yang keras, penuh intrik, adu strategi, bahkan intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan rnenganggap arena

politik bukan tempat yang “aman” baginya . OIeh karena itu perlu dilakukan

pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesa-daran hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masih adanya sisa-sisa konsep politik


(33)

yang bersifat paternalism akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk rnewujudkan peran serta penempuan dalam bidang politik.

3. Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis.

Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk me-nyelesaikan masalahnya sendini, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mam-pu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberi support kepada organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena pengam-bilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis.

4. Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil.

Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil, sehingga tidak ada yang memiliki hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara kaum perempuan dengan laki-laki dalam pengalokasian sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya emansipasi perempuan.


(34)

6.1.3 Pemberdayaan Perempuan di Parlemen

Salah satu ruang lingkup politik adalah parlemen. Memajukan parlemen yang demokratis memerlukan lingkungan yang inklusif dan proses politik yang responsif dalam pemberdayaan perempuan. Diterimanya perspektif perempuan dan partisipasi mereka dalam politik adalah prasyarat pembangunan demokrasi dan berkontribusi pada tata kelola yang baik. Meski demikian, secara global perempuan kurang terwakili dalam badan pembuatan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya semakin banyak perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu perempuan dan mengubah dinamika gender di kamar parlemen. Proporsi anggota parlemen perempuan memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk perdebatan politik.

Dengan kehadiran perempuan di parlemen, partai memiliki tanggung jawab dalam memastikan bahwa kesetaraan gender diwakili dalam keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai cukup berpengaruh dalam menentukan isu yang dibahas. Mereka membentuk kebijakan dan prioritas tata kelola pemerintahan oleh karena itu partai politik seharusnya memiliki letak strategis untuk mengatasi kekhawatiran perempuan. Pada prakteknya, partai politik memiliki sejarah yang beragam dari sisi kepengurusan. Contoh dalam bagian ini memberikan gambaran langkah yang diambil untuk mengangkat isu kesetaraan gender pasca pemilihan dalam pemberdayaan dan peningkatan kualitas perempuan di parlemen.


(35)

Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam pemberdayaan politik perempuan di Parlemen13:

(a) memberikan pelatihan kepada anggota legislatif yang baru terpilih

Untuk sebagian besar anggota legislatif yang baru terpilih, kerja parlemen adalah pengalaman baru. Sementara sekretariat parlemen sering memberikan pelatihan pengenalan kepada anggota baru, partai politik sering memberikan pelatihan mereka sendiri untuk anggota dewan baru tentang fungsi partai dalam menjalankan fungsi mereka di parlemen. Pelatihan ini dapat memberikan pengembangan keterampilan umum dan dapat ditargetkan pada anggota perempuan untuk menavigasikan aturan dan prosedur yang ada.

(b) mendorong reformasi peka gender ke parlemen

Sebagai kelompok di parlemen, anggota legislatif perempuan harus dapat mengubah budaya di parlemen. Saat perempuan memasuki parlemen, mereka cenderung memasuki ranah yang sejalan dengan masalah gender, misalnya lingkungan politik di mana budaya lembaga dan prosedur operasional mungkin bias terhadap mereka. Melaksanakan kajian iklim politik diperlukan untuk memastikan kondisi di mana perempuan bekerja cukup kondusif bagi partisipasi mereka. Dengan mempertimbangkan isu seperti waktu sidang di parlemen, lokasi fasilitas untuk anggota dewan perempuan, dan ketentuan cuti untuk orang tua dapat membawa reformasi positif untuk meningkatkan partisipasi perempuan.

13

Julie Ballington, 2011, Pemberdayaan Perempuan Untuk Partai Politik yang Lebih Kuat (Panduan Praktek Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan), Graphics service Bureau, Hal.38


(36)

Menghilangkan hambatan terhadap partisipasi perempuan cukup krusial untuk membentuk parlemen yang ramah gender dalam menyuarakan kepentingan laki-laki dan perempuan.

Di Afrika Selatan, anggota kaukus partai perempuan African National Congress menyuarakan perlunya reformasi kelembagaan parlemen saat mereka dilantik tahun 1994. Mereka meminta jadwal sidang dicocokkan dengan jadwal sekolah supaya anggota dewan dapat meluangkan reses atau menggunakan waktu untuk konstituen saat libur sekolah. Mereka juga mendorong supaya pembahasan selesai lebih awal pada malam hari untuk mengakomodasi anggota dewan yang sudah berkeluarga, atau ada fasilitas penitipan anak.

