Riwayat Hidup SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM

BAB III SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM

C. Riwayat Hidup

Solichah Wahid Hasyim atau yang biasa disapa dengan Bu Wahid, dilahirkan pada 11 oktober 1922, di Desa Denanyar. Semula namanya adalah Munawwarah. Biasa dipanggil dengan Neng Waroh. 44 Ibunya, bernama Noer Khadijah adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakberas, Jombang di wilayah pedalaman Jawa Timur. Ayahnya adalah Kyai Bisri Syansuri yang juga keturunan Kyai dari Pesantren Lasem di pesisir Utara Jawa Tengah. 45 Kyai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar dengan tanah pemberian dari mertuanya. Pesantren ini kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Denanyar. Solichah lahir dari sebuah keluarga terhormat, tetapi ia adalah bagian dari pribumi. Perlakuan pemerintah kolonial yang semena-mena dan diskriminatif di lingkungan kesehatan atau layanan publik kurang memadai, sehingga mereka menciptakan petugas medis alternative sendiri dengan spesialisasi persalinan, yakni dukun bayi. Solichah lahir lancar dan baik dengan dibantu oleh “paramedis hasil didikan rakyat pribumi pedesaan” tersebut. Pengasuhan Solichah tidak berbeda dengan anak-anak pada masanya. Ia meminum ASI Air Susu Ibu dan juga makanan tambahan berupa pisang raja 44 Syaifullah Amin, Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel ini diakses pada Maret 2008 dari http:jalantrabas.blogspot.com . 45 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004, h. 60. yang dilumat dengan nasi. Sebagai tradisi beliau juga diberikan jamu Toga seperti anak-anak desa lainnya. Bahkan ketika masuk angin pun beliau diberi godhong jarak yang telah diolesi minyak tanah di badannya. Karena Solichah anak seorang ulama desa, tentu saja pengobatan yang diberikan juga dengan supelement berupa jampi-jampi berupa permohonan doa kepada Allah SWT. Ibunda Gus Dur ini dilahirkan dalam keluarga pesantren dan putri seorang kyai besar, nuansa yang berkembang dalam kehidupan pesantren tak jauh seperti tradisi yang berkembang di keraton. Kyai sepuh disesejajarkan seperti seorang sultan dan anggota keluarga terdekat terlibat dalam proses jalinan “pembangsawanan” dengan menyandang gelar Raden atau Rara. Solichah menyandang gelar penghormatan “Ning”. Hal ini diyakini sebagai sesuatu yang memancarkan keberkahan. Dalam pandangan mereka, menghormati putra-putri kyai sama dengan menghormati orangtuanya. 46 Sebagai anak seorang Kyai, Solichah kecil lebih banyak berinteraksi dengan warga pesantren dan orangtuanya. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa menghormati dan mematuhi Kyai dan keluarganya diyakini akan memperoleh barokah, sedangkan mengecewakannya dipercaya tidak mendapat barokah, khususnya bagi para santri yang sedang menuntut ilmu. Aktifitas dan pergaulannya sehari-hari memberikan pengalaman hidup dalam nuansa kepemimpinan. Solichah telah banyak belajar makna status sosial dari dimensi prestige yang melekat dan diwarisi sejak lahir. Solichah kecil banyak memiliki pengalaman, pertama, dari orangtuanya, ia belajar mematuhi dan menghormati orangtua sekaligus gurunya. Ia menjadi 46 Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, ibid., h. 63. anak dan santri yang memiliki hubungan emosional dengan gurunya. Penghormatan tersebut memberikan pembelajaran tentang posisi sebagai “bangsawan pesantren” dan sebagai santri. Kedua, terhadap saudara-saudara kandungnya, ia belajar saling menghargai satu sama lain. Mereka adalah para “Gus” dan “Ning” yang sejak awal menyadari hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini ia belajar bagaimana seharusnya memperlakukan gelar yang istimewa itu. Ketiga, terhadap para santri dan kadam, yang setiap hari bergaul dengannya. Perlakuan tersebut memberikan pengertian akan makna sosial terhadap hak-hak istimewa yang diwarisinya. Ia belajar menjaga nama baik gelarnya warisan yang dihargai tinggi oleh masyarakat lingkungannya. Pengalaman dalam hidupnya mengajarkannya untuk memposisikan dirinya pada budaya masyarakat yang telah terbentuk, yakni lebih khusus dunia pesantren yang didirikan orangtuanya. Menginjak usia remaja, Solichah menghadapi dua pandangan hidup yang saling bertentangan. Di