Hukum Positif Azas-azas Perjanjian

amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ayat ini mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar- benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad, maka akad itu harus dilakukan dengan melakukan kitabah penulisan perjanjian. Disamping itu, diperlukan juga adanya saksi-saksi syahadah, rahn, gadai, untuk kasus tertentu, dan prinsip tanggung jawab individu.

2. Hukum Positif

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sustem tertutup, sedangkaan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adala terbatas dan peraturan-peraturan yang menganai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan Hukum Pelengkap optional law , yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu berarti mereka mengenai soal tersebut tunduk kepada Undang-undang. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu dapat dikatakan. melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap. Sistem terbuka, yang mengandung suatu azas kebebasan membuat perjanjian. dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi demikian: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan menekankan pada perkataan semua maka pasal tersebut seolah-olah berikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita di perbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan perkataan lain: Dalam sosal perjanjian. kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian- perjanjian yang kita adakan itu. Misalnya, barang yang diperjual belikan, menurut Hukum Perjanjian harus diserahkan di tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian jual beli ditutup. Tetapi para pihak, leluasa untuk memperjanjikan bahwa barang harus diserahkan di kapal, digudang, diantar ke rumah si pembeli dan lain-lain, dengan pengertian bahwa biaya- biaya pengantaran harus dipikul si penjual. Selanjutnya. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian itu, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibentuk. Misalnya, Undang-undang hanya mengatur perjanjian- perjanjian jual-beli dan sewa menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan sewa beli, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dan sewa menyewa. Dalam Hukum Perjanjian berlaku azas, yang dinamakan azas kosensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Azas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal. Arti konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas, Azas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: a. sepakat mereka yang mengikat dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal. Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai itu. maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah dalam arti mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu, Terhadap azas konsensualisme itu juga ada pengecualian disana sini oleh undang-undang ditetapkan formalitas- formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya : Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain-lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.

C. Syarat dan Rukun Akad