(c) memastikan pemberdayaan dan peningkatan kualitas perempuan dalam kebijakan

Survey terhadap 300 anggota parlemen oleh IPU menunjukkan bahwa kebijakan partai politik adalah penentu prioritas dan agenda legislatif. Badan pembuatan keputusan partai politik, seperti komite eksekutif sangat berpengaruh. Meski demikian perempuan masih kurang terwakili dalam kelompok ini. Kenyataannya, tidak semua partai politik mendorong kesetaraan gender atau menegakkan pernyataan mereka dan melaksanakannya dengan menempatkan perempuan dalam jabatan pembuatan keputusan tertinggi. Dukungan dari partai yang berkuasa merupakan faktor penting dalam penerapan dan pelaksanaan undang undang terkait gender.


(37)

Partai politik dapat mendorong pemberdayaan perempuan melalui pengembangan kebijakan dalam dua cara:

(a) mendorong kebijakan reformasi gender secara spesifik, Seperti pemberantasan kekerasan berbasis gender, cuti orang tua atau isu berbasis hak reproduksi;

(b) memastikan bahwa perspektif gender harus diutamakan ke semua debat kebijakan dan prioritas partai, termasuk peningkatan kesetaraan gender di bidang seperti akses ke keadilan, kesehatan, kewarganegaraan, hak atas tanah, keamanan dan waris.

Parlemen dapat juga memastikan bahwa komitmen internasional, seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) diterjemahkan menjadi hukum positif nasional dan menjadi dasar langkah pemerintah. Kapasitas anggota partai perempuan, baik laki-laki maupun perempuan, sebaiknya dikembangkan untuk melakukan analisa dari perspektif gender. Pengembangan kebijakan, kajian legislasi dan alokasi sumber daya harus dilihat dari dampak terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat mencakup upaya mendukung kapasitas komisi khusus yang menangani kesetaraan gender untuk melakukan analisa anggaran berdasar gender dan memiliki akses terhadap data. Langkah organisasi yang terkait adalah memastikan resolusi dan rekomendasi dari divisi perempuan, komisi kebijakan internal, atau kaukus parlemen perempuan menginformasikan pengembangan kebijakan dalam partai politik.


(38)

Terkadang anggota dewan memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengkaji isu kesetaraan gender karena disiplin partai. Biasanya, kebijakan partai menentukan kelompok partai di parlemen dan suaranya pada isu tertentu. Oleh karena itu tuntutan kepada anggota dewan sebaiknya realistis, di mana identitas partai sangat kuat, ruang untuk anggota parlemen dalam bertindak di luar garis kebijakan partai mungkin terbatas. Hal ini memperkuat pentingnya memastikan pengurus utamakan gender dalam kebijakan partai.

(d) dukungan jaringan lintas partai yang terdiri dari perempuan dan kaukus perempuan di parlemen

Perempuan di seluruh dunia menyadari bahwa sebagai minoritas di parlemen, ada keuntungan strategis dari koalisi dan aliansi untuk membentuk perubahan kebijakan. Kaukus perempuan menjadi forum efektif yang menyatukan perempuan dari berbagai partai untuk menyalurkan kepentingan dan kekhawatiran, dan harus mengutamakan gender dalam penyusunan kebijakan dan pengawasan pemerintah. Secara konkret, kegiatan kaukus dapat memberikan dukungan kapasitas kepada anggota dewan perempuan, dengan analisa RUU, dengan pendapat dengan OMS, menyelenggarakan lokakarya untuk isu tertentu, menentukan posisi bersama tentang isu yang didorong oleh anggota perempuan kepada pimpinan partai mereka, dan mengawasi tindakan pemerintah terkait pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan. Dukungan partai untuk kaukus perempuan dapat membawa hasil positif.


(39)

(e) Bangun kemitraan strategis dengan organisasi masyarakat sipil

Pembentukan koalisi antara politisi perempuan dan masyarakat sipil bisa menjadi efektif dalam mendorong kebijakan. Pada banyak contoh, terutama jika partai berusaha mendorong amandemen konstitusi atau legislasi yang meningkatkan pemberdayaan perempuan, aktivis dalam partai politik telah bekerja erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan mereka di contoh lain, organisasi masyarakat sipil dan yang secara strategis menargetkan aktivis partai perempuan untuk memperjuangkan perubahan kebijakan yang diinginkan dalam kedua skenario, Organisasi masyarakat sipil dapat memberikan tekanan kepada pemerintah dan menyuarakan tuntutan masyarakat.