satu sisi, dunia kolonial yang hanya mementingkan keduniawian dengan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan material. Sedang di sisi lain, masyarakat pribumi yang tertindas dan tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam segi kekayaan, martabat, pekerjaan dan kekuasaan politik. Solichah remaja memiliki interaksi sosial yang luas hingga mencapai luar pesantren, Solichah mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya. Hampir semua masyarakat dari generasi tua selalu menekankan pada generasi mudanya terutama kaum perempuan agar dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial kafir. Bukan hanya dalam tata cara pakaian dan budaya tetapi juga dalam bidang pendidikan. Mereka tidak diperkenankan memakai pakaian ala Nonik atau Nyonya Londo. Mereka harus mematuhi wewaler yang telah terbentuk dalam sistem budaya santri. Lingkungan tempat Solichah tinggal juga memiliki kesenian yang digemari para priyayi. Alunan musik keroncong dan musik gamelan serta karawitan tidak masuk dalan kultur pesantren. Mereka lebih akrab dengan hadrah, majruron, samroh, dan irama musik kothekan. Begitu halnya dengan seni suara tidak jauh berbeda. Mereka lebih akrab dengan lantunan lagu-lagu dalam dibaan, shalawat, pujian, menunggu iqomat dan shalawat manakiban. Dalam bidang pendidikan, Solichah mengalami transmisi nilai-nilai budaya dalam dua sudut pandang berbeda. Tetapi dengan kondisi sosial lingkungannya, ia lebih banyak disibukkan dengan belajar ilmu-ilmu agama. Ia berguru pada ayah kandungnya sendiri. Solichah dinikahkan pada usia empat belas tahun dengan Abdurrohim, putra Kyai Cholil dari Singosari, Malang. Akan tetapi usia perkawinannya tidak sampai satu tahun. Hanya beberapa bulan mereka membangun rumah tangga, Abdurrohim telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Dengan kepergian suaminya, Solichah diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitannya yang kedua selama hampir tiga tahun. Tradisi perkawinan yang bersifat endagomus ini pun diberlakukan oleh Kyai Bisri ketika mencarikan suami untuk putrinya yang telah menjanda. Calon suami yang kedua pun berasal dari keluarga pondok pesantren. Calon suaminya adalah putra dari Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang 47 , Wahid Hasyim yang pernah bertemu sebelumnya. Yang istimewa adalah Wahid Hasyim datang sendiri melamar Solichah tanpa didampingi oleh orangtuanya. Akan tetapi pernikahannya ditunda karena akan menjelang Bulan Ramadhan. Ketika usianya dua puluh lima tahun, namanya diganti menjadi Solichah. Sejak pernikahannya tahun 1939, ia dan suaminya tinggal di Tebuireng, dengan sebuah pesantren yang besar dan maju. Berkat bimbingan suaminya, Solichah mengalami kemajuan di berbagai bidang. Ia menjadi gemar membaca dan bisa membaca huruf latin. Ia tergolong otodidak dalam belajar menguasai bidang sosial, politik dan ekonomi. Ia juga menyempatkan diri belajar Bahasa Belanda dan Inggris. Sebagai istri seorang tokoh nasional, aktifitas Solichah sangat membantu para pejuang dengan mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Tjoekir, 48 Jombang, Jatim. Solichah juga menyelamatkan dokumen-dokumen penting ketika suaminya dikejar-kejar Belanda, termasuk juga menyamar menjadi pembantu rumah tangga. 49 Di tahun 1944 Solichah beserta keluarga pindah ke Jakarta. Tahun 1953, suaminya mengalami kecelakaan pada usia Solichah menginjak tiga puluh tahun. 47 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996, h. 123. 48 Pabrik Gula Tjoekir yang terletak di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Berseberangan dengan Pondok Pesantren Tebuireng, milik Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, mertua Solichah. Sampai saat ini pabrik gula tersebut masih beroperasi. 