Pergerakan Perempuan Islam SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA

G. Pergerakan Perempuan Islam

Jika ditelusuri, gerakan perempuan dan pembangunan dimulai dari kepedulian orang tentang bagaimana proses pembangunan bukan saja telah meninggalkan perempuan tetapi juga banyak hal yang telah merugikan, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Pada kenyataannya memperlihatkan adanya akibat dari penjajahan yang sedang berkepanjangan, keadaan ini sangat memprihatinkan. Sampai pada pembangunan untuk memulihkan ekonomi negara banyak tak mengindahkan peran perempuan dalam sektor pembangunan yang menjadi korban dalam pembangunan. Banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan di sektor pertanian sehingga menjadi pengangguran yang tak berketerampilan. Kebijakan dan keputusan yang diambil pemerintah tidak mengindahkan kepentingan perempuan. Pergerakan perempuan Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pergerakan nasional Indonesia. Pergerakan ini didorong oleh lahirnya keinginan perempuan Indonesia tentang ajaran kesamaan manusia antara sesama manusia dan yang membedakan hanyalah amal shaleh di sisi Allah SWT. Organisasi-organisasi perempuan yang ada, semula dibangun dengan basis pendidikan. Kesadaran untuk mendapatkan pendidikan di kalangan perempuan muncul seiring dengan keinginan mereka untuk berkembang dan hampir muncul di setiap daerah di Indonesia. 35 Remaja perempuan mulai banyak yang memasuki pendidikan umum yang didirikan oleh Belanda maupun yang didirikan kalangan 35 Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu, 2008, h. 92. ulama. Banyak sekolah agama awalnya hanya menerima murid laki-laki saja, sampai akhirnya tak sedikit pula sekolah yang menerima murid perempuan. Organisasi perempuan selalu hadir belakangan, itupun setelah prakarsa historis kaum laki-laki. Gerakan-gerakan perempuan hadir sebagai bagian dari organisasi laki-laki, misalnya Aisyiyah yang didirikan tahun 1917 di Yogyakarta sebagai bagian dari Muhammadiyah. Tahun 1923, barulah menjadi otonom. Demikian juga dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini dibangun untuk memurnikan ajaran agama dengan Ahlus Sunnah wa Jamaah 1926, yang juga membina organisasi perempuan dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat NUM tahun 1946 kemudian menjadi otonom tahun 1952. Sama halnya dengan Perempuan Syarikat Islam Indonesia tahun 1928 perempuan PSII, Perempuan Perti Perti lahir 1928, dan Persistri Persis lahir tahun 1923. 36 Muslimat Nahdlatul Ulama merupakan bagian perempuan dan Nahdlatul Ulama dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat. Organisasi ini berdiri 12 tahun sejak berdirinya NU, oleh tokoh-tokoh perempuan Nahdlatul Ulama, seperti: Chadijah Dahlan, pada Kongres Nahdlatul Ulama ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah. Mereka tergerak untuk mengikutsertakan perempuan dalam organisasi guna “meningkatkan derajat kaum perempuan”. Karena pada tahun-tahun pasca kemerdekaan keadaan perempuan masih memprihatinkan. Setelah NU menjadi partai politik tahun 1952, kedudukan organisasi ini meningkat menjadi badan otonomi dari Partai NU, dengan nama Muslimat NU. Dengan status tersebut 36 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., loc. Cit., h. 13. Muslimat dapat meningkatkan kinerjanya dalam federasi organisasi perempuan yang mengabdi pada negara yaitu, KOWANI Kongres Wanita Indonesia. 37 Keinginan perempuan Islam Indonesia untuk ikut maju dalam pembangunan diwujudkan melalui gerakan pendidikan dan perserikatan yang tetap berkobar untuk merdeka. Sebab idealitas itu merupakan pemahaman akumulatif terhadap zaman gelap bangsa Indonesia terutama yang mendera kaum perempuan. Waktu berganti, abad ke-20 adalah kebangkitan bangsa Timur yang berpengaruh pada perempuan Islam. Berduyun-duyun anak perempuan masuk sekolah, mulai dari kalangan atas anak priyayi, pamong praja, orang berpangkat, diiringi oleh kalangan anak-anak menengah, sampai kemudian anak-anak dari rakyat jelata. Sekolah bukan hanya untuk anak laki-laki tapi juga untuk anak perempuan. Surau-surau dan pesantren banyak dibanjiri oleh anak-anak perempuan yang pada awalnya mereka hanya diajar oleh seorang guru dan berkelompok kemudian memiliki kelas. Sekolah-sekolah agama timbul bagai jamur dimusim hujan di Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lainnya. Gerak kemajuan ini berjalan terus. Sekolah- sekolah menghasilkan perempuan-perempuan terpelajar, guru-guru dan pemimpin-pemimpin perempuan. Guru-guru agama perempuan pun tak kalah dari laki-laki. Beriringan dengan itu lahir pula gerakan-gerakan yang dipimpin oleh perempuan baik yang kebangsaan maupun yang keagamaan. Dari berbagai macam organisasi perempuan Islam, Muslimat Nahdlatul Ulama lebih mengacu pada pemikiran lama dalam acuan ibadahnya, Ahlus 37 Sulastri, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 337. Sunnah wal Jamaah. Dalam bidang hukum-hukum Islam menganut Mazhab Syafi’I, dalam soal tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi, sedangkan dalam bidang tasawuf, lebih menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim al-Junaidi. 38 Organisasi-organisasi Islam yang berdiri pada zaman perjuangan adalah untuk bahu-membahu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kegiatan dan program-program yang ada lebih mengacu pada pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial yang bernafaskan Islam, atas dasar kebutuhan anggota. 39 Salah satu wadah yang paling efektif dalam melaksanakan agenda kegiatan tersebut, misalnya Muslimat adalah dengan mengadakan Majelis Taklim al-Islah yang sampai sekarang masih berjalan dengan baik di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat atau yang biasa dikenal dengan Majelis Taklim Masjid Jamie Matraman. 40

H. Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial, dan Politik