(f) melakukan kerjasama dengan partai politik

Periode pasca pemilihan sangat penting bagi partai untuk melakukan assessment kesetaraan gender. Biasanya partai politik bergantung pada contoh anekdot saat menyusun strategi pemberdayaan perempuan padahal dapat melakukan kajian internal. Partai dapat diuntungkan dari analisa sistematis terhadap kebutuhan dan peluang anggota perempuan. Selain itu, pembahasan kesetaraan gender dalam partai politik dapat mencakup aturan terkait fungsi partai, kebijakan dan komitmen, serta posisi yang diduduki oleh perempuan di dalam partai dan di dalam lembaga legislatif. Hal ini dapat difasilitasi melalui pembaharuan arsip di mana data dibagi berdasarkan jenis kelamin.


(40)

Setelah pemilihan, partai dapat menuai manfaat dari assessment atas kinerja mereka sendiri dan perhatian yang sudah diluangkan untuk isu gender semasa kampanye. Partai sendiri dapat menilai apakah praktek atau aturan tertentu merugikan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung selama pemilihan, seperti pendanaan untuk calon atau aturan rekrutmen. Sebaliknya, tindakan atau rencana strategis dapat dikembangkan dan disesuaikan pada temuan assessment tersebut. Kebijakan partai baru dapat diadopsi atau reformasi dilakukan kapan saja, tapi terdapat keuntungan strategis dari upaya yang dilakukan pada periode pasca pemilihan.

Melembagakan kesetaraan gender berarti peraturan dan prosedur yang ditetapkan partai dilaksanakan oleh anggota partai, terutama anggota kaukus dalam parlemen. Ambisi partai, seperti penentuan target khusus dan komitmen kebijakan yang diartikulasikan tidak berarti banyak jika tidak diiringi dengan dukungan dan persetujuan dari anggota partai, laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki adalah mayoritas di parlemen dan mendominasi struktur kepengurusan partai, mereka adalah mitra penting untuk mewujudkan perubahan. Hal ini membutuhkan proses pelatihan internal untuk memberikan pemahaman kepada anggota terutama lelaki tentang kesetaraan gender. Pelatihan orientasi, biasanya diberikan kepada anggota parlemen baru, sebaiknya mencakup ketentuan tentang kesetaraan gender. Dukungan dan visi pimpinan partai sangat penting dalam hal ini. Di Spanyol, pimpinan PSOE Zapatero menyatakan diri sebagai feminis dan dengan demikian terdapat perubahan citra feminisme dalam politik Spanyol. Hal


(41)

ini telah berdampak meluas sehingga perempuan diperlakukan sama dengan laki-laki di dalam partai, dan pendapat mereka dipertimbangkan setara dengan mitra mereka yang laki-laki.

6.2 Teori Partisipasi Politik

6.2.1. Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik14

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya15.

Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engage ment) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Herbert McClosky

memberikan batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan kegiatan sukarela dari

warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses

pembentukan kebijakan umum”. Huntington dan Nelson membuat batasan

14

Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 180-183-186

15


(42)

partisipasi politik sebagai“kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi -pribadi, yang dimaksut sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau sepontan, mantap atau sporaecara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”

Rush dan Althoff memberikan batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik. Beberapa pandangan ahli tentang tipologi partisipasi politik. Roth dan Wilson membuat tripologi partisipasi politik atas dasar piramida partisipasi. Pandangan Roth dan Wilson tentang piramida politik menujukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat aktivitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya.

Rush dan Althoff mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apatis secara total yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi Hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperhatikan oleh bagan hirarki partisipasi politik dimana garis vertikal segitiga menujukan hierarki, sedangkan garis orizontalnya menujukan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.

Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu :


(43)

normal dalam demokrasi modern.

2. Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partosipasi politik yang tidak lezim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

6.2.2. Partisipasi Politik Perempuan

Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana mereka dapat mempertahankan dan mengembangkan kepentingan -kepentingannya. Namun ideologi yang mapan yang berkembang menyebabkan perempuan dieksklufsikan dari dunia politik. Pamela Paxton dan Sheri Kunovich dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa ideologi patriarkis ini bahkan lebih kuat pengaruhnya terhadap keterwakilan politik ketimbang sistem politiknya sendiri16.

Tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional, yaitu tuntutan agar perempuan seharusnya berada dalam pembuatan keputusan sebanding dengan keanggotaan mereka dalam penduduk, sering kali dihadapkan dengan pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingan-kepentingan berbeda dari keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan. Keinginan ini sering pula dibenturkan dengan kenyataan bahwa perempuan itu

16


(44)

sendiri terdiri dari bermacam-macam perbedaan. Namun, mereka seolah lupa bahwa ada kepentingan yang semua perempuan dari kelas manapun pasti merasakannya, yaitu seperti persoalan-persoalan terkait dengan fungsi reproduksi dan adanya hukum yang membakukan peran gender perempuan. Hukum sebagai suatu norma umum tentunya berlaku bagi perempuan manapun tanpa terkecuali.

United Nation-Center for Social Development dan Humanitarians Affairs menjelaskan lima pendapat mendasar mengenai perlunya partisipasi politik yang juga dijadikan sebagai dasar tuntutan penambahan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik, yaitu:17

1. Demokrasi dan egaliterisme

Sedikitnya separuh dari penduduk adalah perempuan dan harus diwakili secara proporsional. Pengakuan akan hak-hak wanita menjadi warga negara yang sepenuhnya harus tercermin dalam partisipasi efektif mereka pada tingkat-tingkat kehidupan politik yang bebeda-beda. Tidak ada demokrasi yang sesungguhnya kalau perempuan dikeluarkan dari kedudukan politik. 2. Legitimasi

Rendahnya keterwakilan perempuan membahayakan legitimasi sistem demokrasi karena menjauhkan para wakil terpilih dari pemilih perempuannya. Hasil keputusan politik tidak sama untuk laki -laki dan

17

Catherine Natalia, 2005, Peranan Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum dalam Meningkatkan keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Bakti 2004-2009, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 18


(45)

perempuan sehingga dapat menimbulkan keraguan publik terhadap sistem perwakilan. Akibatnya, mungkin terjadi kaum perempuan menolak undang -undang atau kebijakan yang telah dirumuskan tanpa partisipasi mereka seperti pada Declaration of Sentiment yang dibuat di Seneca Falls 1848, yang menyatakan bahwa konstitusi AS tidak sah karena mereka tidak diikutsertakan dalam pembentukannya.

3. Perbedaan kepentingan

Perempuan dikondisikan memiliki peranan sosial, fungsi,dan nilai-nilai yang berbeda. Oleh karena itu, perempuan memiliki kebutuhan sendiri. Komposisi yang berlaku sekarang membuat mereka tidak sanggup untuk menyuarakan dan membela kepentingan mereka.

4. Perubahan politik

Terdapat beberapa petunjuk bahwa politisi perempuan jika jumlahnya cukup dapat mengubah pusat perhatian politik. Keberadaan perempuan di dunia politik menyebabkan meluasnya ruang lingkup politik. masalah -masalah seperti pemeliharaan anak, gender, dan perencanaan keluarga yang semula dianggap lingkup pribadi sekarang dapat dianggap sebagai masalah politik.

5. Penggunaan sumber daya manusia yang lebih efisien

Pentingnya peran biologis dasar dan sosial perempuan sudah jelas, meskipun masukan mereka kadangkala tidak diakui, mereka adalah menyumbang ekonomi nasional yang besar baik melalui tenaga yang


(46)

dibayar maupun yang tidak dibayar. Mengecualikan perempuan dari jabatan-jabatan kekuasaan dan lembaga-lembaga perwakilan memperburuk kehidupan publik dan membatasi perkembangan suatu masyarakat yang adil. Tanpa perwakilan sepenuhnya dari perempuan dalam pengambilan keputusan, proses politik menjadi kurang efektif.

Di samping itu, sebuah penelitian yang dilakukan Edward A. Koning juga menunjukkan bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan, maka perempuan lain di luar itu pun akan merasa sebagai bagian dari parlemen. Dengan demikian, internalisasi nilai patriarki pada perempuan akan berkurang, dan mereka semakin menyadari bahwa politik bukan hanya urusan laki-laki, tetapi juga perempuan18. Hal penting lain yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan terbukanya sistem politik terhadap perempuan sama artinya dengan menaikkan peluang untuk mendapatkan politisi yang potensial menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, hal ini juga dapat meningkatkan kualitas dari parlemen itu sendiri.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa tuntutan perwakilan deskriptif akan mengarah pada suatu perwakilan substantif, dimana kehadiran perempuan dalam lembaga pembentuk kebijakan bukan hanya sebagai simbol dari salah satu jenis kelamin, tetapi lebih dari itu keberadaan mereka adalah penting untuk mengubah budaya dan prioritas-prioritasnya dan terutama untuk meningkatkan cakupan perhatiannya19.

