Hukum Positif Pengertian Perjanjian

Dan yang harus senantiasa diperhatikan adalah bahwa setiap perjanjian yang kita lakukan. akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Swt. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Isra ayat 34: Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik bermanfaat sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.

2. Hukum Positif

Secara harfiah ada yang mengatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan, balikan ada pula yang menyamakan dengan kontrak. Istilah Perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst dari Bahasa Belanda. atau Agreement dalam Bahasa Inggris, yang berarti kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak. Dari segi Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan baik tertulis maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 11 Melihat batasan tersebut maka perjanjian adalah sama dengan persetujuan , sementara kontrak sama pula dengan perjanjian tetapi lebih sempit sifatnya, karena kontrak hanya merupakan perjanjian yang tertulis saja. 11 Munir Fuady. Hukum Kontrak. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. h. 2 Secara yuridis banyak batasan yang diberikan oleh berbagai ahli hukum. Menurut Prof. Subekti S.H; Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membuatnya tersebut. 12 Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro S.H merumuskan suatu perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal. sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu. 13 Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan defenisi mengenai perjanjian sebagai berikut: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih berjanji mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini. timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi tentang perikatan. Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya menyebutkan mengenai sumber perikatan. dimana 12 Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Imermasa, 1987, Cet. ke-12 .h.l 13 Wirjono Prodjodikoro. Azas-azas Hukum l\rjanjicin, Bandung: Sumur Bandung. Cet. ke-8. h. 9 dikatakan bahwa: Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang. Oleh karena itu kemudian menurut Prof. Subekti yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. adalah: Suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. 14 Jadi dalam suatu terdapat .hak disatu pihak lainnya wajib memenuhi prestasi yang dituntut. Perhubungan antara kedua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum. artinya hak si berpiutang dijamin oleh Hukum atau Undang-undang. Apabila kewajiban itu tidak di penuhi secara suka rela, si berpiutang dapat menututnya di depan hakim. Adapun hubungan antara perjanjian dan perikatan adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Jadi karena ada suatu perjanjian maka kemudian lahirlah perikatan. Sumber perikatan adalah perjanjian dan Undang-undang. tetapi sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian karena sebagian besar perikatan terbit karena adanya suatu perjanjian. Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang itu timbul karena Undang-undang saja atau karena Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 14 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdaiu. Jakarta: PT. Intermasa. 1984. Get. ke-12, h. 122 Menurut pasal 1353 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum. Perikatan yang bersumber dari Undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ditetapkan melahirkan suatu perikatan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. Perikatan yang bersumber dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka Undang-undang meletakkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang diperbolehkan Undang-undang atau mungkin pula perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu berarti perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang diadakan oleh Undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.

B. Azas-azas Perjanjian