49 Firdaus, Pembaharu Citra Diri Perempuan Indonesia, Khalifah, Edisi 86, 24 April- 07 Mei 2008, h. 5. Ketika itu ia sedang mengandung anak keenamnya. Sejak itu ia berperan menjadi single parent 50 , dengan enam orang anak: 1. Abdurrahman ad-Dachil 1939 2. Siti Aisyah 1940 3. Salahuddin al-Ayyubi 1942 4. Umar al-Faruq 1944 5. Lilik Khadijah 1948 6. Muhammad Hasyim 1953 51 Satu tahun kemudian kembali ke Jombang. Pada 1955 kembali ke Jakarta. Di Jakarta, Solichah tetap memegang teguh ajaran ibundanya. Misalnya bila ada tamu datang ke rumah, ia selalu gupuh, lungguh, dan suguh. Kebiasaan ini selalu dilakukannya, tak heran rumahnya tak pernah sepi tamu. 52 Hal ini juga disebabkan kediaman Solichah dijadikan Kantor Pucuk Pimpinan Muslimat NU yang sebelumnya bertempat di Surabaya. Selanjutnya selama berkedudukan di Jakarta, Kantor Pucuk Pimpinan Muslimat NU berpindah-pindah dari rumah Solichah Wahid Hasyim, di Jalan Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta Pusat. Pindah ke Jalan Kebon Sirih Barat Dalam No. 90 pada November 1954. Lalu pindah lagi ke Jalan Menteng Raya No. 24 pada Agustus 1957. Dari Menteng pindah lagi ke Jalan Kramat Raya No. 164 Jakarta 50 Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama RIS. Oleh karena itu, tak lama kemudian Solichah dan keluarga pindah ke Jakarta. Sepeninggal suaminya, ayahnya, Kyai Bisri meminta agar anak-anaknya dirawat oleh pamannya, Solichah tidak mengizinkan. 51 Ibunda Gus Dur Dimakamkan di Tebuireng, Suara Pembaruan, Jombang, 31 Juli 1994. 52 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, Jakarta: Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama, 1996, h. 125. Pusat. Terakhir pindah ke Jalan Pengadengan Timur Raya, Pancoran Jakarta Selatan setelah sebelumnya di Jalan Tebet Timur Dalam No. VII. 53 Tanggal 30 September 1965, terjadinya G30SPKI. Dua hari setelah peristiwa berdarah itu, tanggal 2 Oktober 1965, Muslimat NU menyatakan sikap politiknya mengutuk para pelaku gerakan tersebut sebagai penghianat bangsa dan meminta pemerintah menindak tegas pelakunya. Tanggal 5 Oktober 1965, Muslimat NU turut serta dalam menandatangani pernyataan PBNU tentang pengutukan G30SPKI dan menuntut pembubaran PKI. Termasuk di dalamnya adalah Solichah Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Asmah Syachruni adalah tokoh Muslimat NU yang sangat berperan pada masa itu. 54 Pimpinan NU banyak yang menghindar ke luar Jakarta untuk berjaga-jaga. Dalam kondisi tersebut, Solichah mengambil sikap tegas. Rumahnya di Jalan Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat, dibuka lebar-lebar sebagai markas untuk pertemuan para tokoh NU dan tokoh Nasionalis lainnya. Ketika beberapa tokoh NU ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap peristiwa tersebut, Ny. Solichah Wahid Hasyim ini tampil mendesakkan tekadnya untuk membubarkan PKI. Atas tindakan beliau kemudian dicatat dalam sejarah, bahwa NU termasuk ormas yang paling awal dalam mengibarkan tuntutan agar PKI dibubarkan. 55 Pucuk Pimpinan Muslimat juga membuat pernyataan agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membubarkan Taman Kanak-kanak Melati sebuah Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh Gerwani dan mengambil alih Taman 53 Ny. Saefuddin Zuhri, dkk, Sejarah Muslimat NahdlatulUlama, Jakarta: PP. Muslimat NU Jakarta, 1979, h. 154. 54 Mustofa Helmi dan Syaifullah Ma’sum, ed., Asmah Syachruni: Muslimat Pejuang Lintas Zaman dari Kalangan NU, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002, h. 52-54. 55 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., loc. Cit., h. 127. Kanak-kanak tersebut tanggal 19 Oktober 1965. Sejak saat itu perburuan, pemilikan, dan penjarahan harta para anggota yang diduga golongan PKI, simpatisan, dan keturunannya semakin mendapatkan legitimasi karena negara mengeluarkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 yang berisi kepentingan untuk melakukan hal tersebut. 56 Solichah meninggal dunia pada hari Jumat, tanggal 29 Juli 1994 sekitar jam 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 72 tahun. Setelah menjalani rawat inap selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. 57 Sampai menjelang akhir hayatnya, Solichah tetap aktif dalam kegiatan Muslimat dan aktivitas lainnya di masyarakat. Beliau tetap segar dan semangat walaupun harus menggunakan tongkat dan dikawal seorang perawat, beliau tetap menghadiri rapat-rapat organisasi. Sekitar 20.000 pelayat memadati komplek pemakaman Tebuireng, Jombang. Tidak hanya warga Nahdliyin dan Muslimat NU saja, tampak pula para petinggi pemerintahan yang menjadi teman kerja semasa karir politiknya mengantar ‘ibu umat’ ini ke tempat peristirahatan terakhir pada keesokan harinya jam 17.20. 58

D. Aktifitas