18

Ibid, hal 21

19


(47)

7. Metodologi Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka teori di atas, maka penulis menggunakan penelitian deskriptif, dimana penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah pada masa sekarang berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini memberikan gambaran yang detail mengenai gejala atau fenomena20. Tujuan dasar penelitian deskrtiptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidik. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial, karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori21.

7.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi22 , metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

20

Bambang Prasetyo dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 42.

21

Sanafiah Faisal, 1995, Format Penulisan Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta; Raja Grafindo Persada, hal 20.

22

Hadari Nawawi, 1987, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta; Gajah Mada University Press, hal 63.


(48)

atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data -data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.Tujuan dari penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat penggambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis fenomena yang terjadi di Kabupaten Labuhanbatu terkait peningkatan kuantitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu pada periode 2014-2019. Di samping itu juga penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

7.2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang menjadi sumber penelitian yaitu Kantor DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang beralamat di jl. SM. Raja, no. 56 Rantauprapat.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data, keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data primer dan data


(49)

sekunder.23 Teknik pengumpulan data tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Data Primer

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini yakni melalui wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara adalah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini peneliti mengambil informan yaitu anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu khususnya anggota Fraksi Partai Golkar yang memiliki kompetensi dalam pengumpulan data. 2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah mencari data dan informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu penulis juga mencari informasi dan referensi tambahan melalui artikel-artikel dalam majalah, koran dan sebagainya.

7.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisa kualitatif. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran (output) dari hasil yang ingin dicapai dari penelitian.

23

Muhammad Idrus, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Erlangga, hal.105.


(50)

Penelitian ini mencoba menganalisis fenomena yang tejadi terkait peningkatan kuantitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu di tengah rendahnya partisipasi perempuan di arena politik yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan kemudian diinterpretasikan. Sehingga memberikan keterangan-keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian.


(51)

8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan dan membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, dimana penulis megambil lokasi penelitian di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Pada bab ini akan dianalisis proses rekrutmen perempuan untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Labuhanbatu dan menjelaskan tentang peranan perempuan di DPRD Labuhanbatu.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari penelitian.


(52)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Sejarah Singkat Labuhan Batu24

1.1. Sebelum Zaman Penjajahan Belanda

Sistem Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu sebelum penjajahan Belanda adalah bersifat Monarki. Kepala pemerintahan disebut Sultan dan Raja yang dibantu oleh seorang yang bergelar Bendahara Paduka Sri Maharaja dan bertugas sebagai Kepala Pemerintahan sehari-hari (semacam Perdana Menteri). Selanjutnya di bawah Bendahara Sri Paduka Maharaja ada Tumenggung yang menjadi Jaksa Merangkap Kepala Polisi. Kemudian ada Laksamana yaitu Panglima Angkatan Laut/Panglima Perang. Di bawah Laksamana ada Hulu Balang atau Panglima Angkatan Darat. Kemudian ada pula Bentara kanan bertugas sebagai ajudan Sultan dan Bentara kiri yang menjadi Penghulu Para Bangsawan.

Kesultanan/kerajaan yang terdapat di wilayah Kabupaten Labuhan Batu pada waktu itu terdiri 4 kesultanan yaitu:

1. Kesultanan Kota Pinang berkedudukan di Kota Pinang. 2. Kesultanan Kualuh berkedudukan di Tanjung Pasir. 3. Kesultanan Bilah berkedudukan di Negeri Lama. 4. Kesultanan Panai berkedudukan di Labuhan Bilik.

24


(53)

1.2. Zaman Penjajahan Belanda

Secara pasti tidak diketahui kapan Belanda masuk ke Labuhan Batu, dari berbagai keterangan yang dihimpun, diperoleh keterangan bahwa Belanda masuk ke Labuhan Batu berkisar tahun 1825. Namun ada pula keterangan yang mengatakan bahwa kedatangan Belanda ke Labuhan Batu setelah selesai Perang Paderi (berkisar tahun 1831).

Pada tahun 1862 kesatuan angkatan Laut Belanda dibawah Pimpinan Bevel Hevee datang ke Kampung Labuhan Batu (di Hulu Kota Labuhan Bilik sekarang) melalui Sungai Barumun. Di Kampung Labuhan Batu tersebut Belanda membuat tempat pendaratan dari batu beton. Lama kelamaan tempat pendaratan tersebut berkembang menjadi tempat pendaratan/persinggahan kapal-kapal yang kemudian menjadi sebuah Kampung (Desa) yang lebih besar,

namanya menjadi “Pelabuhan Batu”, akhirnya nama Pelabuhan Batu ini dipersingkat sebutannya menjadi “Labuhan Batu”. Kemudian nama itu melekat dan

ditetapkan menjadi nama wilayah Labuhan Batu.

Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintahan Kolonial Belanda secara Juridis Formal menetapkan Gouverment Bisluit Nomor 2 tahun 1867 tertanggal 30 September 1867 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang meliputi 3 Onder Afdeling yaitu:

1. Onder Afdeling batu Bara dengan Ibu Kota Labuhan Ruku. 2. Onder Afdeling asahan dengan Ibu Kota Tanjung Balai.


(54)

3. Onder Afdeling Labuhan Batu dengan Ibu Kota Kampung Labuhan Batu.

Dengan demikian secara administratif pada mulanya Pemerintahan Wilayah Labuhan Batu adalah merupakan bagian dari wilayah Afdeling Asahan. Pada masa itu Afdeling dipimpin oleh seorang Asisten Residen (Bupati), sedangkan Onder Afdeling dipimpin oleh seorang Controleur (Wedana).

Controleur Labuhan Batu pertama kali berkedudukan di Kampung Labuhan Batu. Kemudian pada tahun 1895 dipindahkan ke Labuhan Bilik. Tahun 1924 dipindahkan ke Merbau. Tahun 1928 dipindahkan ke Aek Kota Batu dan pada tahun 1932 dipindahkan ke Rantau Prapat sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945 kedudukan Controleur tetap di Rantau Prapat.

1.3. Zaman Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942 bala tentara Dai Nippon (Jepang) menduduki seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Perupuk (Tanjung Tiram). Dari Perupuk sebagian tentara Jepang tersebut melanjutkan gerakan Pasukan untuk merebut Kota Tebing Tinggi dan selanjutnya Kota Medan. Dan sebagian lagi ke Wilayah Tanjung Balai yang pada saat itu sebagai Pusat Pemerintahan Afdeling Asahan. Dari Asahan (Tanjung Balai) selanjutnya ke wilayah Labuhan Batu untuk merebut Kota Rantau Prapat.

Pada masa penjajahan Jepang, sistem Pemerintahan Hindia Belanda dilanjutkan dengan sistem Pemerintahan Zelf Bestuur dan kekuasaan


(55)

Sultan/Raja berlangsung. Untuk memonitoring kegiatan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sultan/Raja, Pemerintahan Jepang membentuk Fuku Bunsyuco.

Di samping itu istilah-istilah Pimpinan Tingkatan Pemerintahan Hindia Belanda diganti dari Bahasa Belanda ke Bahasa Jepang, antara lain:

1. Keresidenan diganti dengna Syuu dan Kepalanya disebut dengnan Syuucookan.

2. Regenschap (Kabupaten) diganti dengan Ken dan Kepalanay disebut Ken-coo.

3. Stadgementhe (Pemerintahan Kota) diganti dengan Si dan Kepalanya disebut Si-coo.

4. Kampung/Desa disebut dengan Ku dan Kepalanya disebut Ku-coo. 1.4. Setelah Proklamasi

Kekalahan Jepang pada Perang Asia Timur Raya, yaitu Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 telah memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk merdeka sebagai bangsa yang berdaulat. Kemudian dalam Sidangnya tnaggal 19 Agustus 1945 oleh PPKI dicapai kesepakatan pembagian wilayah Republik Indonesia dalam 8 Propinsi masing-masing Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku. Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen, Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah, sedangkan kedudukan kota (Gemeente) diteruskan.


(56)

Pada tanggal 2 Oktober 1945, Mr. Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatera, kemudian pada tanggal 3 Oktober 1945 Gubernur Sumatera mengabarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu dihadiri oleh utusan/wakil-wakil daerah. Sesampainya didaerah masing-masing utusan daerah tersebut mengadakan pertemuan dengan Pemuka-Pemuka Masyarakat untuk membentuk Komite Nasional Daerah (KND).

