Syarat dan Rukun Akad

sepakat mereka yang mengikat dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal. Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai itu. maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah dalam arti mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu, Terhadap azas konsensualisme itu juga ada pengecualian disana sini oleh undang-undang ditetapkan formalitas- formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya : Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain-lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.

C. Syarat dan Rukun Akad

Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada, menurut hukum Islam akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Salah satu contoh syarat dalam akad jual beli adalah “kemampuan menyerahkan barang yang dijual”. Kemampuan menyerahkan ini harus ada dalam setiap akad jual beli, namun ia tidak termasuk dalam pembentukan akad. Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk perangkat akad alat al-‘aqd di mana perangkat-perangkat inilah yang nantinya menjadi unsur-unsur pembentuk akad. Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: 1 Shighat pernyataan ijab dan qabul; 2 ‘Aqidan dua pihak yang melakukan akad, 3 Ma’qud ‘alaih obyek akad, dan 4 Maudhu’ al-‘aqd tujuan akad. Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama: 1. Shighat pernyataan ijab dan qabul Shighat al-aqd adalah cara bagaimana penyertaan pengikatan diri itu dilakukan. Dalam literatur fiqih, sighat al-aqd biasanya diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabuk, agar ijab dan qabul ini benar-benar mempunyai akibat hukum, para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal : a. Tujuan yang terkadang dalam penertaan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, b. Antara ijab dan qabul harus ada kesesuain, dan c. Pernyataan ijab qabul ini mengacu pada suatu kehendak masing- masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu. Satu majlis akad adalah kondisi bukan fisik dimana kedua belah pihak yang berakad terfokus perhatiannya untuk melakukan akad. 2. ‘Aqidan dua pihak yang melakukan akad Pihak yang berakad haruslah orang-orang yang cakap, berkaitan dengan orang yang melakukan akad ini, para fuqaha’ membahasnya pada hal dua pokok. Pertama, ahliyatul ada’ yaiti orang yang layak dengan sendirinya dapat melakukan berbagai akad, yaiti mereka yang dewasa baligh dan berakal, bukan dibawah pengampuan atau perwalian, maja secara otomatis orang tersebut layak mendapat ketetapan untuk menerima hak dan kewajiban serta tindakan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’. Kedua, wilayah atau perwalian. Perwalian dilakukan terhadap mereka yang dianggap tidak cakap hokum yaitu terhadapo orang yang belum dewasa atau mereka yang dibawah pengampuan. Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal1330, maka yang dianggap dewasa dan karenanya oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika : a. Sudah genap berusia 21 tahun b. Sudah kawin meskipun belum genap berusia 21 tahun c. Sudah kawin meskipun bercerai meskipun belum genap berusia 21 tahun. Akan tetapi ketentuan diatas sudah tidak berlaku lagi karena keluarnya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dituangakan dalam pasal 47 ayat 1, yaitu : “Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kejelasan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya” Maka orang yang dianggap dewasa adalah orang yang sudah berumur 18 tahun ke atas atau sudah pernah menikah. Umur dewasa 18 tahun ini juga sudah dikuatkan oleh Mahkamah Agung, antara lain dalam putusannya No. 477 KSip1976, tanggal 13 oktober 1976” Sedangkan tentang orang dibawah pengampuan diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 433, orang dibawah pengampuan tersebut adalah : 1. Orang yang dungu onnoozelheid 2. Orang gila tidak waras pikiran 3. Orang yang mata gelap rezernij 4. Orang yang boros Mereka tetap dibawah pengampuan sungguh pun kadang-kadang mereka dapat bertindak seperti orang yang cakap berbuat. 3. Ma’qud ‘alaih obyek akad, Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuh 4 empat syarat: a. Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad salam, ishtishna’, ijarah dan mudarabah. b. Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan mutaqawwam. c. Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. d. Ia harus jelas dapat ditentukan, mu’ayyan dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan ‘urf mempunyai peranan penting. Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad : salam , istishna, ijarah dan musaqah. Artinya, empat macam aqad ini tetap dinyatakan sah walaupun objek akad belum ada ketika terjadi. Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat, `aqid dan ma`qud`alih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum dan bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat. 4. Maudhu’ al-‘aqd tujuan akad. Maudhu` al`aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian yang penting yang mesti ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan maudhu`al`aqd adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan. Menurut hukum islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al-musyarri` yang menetapkan syariat yaitu Allah. Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara` hukum Islam adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum. Tegasnya dalam hukum islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilkan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual. Tujuan dalam setiap akad-akad berbeda-beda karena berbeda jenis atau bentuk akadnya. Dalam akad jual beli, misalnya, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda dengan imbalan; dalam akad hibah, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda tanpa imbalan; dalam akad sewa menyewa ijarah, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan manfaat suatu benda atau jasa orang dengan imbalan; dalam akad peminjaman ijarah, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan manfaat suatu benda tanpa imbalan; demikian seterusnya. Tujuan akad itu tercapai segera setelah akad dilakukan apabila syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi. Tujuan akad sebagaimana dikemukakan di atas selain disebut dengan istilah maudhu’al-‘aqd-disebut juga dengan “akibat hukum khusus akad” al-hukm al-ashliy li-al-aqd atau atsar al-‘aqd al- khash , disingkat al-atsar al-khash. Di samping itu, menurut hukum Islam, terdapat pula “akibat hukum umum akad” atsar al-‘aqd al- ‘amm , disingkat al-atsar al-‘amm pada setiap jenis dan bentuk akad. Artinya, pada setiap akad yang sah terdapat akibat hukum yang bersifat umum dan sama, walaupun bentuk atau jenis akadnya berbeda-beda. Akibat hukum umum tersebut adalah nafadz dan ilzam wa luzum. Nafadz adalah berlakunya akibat hukum khusus akad dan semua perikatan iltizamat yang ditimbulkannya begitu akad selesai dilakukan. Nafadz dalam akad jaul beli, misalnya, adalah berpindahnya kepemilikan barang yang di jual kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual begitu akad selesai dilakukan, serta timbulnya kewajiban melaksanakan perikatan atas para pihak, yaitu menyerahkan barang yang di jual dan menerima pembayaran bagi penjual serta menerima barang dan menyerahkan pembayaran harga barang bagi pembeli. Lawan atau kebalikan nafadz adalah tawaqquf bergantung. Akad yang nafadz disebut akad yang nafidz dan akad yang tidak nafadz disebut akad mauquf. Ilzam dalam pengertian umum adalah mewajibkan pelaksanaan pemenuhan perikatan yang lahir dari akad; sedangkan menurut pengertian Fiqh hukum Islam adalah menimbulkan perikatan tertentu secara timbal balik atas pihak-pihak yang berakad dalam akad yang bersifat mengikat satu pihak seperti wadi’ah penitipan. Sedangkan, yang dimaksud dengan luzum mengikat adalah ketidakbolehan “membatalkan” fasakh akad kecuali atas kerelaan kedua belah pihak. Akad yang memiliki akibat hukum luzum disebut akad lazim adalah akad yang tidak mengandung hak khiyar hak pilih untuk meneruskan atau tidak meneruskan akad akibat hukum luzum ini, menururt ulama mazhab Hanafi dan Maliki, timbul begitu akad ijab kabul selesai dilakukan; sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, ia baru muncul setelah majlis akad selesai. Dari perbedaan pendapat ini nampaknya yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa akad memiliki akibat hukum begitu selesai dilakukan. Dalam konteks sekarang adalah setelah dilakukan penandatanganan kedua belah pihak. Karena saat itulah secara nyata kedua belah pihak yang terlibat dalam akad menunjukkan kesepakatannya.

D. Batalnya Perjanjian