Pada tanggal 16 malam 17 Oktober 1945 bertempat di rumah dinas kepala PLN Rantauprapat diadakan rapat dan secara resmi tanggal 17 Oktober 1945 dibentuk Komite Nasional Daerah (KND) Labuhan batu dengan susunan pengurus sebagai berikut :

Penasehat : ABDUL HAMIT

Wakil penasehat : Dr. HIDAYAT

Ketua : ABDUL RAHMAN

Wakil Ketua : ABU TOHIR HRP

Anggota :

1. MARDAN

2. AMINURRASYID 3. M. SARIJAN


(57)

5. SUTAN KADIAMAN HTG 6. A. MANAN MALIK

7. M. SIRAIT 8. R. SIHOMBING

9. DJALALUDDIN HATTA 10. M. HASAH

11. MUHAMMAD DIN

Dalam rapat tersebut juga ditetapkan bahwa Ketua (Abdul Rahman) sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Setelah terbentuknya Komite Nasional Daerah Labuhanbatu, maka Pemerintahan Swapraja di Labuhanbatu yang ada pada waktu itu menjadi berakhir. Tugas dan tanggung jawab Pemerintah diambil alih dan dikuasai oleh Komite Nasional Daerah Labuhanbatu. Adapun tugas pertama Komite Daerah Labuhanbatu ialah membentuk Team Penerangan untuk memberikan penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat di kampong-kampung bahwa kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam perkembangan berikutnya jalannya pemerintahan di Kabupaten Labuhanbatu yang dilaksanakan oleh Komite Nasional Daerah sampai dengan awal Tahun 1946 kurang dapat berfungsi dengan baik. Hal ini akibat fokus pemikiran pada waktu itu lebih ditujukan untuk mempersiapkan perlawanan fisik kepada penjajah Belanda yang selalu berupaya merebut kembali ke Negara Republik


(58)

Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat sejak tanggal 17 agustus 1945.

Pada bulan maret 1946 terjadi Peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera Timur (termasuk Labuhanbatu) yang mengakibatkan tergangggunya roda pemerintahan, keamanan dan ketertiban di wilayah Labuhan Batu. Kemudian pada tanggal 19 Juni 1946, Komite Nasional Daerah Keresidenan Sumatera Timur mengadakan sidang pleno bertempat di Jalan Suka Mulia No.13 Medan, yang antara lain menetapkan :

1. Komite Nasional Daerah berubah menjadi Dewan (Legislatif)

2. Menetapkan Sumatera Timur menjadi 6 Kabupaten masing-masing: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu.

Karena situasi yang semakin gawat pada waktu itu (menjelang Agresi Mililter I) Ibu Kota Keresidenan Sumatera Timur pindah dari Medan ke Tebing Tinggi. Selajutnya pada tanggal 26 Juni 1946 Dewan (Legislatif) Keresidenan Sumatera Timur yang bersidang di Pabatu menetapkan antara lain : Mengangkat 6 orang Bupati untuk 6 Kabupaten di Keresidenan Sumatera Timur yang baru dibentuk sekaligus pengangkatan para Wedana di Wilayah Kabupaten tersebut, salah seorang di antara Bupati yang diangkat tersebut adalah GAUSE GAUTAMA, Pimpinan Taman Siswa Kisaran diangkat menjadi Labuhan Batu.

Ketetapan dari Dewan Legislatif Keresidenan Sumatera Timur dimaksud selanjutnya dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera pada tanggal


(1)

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Seperti yang diuraikan di bab I dalam latar belakang bahwa kehadiran perempuan di parlemen harusnya menjadi angin segar atas kondisi objektif yang telah dirasakan perempuan saat ini. Semestinya perempuan dapat menggantungkan asanya kepada perempuan di parlemen atas perlindungan secara hukum terkait kondisi dan permasalahan objektif perempuan, karena dapat dikatakan bahwa perempuan di parlemen menjadi tolak ukur bagaimana keadilan dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang yang dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa perempuan di parlemen inilah yang menjadi pionir bagi perempuan-perempuan di luar parlemen (dalam masyarakat).

Semakin besar jumlah perempuan di parlemen harusnya mempertinggi asa akan lahirnya kebijakan yang sensitif terhadap perempuan, tetapi yang terjadi di Kabupaten Labuhanbatu tidaklah demikian. Jumlah perempuan yang cukup banyak di DPRD Kabupaten Labuhanbatu tidak serta merta berdampak terhadap munculnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan. Karena dalam setahun berjalannya kerja parlemen belum satupun kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan dikeluarkan. Belum adanya kebijakan yang


(2)

bahkan minimnya perdebatan tentang isu perempuan menjadi tolak ukur rendahnya kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu dalam hal memperjuangkan kepentingan perempuan secara khusus.

Melakukan pendidikan politik atau pelatihan, mengubah budaya di parlemen, membentuk jaringan antar perempuan di parlemen, menjalin kerjasama dengan organisasi masyarakat, dan menjalin kerjasama dengan partai politik merupakan langkah-langkah peningkatan kualitas perempuan di parlemen.

Minimnya pendidikan politik yang fokus terhadap perempuan menjadi salah satu faktor rendahnya pemahaman perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu dengan peran mereka sebagai wakil perempuan di parlemen (subtantive refresentative), padahal pendidikan politik dan pelatihan yang terkhusus membahas masalah kesetaraan gender akan menambah wawasan mereka dalam menganalisa masalah berdasarkan persfektif gender dan mempermudah peran mereka sebagai wakil perempuan di parlemen dan dapat meningkatkan kualitas mereka di parlemen sehingga membantu mereka untuk dapat mengeluarkan kebijakan yang sensitif gender atau paling tidak mengeluarkan kebijakan yang sensitif gender ke dalam perdebatan di parlemen. Selain itu tidak adanya kaukus perempuan parlemen di DPRD Kabupaten Labuhanbatu juga mempengaruhi kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu karena tidak adanya wadah berhimpun bagi perempuan-perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.


(3)

2. Saran

Adapun beberapa saran untuk meningkatkan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu dapat dilakukan dengan cara berikut :

1. Memberikan pendidikan politik kepada perempuan dan melakukan pendidikan yang berperspektif perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, untuk mendorong partisipasi politik perempuan serta pemahaman politik perempuan akan fungsi mereka sebagai wakil perempuan di parlemen sehingga kebijakan yang dihasilkan juga memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya dan perempuan pada khususnya.

2. Membentuk kaukus perempuan parlemen di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang berisi perempuan antar jaringan partai politik di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sehingga kerja kolektif antar perempuan di parlemen dapat terjalin.

3. Melakukan kerjasama dengan organisasi masyarakat atau organisasi perempuan lainnya selain organisasi bentukan partai dan organisasi sayap partai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Budiharjo, Miriam, 2008, dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama.

Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Faisal, Sanafiah, 1995, Format Penulisan Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta; Raja Grafindo Persada.

Idrus, Muhammad, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Erlangga.

Irianto, Sulistyowati, 2000, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Bandung: Penerbit Alumni.

Lovenduski, Joni, 2008, Politik Berparas Perempuan, Yogyakarta; Penerbit Kanisius.

Marniyati, Sabar, 2011, Pemberdayaan Perempuan (Transformasi Menuju Partisipasi Politik), Surakarta: Responbilitas volume 3.

Munandar, Utami, 1985, Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis, Jakarta:UI Pres.

Musdah Mulia, Siti, 2008, menuju kemandirian politik perempuan, Yogyakarta: kibas press.

Nawawi, Hadari, 1987, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta; Gajah Mada University Press.

Nawawi, Hadari dan Martini, 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prasetyo, Bambang, dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Thata, Idris, 2004, Pergulatan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.


(5)

Usman, Husni dan Pramono, 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara.

Jurnal:

Siregar, Wahidah Zein, 2005, Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A Quota, Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS)vol. 11, no. 3.

Subono, Nur Iman, 2013, Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan, Jurnal Perempuanvol. 18, no. 4.

Sumber Lain:

Ballington, Julie, 2011, Pemberdayaan Perempuan Untuk Partai Politik yang Lebih Kuat (Panduan Praktek Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan), Graphics service Bureau.

Database Fraksi Golkar DPRD TK II Kabupaten Labuhanbatu Dokumen KPU Labuhanbatu.

Dokumen BPS Kabupaten Labuhanbatu. Dokumen DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

Jendral Pendidikan Luar Sekolah dalam modul yang berjudul “Modul Pendidikan

Perempuan Untuk Berpolitik”.

Kalyanamitra, Kualitas Perempuan Politisi Di Legislatif, Laporan hasil Penelitian.

Natalia, Catherine 2005, Peranan Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum dalam Meningkatkan keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Bakti 2004-2009, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York: UNDP.


(6)

Sumber Internet:

http://masriyanikhram.blogspot.com/2014/03/pemberdayaan-perempuan-sebagai-upaya.html, diakses pada tanggal 10 april 2015.

http://www.dprd-kotimkab.go.id/fraksi, diakses pada tanggal 28 maret 2015.

Kharina Triandana, “Riset: Masyarakat Lebih Percaya Anggota DPR Perempuan

,”beritasatu.com, diakses pada tanggal 28 April 2015,

http://beritasatu.com/nasional/160982- riset- masyarakat- lebih- percaya- anggota-dpr-perempuan.html.